Raechan dan Studio Jevan

“Kak, udah dong jangan senyum-senyum gitu.”

“Dih, kenapa emang kok udahan? Tadi katanya gue cantik kalau senyum.”

Ya iya sih, tapi alasan di balik senyumannya kan gak bagus, batin Raechan.

Menyembunyikan perasaan kesalnya, Raechan masih setia mengikuti langkah Kayana menuju area parkir. Sesuai dengan rencana awal, Kayana akan mengantarkan Raechan pulang karena tanpa Kayana ketahui, Raechan sudah mengirim pergi mobilnya bersama Jaenandra dan Klarisa lima menit lalu. Tepat ketika briefing untuk event jurusan pendidikan bahasa jepang selesai.

“Eh, Kak, saya nebengnya gak jadi ke rumah deh. Boleh tolong anterin saya ke studio temen saya aja gak? Deket kok, paling cuma sepuluh menit dari sini.”

Kayana menyerngitkan dahinya sambil menatap Raechan, sedangkan juniornya itu hanya mengangkat bahu dengan acuh, “Saya harus nyelesaiin masalah saya sama pengkhianat-pengkhianat itu.”

“Lo yakin banget kalau yang kirim foto-foto lo tadi tuh sahabat-sahabat lo?”

“Ya iyalah, siapa lagi? Itu foto-foto kebanyakan diambilnya di studio Jevan, jelas aja pasti mereka yang kirim ke Kak Kayana.”

Jawaban Raechan membuat Kayana mengingat perkataan Iren tentang persahabatan Raehan dengan teman-temannya yang dianggap begitu solid dan terkesan sulit ditembus orang lain yang ingin bergabung dengan mereka.

Sepertinya semua itu benar. Keyakinan Raechan tentang tidak mungkin ada lagi yang mengirimkan foto-fotonya yang diambil di studio temannya itu kepada Kayana berarti tidak lagi ada orang lain yang bisa masuk kesana selain mereka.

Mereka punya dunianya sendiri. Dunia yang tidak akan Kayana pahami karena seumur hidup Kayana tidak pernah berada di sebuah pertemanan seperti yang Raechan miliki.

“Kak? Kenapa kok bengong?” Raechan mengibaskan-ngibaskan tangannya di depan wajah Kayana karena sejak tadi perkataannya tidak mendapat jawaban dari gadis itu.

Kayana terkesiap, mengembalikan kembali kesadarannya, “Hm? Gak kok gak papa. Lo yang nyetir ya, Rae.”

Raechan mengangguk samar-samar, meskipun masih bingung dengan Kayana yang tiba-tiba kembali murung, “Ya.. yaudah.”

Mobil Kayana keluar dari gerbang kampus kemudian belok ke kiri untuk menyusuri jalanan utama yang malam itu tidak terlalu ramai. Di perempatan pertama, Raechan membelokkan mobil Kayana untuk kemudian kembali berbelok ke kiri dan masuk ke sebuah perumahan. Beberapa puluh meter dari pintu masuk perumahan, berdiri sebuah rumah yang dikelilingi pekarangan yang luas. Seolah-olah rumah itu sengaja dijauhkan dari rumah-rumah yang lain.

Raechan menginjak rem dan membuat mobil Kayana berhenti sepenuhnya. Dia membuka seat beltnya kemudian mengambil tas ranselnya dari jok belakang.

“Kak,” Raechan memandangi wajah Kayana yang tertimpa cahaya dari lampu taman, “Masuk dulu, yuk? Minum dulu. Rumah Kak Kayana kan masih lumayan jauh dari sini, istirahat dulu aja di dalem. Ya?”

Kayana tampak ragu, dia tidak kunjung menjawab hingga Raechan membukakan seat belt yang masih melingkari tubuh Kayana, “Udah ayo masuk dulu. Sekalian kita buktiin beneran mereka apa bukan yang sebar fotonya.”

Kayana masih diam. Pikirannya lumayan berkecamuk. Seharian tadi dia sudah kelelahan dengan jadwal kuliah dan breifing untuk event hingga semalam ini. Rasa-rasanya, dia ingin segera pulang dan berbaring di atas kasurnya yang empuk. Mengisi kembali energinya yang telah habis digunakan untuk bersosialisasi. Lagi pula, Kayana juga takut mengganggu teman-teman Raechan di dalam sana. Meskipun Raechan mengaku menyukainya, belum tentu teman-temannya juga menyukai dirinya, pikir Kayana.

“Ya tuhan, bengong lagi dia. Kak, kesambet loh kebanyakan bengong gitu.”

Kayana terkesiap saat menyadari ternyata Raechan sudah berdiri di sisinya dan membuka pintu mobil untuknya.

“Emang gak papa, Rae, gue masuk ke sana?”

Raechan terkekeh pelan, “Ya gak papa lah, Kak. Udah yuk masuk.”

Perlahan-lahan, Kayana turun dari mobil dan mengikuti Raechan yang berjalan mendahuluinya. Saat pintu terbuka, Kayana mendengar suara-suara dari dalam,

“NAH INI DIA SI BRENGSEK.”

“LAMA AMAT LO, KEMANA AJA? UDAH DITUNGGUIN JUGA DARI TADI! SINI LO! BERANTEM SAMA GUE!”

“HEH BAJINGAN, FOTO GUE KENAPA LO KIRIM KE KAK KAYANA HAH?”

“Ya biarin aja sih, sedekah kan kata si Juan.” Raechan berucap santai, masih di ambang pintu dan sibuk melepas sepatunya.

“Ya harusnya lo kirim foto lo sendiri aja, njir.” Seseorang di dalam sana menyahut lagi.

Kayana masih berdiri diam di dekat pintu dan sepertinya orang-orang di dalam sana belum menyadari kehadirannya.

“Tapi gak papa deh, udah impas sekarang, Kak Kiyo udah membalaskan dendam kita. Iya gak, Jev?”

“Oh jadi Kak Kiyo....” Raechan melirik Kayana, “Sebentar ya, Kak, saya ada urusan dikit.”

Sedetik kemudian, Raechan melesat masuk dan menyeruduk Markio yang sedang duduk santai di sebelah kekasihnya.

Saat Kayana melongok ke pintu, dia mendapati Raechan sedang sekuat tenaga berusaha meraih leher Markio untuk dia kunci di lengannya, “Kenapa lo kirim foto aib gue sih, Markio Baratama? Gue cakep aja Kak Kayana gak mau sama gue, apa lagi liat foto aib gue.....”

Dengan keadaan terjepit, Markio bersuara, “Wah playing victim, lo duluan anjing yang mulai.”

Kayana terlalu asik mengamati tingkah Raechan dan Markio sampai dia tidak sadar kalau seorang gadis menghampirinya dengan senyum manis, “Kak Kayana, ayo masuk...” ajak gadis itu.

“Klarisa?”

“Iya, Kak, ini saya.”

Kayana membalas senyum gadis yang sudah dia kenal itu.

Ah, ternyata Klarisa juga teman Raechan. Lagi-lagi perkataan Iren terbukti benar. Pertemanan Raechan melibatkan banyak orang.

Di belakang punggung Klarisa, Kayana masih bisa melihat Raechan bergumul dengan Markio yang berusaha dipisahkan oleh tiga orang lainnya.

“Udah biarin aja mereka, Kak, nanti kalau mereka capek juga berhenti sendiri. Ayo, Kak, masuk, sepatunya lepas disitu aja.”

Seperti tersihir dengan perkataan lembut Klarisa, gadis berambut panjang itu melepas sepatunya kemudian malangkahkan kaki untuk memasuki sebuah ruangan berukuran 15x15 m. Kayana begitu takjub melihat studio yang Raechan sebut sebagai milik temannya itu.

Ruangannya terbagi menjadi dua, ruangan pertama terlihat seperti sebuah ruang keluarga yang berisi tiga sofa hitam panjang, TV, lemari pendingin, meja panjang berisi tumpukan buku, printer, laptop dan komputer yang diletakkan bersebelahan, serta hiasan-hiasan kecil. Di sudut ruangan pertama juga terdapat ranjang kecil yang berisi boneka dan bantal-bantal kecil yang terlihat begitu nyaman. Ruangan ini lebih seperti kamar kos-kosan yang nyaman untuk ditempati.

Sementara di sisi ruangan yang lain, dari pintu yang sedikit terbuka, Kayana bisa melihat satu set perlengkapan band. Sepertinya itu adalah ruangan untuk mereka bermain musik, karena kembali lagi, Raechan menyebut tempat ini sebagai sebuah studio.

“Kak Kayana mau minum apa?” seorang gadis lain yang sedang duduk di sofa bertanya pada Kayana dengan senyum manis yang sama. Jika tidak salah ingat, gadis itu adalah gadis yang Iren bilang sebagai pacar Markio.

“Apa aja yang ada boleh.” jawab Kayana sopan.

Klarisa membawa Kayana duduk di sofa dan ikut duduk di sebelahnya, “Kok Kak Kayana bisa ikut kesini? Raechan paksa Kakak ya?”

“Kepo lo...” sahut Raechan dari arah samping, lelaki itu sibuk merapihkan penampilannya lagi usai bergelut dengan Markio, “Eh iya, Kak, saya sampe lupa ngenalin cecunguk-cecunguk ini,”

“Itu, yang lagi ambil minum namanya Jelena, Kak. Panggil aja Elen.”

Kayana mengikuti arah tatapan Raechan dan tersenyum saat matanya bertatapan dengan gadis bernama Elen itu.

“Yang duduk di sebelah Kak Kayana itu Kakak tau lah ya siapa, anak LPP juga kan dia.”

Kayana mengangguk pelan.

“Kalau yang itu...” Jari telunjuk Raechan mengarah pada pria yang fotonya sempat dia kirimkan pada gue sore tadi, “Itu namanya Jaenandra, pacar Klarisa tuh.”

“Yang pake baju biru namanya Jevan, nah kalau yang pake kaos kuning.... namanya Juan, panggil Wawan juga gak papa.”

Ucapan Raechan dihadiahi pelototan tajam dari pria bernama Juan meskipun dia langsung tersenyum ketika Kayana menatapnya.

“Kalau ini... manusia pengkhianat ini... gak usah dikenalin lah ya.” ucap Raechan lagi merujuk pada Markio.

“Kak Kayana, saya juga punya banyak foto aibnya Raechan loh. Mau liat?” Si pria berbaju kuning tersenyum mencibir ke arah Raechan sebelum melesat duduk di sebalah Kayana. Juan mengotak-atik ponselnya sebentar sebelum kemudian mengarahkan layar ponselnya kepada Kayana,

“Ini pas dulu dia SMA, lagi tugas drama, dia dandan jadi perempuan.”

Kayana terkekeh melihat foto Raechan yang dibalut gaun merah selutut dan dilengkapi rambut palsu yang dikucir dua. Pose fotonya yang begitu anggun juga membuat tawa kecil Kayana terdengar.

“Ini... beneran Raechan?”

“Bener, Kak.” sahut Kayana, “Wan cari lagi yang lain, Wan.”

“Jangan njir, aduh pesona gue ancur kalau gini mah.”

Raechan berusaha mengambil ponsel Juan tapi Juan lebih dulu berdiri di atas sofa dan mengelak.

Tawa di ruangan itu terdengar penuh.

Untuk kali ini, sepertinya informasi Iren salah.

Teman-teman Raechan jauh dari kata sulit didekati.