petrichorslines

Author's Pov

Berkali-kali Saera mencoba mengetuk pintu, menunggu sahutan dari dalam kamar. Namun bahkan setelah sekian menit terlewat, tidak juga ada sahutan yang dinantikan. Perlahan, Saera membuka pintu kamar. Melongok ke dalam untuk mengecek keadaan.

Gelap, tidak ada suara, kamar ini terlalu hening meskipun ada dua orang di dalamnya.

“Ah, beneran belum bangun ternyata.” Saera berbicara pada dirinya sendiri, kemudian masuk ke dalam kamar dan membuka tirai serta jendela. Membiarkan udara segar masuk mengusir pengapnya kamar.

Saat dia berbalik untuk mendekat ke ranjang, Saera menyadari bahwa hanya ada Mikaelo di sana. “Kak Tian kemana?” tanyanya pada dirinya sendiri.

Saera hendak meraih ponselnya untuk menghubungi Tian, tapi suara gemericik air di kamar mandi mengurungkan niatnya. Tian ada di sana dan Saera tidak perlu lagi merasa khawatir.

Saera beralih pada Mikaelo, mendekati ranjang dan duduk di sisinya. “El, wake up, sarapan yuk?”

Lagi, tidak ada sahutan.

Saera tersenyum simpul, mengingat kebiasaan Mikaelo yang lumayan sulit untuk dibangunkan.

Berusaha lagi, Saera menyentuh tangan Mikaelo, menggoyangkannya sedikt, “El, bangun yuk? Udah jam sembilan loh.”

Namun tetap saja, tidak ada pergerakan apapun dari Mikaelo, yang terdengar hanyalah gumaman tidak jelas.

You are still Mikaelo Rian Davis that i know, El”, kali ini Saera menyentuhkan tangannya pada permukaan wajah Mikaelo. Mengelus wajah Mikaelo pelan, memberi pijatan pada keningnya, cara terakhir yang bisa dilakukan untuk membangunkan Mikaelo.

Benar saja, tubuh Mikaelo mulai bergerak merespon sentuhan dari Saera. Meskipun kedua matanya masih saja tertutup rapat. “El, yuk bangun? Sarapan.”, panggil Saera sekali lagi, masih berusaha membuat Mikaelo sadar akan kehadirannya.

“Lagi.” ucap Mikaelo dengan suara beratnya.

“Lagi?”

Saera diam sebentar, merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya. Mikaelo pasti sedang mengigau dan ini hanyalah respon alam bawah sadarnya.

“Elus lagi.” desak Mikaelo karena Saera tak kunjung menuruti permintannya, bahkan kini, laki-laki itu telah meletakkan kepalanya di atas pangkuan Saera.

Ceklek

Pintu kamar mandi terbuka, menarik perhatian Saera. Gadis itu menolehkan wajah dan mendapati Tian disana, tampak segar usai mandi.

“Kak, sarap—”

Saera hendak menyapa Tian, namun pergerakan sebuah tangan yang melingkari pinggangnya membuatnya kehilangan fokus. Belum lagi suara berat itu kembali terdengar saat Mikaelo berkata, “Kamu wangi banget.”

Tian hanya berdiri di sana, memandangi dua insan yang sedang sibuk dengan dunia mereka, “Dia kalau tidur serem ya, suka ngigau. Gue sampek beberapa kali kebangun.”

“Hm? Ah, iya— iya Kael emang gitu, Kak.” jawab Saera gelagapan, masih berusaha menenangkan dirinya yang kaget karena sikap Mikaelo.

“Susah ya banguninnya?” Tian bertanya sembari beranjak ke meja rias, menyisir rambutnya dengan tangan lalu menyemprotkan parfum ke area leher dan dadanya yang telanjang. Aroma parfum itu langsung menguar, tercium ke seluruh sisi kamar.

“Lumayan, dari tadi gue coba bangunin gak bisa-bisa.”

“Yaudah, dicoba lagi aja pelan-pelan. Gue turun duluan, ya? Laper.” Tian mengambil satu kaus dari tas ransel berwarna hitam dan langsung mengenakannya. Kakinya bergerak menuju pintu, namun sebelum itu dia berbalik sebentar untuk menatap Saera, “Kalau gak bisa bangun juga, guyur aja. Tuh air di kamar mandi ada banyak.” bisiknya pelan dengan wajah meledek.

“Iya, Kak.” Saera tersenyum lembut, “Di bawah ada Mama, sarapannya juga udah siap. Makan gih, nanti kalau Kael udah bangun gue temenin makan.” lanjutnya lagi.

Tian hanya mengangguk kemudian menutup pintu kamar itu dengan pelan. Sekarang, hanya ada Saera dan Mikaelo di sana.

“El, bangun yuk? Mikaelo? Kael? El?” Saera terus-terusan memanggil nama Mikaelo, sesekali  dinggoyang-goyangkannya bahu mantan kekasihnya itu.

Dan kali ini usaha Saera tidak berkhianat, Mikaelo mulai membuka matanya. Dia berkedip beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk. Lalu ketika pandangannya semakin jelas, dia duduk terperanjat, melepaskan pelukannya dari pinggang Saera, “Eh, kok kamu di sini? Maaf-maaf, aku gak sadar, Ra.” ucapnya kelabakan.

Saera berdiri dengan canggung, menatap Mikaelo yang langsung sibuk merapihkan penampilannya yang lumayan acak-acakan, “Hmm, mandi gih, El. Terus turun, kita sarapan bareng.”

Masih berusaha membuat dirinya sadar sepenuhnya, Mikaelo menjawab dengan sedikit kikuk, “Iya, Ra. Nanti aku turun.”

“Yaudah, gue turun duluan ya.” pamit Saera yang dijawab anggukan oleh Mikaelo.

Setelah Saera keluar dari kamar dan menutup pintu, Mikaelo memukul-mukul kepalanya sendiri. Bego banget, batin Mikaelo kesal.

Buru-buru dia turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, menatap dirinya di cermin dan memaki dirinya sendiri.

“Kael, Kael, ileran gini lagi! Aduh bego! Kenapa bisa di pinggang Saera sih tangan lo tadi? HIHHH TANGAN KURANG AJAR! LANCANG!” Teriak Mikaelo frustasi. Tanpa dia sadari, Saera masih bisa mendengar teriakannya dari depan pintu.

Author's Pov

Sejuknya udara khas perkebunan serta bau tanah basah menyambut segerombolan orang yang baru saja memasuki gerbang perkebunan. Paska mendarat di Bandara tadi, keluarga Davis beserta Saera dan Tian langsung dijemput oleh mobil khusus yang dikirimkan oleh keluarga Saera.

Sorot mata kagum langsung mereka berikan, bahkan Azriel langsung melongokkan kepalanya dari jendela mobil agar bisa menghirup segarnya udara perkebunan secara langsung.

Ketika tiba di depan sebuah rumah yang di berada tengah perkebunan, mereka langsung dipersilahkan untuk turun dari mobil. Sepasang suami istri yang mengenakan pakaian sederhana menyambut mereka, “Selamat datang Tuan dan Nyonya Davis, Bapak dan Ibu ada di dalam, monggo silahkan masuk saja.” Ditemani oleh si pekerja laki-laki, Pak Davis dan istrinya masuk ke dalam rumah.

“Bude!” Saera melompat keluar dari mobil kemudian berlari untuk memberikan pelukan pada perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Bude.

“Non, yaampun tambah ayu pol! Makan apa, Non, di kota? Kulite ini lho, tambah resik!” tanya si Bude— yang bernama Narti— dengan logat jawa yang kental.

“Makan nasi dong, aku gak—”

“Bohong, dia sering makan mie tuh, Bude. Omelin aja!” Sebuah suara menginterupsi jawaban Saera, membuat dua orang yang sedang bercakap-cakap itu menolehkan kepalanya.

Bude Narti tertawa sembari melepaskan pelukan Saera, langkahnya terayun menghampiri Kael yang berdiri tak begitu jauh darinya, “Yaampun, he! Aduhhh! Ini Mas Kael juga kok tambah bagus rupane! Ganteng, Mas, tenanan!”

Enam adik Kael merasa iri, dikerumuninya Bude Narti menuntut pujian yang sama. Mereka berbincang dan terkekeh bersama-sama, meninggalkan seseorang yang hanya menatap mereka dari belakang.

Saera menyadari hal tersebut, didekatinya Tian, kemudian dia memanggil Bude Narti, “Bude, aku bawa temen satu lagi dong. Namanya Kak Tian, orangnya baik tapi makannya banyak!”

Bude Narti baru akan berbicara namun sebuah suara lebih dulu terdengar, “Harus dong makan banyak! Bimbing Saera skripsian ndak akan gampang, iya to, Mas?”

Semua orang menatap ke arah pintu rumah, dimana ada seorang pria gagah berdiri di sana.

“Papa ih!” Saera merajuk, memberengut.

“Hahahaha lumayan, Om.” timpal Tian dengan nada meledek, “Agak ngeyel gitu anaknya.”

“HAHAHAHAHAHA LHO, COCOK INI GUYON SAMA AKU! MARI, MARI, AYO MASUK! HE, KAMU, PACARE ANAKKU, AYO MASUK JUGA, BAWA PASUKANMU!” Ayah Saera berkata dengan begitu semangat, membuat semua yang di sana terkekeh lagi.

Satu-persatu dari mereka masuk, membawa barang-barang pribadi milik mereka masing-masing.

Saera buru-buru menghampiri Mikaelo, menahan tangannya, “Maaf ya, Papa masih ngira lo pacar gue. Nanti gue jelasin kok ke Papa sama Mama.”

Mikaelo tersenyum, tangannya mengelus menepuk bahu Saera, “Gak papa, Ra. Papa kamu mau ngadain pesta, lagi seneng-senengnya, jangan dulu dikasih cerita yang sedih, ya?”

“Tapi, El...”

“Nanti biar aku aja yang ngobrol sama Papa kamu, supaya aku bisa minta maaf juga karena udah pernah nyakitin anak perempuan kesayangannya. Biar kalau Papa kamu mau nonjok aku, bisa sekalian.”

Tangan Mikaelo merambat naik, mengelus sebelah pipi Saera, “Nikmatin waktu kamu di sini sebelum sibuk skripsi, jangan mikirin yang sedih-sedih. I want to see your smile

“Aduh pacaran aja anak gadis mama! He ayo masuk! Kael, Tante sudah siapin semangka kesukaanmu, ayo masuk!” Kali ini ibu Saera yang berada di ambang pintu, melambai-lambaikan tangannya mengajak Saera dan Mikaelo masuk.

“Iya, Tante.”

“Iya, Ma.”

Ucap mereka bersamaan seirama dengan langkah kaki mereka yang berjalan memasuki rumah.

Author's Pov

Mikaelo tersenyum puas sesaat setelah dia selesai mempersiapkan mobilnya untuk menyambut Saera. Suhu yang diatur tidak terlalu dingin, sandaran kursi yang sudah disesuaikan dengan kemiringan yang akan membuat Saera nyaman, hingga tidak lupa untuk menyemprotkan sedikit parfum miliknya yang menjadi kesukaan Saera.

Mikaelo merespon dengan begitu cepat ketika sosok yang ditunggu-tunggu keluar dari pintu lobby apartemen. Dia segera keluar dari mobil dan berlari ke sisi penumpang, melambaikan tangannya ke arah Saera.

“Gue deg-degan, takut nabrak.” keluh Saera sambil memperlihatkan wajahnya yang tampak seperti seseorang yang akan mengikuti ujian nasional.

Mikaelo terkekeh, merasa gemas. Lalu dia mencubit sebelah pipi Saera dengan pelan, “Gak usah takut, ada aku.”

“Yuk, berangkat.“  Mikaelo membuka pintu mobil, mempersilahkan Saera untuk masuk. “Awas kepala kamu, hati-hati.” Tidak lupa, dia meletakkan tangannya di atas kepala Saera, memastikan bahwa kepala gadisnya itu tidak akan mengenai bagian pintu mobil.

Diperjalanan Saera tidak banyak bicara, begitu pun dengan Mikaelo. Mereka hanya diam menikmati alunan lagu yang mengisi keheningan di antara mereka.

Lalu Saera tersadar akan sesuatu, lagu yang sejak tadi dia dengarkan bukanlah lagu-lagu kesukaan Mikaelo, “Loh, El, sejak kapan lo suka K-pop?”

Mikaelo menolehkan wajahnya sekilas lalu kembali fokus pada jalanan, “Semenjak kita putus.”

“Hah?”

“Iya, mobil ini kerasa kosong semenjak kita putus. Gak ada suara kamu, gak ada barang-barang kamu, gak ada bau parfum kamu. Jadi aku mulai dengerin lagu-lagu kesukaan kamu untuk ngisi kekosongan itu.”

Jawaban Mikaelo terlalu lugas, membuat Saera kebingungan untuk menimpali. Dan Mikaelo mengerti, dia mengalihkan topik itu dengan pertanyaan lain, “Kata Jema, direct message kamu penuh ya sekarang? Cie, balik lagi jadi primadona kampus.”

“Hahaha enggak kok, Jema berlebihan aja itu.”

“Halah, dari kamu jadi maba juga banyak kan yang deketin. Ada tuh dulu saingan aku, kak siapa tuh, Ra? Yang suka datengin kamu ke kelas buat ngasih nasi uduk.”

“Hahahaha inget aja lo, El. Gue aja udah lupa namanya.”

Mereka tertawa bersama, melupakan keheningan yang sekali lagi sempat menyapa mereka. Tapi kepekaan Mikaelo terhadap orang lain sangat bisa diandalkan, karena sekarang, Saera sudah terlihat jauh lebih nyaman dan tenang.

Tawa mereka baru berhenti saat ada sebuah telfon masuk ke ponsel Mikaelo, “Telfon tuh.”

“Ambilin dong tolong.” Mikaelo membuka kakinya lebih lebar, membuat kaki kirinya lebih dekat kepada Saera. “Ini, di saku celana.” katanya lagi.

Saera diam sebentar, menimbang-nimbang apakah dia harus menolong Mikaelo. Dia memang sudah sering melakukannya, saat dulu masih bersama dengan Mikaelo sebagai kekasihnya, tapi sekarang status mereka sudah berbeda. Ada keraguan yang kentara dalam gerakan tangan Saera yang begitu lambat.

Mikaelo melirik tingkah malu-malu Saera dari unjung mata. Bibirnya melengkung, tersenyum penuh kemenangan. Lalu sedetik kemudian dia tertawa lagi, “Hahahah bercanda, gemes banget sih, Ra.”

Mikaelo melepaskan sebelah tangannya dari setir mobil dan mengambil ponsel itu dari sakunya. Namun bukannya mengangkat panggilan dari si penelepon, Mikaelo justru meletakkan ponsel miliknya di atas paha Saera, “Tolong liatin itu telfon dari siapa. Aku lagi nyetir, takut bahaya.”

Saera mengangguk, melihat ke layar dan mendapati nama Alina di sana. “Alina.” bisiknya pelan.

“Oh, angkat aja, Ra. Loudspeaker.”

Sekali lagi Saera menurut, mengangkat panggilan itu dan menekan mode loudspeaker.

Halo, Mike?” sapa seorang gadis di seberang sana, suaranya begitu ceria dan bersemangat.

“Hai, Al? Ada apa?” jawab Mikaelo santai, masih fokus pada ramainya jalanan di depan sana.

“Lo hari ini dateng kan?” tanya gadis itu.

“Ah gue gak bisa dateng deh, Lin, kayaknya. Gue mau pergi sama Saera.”

“Oh, yaudah hehehe, kirain lo bakal dateng. Oke deh, see you kapan-kapan ya, Mike!”

Mikaelo tidak memberi jawaban apa-apa, hingga telefon itu ditutup dengan sendirinya.

“Itu tadi Alin, anak temen bisnisnya Papa. Hari ini orang tuanya ngadain makan malam, ulang tahun pernikahan. Papa sama Mama diundang.” Mikaelo menjelaskan bahkan sebelum Saera bertanya.

“Lo dateng aja gak enak sama—” Belum sampai Saera menyelesaikan kalimatnya, Mikaelo sudah mengerti akan kemana arah pembicaraannya, “Gak enak sama siapa? Dari awal Papa emang mau ngajak Chandra sama Jiel, kok.”

Saera bernafas lega, dia paling tidak mau mengganggu urusan bisnis Om Davis, “Oh hehehe, ya udah.”

“Kayaknya lo juga balik jadi primadona di antara anak-anaknya rekan bisnis Om Davis, ya?” goda Saera membuat Mikaelo tersenyum miring, “Tapi mereka gak punya kesempatan.” jawab Mikaelo.

“Gak ada ruang buat mereka, Ra.” tegas Mikaelo sekali lagi sembari memberi elusan lembut pada rambut Saera.

Saera Rachel Minanta

Aroma gurih yang berasal dari sup ayam yang sedang direbus oleh Jema menguar memenuhi dapur. Membuat lapar siapapun yang mencium aromanya.

“Tinggal nunggu lima menit lagi, abis itu beres deh.” Jema tersenyum puas sesaat setelah dia mencicipi masakannya sendiri.

Senyuman di bibir gue juga merekah, senang melihat Jema berekspresi seperti itu, “Main gih, Je, biar Kak Saera yang urus sisa lauknya.”

Jema mengangguk, “Oke, Kak. Aku main dulu, ya!” Lalu dengan semangat dia berlari keluar dari dapur dan hampir bertabrakan dengan Mikaelo yang hendak masuk ke dapur, “Hehehe sorry, Bang.” ucapnya sembari memberikan pelukan singkat untuk Mikaelo.

Suasana dapur yang tadinya hangat langsung berubah menjadi sedikit canggung saat Mikaelo memilih untuk tetap berada di sini setelah meneguk sebotol air dari kulkas.

“Butuh bantuan, gak?” tanyanya pelan sembari berjalan mendekat, “Motong-motong apa gitu misalnya?”

Gue menatapnya sekilas sebelum berkata, “Gak usah, El. Udah beres kok nih tinggal goreng lauknya aja.”

“Oh, oke.” Dia mengangguk kemudian duduk di kursi makan.

Suasana kembali hening sebelum terdengar sebuah teriakan yang mencairkan suasana, “SUMPAH YA, RAYHAN, KALAU LO CURANG LAGI, GUE BAKAL PATAHIN TANGAN LO!” Teriakan frustasi itu membuat gue dan Mikaelo tertawa terbahak-bahak. Mereka berada jauh di halaman belakang, tapi suara nyaring Reky bisa sampai ke telinga kami yang sedang berada di dapur.

“ABANG IH BANG! GAK BOLEH PAKE TANGAN IH ASTAGA ABANG IH YA TUHAN! PAKE. KAKI. BANG. JEMA!!!!” Suara lain menyusul, sama nyaringnya dengan teriakan Reky. Gue yakin itu adalah suara Azriel yang jengah karena kakak kandungnya itu tidak kunjung mengerti peraturan permainan.

“Untung vila sebelah itu punya eyang, kalau enggak, udah dilabrak tetangga sebelah nih kita, hahahaha.” Suara tawa Mikaelo yang renyah membuat suasana dapur menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi kecanggungan yang tadi sempat gue rasakan.

“Hubungan lo sama adik-adik lo udah membaik kan, El?”

“Hm?” Mikaelo berusaha menghentikan tawanya, “Iya, udah kok. Makasih ya, Ra. Aku sempet takut mereka gak mau maafin aku.”

Gue ikut duduk di sebelahnya setelah mematikan kompor, “Ya gak mungkin lah mereka begitu, mereka sayang banget kok sama lo.”

“Aku lega dengernya. Kalau kamu sendiri..... kamu gak ngerasa aneh temenan sama aku, Ra?” Mikaelo bertanya dengan ragu-ragu, bahkan ada jeda yang cukup lama sampai dia bisa melanjutkan kalimatnya.

“Hmm, sedikit?” jawab gue, membuatnya memasang wajah kecewa. “Wajar gak sih, El, kalau gue ngerasa canggung? Hahahaha. Tapi ya, yaudahlah, mau gimana lagi. Lagian gue juga gak bisa jauh dari adik-adik lo, dan itu artinya gue juga gak akan bisa jauh-jauh dari lo, kalian kan sepaket. Jadi supaya sama-sama enak, kita temenan aja. Tanpa harus mikirin apa yang udah kita lewatin, biar gak canggung. Iya, gak?”

Wajah kecewanya berubah menjadi senyuman tipis, “Iya, Ra. Yang penting kamu nyaman.”

Atensi kami teralih saat suara berisik yang berasal dari langkah kaki adik-adik Mikaelo mendekat ke arah dapur. Langkah kaki itu disusul suara yang saling bersahutan, “UDAH AH GAK MAU MAIN LAGI GUE!” ucap Rayhan menggerutu, melepas sepatu dan melemparkannya sembarangan.

“Dih, lo yang curang kok lo yang ngambek sih, Bang?” balas Chandra.

“Tau nih, aneh lo.” Jayden juga tidak tinggal diam, tangan kekarnya mendorong pelan kepala Rayhan yang membuat anak itu semakin menggerutu.

“Udah, udah, makan aja sini yuk.” Gue berusaha menengahi, kembali berdiri untuk mendekat ke kompor dimana sup buatan Jema berada.

“Mangkuknya ada di rak atas itu ya, Kak.” Jema mengingatkan dan hanya gue balas dengan anggukan.

Tangan gue terulur untuk membuka rak itu namun gue terkejut karena tiba-tiba sebuah tangan menyentuh kening gue dengan lembut, bermaksud melindungi kening gue dari pintu rak yang terbuka, “Awas kening kamu, Ra.” Gue bisa merasakan tubuh Mikaelo tepat berada di belakang gue, membuat gue bisa mencium aroma parfum yang dipakainya.

Gue terdiam, masih terkejut karena tindakan Mikaelo yang begitu tiba-tiba.

“Biar aku bantu.” ucapnya lagi sembari menurunkan beberapa mangkuk dari dalam rak.

“Hati-hati ya nuangin supnya, masih panas.” dia berkata sembari mengelus rambut gue pelan, lalu dia menjauh untuk bergabung ke meja makan bersama adik-adiknya.

Tiba-tiba gue ragu, apakah pilihan gue untuk berteman dengan Mikaelo adalah hal yang tepat.

Mikaelo Rian Davis

Satu-satunya hal yang paling gue takutkan ketika bertemu kembali dengan Saera adalah perasaan untuk menarik tangannya dan membawa dia ke dalam dekapan gue. Susah payah gue menahan diri, hingga gue harus menginjak sebelah kaki gue dengan sebelah kaki yang lain agar kaki-kaki bodoh ini tidak berjalan mendekat ke arahnya.

Saera duduk di hadapan gue, kami hanya terhalang sebuah meja berwarna cokelat muda yang berukuran kecil, tapi rasanya dia berada jauh sekali. Mulutnya yang terkunci rapat hingga matanya yang terus menghindari tatapan gue membuat dia tampak jauh untuk gue gapai.

Bahkan dia tidak mengatakan apapun ketika gue meletakkan dua choco pie kesukaannya di atas meja.

Gue berdehem pelan, mencoba menarik perhatiannya yang tidak kunjung bersuara. Tapi Saera tetap diam, seolah dia memaksa gue untuk berkata lebih dulu.

Lalu gue mengalah, meletakkan kedua tangan gue di atas meja dan menatap lurus ke arahnya, “Katanya ngajak ketemu, tapi kok sekarang kamu diem aja, Ra?”

“Kemarin Jema nemuin gue, dia cerita semuanya.” Akhirnya Saera menatap gue, meskipun tanpa ekspresi apapun di wajahnya, “Dari cerita Jema, adik-adik lo cuma tau masalah kita dari sisi gue karena Rayhan dapet ceritanya dari Kak Rheina, kenapa lo sendiri gak jelasin apapun ke mereka, El?”

Gue tersenyum simpul sebelum menjawab, “Penjelasan apapun dari aku gak akan membenarkan kelakuanku, Ra.”

Saera berdiri, mengambil tasnya dari kursi lalu menatap gue lagi, “Yaudah kalau gitu, gue balik, lo juga gak keliatan tertarik untuk ngejelasin apapun ke gue.”

Gue terperanjat mendengar perkatannya lalu buru-buru menahan tangan Saera, “Maaf, Ra, maaf, jangan pergi dulu. Aku bakal jelasin semuanya, tolong duduk dulu, ya?”

Dia mengindahkan permintaan gue dan kembali duduk.

Gue menghela nafas lega karena berhasil menahan Saera untuk tinggal lebih lama. Tadi, gue begitu ketakutan jika dia benar-benar pergi dari sini, karena sepertinya dia akan langsung menghilang dan sulit untuk ditemui seperti kemarin.

“Di sini, pertama kali kita ketemu kan?” Gue membuka penjelasan, membuatnya menaruh atensi pada gue, “Hari itu aku ngerasa deja vu, Ra. Ada seorang perempuan yang pesan choco pie di jam satu pagi, aku seperti melihat Keith hidup lagi, karena selama ini, cuma Keith yang ngelakuin hal itu.”

Saera diam, seakan memberi waktu untuk gue terus bicara.

“Saat itu, yang aku pikirkan cuma, ah kalau aja Keith hidup lagi, I will treat her better. Aku gak akan biarin dia nyetir sendiri, aku gak akan biarin dia lupa pakai seat belt, aku akan selalu nyetir hati-hati kalau lagi sama dia, aku akan—”

Gue terdiam mendapati ada setetes air mata yang turun ke pipi Saera. “Ra, kamu gak papa?” Tangan gue terulur bermaksud menghapus air mata itu namun dia menepisnya, “Go on, El. Lanjutin.” perintahnya.

Hati gue terasa perih melihat Saera yang menghapus air mata dengan tangannya sendiri. Gue membenci diri gue sendiri karena gue menjadi alasan jatuhnya air mata itu.

“Lanjutin, El.”

Dengan berat hati gue kembali berbicara, “Tanpa sadar, semua hal yang ingin aku lakukan ke Keith justru aku lakukan ke kamu. Aku minta maaf, Ra, aku emang sebajingan itu. Tapi hidup dengan rasa bersalah itu gak enak, aku hanya ingin setidaknya beban rasa bersalahku itu berkurang. Maaf udah bikin kamu yang gak tau apa-apa soal aku dan Keith jadi korbannya. Aku bener-bener nyesel, Ra.”

Ketika menyelesaikan penjelasan, gue sudah bersiap kalau-kalau Saera akan menampar gue lagi, atau setidaknya menyiram gue dengan air mineral yang ada di hadapannya. Tapi kenyataan yang gue dapati justru Saera tidak banyak bereaksi, dia hanya mengangguk dan berkata, “Makasih udah jujur dan gak berusaha terlihat baik, El.”

“Selama tiga tahun, gue ngerasain semua kasih sayang yang lo kasih ke gue dan gue nikmatin itu semua. Jadi mungkin rasa sakit yang gue rasain sekarang adalah harga yang harus gue bayar untuk semua kebahagiaan yang udah gue dapet.” Dia melanjutkan, “Dan semoga rasa bersalah lo ke Keith berangsur menghilang ya, El. Supaya gak ada lagi perempuan yang akan bernasib sama seperti gue.”

Ada hening yang panjang setelah itu. Hanya terdengar suara kendaraan yang mengaung di jalanan.

“Ah iya, nanti gue bantu jelasin ke adik-adik lo soal ini, supaya mereka juga ngerti posisi lo gimana.”

Dia beranjak berdiri dan mengambil tasnya lagi, “We had some good times, didn't we?

Gue tersenyum menatapnya, mengerti apa arti kalimatnya itu.

Be happy, Saera.

“Hm, be happy, Mikaelo.

Lalu langkahnya menjauh, menyisakan penyesalan yang begitu menumpuk di dada gue.

Tapi gue tidak bisa berbuat banyak, menahannya disini hanya akan membuatnya semakin terluka.

Saat punggungnya tidak lagi nampak di pandangan gue, gue mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang,

“Halo. Iya, dia udah keluar ya, Pak. Tolong dianter ke rumah dengan selamat, ya? Makasih, Pak.”

Gue menghubungi seorang supir taxi yang sudah gue pesan sejak tadi. Karena gue tahu benar, kalaupun gue menawarkan diri untuk mengantarkan Saera pulang, dia tidak akan menerimanya.

Jadi lebih baik seperti ini, membiarkan dia pulang dengan taxi dan gue akan mengikutinya dari belakang untuk memastikan dia sampai di rumah dengan selamat.

Author's Pov

Hembusan angin malam menerbangkan rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai oleh Saera. Gadis itu mengeratkan sweater hijau pastel yang dikenakannya, udara malam ini cukup dingin, terlebih karena saat ini dia sedang duduk di ayunan besi yang berada di depan rumah Rheina.

Kepalanya menengadah, menatap awan hitam di atas sana. Tidak ada bulan atau bintang yang menerangi malamnya. Dia terkekeh pelan, menyadari bahwa awan hitam itu mirip dengan dirinya. Kelam, kesepian, tanpa ada Mikaelo dan keenam adiknya.

“Gue kangen sama kalian.” bisiknya begitu pelan, hingga hanya dia dan dirinya sendiri yang mampu mendengarnya.

Saera menghembuskan nafas panjang, berusaha mengusir gelombang pedih yang kembali datang. Dia tidak boleh kalah lagi, dia sudah berperang dengan kesedihannya selama beberapa hari ini.

“Kak Saera.”

Suara itu datang dari belakang, membuat Saera segera menolehkan kepalanya. Didapatinya Jema berdiri disana, menatapnya dengan wajah lelah yang kentara.

“Kak Saera.” Panggil Jema sekali lagi, membuat Saera berdiri dan berjalan ke arahnya, “Kamu kok di sini?”

Jema tidak langsung menjawab, membuat Saera melayangkan pertanyaan lain, “Kamu cari Kak Rheina, ya? Sebentar, Kak Saera panggilin dulu.”

Saera sudah hampir berjalan untuk masuk ke rumah saat tangan Jema menahan tubuhnya, “Aku cari Kak Saera.”

“Bang Kael jahat ya, Kak?” lanjut Jema.

“Jema, kita ngobrol di dalem ya. Kamu—–”

Tapi Jema tidak ingin repot-repot masuk ke dalam, dia ingin segera mengungkapkan perasaannya, “Kenapa Kak Saera gak cerita ke kita? Kenapa Kak Saera diem aja selama ini? Kenapa Kak Saera gak biarin kita nemuin Kakak? Kenapa, Kak?”

“Kak Saera butuh waktu, Je.” jawab Saera pada akhirnya, “Bahkan Kak Saera juga masih bingung harus gimana.”

Saera menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk mata, “Kak Saera sayang sama kalian, tapi Kak Saera juga belum sanggup buat ketemu kalian lagi.”

Jema menggertakan gigi, menahan rasa marah kepada kakaknya sendiri karena telah membuat Saera seperti ini, “Kalau Bang Kael bukan abang kita, mungkin sekarang dia udah masuk rumah sakit karena dikeroyok enam orang, Kak.”

Lalu Jema berjalan maju, menghapus jarak di antara tubuhnya dan tubuh Saera. Tangan Jema terulur, membawa tubuh Saera masuk ke dalam rengkuhannya. “Kak Saera jangan kemana-mana lagi, ya? Kak Saera punya kita.”

Tangisan Saera pecah. Tangisan yang sudah dia tahan berhari-hari. Tangisan yang bahkan tidak dia tunjukkan pada Rheina dan Tian.

Malam ini dia kalah, luka yang dia coba tutup itu ternyata masih menganga.

Author's Pov

Derap langkah Rayhan menggema di ruang tamu yang kosong, hentakan kakinya menandakan kemarahan yang sudah dia tahan sejak tadi.

“Mikaelo! Keluar lo!”

Teriakan itu menggema ke seisi rumah, membuat semua saudara laki-laki Rayhan keluar dari kamar mereka masing-masing. Termasuk Mikaelo, orang yang paling Rayhan cari keberadannya.

Tanpa basa-basi, Rayhan berjalan mendekat ke arah Mikaelo. Tangannya dia kepalkan dengan kuat, lalu dengan kekuatan penuh dia hantamkan ke arah pipi kanan kakak kandungnya itu. Tidak hanya sekali, hantaman itu mengenai wajah Mikaelo berkali-kali hingga membuatnya tersungkur ke lantai.

“Rayhan!” Semua orang menjerit, berlari ke arah keduanya dan berusaha menahan Rayhan agar tidak melayangkan pukulannya lagi.

“PENGECUT LO! MENTAL BOCAH! KAK SAERA GAK TAU APA-APA, ANJING.”, maki Rayhan kepada Mikaelo yang membuat saudaranya yang lain menatap mereka bingung. “KALAU MAU NEBUS KESALAHAN, LAKUIN SENDIRI! JANGAN LIBATIN ORANG LAIN YANG GAK TAU APA-APA!”

Rayhan belum selesai, dia masih terus berusaha melepaskan diri dari rengkuhan tubuh Jayden yang lebih kuat darinya, “LEPASIN GUE, JAY! ABANG LO ITU PANTES BUAT DIPUKUL SAMPE BABAK BELUR!”

“Ray, tenang, gak gini caranya.” jawab Jayden sambil terus menahan tubuh saudara kembarnya itu.

“Lepasin aja Rayhan, bener kata dia, gue emang pantes dipukul.” Mikaelo berbicara pelan sambil mengusap sudut bibirnya yang robek.

“Gak, bang. Kita ngobrol baik-baik. Jay, bawa Rayhan duduk, tapi jangan biarin dia berulah lagi.” tutur Reky, berusaha menjadi penengah perkelahian dua saudaranya.

Suasana ruang tamu menjadi sedikit tegang saat tidak ada seorang pun dari mereka yang mulai bicara. Azriel hanya berani melirik kakak-kakaknya dengan takut. Chandra juga diam. Dan Jema, dia hanya duduk diam, dia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Karena tidak kunjung ada yang berbicara bahkan seteleh sekian menit terlewat, Reky berdeham pelan kemudian berkata, “Ray, jelasin ada apa, kenapa lo tiba-tiba mukul Bang Kael kayak tadi?”

“Abang lo itu, dia manfaatin Kak Saera untuk nebus kesalahan yang dia buat waktu dia sekolah di Marinist. Semua perhatian yang dia kasih ke Kak Saera, semua rasa sayang yang selalu dia tunjukin ke Kak Saera, semua hal yang selalu buat kita kagum sama cara dia memperlakukan Kak Saera, semuanya itu palsu. Dia cuma pura-pura. Dia cuma lagi berusaha nebus rasa bersalahnya.” Rayhan berbicara dengan marah, memberi tekanan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dan matanya tidak pernah berhenti menatap Mikaelo dengan tatapan kebencian. 

Semua tatapan kini terarah kepada Rayhan dan Mikaelo bergantian. Kening mereka semua berkerut, menandakan ketidakmengertian, “Kesalahan waktu di Marinist? Kesalahan apa?” tanya Jayden mewakili yang lainnya.

“Dia pernah suka sama cewek di sana, dan sangking sukanya sama cewek itu, dia bahkan ngebiarin cewek itu nyetir mobil di saat mereka sama-sama belum legal. Dan lo tau, cewek itu nabrakin mobilnya ke pembatas jalan yang akhirnya bikin cewek itu meninggal.”

“Yatuhan.” Helaan nafas kaget terdengar di sana-sini ketika mereka mendengar penjelasaan Rayhan. Reky dan Jema bahkan harus memijit pelipis mereka karena merasakan denyutan yang kuat di kepala mereka.

“Gue tau itu bukan kesalahan Bang Kael sepenuhnya, itu murni kelalaian dari anak di bawah umur yang pemikirannya belum dewasa. Gue juga tau Bang Kael udah melakukan tanggung jawabnya sebelum balik ke Indonesia. Tapi yang gak pernah bisa gue ngertiin adalah, kenapa lo harus pake Kak Saera untuk nebus semua kesalahan lo, Bang?” Kali ini suara Rayhan tidak sekeras dan selantang sebelumnya, sekarang suaranya terdengar lirih dan frustasi.  “Kak Saera gak tau apa-apa. Bahkan sekarang gue ngebenci diri gue sendiri karena sempet punya pikiran busuk kalau kalian putus karena dia selingkuh.”

“Bang, itu semua salah, kan? Bang Kael gak mungkin kayak gitu ke Kak Saera, kan, Bang?” Azriel akhirnya bersuara, dia berlutut di depan kakak tertuanya yang sejak tadi hanya duduk diam. “Bang Kael, Bang Rayhan bohong, kan, Bang?” tanyanya sekali lagi karena tidak kunjung menerima jawaban.

“Liat, kan? Abang lo itu pengecut, dia bahkan gak bisa jawab pertanyaan lo, Jiel.” Rayhan berdiri, beranjak ke kamarnya. Namun sebelum itu dia menatap Mikaelo sekali lagi dan berkata, “Malu gue punya abang kayak lo.”

Chandra mengikuti jejak Rayhan, dia juga ikut bangkit dari duduknya, “Rapih banget ya lo nyembunyiin ini semua dari kita selama ini.” Kakinya melangkah menuju kamar, namun sebelum dia menginjak anak tangga pertama, dia menolehkan wajah untuk menatap Kakaknya, “Ah....sekarang gue tau, malem itu lo gak khawatir sama Kak Saera waktu tau kita kecelakaan, lo cuma takut rasa bersalah lo bertambah besar. Iya, kan, Bang? Cih, bahkan lo gak pantes buat nonjok gue malam itu.”

Berselang beberapa detik, Reky, Jayden dan Azriel juga ikut meinggalkan Mikaelo yang masih terdiam di ruang tamu. Mereka pergi tanpa mengatakan apapun.

Yang tersisa hanyalah Jema, yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah katapun.

Mikaelo mendongak, menyadari masih ada satu orang adiknya yang masih berada di sisinya. “Lo gak mau maki gue juga, Je?” tanyanya.

“Gue mau cari Kak Saera aja, gue gak punya waktu buat ngehakimin lo, Bang.”

Dan akhirnya Jema juga pergi dari sana, keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya.

“Kak Saera, aku harus cari kakak kemana?” lirihnya pelan sembari menghentak-hentakkan bagian belakang kepalanya ke sandaran kursi pengemudi.

Sedangkan di sisi lain, Mikaelo semakin menundukkan kepalanya. Ucapan Jema menusuk hatinya jauh lebih dalam dari pada ucapan saudaranya yang lain.

“Mencari Saera.”

Seharusnya dia yang melakukan itu.

tes

Mikaelo Rian Davis

Sinar matahari yang menembus kaca mobil dan langsung jatuh di area wajah gue membuat pandangan gue menyipit. Tetapi gue tetap berusaha memperhatikan pintu masuk gedung fakultas dimana Saera sedang berada di dalamnya.

Entah sudah berapa lama gue menunggu disini, di area parkir yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Berada di spot paling tepat untuk menunggu Saera.

Hingga akhirnya sosok yang gue tunggu muncul juga, dia tampak sibuk dengan jaket yang baru saja dia keluarkan dari tas. Dia tampak berbeda hari ini, Saera yang gue kenal selalu mengenakan setelan dress selutut dengan rambut yang terurai ketika pergi ke kampus. Tapi Saera yang baru saja keluar dari gedung fakultasnya adalah Saera yang mengenakan celana jeans dan kaos pendek berwarna putih. Rambut hitamnya juga dia ikat satu hingga hanya menyisakan sedikit anak rambut di sekitar dahi.

Baru saja gue akan membuka pintu mobil untuk menemuinya, Saera lebih dulu melambaikan tangannya ke arah seorang pria yang akhir-akhir ini sedang dekat dengan dia. Tiandanu.

Gue tidak patah semangat, tangan gue tetap membuka pintu mobil. Memaksa tubuh gue untuk bergerak dan mendekat ke arah Saera yang sekarang sudah berdiri di sebelah motor yang dikendarai oleh Bang Tian.

“Saera!” panggil gue, menghasilkan tatapan dari keduanya.

Dengan cepat Saera langsung berusaha meraih helm dari tangan Bang Tian, dia tampak buru-buru ingin pergi dari sini dan menghindari gue lagi.

Namun tangan kekar Bang Tian menahan tangannya, “Jangan kayak gini, Sae. Temuin dulu.”

Dan disinilah akhirnya gue dan Saera, duduk di dalam mobil gue dengan kedua jendela yang terbuka.

“Jangan terlalu deket sama Bang Tian.” Gue membuka pembicaraan.

Namun dia hanya terkekeh, sarkastik.

“Kalian baru kenal, kamu gak tau dia orangnya gimana.” gue melanjutkan.

“Gak usah khawatir, gue udah terbiasa deket sama orang yang gak terlalu gue kenal kok. Bahkan ngabisin waktu tiga tahun sama lo aja gak bikin gue kenal sama lo sepenuhnya.” jawab Saera, dengan suara tegas dan tanpa ekspresi di wajahnya.

Dia sama sekali tidak menatap gue, sangat berbeda dengan gue yang sejak tadi menatap lurus kearahnya.

“Sae, adik-adik aku sampek ngira kamu selingkuh sama Bang Tian. Aku gak mau mereka punya pikiran buruk tentang kamu, Sae.”

Sekarang Saera tertawa, lebih kencang dari sebelumnya. Tapi tawa itu adalah tawa yang mengejek. “Bagus dong, mungkin dengan begitu mereka bisa berhenti nyari gue.”

Saera mengalihkan tatapannya, membalas tatapan gue yang belum juga lepas darinya. Kemudian dia berkata lagi, “Gue sama sekali gak masalah sama apa yang dipikirin adik-adik lo soal gue. Kalau lo yang merasa terganggu, silahkan lo jelasin sendiri ke mereka. Jelasin apa alasan sebenarnya kita putus.”

“Sae, aku—–” Belun selesai gue berbicara, dia lebih dulu memotong ucapan gue. “Ah, gue lupa, lo kan gak pernah bisa jujur ya, El? Yaudah gak papa, biarin aja mereka mikir gue yang jadi bajingan disini.”

Sama seperti hari itu, gue membiarkan Saera pergi dengan perasaan dan prasangkanya sendiri. Tanpa berusaha menahannya.

Dan gue juga membiarkan semua penjelasan yang sudah gue rancang selama seminggu terakhir tidak sampai kepadanya.

Sekarang, gue hanya bisa melihatnya berjalan mendekat kepada Bang Tian. Mereka tampak mengobrol sebentar, lalu tangan Bang Rian bergerak untuk memakaikan helm ke kepala Saera dengan lembut. Membukakan footstep untuknya dan juga membantunya naik. Lalu motor itu melenggang meninggalkan kampus dengan dua orang yang berboncengan dan saling bercanda.

Saera Rachel Minanta

“Gue buka ya penutup matanya.”

Gue mengangguk mengiyakan dan sekarang gue dapat merasakan tangan Kak Tian membuka sapu tangan yang sejak beberapa menit lalu menutup mata gue, gue mengedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangan.

Ada senyum yang terulas saat pemandangan di bawah sana terlihat jelas tertangkap oleh indera penglihatan gue. Cantiknya lampu-lampu kota yang berpadu dengan cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung tinggi nampak begitu cantik dari atas sini.

“Nah teriak deh lo disini.”

Kak Tian membawa tubuhnya untuk berdiri di sebelah gue, menumpukan tangannya pada dinding pembatas yang hanya setinggi pinggang kami, “Teriak aja, kayak gini, AAAAAAAAAAAAAAAA.” Teriakannya menggema, membelah malam yang semakin larut.

“Ayo, Sae, teriak aja. Biar beban lo lepas.” Dia mengalihkan tatapannya ke arah gue, menunggu respon.

Tapi alih-alih memberinya respon atau berteriak sesuai kemauannya, gue justru membalas tatapannya. Kak Tian, seseorang yang baru gue temui beberapa minggu lalu. Bukan pertemuan yang bertujuan untuk sebuah pertemanan, karena gue tidak pernah membayangkan gue akan menjadi sedekat ini dengannya.

Tapi pada akhirnya, justru dialah yang menjadi seseorang yang akhirnya mendengar semua cerita gue tentang Mikaelo, tentang semua rasa sakit yang Mikaelo berikan pada gue.

Hingga dia memutuskan untuk membawa gue kesini, ke sebuah bukit kecil, untuk menghibur kesedihan gue.

“Malah liatin gue, teriak bego!” ucapnya sembari memberikan toyoran kecil di kepala gue.

“Iya-iya, sabar!” Gue kembali menatap ke arah lampu-lampu di bawah sana, menarik nafas panjang dan memejamkan mata lalu berteriak, “SIALAN LO MIKAELO, BANGSAT LO YA!”

Kak Tian tertawa puas, bahkan dia sampai menepuk-nepuk pahanya sendiri, “Buset anjir, kenceng juga teriakan lo. Sekarang duduk, yuk, Bu, duduk, emosi banget kayaknya.”

Kami beruda berakhir duduk di salah satu sisi bukit, Kak Tian melepaskan kemejanya untuk digunakan sebagai alas kami duduk.

“Kenapa lo gak bilang ke gue sih, Kak, soal kecelakaan itu? Kalau lo bilang kan gue bisa tau lebih cepet.”

Kak Tian menghembuskan nafasnya pelan sebelum menjawab, “Awalnya gue mau ngasih tau lo, tapi gue pikir-pikir lagi, kayaknya terlalu lancang kalau gue sampe ikut campur masalah Mikaelo. Gue kan bukan siapa-siapanya.”

Jawabannya membuat gue teringat tentang senyuman aneh Kak Tian saat gue bilang alasan kepulangan Mikaelo. Ternyata alasan di balik senyuman itu adalah karena Kak Tian mengetahui alasan Mikaelo sebenernya. Hanya saja, dia tidak bisa memberi tahu gue kebenarannya.

“Iya juga ya, Kak. Yaudah lah sekarang semuanya udah kebongkar.” putus gue akhirnya.

“Terus keputusan lo buat adik-adiknya Mikaelo gimana, Sae?” tanya Kak Tian lagi.

“Belum tau, gue sayang banget sama adik-adiknya Kael. Tapi kalau gue keep in contact sama mereka, gue takut gak bisa move on dari Mikaelo, karena to be honest gue sesayang itu sama dia, Kak.”

“Yaudah lo pikirin dulu aja mana yang baik buat lo, kalau butuh apa-apa cerita sama gue aja.”

Hanya anggukan yang bisa gue berikan pada Kak Tian, tapi gue gak berhenti mengucapkan terimakasih untuknya dari dalam hati gue.