petrichorslines

Sembilan orang laki-laki duduk bersebelahan di sofa abu-abu tua yang berbentuk setengah lingkaran. Belum ada pembicaraan sama sekali di antara mereka sejak dipersilakan untuk masuk ke ruangan. Mulut mereka terkunci rapat, masih enggan untuk saling menyapa.

Masih dalam keheningan, tiba-tiba mereka mendengar suara pintu utama terbuka. Masuklah sembilan orang perempuan dengan wajah yang semuanya berseri-seri. Para gadis itu menunduk malu-malu dan menyapa. Kemudian ikut duduk di ruang kosong sofa abu-abu tua.

Sama, para gadis itu melakukan hal yang sama dengan para laki-laki yang sudah lebih dulu tiba dibanding mereka. Diam, enggan berkenalan.

Hingga masuklah seorang perempuan berusia awal 30 an yang menyedot seluruh perhatian siapapun yang ada di ruangan itu.

“Selamat malam, teman-teman semua. Perkenalkan, saya Maya Hapsari, produser untuk acara ini,” mulai wanita berwibawa itu. “tadi semuanya udah ikut briefing kan ya sebelum masuk ke sini?”

Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan kompak.

“Oke good. Jadi temen-temen, sesuai dengan tema acaranya, temen-temen dipersilahkan untuk saling mengenal selama waktu yang udah kita sepakati yaitu 30 hari. Temen-temen diharuskan untuk selalu berada di lingkungan vila ini, kecuali di saat-saat tertentu ketika kita memang ada jadwal untuk keluar ya temen-temen ya. Di setiap sudut vila ini sudah dilengkapi dengan kamera, kecuali kamar mandi dan ruang ganti, staff hanya akan mengawasi dari jauh. Temen-temen juga akan selalu mengenakan microphone kecuali saat mandi dan tidur,” jelas wanita itu lagi, kali ini sambil tersenyum ramah.

“Untuk hal lainnya sih sesuai dengan briefing tadi ya, saya rasa temen-temen udah paham semua. Udah gak sabar, kan, pengen saling kenalan?”

Sekali lagi, pertanyaan yang keluar dari mulut wanita itu hanya dijawab dengan anggukan.

“Oke kalau begitu saya dan para staff untuk acara ini pamit dulu untuk ke area monitoring.”

Setelah wanita itu pergi, yang terjadi di dalam ruangan hanyalah adegan saling lirik. Suara yang terdengar di sana hanyalah deru nafas dan detik jarum jam. Hal itu berlangsung beberapa menit hingga akhirnya salah seorang dari mereka berusara.

“Nama gue Aaron Harold,” mulai laki-laki setinggi lebih dari 180cm dan rambut sedikit gondrong, “panggil aja Aaron, umur gue 27 tahun ini.”

“Gue Sandiaga Vidor, panggil aja Sandi,” sambar laki-laki berambut paling gondrong di antara yang lainnya, wajahnya keras dan tatapannya tajam. “gue juga 27 tahun.”

“Saya...”

“Gue....”

Ucap dua orang berbarengan. Keduanya terlihat sangat bertolak belakang, yang satu terlihat begitu santun dengan kemeja putih yang digulung setengah lengan sementara yang satunya mengenakan kaus berwarna hitam dengan gambar aneh di bagian dengannya.

“Kamu aja dulu,” ucap si laki-laki berkemeja.

Si laki-laki berkaus hitam mengangguk ramah. “Malam semuanya, nama gue Utara Anuraji, panggil aja Tara. Dan kebetulan umur gue juga 27 tahun ini.”

“Wah, keren banget pada seumuran,” sambar seorang laki-laki yang sepertinya tingginya tidak begitu jauh dengan Aaron. “Nama gue Adnan Gumilang, terserah mau panggil Adnan atau Gilang, dua-duanya gue suka. Atau kalau mbak yang pake dress hitam mau manggil sayang juga boleh,” tambah laki-laki itu. Membuat suasana di ruangan sedikit mencair karena ucapannya yang nyeleneh.

“Mas, maaf nih saya sela jadinya. Sekarang giliran Masnya ayo kenalan,” kata Adnan lagi merajuk pada laki-laki berkemeja putih.

Yang ditunjuk hanya tersenyum sopan kemudian menegakkan duduknya, “Saya Abhima Sakti, biasa dipanggil Bhima. Usia saya 28 tahun.”

“Wah gak keliatan umur 28 ya.” Seseorang yang duduk di paling pinggir berkomentar. “Masih imut banget,” tambahnya lagi.

“Lo juga masih keliatan bocah banget, umur berapa lo?” tanya Sandi.

“Saya baru 22 tahun, Bang.”

“Widih, masih mahasiswa ya?Nama lo siapa?”

“Saya Ata, Bang. Gentala Hastanta.”

Sandi hanya manggut-manggut mendengarnya.

Seorang laki-laki dengan lesung di kedua pipinya berdehem sebelum berkata, “Gue Elang Daniswara, panggil aja Elang,” katanya cuek, dia bahkan tidak menyebutkan usianya.

Sekarang tersisa dua orang yang duduk bersebalahan. Salah satunya mengenakan kaus putih dilapisi dengan jaket jeans. Sementara yang satu lagi mengenakan kaus berwarna abu-abu muda dan topi hitam yang dikenakan secara terbalik.

“Gue Ranu Saban, panggil aja Ranu. Umur gue 26 tahun,” si laki-laki berjaket jeans memperkenalkan diri.

“Gue Kaylo Salim, panggil aja Kaylo. Gue setahun lebih tua dari Ata, 23 tahun.”

“Okeee, sekarang udah selesai ya para bujangnya. Gantian dong, Mbak-Mbak manis yang perkenalan. Terutama mbak yang pake dress hitam.”

Merasa dirinya sudah disebut dua kali, si gadis bergaun hitam tersenyum manis. “Saya Kayla, Kayla Rajatmana. Saya seumuran sama Adnan, Aaron dan Sandi.”

“Loh, tapi namanya mirip Kaylo ya. Kayla, Kaylo. Jangan-jangan kakak-adik nih,” goda Adnan.

“Hah? Nggak kok, saya anak tunggal. Eh ayo, yang lain kenalan juga,” sanggah Kayla langsung memberi waktu pada teman-teman yang lain untuk berkenalan.

“Halo, selamat malam semuanya. Perkenalkan, saya Anindita, panggil Nindi aja. Umur saya baru 20 tahun ini.” Seorang gadis cantik dengan setelan warna kalem memperkenalkan diri. Dilanjutkan gadis di sebelahnya yang memiliki tubuh berisi. “Saya Dyah Gayatri, panggil saja Dyah. Saya usianya 24 tahun.” ucapnya dengan logat jawa yang kental.

“Kalau gue, nama gue Yolanda Adiguna.” Singkat dan padat kata gadis yang sedang memeuluk ransel hitamnya.

Setelah itu satu persatu gadis memperkenalkan diri.

Gadis cantik berambut sebahu dengan pakaian santai memperkenalkan dirinya sebagai Keshia Larasati, seusia dengan Mikaylo.

Gadis cantik lainnya, yang tampak menonjol dengan aksesoris dan tas mewah memperkenalkan dirinya sebagai Angelica Hartono, gadis itu seusia dengan Adnan, 24 tahun.

Perkenalan terus berlanjut pada gadis yang terlihat begitu berbeda dengan Angelica. Riasan wajahnya sederhana, rambutnya juga ditata seadanya. Perempuan itu menunduk saat memperkenalkan diri. Namanya Joana Sarah Ameera. Menurut keterangannya, dia seusia dengan Bhima.

Tiga orang terakhir memperkenalkan diri sebagai,

Erica Klea Danuarta, berusia 22 tahun. Gadis periang yang mengenakan baju berwarna pink muda.

Zahra Ayla Rasyid, berusia 23 tahun. Gadis itu tampak percaya diri dengan pakaian serba hitamnya.

Lalu yang terakhir Iyona Febilia, usianya 26 tahun.

Setelah acara perkenalan panjang itu, mereka berbincang-bincang lama. Berusaha saling mengenal. Ada beberapa juga yang langsung saling menggoda. Mereka mempersiapkan diri untuk 30 hari yang dimulai sejak hari ini. Dimana mereka mungkin akan keluar dari vila ini dengan menggandeng tangan orang terkasih atau bisa juga keluar seorang diri karena tidak berhasil bertemu tambatan hati.

Semuanya akan terangkum pada kamera-kamera yang merekam dari setiap sudut. Lalu setelah disunting, rekaman itu akan ditayangkan pada kanal youtube milik sebuah rumah produksi dengan judul “Cath Me if You Can”.

Jika beberapa hari lalu Raechan melihat Jevan terkulai lemas di atas ranjang studio karena dipukuli, hari ini laki-laki yang gemar mengenakan kaus berwarna hitam itu harus melihat sahabatnya terkapar lemas di atas ranjang berukuran besar yang terletak di rumahnya yang lebih mirip istana. Luka-luka akibat pengeroyokan yang dialami Jevan sudah mulai sembuh. Namun ada luka lain yang baru saja tercipta tadi malam. Luka yang jauh lebih menyakitkan, karena hingga hari ini pun belum ada satupun dokter yang mampu menemukan obat untuk meredakan sakitnya.

Wajah Jevan muram, aura ketampanannya sedikit luntur. Tapi meskipun begitu, Raechan tetap mentertawainya. Membuat Jevan bersungut-sungut kesal.

“Lo sayang banget ya Jev sama Elen?”

“Ya lo pikir aja sendiri,” jawab Jevan ketus. Kalau boleh, dia ingin sekali mengusir Raechan dari kamarnya dan tidur saja seharian dengan bantuan obat tidur. Dipikirannya, itu akan terasa jauh lebih menyenangkan dari pada meladeni Raechan dan wajah tengilnya.

“Jev, katanya, level mencintai paling tinggi tuh merelakan orang yang kita sayang buat bahagia sama orang lain loh. Nah, kaya lo sekarang ini nih, artinya rasa sayang lo buat Elen udah berada di level paling tinggi, udah mentok. Harusnya lo bangga, jangan malah sedih gini.”

“Taik kucing.”

Sungguh, saat ini Jevan ingin sekali melempar Raechan dengan lampu tidur yang berada di atas nakas sebelah ranjang. Supaya kepalanya pecah, atau paling tidak bibirnya robek dan tidak bisa lagi digunakan untuk mengoceh.

“Dari buku yang gue baca juga, katanya....”

“Lo pilih diem apa gue lakban mulut lo?!” gertak Jevan geram.

“O...oke, gue diem.”

Raechan mengalah, dia memilih untuk menutup rapar-rapat mulutnya. Perhatiannya dia alihkan ke meja panjang yang berada di dekat jendela kamar Jevan. Di atas meja panjang itu, berderet bingkai foto yang ditata begitu apik. Mulai dari Jevan kecil hingga usianya menginjak delapan belas tahun. Raechan melihat satu-persatu foto itu dan mengagumi bagaimana wajah Jevan tidak berubah sejak dulu. Jevan kecil sudah terlihat begitu tampan meskipun dengan gigi depan yang ompong. Dan ketampanannya semakin bertambah saat sahabatnya itu sudah mulai tahu cara merawat diri. Di sebelah meja panjang, terdapat rak kecil berisi buku-buku yang bungkus plastiknya belum terbuka. Buku-buku itu adalah buku-buku yang dibeli Jevan untuk Jelena. Namun sayang, buku-buku itu hanya berakhir di rak kamarnya karena Jevan terlalu malu untuk memberikannya kepada gadis yang begitu dicintainya itu.

Di atas rak buku, Raechan melihat beberapa bingkai foto yang dipajang di dinding. Itu adalah foto-foto persahabatan mereka. Ada foto Raechan, Jevan, Jaenandra dan Juan yang diambil saat kelulusan SMP mereka. Ada foto mereka berempat bersama Markio yang diambil beberapa bulan lalu di depan gedung Fakultas Kedokteran untuk merayakan diterimanya Markio di fakultas itu. Ada juga foto Klarisa dan Jelena yang saling merangkul di pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Ada foto mereka semua tersenyum manis di depan perkebunan teh yang diambil oleh Garend di perkebunan teh milik ayah Klarisa.

Namun ada satu foto yang paling menarik perhatian Raechan. Foto yang hanya dipasang seadanya, tanpa bingkai, hanya diberi selotip di setiap ujungnya. Seolah foto itu sengaja dibiarkan seperti itu agar bisa dilepas kapan saja dari dinding.

Foto Jevan dan Jelena, yang juga diambil saat pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Jevan tampak mencium pipi kanan Jelena yang sedang tersenyum riang menatap kamera. Tangan mereka saling rangkul, lengan Jevan berada di bahu Jelena dan lengan Jelena berada di pinggang Jevan.

Sungguh manis.

Namun terasa menyakitkan jika dilihat saat ini.

Karena Jevan dan Jelena tidak akan bisa seperti itu lagi. Mengingat malam tadi, Markio telah meresmikan dirinya sebagai kekasih Jelena.

“Copot aja Rae fotonya.”

Raechan tersentak kaget karena suara itu. Baru disadarinya saat ini Juan telah berada di kamar Jevan dengan kedua tangan yang penuh membawa berbagai makanan dan minuman.

“Buat apa juga dipasang, cuma bikin sakit hati.” tambah Juan lagi. “Iya kan, Jep?”

Jevan hanya mengangguk lemah mengiyakan. Dia kembali menenggelamkan dirinya pada kasur namun dengan gerakan cepat Juan menarik tubuhnya untuk duduk.

“Duduk, makan, lo pasti belum makan kan dari tadi malem?”

“Gue gak napsu...”

“MAKAN!” titah Juan menolak bantahan, “lo begini juga gak akan bikin Elen balik ke lo, Jep. Lo mau nahan laper sampe busung lapar juga gak akan bikin Kak Kiyo ngelepas Elen buat balik sama lo lagi.”

Jevan melirik Raechan dengan wajah memelas, memohon pertolongan. Namun Raechan pura-pura tidak menyadarinya karena tidak ingin terlibat dalam masalah besar. Ketika Juan sudah memulai pidatonya, maka mereka sudah seharusnya mendengarkan. Menginterupsi pidato Juan hanya akan membawa mereka pada masalah baru.

“Lagian bego banget jadi orang, udah tau sayang sama Elen, cinta sama Elen, malah masih aja deketin cewek sana-sini. Lo pikir karena Elen sebaik itu dan gak nuntut hubungan resmi sama lo, itu artinya dia terima-terima aja lo gantungin? Ya enggak, lah!”

Wajah Jevan semakin memelas.

Raechan pura-pura sibuk dengan majalah yang dia ambil dari laci.

“Makanya lo harus makan, jangan jadi lebih tolol lagi.”

Juan sibuk membuka beberapa bungkus roti dan cemilan, dia juga mengulurkan sekotas susu cokelat pada Jevan. Mau tidak mau, untuk meredakan omelan Jevan, dia mengambil sepotong roti untuk teman susu cokelat dingin yang baru dia terima.

“Gue kan lagi sedih ya, harusnya dihibur. Tapi kalian malah begini, yang satu ngetawain, yang satu marahin.”

“Emang kehadiran kita gak cukup menghibur lo, Jev?” tanya Raechan polos.

“Iya, iya, nenghibur kok,” jawab Jevan pasrah pada akhirnya.

Jevan kemudian diam dan sibuk memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Sekuat tenaga dia memaksa potongan roti itu masuk melewati tenggorokan setelah mengunyahnya dengan susah payah. Sama sekali tidak ada selera untuk makan ataupun minum. Pikiran Jevan masih kacau, terpecah memikirkan persahabatannya yang harus dia pertahankan dan kisah percintannya yang telah terlanjur kandas.

Dia takut, kalau-kalau masalah ini akan berpengaruh kepada persahabatannya dengan Jelena dan Markio. Karena bagaimanapun dia juga tidak bisa langsung bersikap biasa saja di depan kedua orang itu. Dan mungkin saja mereka juga begitu. Meskipun Jevan juga sadar betul bahwa kepergian Jelena dari sisinya memang benar-benar kesalahannya sendiri. Tepat seperti yang Juan katakan.

Dia mencintai Jelena, tapi berhenti pada satu wanita bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Jiwa mudanya masih ingin berkelana, mencicipi manisnya gadis-gadis cantik.

Brengsek memang, Jevan juga mengakui dirinya sebrengsek itu.

Mata Raechan menatap lurus ke arah tubuh Jevan yang dipenuhi luka. Mulai dari bahu, dada hingga area perut, semuanya tertutup luka gores dan lebam yang entah dihasilkan oleh berapa pasang tangan dengan kepal tinju. Saat Jelena memiringkan tubuh Jevan yang tengah tertidur tanpa pakaian menutupi bagian atas tubuhnya, Raechan bisa melihat area punggung Jevan terluka lebih parah. Luka-luka itu bukan lagi dihasilkan oleh pukulan, tapi juga karena cambukan. Raechan meringis ngeri, ikut merasakan sakit yang diderita Jevan.

Tangan Raechan terkepal kuat, menahan amarah yang sudah hampir meledak. Dia sama sekali belum bersuara sejak tadi.

“Lo tau siapa yang mukulin Jevan, El?” tanya Jaenandra pelan.

“Kata Jevan, yang mukulin dia tadi tuh gengnya pacar Kak Erika. Kalian tau kan kalau Jevan lagi deket sama Kak Erika sekarang? Jevan taunya Kak Erika udah putus, jadi dia deketin. Tapi ternyata mereka belum putus, jadi Jevan dianggep selingkuhannya.”

“Terus kenapa Si Bego ini gak ngelawan? Percuma punya otot gede kalau cupu gini.” Jaenandra berucap lagi, kali ini sambil memandangi Jevan yang masih terpejam.

“Jevan didatengin subuh tadi, dan semalem dia minum-minum disini sendirian karena abis dimarahin papanya. Jadi dia....”

“Anjing.”

Makian itu datang dari Raechan.

Bukan, bukan dia bermaksud memaki sahabatnya yang tengah berbaring tidak berdaya itu. Dia hanya sedang memaki kemalangan yang menimpa Jevan.

“Jaen, temenin gue ngerokok di depan.”

Raechan berjalan lebih dulu keluar dari studio sedangkan Jaenandra masih berdiri bersandar pada dinding.

“Gue keluar bentar ya, El. Tolong jaga Jevan dulu, kata Raechan dokter yang bakal meriksa keadaan Jevan lagi di jalan mau ke sini.”

Jelena hanya mengangguk sekenanya. Perhatiannya kembali jatuh pada Jevan. Sedangkan Jaenandra melangkah keluar dan mendapati Raechan sedang bersandar di kap mobil. “Bagi dong, gue sampe lupa bawa rokok tadi.”

Raechan tidak menjawab, dia hanya mengeluarkan kotak rokok dari saku belakang celana jeans yang dia pakai.

“Gue gak mau bawa kasus ini ke polisi, ribet. Paling juga ujung-ujungnya duit. Duel sama mereka berani, Jaen? Kita selesaiin sendiri.” Raechan berucap mantap di sela-sela pertemuan antara rokok dan bibirnya.

“Berdua? Lo sama gue? Lawan geng yang gebukin Jevan tadi?” tanya Jaenandra memastikan.

“Iya.”

“Berani lah. Orang yang beraninya nyerang orang mabuk dan keroyokan gitu tuh pasti aslinya cupu.” Bibir Jaenandra menyunggingkan senyum meremehkan. “Tapi pasti nanti orang tua kita bakal dipanggil ke sekolah. Yang lebih parah dari itu, uang jajan kita pasti dipotong. Kasus ini gak mungkin gak nyampe ke kuping guru BK, Rae.”

“Nanti kita minta tolong Kak Kiyo sama Kak Garend aja yang dateng buat wakilin. Kalau soal uang jajan, lo gak usah khawatir, gue ada tabungan dari hasil kerja di kantor Bokap. Gue makan lo makan, gue ngerokok lo ngerokok, gue minum lo minum.” Raechan merangkul bahu Jaenandra dan menepuk-nepuknya pelan.

Mata mereka berdua menatap nyalang ke depan. Asap rokok masih terus terhembus seiring hisapan dari keduanya yang juga terus berlangsung. Mereka berdua sudah yakin akan keputusan yang mereka ambil. Tanpa takut akan apapun, tanpa memperdulikan apapun selain membayar kembali apa yang sudah diderita sahabat mereka. Namun tiba-tiba....

“Juan gimana, Rae? Gue lebih takut sama dia dari pada sama orang tua gue sendiri. Dia pasti bakal ngomel kalau tau kita berantem lagi.”

“Dipikir nanti aja deh ya. Lebih baik minta maaf dari pada minta izin.”

Bermodalkan semangat berapi-api, kedua remaja yang dipenuhi amarah itu masuk ke mobil Jaenandra. Raechan mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan pada salah satu kontak di ponselnya. “Halo, Bang. Lo tau gak basecamp gengnya pacar Kak Erika dimana?”

“Tau, kenapa Rae?” jawab seseorang di seberang sana.

“Dimana, Bang? Gue ada urusan sedikit sama mereka.”

“Di deket sekolah ada gang kecil, lo masuk ke sana aja lurus terus. Ketemu perempatan pertama, lo belok kanan. Lurus aja sampek ketemu gereja tua yang udah gak dipake, nah tongkrongan mereka di pojok gereja tua itu. Di depannya ada pohon mangga besar.”

“Oke, makasih Bang.”

Dengan sekali gerakan, Raechan mematikan sambungan telepon dan memberi kode pada Jaenandra yang memegang kemudi kemana mereka harus pergi. Mobil Jaenandra membelah jalanan dengan kecepatan penuh, tidak memperdulikan suara klakson dari mobil-mobil lain yang dia dahului. Hingga akhirnya, dalam waktu kurang dari tiga puluh menit mereka telah tiba di tempat tujuan. Sepertinya benar ini tempatnya, karena mereka berdua bisa melihat beberapa motor yang diparkir secara sembarangan. Suara tawa dari dalam rumah juga terdengar sampai ke tempat Raechan dan Jaenandra berdiri.

“Jangan sampe luka parah ya, Jaen.”

“Lo juga, Rae.”

Itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum meringsak masuk ke dalam rumah dan berhadap-hadapan dengan delapan orang yang langsung terkejut melihat kedatangan mereka berdua. Salah seorang dari anggota geng itu berjalan maju, menanyakan ada kepentingan apa mereka apa kesini.

Raechan tersenyum kecut dan meludah ke lantai. “Gak usah sok gak tau deh. Lo pasti tau kita temennya Jevan.”

“Ahh.... jadi kalian temennya anak bau kencur itu?” Laki-laki yang berusi satu tahun lebih tua dari mereka itu berjalan mendekat. “Mau ngapain kesini? Balas dendam?”

Pertanyaan itu diiringu tawa dari tujuh anggota geng yang lain.

“Udah deh, mending kalian pulang aja. Sebelum nasib kalian sama kayak junior gak tau diri yang berani deketin pacar gue itu.”

Si laki-laki pentolan mendorong bahu Raechan pelan sebelum kemudian membalikkan badan dan berjalan angkuh ke arah teman-temannya lagi. Namun langkahnya mendadak terhenti saat Raechan tertawa keras sekali. “Bener kata lo Jaen, mereka cuma orang-orang cupu yang beraninya ngeroyok orang mabuk doang.”

“Apa kata lo? Cup—–”

Bugh

Raechan melayangkan tinjunya tepat saat si Pentolan Geng berbalik muka. Satu tinju dari Raechan sudah cukup untuk membuatnya tersungkur ke lantai dengan sudut bibir robek.

“Soni!” Ketujuh teman si Pentolan Geng berjalan cepat dan membantu laki-laki itu berdiri. Mereka menatap Raechan dan Jaenandra dengan tatapan marah.

“Kalau gak mau dikatain cupu, sini coba lawan kita.”

Setelah itu, perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Dua lawan delapan. Empat orang menyerbu Raechan dan empat orang lain menyerbu Jaenandra di sudut ruangan. Mereka saling pukul semampu mereka, mencari celah untuk saling melumpuhkan. Suara benda patah dan pecah mengiringi suara pukulan dan makian yang memenuhi rumah.

Beberapa orang dari geng Si Pentolan sudah tersungkur ke lantai dan tidak lagi mampu bangkit setelah beberapa menit terlewat. Luka lebam dan darah menghiasi wajah dan tubuh mereka. Mereka merintih kesakitan sambil memegangi anggota tubuh yang terluka paling parah. Ada yang memegangi hidungnya, kaki kanannya dan juga perutnya.

Bugh

Pukulan terakhir dari Raechan membuat si Pentolan Geng tersungkur di bawah kakinya. Dengan marah, kaki Raechan menginjak dada seniornya itu. “Jangan lagi lo berani ganggu sahabat gue.”

“Temen lo yang rebut cewek gue, aarrghh sakit....” lirih si Pentolan Geng kesakitan.

“Cewek lo yang bilang ke Jevan kalau kalian udah putus, cari tau dulu yang sebenernya sebelum pukul orang.”

“Aaaargghhh....” teriakan si Pentolan Geng semakin keras saat injakan Raechan juga semakin meremukkan tulang-tulangnya.

“Rae, udah Rae. Ini udah setimpal sama apa yang Jevan dapet. Dia bisa mati kalau lo lanjutin.” Jaenandra memperingatkan, menarik tubuh Raechan menjauh dari Pentolan Geng yang langsung berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah kaki Raechan terangkat dari dadanya.

“Lo semua... Sampe sekali lagi gue tau kalian cari gara-gara sama Jevan atau sahabat gue yang lain, abis lo sama gue.” Raechan menatap satu-persatu seniornya yang saat ini menatapnya dengan takut-takut sebelum pergi meninggalkan rumah sialan itu dan kembali ke studio Jevan.


“LO BERDUA TUH SOLIDARITASNYA EMANG TINGGI BANGET. TAPI KADAR KETOLOLANNYA JAUH LEBIH TINGGI!”

Bibir Raechan dan Jaenandra terkatup rapat di hadapan Juan. Rancauan penuh emosi yang disampaikan dengan nada tinggi masih terus keluar secara membabi buta dari mulut laki-laki setinggi lebih dari 170cm itu. Di belakangnya berdiri Markio dan Garend yang juga menatap kedua terdakwa dengan wajah jengah.

“Nanti lo pada pulang ke rumah mau ngomong apa sama Om dan Tante, hah? Jatuh di kamar mandi? Kepleset di tangga sekolah?! Udah gak bakal percaya mereka juga.” sambung Juan belum selesai, “orang tua lo berdua tuh udah pantes menyandang gelar sebagai orang tua paling sabar sedunia tau gak? Baru juga tahun lalu lo berdua legal, udah adaaaa aja kelakuannya perasaan.”

“Wan...”

“DIEM!” Juan menghentak keras tidak ingin diinterupsi, “kalau sampe gengnya pacar Kak Erika tadi mati, lo berdua bakal masuk penjara! Mikir sampe sana gak sih? Lo gak kasian apa nanti orang tua lo berdua harus ngunjungin anaknya ke LAPAS?”

“Tapi kan mereka gak mati, Wan.” lirih Raechan membela diri.

“HAMPIR, RAECHAN! MEREKA UDAH HAMPIR MATI!”

Juan mengacak-acak rambutnya frustasi. Matanya masih menyala marah menatap dua orang sahabatnya yang menunduk sambil memainkan jari-jari tangan.

“Sekarang lo berdua ikut gue ke rumah sakit. Biar luka lo berdua diobatin. Sekalian rontgen deh siapa tau ada tulang yang patah...”

“Kan ini ada dua dokter di depan kita, Wan. Gak usah ke rumah sakit deh ya.” Jaenandra menyela lemah.

“GAK! TETEP HARUS KE RUMAH SAKIT! Yang satu masih mahasiswa tahun pertama, yang satu lagi cuma dokter koas yang kurang tidur. Gue gak percaya sama mereka. Buruan ikut gue!” Dengan ketus, Juan menarik lengan Raechan dan Jaenandra bersamaan. Mereka berdua berjalan pasrah di belakang Juan.

Sementara itu, Markio dan Garend saling pandang.

“Tadi... Si Wawan, ngatain gue gak sih? Perasaan di rumah sakit gue dihormatin karena dianggap dokter koas paling pinter deh. Kok di sini gue jadi dilepeh gini.”

“Kita semua gak ada harganya di mata Wawan, Kak. Sabar, ya!”

Enam pasang mata orang dewasa menatap takjub ke arah bayi kecil yang sedang menggeliat pelan di balik selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Wajah bayi itu begitu mungil, dengan sepasang mata cantik yang terpejam erat. Hidungnya sudah terlihat tinggi untuk ukuran seorang bayi yang baru terlahir siang tadi. Rambutnya lebat dan hitam pekat. Bibirnya kecil dan berwarna kemerah-merahan. Enam pasang mata itu masih mengikuti gerak-gerak si bayi yang bahkan belum sadar betul betapa menggemaskan dirinya.

“Ini.... beneran hasil bikinannya Raechan?” pertanyaan asal Jevan dihadiahi toyoran pelan dari pria yang berdiri di sebelahnya—Juan. Laki-laki berperewakan paling kecil di antara yang lainnya itu mengulurkan tangan untuk menyentuh kulit si bayi, “Lembut banget, gemes.” gumamnya pelan.

Sementara dua orang laki-laki lain masih menatap si bayi tanpa bersuara. Bibir mereka berdua bergetar. Genangan air menumpuk di sudut mata mereka yang memerah. Perasaan bahagia, takjub dan haru membuat mereka tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Malaikat kecil yang mereka tunggu selama sembilan lamanya telah lahir ke dunia. Si janin kecil yang dulu hanya mereka ajak bicara lewat perut Kayana telah hadir ke dunia dengan wujudnya yang begitu menggemaskan. Si janin yang dulu membuat mereka memperdebatkan nama untuknya selama semalaman suntuk.

Si janin yang akan menyandang nama Sergio Arkiano Leenandar.

Nama yang mereka sepakati untuk diberikan kepada anak Raechan dan Kayana.

“Kak, aku pengen banget gendong Gio. Boleh gak, Kak?”

Satu anggukan dari Kayana membuat Jelena menggelinjang senang. Dia memastikan kedua tangannya bersih terlebih dulu sebelum dengan perlahan mengangkat tubuh kecil Sergio dari ranjang bayinya.

“Halo, Gio. Ini Tante Elen.” Jelena menimang-nimang Sergio dalam pelukannya dan yang lainnya langsung saja mengelilingi Jelena.

Seberapapun mereka merasa gemas, tidak ada di antara mereka yang mencium kedua pipi Sergio dengan asal. Bukan karena Kayana melarang, tapi mereka paham betul bahwa bayi seusia Sergio yang bahkan belum genap satu hari masih memiliki imun yang lemah. Mereka tidak ingin terjadi apa-apa pada si kecil Sergio karena melakukan tindakan sembarangan tanpa lebih dulu memastikan bahwa diri mereka aman dari kuman dan bakteri. Terlebih Jevan dan Jaenandra yang menyadari bahwa mereka berdua adalah perokok berat.

“Nanti Gio kalau udah besar ikut Om Jaenan main basket ya Gio ya?”

“Enak aja, dia mau gue masukin les renang aja biar tinggi.” Juan berucap mantap.

“Gak ada! Gio tuh harus les gitar, drum atau piano dulu! Lo pada gak tau apa kalau anak band tuh ada di urutan paling atas cowok keren yang banyak ditaksir cewek?”

Guys yang bener tuh Sergio harus belajar IPA dan ikut olimpiade. Supaya jadi dokter.”

“Lo pada ngapain sih sebenernya? Bapaknya juga bukan... Eh btw Raechan kemana, ya?” Klarisa menatap ke sekeliling ruangan dan diikuti tatapan yang lainnya.

Mereka sedikit merasa bersalah karena sejak masuk ke ruangan tadi, fokus mereka hanya pada keadaan Kayana paska melahirkan serta pada si bayi kecil. Mereka sampai tidak menyadari bahwa sejak tadi Raechan tidak ada di antara mereka.

“Gue di sini.”

Suara itu berasal dari pintu kamar mandi yang terbuka. Raechan muncul dari sana, dengan mata dan hidung yang memerah. Di tangan kanannya terdapat satu kotak tisu dan di tangan kirinya terdapat sehelai baju bayi.

“Rae, lo....”

“Gue jadi Papa.” Raechan berbisik lirih, air mata kembali menuruni kedua pipinya dengan begitu deras. Raechan terduduk di lantai, bersandar pada dinding, dan kembali sibuk dengan tisu-tisunya, “Anak gue sehat, gue jadi Papa.”

“Dia udah kayak gitu dari Gio lahir tadi.” dari ranjang rumah sakit tempatnya berbaring, Kayana berucap lirih sambil memandangi suaminya, “Papa, Mama, Ayah sama Ibu sampe capek liatnya.”

Belum habis rasa geli sahabat-sahabat Raechan, seorang suster mengetuk lalu membuka pintu ruangan Kayana, “Permisi....”

“Saya mau mengantarkan makan malam untuk Ibu Kayana.”

“Oh iya-iya, Sus. Silahkan...” Raechan langsung berdiri mempersilahkan meskipun mata dan hidungnya masih berair, “Keadaan istri saya gak dicek, Sus?”

“Besok pagi akan dicek, Pak. Tapi sejauh ini keadaan Ibu Kayana baik, Pak Raechan tidak perlu khwatir.” Suster itu tersenyum ramah sambil mendekati Kayana setelah meletakkan nampan berisi makanan di meja, “Atau mungkin Ibu Kayana ada keluhan?”

“Gak ada, Sus. Saya baik-baik aja, cuma belum terbiasa aja kalau Gio menyusu, sedikit sakit.”

“Gio gak kayak aku ya, Sayang? Kalau aku mah gak sakit, ya?”

Kini, delapan pasang mata menatap ke arah Raechan. Kebingungan. Speechless.

“Saya permisi, ya.” Suster cantik itu tersenyum kaku, lalu melangkah keluar ruangan.

PLAK

Sebuah pukulan kencang mendarat di leher belakang Raechan dengan keras, “Lo tuh ya!” hardik Klarisa gemas.

“Apa lo?”

“Bisa gak sih....”

“Mas, aku mau makan.”

“Oh iya, Sayang. Aku suapin.” Raechan buru-buru duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang dan membantu Kayana untuk duduk, dia juga memposisikan ranjang Kayana agar nyaman untuk bersandar, “Sakit gak bekas jahitannya?”

“Enggak, Mas.”

Raechan tersenyum, tangannya mengelus lembut sisi wajah Kayana, “Yaudah kita makan, ya. Biar Gio diurusin Om sama Tantenya dulu tuh.”

Kayana mengangguk menatap anaknya yang kini berpindah ke pangkuan Markio yang duduk di sofa dekat jendela.

“Gio boleh diajak pergi-pergi umur berapa, Kak?”

“Katanya sih umur 1 bulan udah boleh, Jev. Asal berat Gio udah sampai 4kg. Bener gak, Yo?”

“Bener, tapi paling amannya nanti kalau udah umur antara 3-6 bulan. Soalnya di usia segitu sistem imunnya udah bagus. Biar Gionya gak sakit, ya, Sayang, ya?”

“Oke kalau gitu berarti selama 3 bulan pertama lo harus siap rumah lo rame terus ya, Raechan? Solanya gue tiap hari bakal ke rumah lo.”

“Gue juga!” sahut Klarisa semangat.

“Gue juga!” tambah Juan.

Raechan dan Kayana saling berpandangan dengan senyuman di wajah mereka masing-masing. Merasa bersyukur karena anak mereka disambut dengan penuh cinta oleh semua orang. Kebahagiaan mereka terasa lengkap, bahkan berlebih.

Raechan sengaja datang tiga puluh menit lebih awal dari perjanjian. Dia ingin meresap seluruh kenangan di studio Jevan untuk dirinya sendiri. Bukan berarti setelah menikah dia tidak akan datang kesini lagi, hanya saja dia sadar betul bahwa mulai minggu depan statusnya akan berubah. Menjadi seorang suami, tentu, segala sikap dan tindak-tanduknya tidak boleh seperti dulu. Dalam artian, sikap buruknya sebagai bujangan harus coba dia rubah, perlahan-lahan.

Raechan masuk ke ruangan band, dia duduk di kursi yang berhadapan dengan drum. Tangannya mengambil stick dan bermain asal, disini, dulu, hampir setiap malam mereka menghabiskan waktu paling tidak sekitar 15 menit, 4 sampai 5 lagu. Lalu dia keluar lagi, duduk di sofa hitam yang tidak pernah diganti sejak dulu. Sudah ada beberapa sisi sofa yang sobek, namun mereka enggan menggantinya. Tatapan Raechan jatuh pada kulkas kecil di sudut ruangan. Kulkas itu tidak pernah kosong, selalu ada yang bergantian mengisinya karena Jevan sering sekali bilang, “Udah dikasih tempat ngumpul tau diri lah ya.” Dari kulkas kecil itu, Raechan menyeret tatapannya ke arah ranjang kecil yang penuh dengan bantal. Biasanya, mereka selalu berebut untuk tidur di sana. Meskipun pada akhirnya sering kali Markio yang menang, karena mereka sering mengasihani dan membiarkan laki-laki untuk tidur di sana karena dia sering bergadang demi gelar dokternya.

Raechan tersenyum kecil saat menatap TV yang saat ini mati, di bawah TV itu terdapat rak kecil dimana mereka menyimpan berbagai permainan. Uno Stacko, Uno Card, ular tangga, congklak dan monopoli. Tatapan Raechan terarah ke hal lainnya lagi, sebuah rak kecil tempat mereka menyimpan buku-buku. Di atas rak itu tersimpan banyak sekali aksesoris-aksesoris lucu yang kebanyakan dibeli Jaenandra dan Jevan ketika mereka berlibur ke luar negeri.

Sudah cukup, Raechan sudah menyimpan semuanya dalam memori otaknya. Dia tersenyum puas bersamaan dengan suara ramai yang mulai terdengar,

“Awas aja Raechan gak bawa banyak, ya!” Suara Jevan terdengar paling pertama, lalu disusul suara yang lainnya,

“Kayak kuat minum banyak aja lo!” Kalau sudah berisi makian, maka jelas siapa yang berbicara.

“Eh, Mas Bro, udah dateng duluan rupanya.” Jaenandra menyapa Raechan dengan semangat seolah dia tidak melihat mobil Raechan terpakir di halaman studio.

“Mau langsung?” Raechan mengeluarkan dua botol berisi cairan bening dari tasnya, yang langsung disambut gembira oleh semua laki-laki yang ada disana. Sementara Jelena dan Klarisa hanya saling padang melihat sikap sahabat-sahabatnya itu.

Raechan menuangkan cairan bening itu ke lima gelas yang berbeda kemudian menyilakan sahabat-sahabatnya untuk minum.

“Persiapan pernikahan udah beres semua, Rae?”

“Udah, tinggal nunggu hari H aja.”

“Gimana perasaan lo sekarang?”

“Ya kayak yang gue bilang tadi, gue seneng, tapi ada sebagian diri yang ngerasa sedih. Ya namanya juga mau ngelepas status dari bujangan jadi suami, wajar kali ya galau-galau dikit? Hahaha.”

Markio tertawa pelan atas jawaban Raechan yang mengambang, “Wajar banget lah, tapi satu hal yang perlu lo tau, Rae. Pertemanan kita gak akan pernah berubah.”

“Iya, Kak. Waktu bahas hal ini sama Kayana, dia juga bilang kalau dia gak akan pernah nyuruh gue ngejauh dari kalian. Dia paham kalau gue lebih dulu ketemu kalian sebelum ketemu dia.”

“Emang ya, cewek kayak Kak Kayana yang paling cocok buat dampingin cowok modelan kayak lo, Rae. Kak Kayana tuh gak gegabah, dewasa, komunikasinya bagus, hampir setahun kalian pacaran, cuma sekali doang kalian ribut. Itu juga malemnya baikan lagi setelah kalian ngobrol.” Jaenandra berbicara panjang, mengenang kejadian Raechan bertengkar dengan Kayana karena masalah pekerjaan sampingan Raechan kala itu.

“Dimana ya gue bisa nemuin cewek kayak gitu... Sebenernya pengen tobat juga gue tuh, cuma belum ada aja yang bisa nuntun ke jalan yang benar. Haaah andai....”

BUGH

Sebuah bantal sofa melayang begitu saja tepat ke wajah Jevan dan menghantam wajah laki-laki tampan itu dengan begitu kerasnya.

“Gak usah sok mau tobat deh. Lo gak pantes ngomong gitu.”

Coba tebak siapa yang berbicara sekejam itu?

Benar.

Alexander Parajuan.

“Ya elah, Wan, gak dukung amat. Gue juga capek kali tidur sana-sini sama cew—–”

PLAK

Kali ini pukulan keras menghantam leher bagian belakang Jevan. Jelena pelakunya.

“Capek apaan, mobil lo tuh isinya daleman cewek semua! Lo bisa gak sih, Jev, gak main di mobil? Cari hotel kek minimal!” cerca Jelena marah, di antara semuanya wanita itu memang yang paling jengah dengan kelakuan Jevan. Karena diam-diam, ayah Jevan menitipkan anaknya itu kepada Jelena. Dan Jelena juga yang paling tahu sebajingan apa kelakuan Jevan terhadap perempuan-perempuan yang ditidurinya.

“Jangan salahin gue lah! Gue udah mau cari hotel, ya! Tapi baru masuk mobil aja tuh cewek-cewek udah raba-raba gue! Bibir gue udah dicium duluan! Gimana gue mau nyetir coba?! Yaudah gue pake aja di mobil! Lumayan juga gak usah ngeluarin duit buat booking hotel!” Jevan berusaha membela diri, tapi yang didapatnya justru tatapan tajam dari Jelena dan Klarisa.

“Lo...”

“Yaudah sih, El, yang penting kan gue udah nepatin janji gue untuk gak ngotorin studio ini. Lo harus tau sengeyel apa tuh cewek-cewek minta diajak masuk ke sini, tapi gak pernah gue ijinin!”

Untuk yang satu ini, Raechan mengapresiasi sikap Jevan. Bukan, bukan dia menyetujui sikap Jevan yang tidur dengan banyak wanita. Tapi sikap Jevan yang memegang teguh janjinya untuk tidak membawa perempuan manapun masuk ke studio ini. Meskipun seperti yang sudah Jevan katakan bahwa banyak yang ingin dibawa masuk ke sini.

Dulu, saat studio ini mulai mereka gunakan untuk nongkrong, mereka pernah membuat janji satu sama lain untuk tidak membawa sembarangan orang masuk ke studio Jevan. Bukan bermaksud bersikap apatis, mereka hanya ingin menjadikan tempat ini sebagai tempat paling aman untuk mereka sendiri. Tempat yang tidak dijamah oleh orang lain, kecuali orang itu adalah seseorang yang spesial untuk salah satu dari mereka.

Seperti Kayana contohnya.

“Eh, kalau lo gimana, Rae? Udah siap buat malem pertama?” Jevan menyikut-nyikut lengan Raechan dengan jahil, “Lo kan walaupun playboy-playboy gitu tapi gak pernah tidur sama cewek. Bisa gak lo nanti malem pertama?”

“Ya bisa lah!”

“Yang bener? Mau gue ajarin dulu gak?”

“Gak usah lah, apaansih...”

“Muka Raechan merah banget??!!” Klarisa memekik senang mendapati wajah Raechan yang memerah menahan malu, “Heh jiwa playboy lo udah beneran ilang ya, Rae? Masa begini aja salting udahan?!”

Sahabat Raechan yang lain langsung ikut meledek Raechan, membuat wajah calon pengantin pria itu semakin merah dibuatnya. Pesta 'pamitan' malam itu berlangsung menyenangkan, membuat Raechan semakin makan melangkahkan kakinya untuk minggu depan.

Sementara di sisi lain, Kayana sedang berhadap-hadapan dengan seorang laki-laki di gerbang kampus. Laki-laki itu tersenyum seduktif namun hanya dibalas wajah muram oleh Kayana.

“Lo...”

PLAK

Tamparan keras melayang ke pipi kiri laki-laki itu, Lukio.

“Itu untuk kelakuan kurang ajar lo karena udah diem-diem ngikutin gue dan ngirim pesan kotor itu ke Raechan.”

PLAK

Tamparan keras kedua menyusul setelahnya,

“Dan itu, untuk semua kelakuan lo yang kurang ajar ke gue selama ini!”

Brak

Kayana melemparkan dua lembar kertas ke arah Lukio sementara laki-laki itu masih memegangi pipi kirinya yang memanas.

Event yang LPP pegang kali ini berhubungan sama nama baik bokap lo. Kalau lo masih gak bisa jaga sikap, jangan kira gue gak berani ngacak-ngacak event itu. Ngerti? Dan satu lagi, minggu depan gue sama Raechan bakal nikah, he does something that you will never do as a man. Jangan lagi lo kurang ajar ke cewek apalagi see them as an sexual object.”

Setelah itu, Kayana meninggalkan Lukio yang masih mematung.

Manik mata milik seorang laki-laki terpatri pada cermin panjang yang ada di hadapannya. Kedua tangannya sibuk menarik-narik sisi jas yang terlihat sedikit kusut akibat dipakai duduk terlalu lama. Lalu tangannya merayap naik, menggerayangi area dada hingga leher. Membenahi dasi yang tampak sedikit miring.

Helaan nafas gugupnya terdengar lagi, meskipun sedetik kemudian dia menarik ujung-ujung bibirnya hingga membentuk lengkung senyuman. Menatap puas dirinya yang tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna hitam. Lengkap dengan sepatu mengkilap dan rambut yang ditata dengan begitu apiknya.

“Ayo, Rae, lo pasti bisa. Berjuang buat Kayana selama satu setengah tahun aja bisa, masa ngelewatin upacara pernikahan selama beberapa jam aja grogi sih?” Tak ada orang lain yang dapat mendengar bisikannya yang sepelan hembusan angin. Karena Raechan hanya membisikkan kalimat penyemangat itu untuk dirinya sendiri.

Ketukan pada pintu merebut perhatiannya dari pantulan cermin. Dia menolehkan kepala, mendapati seseorang muncul dari balik pintu dengan senyuman lebar, “Ayo turun, sebentar lagi upacara dimulai.”

Dan di sinilah Raechan sekarang, berdiri di titik akhir wedding asile yang sudah dihias dengan begitu cantik. Dipayungi kain berwarna pastel serta juntaian bunga berwarna putih, tidak lupa dilengkapi dengan petal floor dan standing flower yang berdiri di setiap sisi kursi tamu.

Mata Raechan berpendar, menatap sekeliling ball room hotel yang saat ini akan menjadi saksi bisu puncak kisahnya dengan seorang gadis yang begitu dia cintai. Ruangan ini akan menjadi salah satu tempat yang akan dikenanangnya seumur hidup.

Lalu saat denting piano terdengar, tatapan Raechan jatuh pada seorang gadis yang menautkan jemari lentiknya di lengan seorang laki-laki. Kayana, dia berdiri di ujung sana, bersama dengan satu-satunya laki-laki yang Raechan perbolehkan menyentuh gadis cantiknya.

Gaun putih membungkus tubuh Kayana dengan sempurna. Riasan wajah yang tidak terlalu kentara juga membuat penampilannya semakin sempurna. Bahkan hari ini, Kayana terlihat jauh lebih cantik dari seikat bunga yang dia genggam dengan sebelah tangannya yang bebas.

Mata Raechan tak sanggup melepaskan sosok itu. Dipandanginya terus menerus, hingga tanpa sadar setetes air bening menetes menuruni pipinya. Setitik demi setitik. Beriringan dengan langkah kaki Kayana yang membawa dirinya semakin dekat pada Raechan.

Kayana benar, menymbunyikan gaun pernikahan dan tidak mengizinkan Raechan untuk melihat gaun indah itu hingga hari pernikahan adalah hal yang tepat. Keharuannya bertambah berkali-kali lipat.

Suasana ruangan menjadi begitu haru saat akhirnya laki-laki yang menggandeng Kayana di wedding aisle akhirnya menyelesaikan tugas. Anak kesayangannya sudah berdiri bersebelahan dengan Raechan. Gati menatap keduanya dengan mata yang berkaca-kaca. Sebelah tangannya menggenggam mic namun laki-laki itu tak kunjung bersuara.

“Ayah,” Kayana berbisik lirih pada ayahnya yang langsung mengangguk mengerti.

Gati akhirnya membawa mic itu mendekat pada bibirnya, “Maaf, saya terlalu terbawa suasana.“ Dia terkekeh pelan, meskipun air mata justru menetes membasahi jas putihnya. “Anak saya satu-satunya, Kayana, saya tidak menyangka hari seperti ini akan datang begitu cepat dalam hidupnya.”

“Usianya baru dua puluh satu tahun, dia masih begitu muda, tapi saya bangga karena dia sudah berani mengambil keputusan sebesar ini.” Gati menatap putri semata wayangnya dengan senyum yang tulus, “Ayah lega, Nak. Ayah lega bisa mengantarkan kamu untuk menjemput bahagiamu. Ayah lega, kamu bahkan bisa memilih laki-laki sebaik Raechan untuk menjadi pendampingmu. Ayah lega karena laki-laki yang akhirnya bersanding dengan kamu tidak perlu melakukan banyak hal untuk meyakinkan Ayah melepaskan kamu. Karena padanya, Ayah berani menitipkan kamu sepenuhnya.”

Lalu tatapan Gati teralih pada Raechan, “Tapi kamu jangan besar kepala ya, Rae! Ayah masih akan selalu di belakang Kayana. Kalau sampai dia tidak bahagia, Ayah jewer telinga kamu. Mohon izin ya, Mas Andar.”

“Tenang saja mas Gati, nanti saya bantu. Mas Gati telinga kanan, nanti saya yang telinga kiri!” Andar menimpali dari kursi tamu, membuat seluruh tamu undangan tertawa terbahak-bahak.

Dibalik semua tawa itu, diam-diam Raechan menggenggam tangan Kayana. Meremasnya pelan seolah meyakinkan gadisnya itu sekali lagi sebelum janji suci pernikahan mereka.

Karena selain janji suci pernikahan di depan altar itu, Raechan sudah berjanji pada dirinya sendiri.

Bahwa ia tidak akan memberikan perasaan lain selain perasaan bahagia untuk Kayana.

Dan janji itu akan dipegangnya seumur hidup.

Bukan karena takut dijewer oleh Papa dan mertuanya sendiri,

tapi karena pantang baginya membuat gadis yang amat dia cintai itu merasakan kesedihan.

Raechan melempar padangannya ke jajaran tamu yang datang, disana sahabat-sahabatnya duduk bersebelahan dalam balutan senada seragam yang telah siap sejak sebulan lalu. Dari tempatnya berdiri, Raechan bisa melihat mata Jelena dan Klarisa berkaca-kaca. Bahkan Raechan juga melihat bibir Juan bergetar menahan tangis, bibir yang biasanya Juan hanya gunakan untuk mengutuk sahabat-sahabatnya. Sementara Jaenadra, Jevan dan Markio tampak lebih tegar meskipun mereka sesekali harus mendongakkan kepala agar air mata tidak menetes di hari bahagia Kayana dan Raechan.

Raechan semakin mantap, dia membimbing Kayana untuk melangkah mendekat pada seseorang yang akan membimbing mereka mengucapkan janji suci.

Pemberkatan pernikahan itu berlangsung lancar. Isak tangis haru bisa terdengar disana-sini, juga tepuk tangan meriah menyambut dua sejoli yang telah terikat oleh ikatan suci. Raechan bergerak untuk membuka veil yang tadi menutupi wajah Kayana, ditatapnya wajah cantik itu lekat-lekat lalu dia mendekat untuk memberi kecupan tulus di kening gadis yang sekarang menyandang gelar sebagai istrinya itu.

Bahtera rumah tangga mereka dimulai hari ini.

Angin malam berhembus lembut menerpa rambut dua orang yang sedang berjalan berdampingan di sisi sungai kecil yang membentang membelah pusat kota. Malam itu tidak terlalu dingin, sehingga begitu nyaman untuk digunakan berjalan-jalan santai. Suara ramai terdengar sayup-sayup dari kejauhan, sepertinya ada anak-anak yang sedang bermain basket di lapangan terbuka yang tidak begitu jauh dari sana.

Raechan menggandeng wanita di sebelahnya dengan sayang, seperti menggandeng ibu kandungnya sendiri, “Ibu belum capek? Gak mau duduk aja?”

Raechan sudah mulai memanggil ibu Kayana dengan panggilan Ibu atas permintaan ibu Kayana sendiri, paska pertemuan keluarga beberapa waktu lalu.

“Belum kok, belum capek, Ibu suka jalan-jalan begini, Rae.”

Raechan tersenyum lembut dan mengangguk pelan.

“Waktu kecil dulu, Kayana suka banget ngajak Ibu main kesini. Setiap weekend, karena dia gak ada les.”

“Kayana dari kecil emang udah sibuk ya, Bu?”

Kali ini ibu Kayana yang tersenyum lembut, “Iya, dia minta dimasukkan ke les ini dan les itu. Jadwalnya selalu penuh, kadang-kadang Ibu sampe khawatir kalau dia kecapek-an, tapi anak itu selalu bilang kalau dia seneng ngejalaninnya.”

Raechan mendengarkan dengan seksama, mereka masih terus berjalan di atas rerumputan basah.

“Anak itu, meskipun dia selalu jadi pusat perhatian, banyak yang senang sama ibu tapi Ibu gak pernah ngerti kenapa dia gak pernah bawa temen ke rumah.” Raechan mendengar hembusan nafas lemah dari ibu Kayana, “Ibu pengen banget kaya Ibu-Ibu yang lain, nyiapin camilan dan minuman karena anaknya pulang ke rumah bawa teman. Tapi sampai dia bertemu kamu, dia gak pernah bawa siapapun ke rumah, Rae.”

“Sama sekali gak pernah, Bu?”

“Iya, gak pernah sama sekali. Kamu orang pertama yang dateng ke rumah dan bilang kalau kamu temennya Kayana.”

Perkataan ibu Kayana membuat Raechan teringat malam dimana dia menyatukan seluruh keberaniannya untuk mengetuk pintu rumah Kayana. Dia jadi mengerti kenapa senyum ayah Kayana semerekah itu saat dia memperkenalkan diri sebagai teman Kayana. Juga alasan kenapa malam itu ibu Kayana langsung berjingkat-jingkat senang menuju dapur untuk membuat makan malam.

“Ibu banyak bersyukur kamu masuk ke hidup Kayana, Rae. Kamu bawa banyak sekali kebahagiaan ke hidup Kayana, teman-teman baru, pengalaman-pengalaman baru. Ibu masih ingat gimana semangatnya dia waktu kalian mau liburan ke vilanya Jaenandra.”

“Raechan seneng kalau Kayana seneng, Bu.”

Ibu Kayana berhenti berjalan, dia menyentuh lengan Raechan yang sejak tadi menggandengnya, “Tapi kamu jangan sampai lupa cari kebahagiaan kamu sendiri, ya? Kadang-kadang, orang-orang tuh terlalu fokus ngebahagiain orang lain sampai lupa kebahagiaannya sendiri, dan ujung-ujungnya mereka lelah sendiri. Kamu harus cari kebahagiaan kamu, kamu juga bisa minta Kayana untuk ngebahagiain kamu, cinta itu tentang memberi dan menerima, Raechan.”

“Iya, Bu.”

Suara anak-anak sudah tidak lagi terdengar. Malam sudah semakin larut, sepertinya mereka sudah beranjak pulang. Namun Raechan dan ibu Kayana masih saling berpandangan dalam rasa syukur mereka masing-masing.

Di dalam hatinya, ibu Kayana mengucap syukur karena anaknya akan jatuh di tangan laki-laki yang baik seperti Raechan. Segala apa yang anaknya butuhkan telah diberikan oleh laki-laki itu. Didengarnya dari Kayana bahwa Kayana sendiripun sampai kebingungan untuk mengimbangi kebaikan dan kecerdasan Raechan untuk membahagiakan orang-orang sekitarnya.

Dan di dalam hati Raechan, dia amat bersyukur karena bisa diterima dan disayangi oleh calon mertuanya seperti ini. Kebanyakan, orang tua hanya akan mementingkan kebahagiaan anaknya. Tapi ibu Kayana justru menyuruhnya untuk tidak melupakan dirinya sendiri ketika berusaha membahagiakan Kayana.

“Ngomong-ngomong, ada apa kamu ajak Ibu keluar, Nak? Pasti ada yang kamu ingin sampaikan, kan?”

Raechan diam sebentar sebelum menjawab, “Sesuai yang Ibu bilang tadi, Kayana gak pernah punya teman dekat. Jadi Raechan rasa, sahabat Kayana itu ya cuma Ibu.”

“Raechan punya dua adik, Bu. Rasa-rasanya, walaupun nanti Mama merasa kehilangan Raechan karena menikah, rasa kehilangannya gak akan sebesar Ibu. Kayana anak Ibu satu-satunya, teman Ibu, sahabat Ibu, Raechan ngerasa bersalah karena ambil Kayana dari Ibu setelah Ayah dan Ibu didik Kayana jadi anak sehebat sekarang.”

“Nak...” Genggaman tangan ibu Kayana semakin erat, “Ibu gak kehilangan anak Ibu, justru Ibu sekarang punya dua anak. Kayana dan kamu. Atau malah empat anak? Karena Ibu juga sayang ke Dama dan Selo.”

Sungguh, jawaban itu adalah jawaban paling arif dan bijaksana yang Raechan dengar selama dia hidup. Hatinya berbunga-bunga, lega luar biasa. Dibiarkannya perasaannya itu naik dari dada hingga membuat kedua sudut bibirnya terangkat senang. Raechan sama sekali tidak menahan senyumannya, dibiarkannya ibu Kayana melihat jelas seberapa senang dia malam itu.

“Bu, makasih, makasih banyak.”

Mereka lalu kembali berjalan, masih sambil bergandengan tangan. Dan sepertinya janjinya, Raechan mengantarkan ibu Kayana pulang ke rumah, dengan selamat.

Mereka disambut Kayana dan ayahnya yang langsung keluar rumah saat mendengar Raechan membuka gerbang. Sepertinya Kayana sudah pulang sejak tadi, bisa dilihat dari keadaannya yang segar usai mandi, handuk masih melilit di kepalanya. Pakaiannya pun sudah sangat santai, pakaian rumahan, celana pendek putih dan kaus kebesaran berwarna pink pastel.

“Haduh dibawa kemana saja ini Istriku?” seloroh Gati bercanda, pria setengah baya itu langsung membawa tubuh istrinya ke sisinya, “Kamu berani-beraninya bawa kencan Istri saya ya!”

Raechan terkekeh menanggapi guyonan Gati, “Sekarang istri bapak sudah saya kembalikan, sebagai gantinya, boleh saya bawa pergi calon istri saya sendiri?”

“Woh kamu ini! Sama istri saya mau! Sama anak saya juga mau!”

“Lhoo tapi kan istri bapak saya kembalikan,” Raechan menarik lembut tangan Kayana agar berdiri di sisinya, “Kalau yang ini gak akan saya kembalikan.”

Kedua orang tua Kayana hanya bisa tertawa atas tingkah calon menantu mereka, lalu mereka masuk dan membiarkan dua sejoli itu duduk berdua di kursi teras, “Gimana hari ini? Cerita dong.”

Atas dibukanya sesi bercerita oleh Raechan, Kayana menceritakan segala yang ingin dia ceritakan. Raechan mendengarkan dengan seksama cerita wanita yang dicintainya itu. Sambil memandangi wajahnya yang ayu tanpa make up. Juga aroma sabun yang menyatu dengan body lotion yang Kayana kenakan.

Belum pernah sebelumnya Raechan menginjak gas mobil sedalam itu. Belum pernah sebelumnya Raechan mengabaikan keselamatannya sendiri saat berkendara. Tapi malam itu, tidak perduli sesesak apa jalanan, Raechan berusaha mencari celah untuk mendahului kendaraan-kendaraan lain. Tidak begitu dihiraukannya makian yang mungkin dilontarkan oleh orang-orang yang melihat aksinya.

Setibanya di area parkir sebuah toko buku terkenal, Raechan turun dari mobil dengan tergesa. Membanting pintunya hingga menimbulkan bunyi yang luar biasa keras. Langkahnya terayun cepat, melewati seorang satpam yang menyapanya dengan sopan. Setiap lorong di antara rak buku disusurinya dengan panik. Berharap segera menemukan gadis yang dia cari.

Dan ternyata Kayana ada di sana, di rak buku paling belakang namun paling ramai. Raechan bernafas lega, tidak ada Lukio di sekitar kekasihnya itu. Dengan gerak cepat, Raechan mendekat, menyampirkan jaket berwarna hitam ke bahu Kayana.

Si gadis sedikit tersentak kemudian berbalik, didapatinya wajah Raechan begitu pucat. Seperti seluruh darahnya dihisap habis oleh entah siapa. Kayana menatap khawatir, tanpa perintah otaknya, tangan Kayana sudah bergerak lebih dulu untuk menyentuh sisi wajah Raechan.

“Rae, kamu sakit?”

Raechan tidak menjawab. Dia masih sibuk mengatur nafas. Bulir-bulir keringat mulai muncul di dahi dan sekitar hidungnya.

“Rae, kamu kenapa?”

“Kita pulang, ya?” Raechan berdesis lirih, menggenggam sebelah tangan Kayana dan membawanya keluar dari toko buku.

Di pintu keluar, sebuah mobil melintas di hadapan mereka. Seseorang di dalamnya membuka kaca, kemudian menyunggingkan senyum meremehkan, “Gue udah puas liatin badan cewek lo dari tadi, gue balik duluan, ya?”

Lukio, laki-laki itu kembali menutup kaca mobilnya setelah mengatakan kalimat yang membuat kepala Raechan seakan mendidih.

Kayana masih mencoba mengerti apa yang terjadi, kejadiannya terlalu cepat untuk dia serap begitu saja. Perintah aneh Raechan yang dia kirimkan melalui pesan, belum lagi wajah pucat Raechan serta tetes-tetes keringatnya. Lalu sekarang, Lukio tiba-tiba muncul dan pergi begitu saja.

Kayana butuh sekali penjelasan, tapi melihat Raechan yang diam seperti patung membuatnya mengeyampingkan egonya itu. Dia melepas tangannya dari genggaman Raechan dan berjalan ke arah lemari pendingin yang berisi air mineral dan berbagai minuman lainnya yang dijual. Dia membeli satu, lalu menuntun Raechan untuk masuk ke mobil.

“Minum dulu, Rae.” titah Kayana yang dituruti Raechan, laki-laki itu meneguk airnya sedikit. Tangan-tangan kecil Kayana dengan telaten mengelap wajah Raechan dengan tisu yang dia ambil dari jok belakang, “Udah ngerasa tenang?” tanyanya memastikan.

Raechan mengangguk, wajahnya sudah sedikit tenang. Tidak lagi pucat. Urat-urat yang tadi sempat menegang juga sudah mengendur tenang.

“Kamu gak papa kan, Kay?”

“Justru aku yang harusnya tanya ke kamu, Rae, kamu gak papa?”

“Aku gak papa.” Raechan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi jok mobil, “Aku khawatir banget tadi, Kay.”

“Ini... ada apasih, Rae?”

“Kamu liat sendiri aja ya.”

Raechan mengeluarkan handphone dari sakunya lalu memberikan perangkat canggih itu pada Kayana. Dalam layar datar itu Kayana mulai membaca pesan yang dikirimkan oleh nomor Lukio, lengkap dengan fotonya yang diambil secara diam-diam. Tangan Kayana gemetar, perasaan marah, malu, dan dilecehkan bercampur menjadi satu. Kata-kata yang dikirimkan oleh Lukio benar-benar membuatnya geram. Dia sama sekali tidak tahu bahwa ada seseorang yang tadi mempehatikannya dari jauh.

“Rae, Lukio...”

“Kalau tadi dia turun dari mobil, udah abis dia sama aku, Kay.”

“Sebelum kamu, aku bakal pukul dia duluan.”

Sejak Kayana berusia tepat tujuh belas tahun, dia tidak pernah lagi memanggil Ana—Tantenya—dengan sebutan “Tante”. Dia lebih senang memanggil wanita itu dengan panggilan Kakaknya Ibu. Karena menurut Kayana, tantenya itu sama sekali tidak mencerminkan sosok seorang Tante yang sepantasnya. Kayana hanya merasa bahwa dia harus menghormati wanita itu karena hubungan darah antara wanita itu dan ibunya.

Pada ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun, Kayana masih ingat betul apa yang dilakukan kakak ibunya itu. Di pesta yang sedang digelar meriah, kakak ibunya itu justru menjadikan pesta perayaan ulang tahun Kayana menjadi pesta pertunangan anak kandungnya sendiri. Entah apa yang ada di otak wanita itu saat melakukannya, Kayana benar-benar tidak pernah bisa mengerti. Mulai hari itu, ada perasaan amarah yang melanda jiwa Kayana. Terlebih, jika menengok ke belakang, sudah banyak sekali kejadian menyebalkan yang diakibatkan oleh kakak ibunya itu. Mulai dari barang-barang di rumah Kayana yang sering dihinanya, prestasi Kayana yang selalu dia bandingkan dengan anak-anaknya, kehidupan sekolah Kayana yang tidak pernah memenuhi ekspektasi hingga persoalan pernikahan Kayana yang dianggapnya aib keluarga.

Hari ini, di rumah neneknya yang berada di pinggiran kota, Kayana menatap sosok kakak ibunya itu dengan tatapan paling jengah. Wanita itu masih sibuk mengata-ngatai kedua orang tua Kayana karena tidak sanggup mendidik Kayana menjadi anak yang lebih mementingan pendidikan dari pada urusan cinta. Disalahkannya kedua orang tua Kayana karena Kayana akan melangsungkan pernikahan saat statusnya masih menjadi mahasiswa. Disalahkannya kedua orang tua Kayana dan dituduhnya bahwa mereka tidak sanggup menjaga seorang anak gadis hingga hamil di luar nikah.

Percikan api amarah yang sudah ada sejak lama di hati Kayana berkobar. Membuatnya pergi ke luar rumah dan menghentikan sebuah taksi untuk membawanya pulang ke rumah, atau kemana saja yang jauh dari rumah kakek dan neneknya. Sudah tidak difikirkannya lagi ketakutannya untuk naik kendaraan umum. Sudah tidak difikirkannya lagi argo taksi yang mungkin akan sangat mahal karena jarak yang ditempuhnya sangat jauh. Yang Kayana fikirkan hanyalah dia ingin segera pergi dari sana, agar tidak lagi mendengar ocehan panjang tanpa arti dari wanita tua itu. Sebetulnya, Kayana bisa saja membalas semua ocehan menyebalkan yang keluar seperti daun-daun tua yang terhempas oleh angin ribut, tapi sayang, Kayana sudah berjanji kepada ayahnya bahwa dia tidak akan berlaku kurang ajar di depan kakek dan neneknya yang sudah mulai renta.

Taksi yang Kayana tumpangi dia arahkan menuju sebuah hotel di pusat kota. Tempat dimana dia sudah membooking sebuah kamar dan menyuruh Raechan untuk datang kesana lebih dulu. Tidak dijawabnya sapaan para petugas hotel yang menyapanya dengan ramah. Kayana terus berjalan membelah koridor yang akan membawanya ke sebuah kamar dimana ada Raechan di dalamnya.

Ketukan pintu yang terdengar liar membuat Raechan buru-buru membuka pintu itu. Kayana muncul di baliknya, dengan wajah merah padam karena menahan amarah. Tanpa berkata apapun lebih dulu, Kayana menerjang tubuh Raechan. Mengunci bibir Raechan dengan ciumannya, membuat laki-laki itu terhuyung ke belakang karena terkejut. Dengan sebelah tangan, Kayana mendorong pintu hotel agar tertutup rapat. Setelah itu, dia melingkarkan kedua lengannya di leher Raechan, memaksa kekasihnya untuk membalas ciumannya dengan sama bergairah.

Raechan masih belum tahu apa yang terjadi, tapi sentuhan lembut yang Kayana berikan pada tengkuknya membuat Raechan memejamkan mata dan mengimbangi ciuman panas Kayana. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara kecapan dan deru nafas tertahan. Lama mereka bertahan dalam posisi itu sebelum tangan-tangan kecil Kayana menyentuh ujung kemeja Raechan. Dibukanya kancing kemeja itu satu-persatu hingga menampakkan dada Raechan yang bidang. Raechan membiarkannya saja, mengikuti segala bentuk permainan yang coba Kayana lakukan. Mereka bergerak lebih jauh saat tubuh keduanya sudah berada di atas ranjang. Ciuman Kayana kian panas, bahkan gadis itu dengan berani menurunkan ciumannya ke leher bahkan dada Raechan. Raechan dibuatnya mabuk kepayang dengan ciuman-ciuman kecil. Hampir lepas kendali, karena sejujurnya, meskipun sering menahan diri, Raechan tetaplah seorang laki-laki. Laki-laki yang bisa begitu bergairah saat gadis yang dicintainya mengangkangi dirinya dan duduk tepat di atas pusat dirinya. Ditambah lagi sentuhan-sentuhan Kayana yang membuatnya hampir kehilangan akal.

Kayana sudah hampir melepaskan ikat pinggang Raechan, namun kedua tanggan kekar Raechan menahannya.

“Kayana,” tegur Raechan teramat pelan, membuat Kayana menatap kedua mata Raechan yang juga sedang menatapnya, “Don’t do this, kalau kamu ngelakuinnya tanpa sadar. Nanti kamu nyesel, Kay. Get yourself together, kamu kenapa?”

Let’s do this, Rae. Aku sadar kok sama apa yang lakuin.” ucapan Kayana berbanding terbalik dengan suaranya yang bergetar—-menandakan ketidakpastian, keragu-raguan, “Kakaknya Ibu masih aja yakin aku hamil di luar nikah. Ayo bikin aku hamil, Rae. Biar dia puas sekalian.”

Raechan mulai mengerti titik permasalahannya. Wajah merah padam Kayana dan ciumannya yang menggebu-gebu ternyata diakibatkan oleh urusan keluarganya yang berlangsung tidak baik. Dengan telaten, Raechan merapikan rambut Kayana yang berantakan dan dia bangkit dari posisi tidurnya. Saat ini, mereka duduk berhadap-hadapan, sangat dekat, terlewat intim. Membuat Raechan kembali merasakan gelenyar aneh yang coba dia tahan mati-matian.

“Kay, I know that your are such a great kisser. Tapi ciuman kamu hari ini, aku gak menikmatinya sama sekali.” bohong Raechan demi kebaikan Kayana, “Aku gak tau semarah apa kamu sama Tante Ana, tapi apa yang kamu minta dari aku sekarang ini, bener-bener gak masuk akal.”

“Aku gak suka Kakaknya Ibu, Rae.”

“Aku tau, tapi gak dengan cara ini kamu balas dia, Kay.” Raechan berusaha menatap Kayana yang tertunduk, “Selain karena masalah ini, Tante Ana ada buat salah sama kamu, ya? Kemarahan kamu yang coba kamu lampiasin itu gak hanya kemarahan karena hal ini, kan?”

Raechan memang tidak membuka baju Kayana sedikitpun, tapi gadis itu telah merasa ditelanjangi karena Raechan merasakan apa yang selama ini menggerogoti hatinya.

“Kemarahan kamu ke Tante Ana, udah kamu tahan bertahun-tahun, ya?”

Kayana tidak bisa mengelak lagi, dia hanya mengangguk pelan.

“Sini,” bisik Raechan lembut. Direngkuhnya tubuh Kayana hingga dia merasakan dadanya yang telanjang basah oleh air mata. Untuk kedua kalinya Kayana menangis di pelukan Raechan, “Aku gak akan maksa kamu untuk maafin Tante Ana, karena aku gak tau separah apa luka yang dia buat di hati kamu. Tapi kalau boleh aku minta, jangan simpen semua amarah kamu sendirian, ya? Kamu punya aku sekarang, kamu bisa bagi sakitnya sama aku.”

Kayana belum menjawab, dia masih sibuk dengan isak tangisnya sendiri.

“Kay, dalam hidup, kita gak selalu ketemu sama orang yang sepaham sama kita. Masih seperti malam itu, aku cuma mau bilang kalau mungkin pola pikir Tante Ana masih sebegitu buruknya tentang nikah muda. Tapi kita gak bisa maksa dia buat sepaham sama kita. Kita juga gak bisa ngebuat dia ngehapus pemikiran buruknya tentang alasan kenapa ingin cepat-cepat menikah.” Raechan mengelus pelan punggung Kayana, “Tapi kita bisa mengabaikannya, Kay. Sangat-sangat bisa. Itu cara termudah buat ngelindungin hati kita sendiri. Selagi apa yang dia omongin gak bener, selagi orang-orang terdekat kita sejalan sama kita, kita gak perlu musingin hal-hal yang diluar kendali kita.”

“Mungkin Tante Ana itu jadi ujian buat memperkuat hubungan kita sebelum menikah.” Raechan mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecupan pada kepala Kayana.

Tangis Kayana mereda, diusapnya dada Raechan yang basah karena air matanya, “Badan kamu jadi basah, maaf, Rae.” Ucap Kayana sembari sesekali terisak.

“Gak papa, nanti juga kering. Ada masalah yang lebih penting dari itu, Kay.”

“Apa?”

“Kayaknya aku harus mandi sekarang, keramas, supaya otak aku bener lagi. Ciuman kamu tadi, sentuhan kamu. Ah enggak, gak bisa dibiarin, aku harus mandi sekarang.”

Kayana hanya menatap bingung ke arah Raechan yang hilang dibalik pintu kamar mandi. Gadis itu belum sadar bahwa dialah di balik alasan kenapa Raechan harus mengucuri kepalanya dengan dinginnya air keran.

Tumpukan wadah berisi daging segar tertata rapi di meja. Makanan pendamping lainnya seperti sosis, kentang goreng, pizza, ayam goreng juga tersedia disana. Minuman kalengan dingin melengkapi meriahnya meja makan keluarga Gati. Tidak lupa, Kayana menyediakan beberapa botol kopi karena dia ingat bahwa Raechan tidak begitu menyukai minuman bersoda.

Pukul enam sore, keluarga Leenandar tiba. Nyonya Leenandar memberikan sebuket bunga cantik kepada istri Tuan Gati setelah memeluknya dan melakukan cipika-cipiki, khas sekali seperti ibu-ibu lainnya. Selo berlarian ke dalam untuk menemui Kayana yang masih menata meja, Raechan dan Dama muncul setelahnya. Sedangkan Gati langsung mengajak Andar untuk duduk di ruang tamu keluarganya.

“Wah, rumahnya bagus sekali Mas Gati, saya suka tone warna untuk interiornya.” puji Andar setelah matanya berkeliling menyapu seisi rumah keluarga Gati.

Yang dipuji hanya tersenyum senang kemudian membuka toples-toples makanan yang tersedia di meja ruang tamu, “Semuanya itu, yang pilih Ibunya Kayana, Mas.”

“Saya harus belajar nih dari Mbak Gati, tapi pasti saya aka tetap kalah dengan empat laki-laki yang ada di rumah. Mereka ingin semuanya serba hitam dan putih, pusing saya.”

“Sebentar lagi tinggal tiga laki-laki, Ma.” Andar menyahut jenaka, merujuk pada Raechan yang akan segera meninggalkan rumah karena akan membangun rumah tangganya sendiri, “Tadi sebelum kesini, kami mampir dulu ke rumah barunya Raechan dan Kayana, wah bagus sekali rumahnya. Mas Gati harus melihatnya sendiri, supaya yakin juga kalau Kayana akan nyaman tinggal di sana.”

“Saya sudah percayakan semuanya pada Raechan, Mas. Anak Mas Andar sudah tau tanggung jawabnya sebagai laki-laki, saya yang akan menerimanya sebagai anak menantu saja sudah bangga dengan dia.”

Dari ruang makan, Raechan tersenyum malu-malu. Disembunyikkannya wajahnya yang memerah dari Kayana. Tidak ada satupun orang yang mengetahui, betapa lega dan bahagianya hati Raechan malam itu. Dengan telinganya sendiri, dia mendengar bahwa calon ayah mertuanya memujinya sedemikian rupa. Rasanya, segala lelah yang dia rasakan terbayar sudah dengan ikhlasnya ayah kandung Kayana melepaskan anak gadisnya untuk kelak Raechan nikahi.

Salah satu tanggung jawab Raechan telah terpenuhi, memberikan hunian nyaman untuk Kayana. Gadis itu, tidak pernah dia diberi kekurangan oleh orang tuanya. Dan menjadi tanggung jawab Raechan untuk memberinya lebih, atau paling tidak setara. Dengan terbelinya rumah itu, Raechan juga telah membuktikan kepada papanya bahwa dia memang sudah mampu dan sanggup menjadi kepala keluarga.

Senyum Raechan sedikit memudar saat suara dari ruang tamu kembali terdengar, “Kalau untuk hari baiknya, menurut Mas Andar bagaimana?”

Raechan memasang telinga lebar-lebar.

“Menurut saya, semua hari adalah hari baik. Tapi kemarin Raechan sempat bilang, pernikahannya ingin mereka langsungkan saat liburan semester depan. Itu artinya... Kayana masuk semester lima dan Raechan masuk ke semeter tiga. Kata Raechan, dia juga masih butuh waktu selama itu untuk mengumpulkan dana. Anak itu, dia tidak ingin menggunakan uang Papanya, Mas.”

Tawa Gati terdengar renyah menyambut penjelasan Andar, “Ya, ya, dia juga bilang itu ke saya, Mas. Katanya, kalau menggunakan uang Ayahnya, dia tidak bisa mengatur pestanya sesuai yang Kayana mau. Padahal hari itu, dia ingin menjadikan Kayana sebagai ratu di pesta yang diaturnya sendiri.”

Tawa dua orang ibu-ibu dan bapak-bapak terdengar menggema mengisi seluruh rumah hingga Selo sedikit terkejut dan merapatkan tubuhnya ke paha Kayana—karena tinggi Selo memang baru sebatas itu.

“Padahal, kita siap ya, Mas Andar, jadi donatur pesta mereka?” Gati pura-pura berbisik, meskipun suaranya tetap terdengar.

“Betul itu, tabunganku lho banyak.”

Raechan ikut terkekeh dan mendekati Kayana yang masih saja sibuk dengan bahan makanan di tangannya. Dama sudah melenggang ke halaman belakang untuk melihat-lihat keseluruhan rumah Kayana.

“Aku seneng banget denger Papa-Mama seakrab itu sama Om dan Tante, Kay.” Bisik Raechan lirih, ingin dipeluknya kekasihnya itu dari belakang. Namun dia masih menjaga sopan santun, tidak baik berperilaku seperti itu di saat kedua orang tuanya serta kedua orang tua Kayana berada di ruangan lain yang hanya dibatasi dinding.

“Aku juga. Semuanya berkat kamu, Rae. Kamu yang bikin Mama dateng kesini dan bawa Selo untuk hibur aku waktu itu. Jadinya mereka akrab. Kamu juga yang nemuin Ayah sama Papa dan bikin mereka golf bareng.”

“Jalan Tuhan itu, Kay.” sanggah Raechan merendah. Padahal Kayana benar-benar merasa Raechan benar-benar orang yang paling berbuat banyak untuk kelancaran hubungan mereka.

“Ya tapi tetep aja...” ucapan Kayana tidak selesai karea saat itu, tiba-tiba terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah Kayana. Mereka berdua saling tatap dengan wajah yang bertanya-tanya.

Dari lorong yang menghubungkan ruang makan dengan pintu masuk, Kayana mengintip dan mendapati seorang wanita yang lebih tua dari Ibunya sedang berjalan masuk.

Wanita itu adalah Tante Ana, satu-satunya saudara kandung ibu Kayana.

Ana menatap bingung ke arah Papa dan Mama Raechan, lalu dengan ramah Andar menjelaskan maksud kedatangannya. Ada senyum ganjil yang tercetak di wajah Ana saat mendengar bahwa kepokan tunggalnya akan segera dinikahi oleh laki-laki yang umurnya baru menginjak dua puluh tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa.

“Anak jaman sekarang ada-ada saja, sudah hamil duluan dia?” ucapannya sangat merendahkan, membuat telinga Gati panas hingga berdengung menandakan amarah, “Anak jaman sekarang, kalau masih kuliah tiba-tiba ingin menikah, ya pasti karena pacarannya sudah terlalu jauh.”

“Mbak,” istri Gati itu menyentuh lengan kakak kandungnya untuk memperingatkan.

Kayana memanggil Dama untuk menemani Selo di dapur, sementara dia menarik lengan Raechan untuk bergabung ke ruang tamu, “Tante ngomong apa tadi?”

“Kamu sudah hamil?” cerca Ana.

“Gak semua orang yang mau menikah muda itu karena hamil di luar nikah, Tante.” Kayana masih menjawab dengan suara yang dia buat selembut mungkin.

“Oke anggap saja kamu memang gak hamil. Terus kenapa kamu mau menikah secepat ini? Sudah punya apa kamu? Calon suamimu itu mau menghidupi kamu dengan uang Ayahnya? Cih, mending selesaikan dulu kuliah kalian dulu itu.”

Gati sudah akan merampas hak bicara Ana tapi Kayana lebih dulu melakukan itu dengan ketegasannya, “Tante, maaf sebelumnya, malam ini Ayah sama Ibu mengundang Papa dan Mama untuk datang kesini karena urusan KELUARGA.” Kayana menenankan sekali ucapannya saat menyebut keluarga, “Kayana tau, Tante juga bagian dari keluarga Ibu. Tapi maaf, kalau Tante kesini cuma untuk bikin suasana di rumah ini jadi gak nyaman, Kayana sendiri yang akan menutup pintu rumah ini untuk Tante.”

Bagi sebagian orang, mungkin tindakan Kayana akan terkesan kurang ajar. Tapi jika mereka tahu, sejauh apa ucapan Ana bisa menyinggung keluarga Raechan, mungkin mereka akan memahami sikap Kayana.

“Lihat, belum menikah saja sudah begini kelakuannya.” Ana masih belum mau diam, dia justru mendekat ke arah Raechan, “Bocah bau kencur kok sudah mau menikah.”

Habis sudah kesabaran Kayana, dia hampir-hampir mengatakan hal yang setajam belati namun sentuhan Raechan di punggungnya meredam amarahnya, “Kita ke halaman belakang aja, yuk, Kay? Permisi, Tante.” Raechan melempar senyum pada Ana yang hanya dibalas wajah tanpa ekspresi.

Di halaman belakang, Raechan mendudukkan Kayana di kursi kayu. Dia berjongkok di depan Kayana dan menatap wajah gadis itu yang begitu murung. “Gak semua orang bisa ngerti keputusan kita, Kay.” ucap Raechan kembut, dia ingin menasehati Kayana tapi tidak dengan cara mengguruinya, “Terserah aja orang mau mikir apa tentang keinginan kita untuk menikah muda, iya kan?”

“Iya, Rae, tapi kan bisa aja ngomongnya tuh gak usah kayak tadi.”

“Gak semua orang sepintar kamu, Sayang. Ada beberapa orang yang pola pikirnya kayak Tante Ana gitu.”

“Gak sopan. Aku gak enak sama Papa dan Mama, Rae.”

“Papa sama Mama sepintar kamu, mereka gak akan kepancing emosinya sama ucapan Tante Ana. Jangan khawatir.” Seperti bisasa, Raechan menangkup kedua tangan Kayana untuk kemudian dia cium lembut, “Jangan cemberut lagi, ya?”

“Aku pengen Tante Ana pulang.”

“Kita usir pakai cara halus mau gak?”

“Gimana?”

“Pake anak-anak. Kita suruh mereka kesini. Kamu tau seberesik apa mereka, kan? Aku yakin, Tante Ana gak akan betah lama-lama.”

Kayana tersenyum mengiyakan. Ditatapnya wajah Raechan yang masih tetap tenang bahkan ketika hatinya mungkin mencelos karena ucapan Tante Ana. Kayana menyukai ketenangan Raechan dalam menghadapi masalah semenyebalkan ini. Dan ketenangan Raechan membawa ketenangan juga untuk dirinya.