Pamit
Raechan sengaja datang tiga puluh menit lebih awal dari perjanjian. Dia ingin meresap seluruh kenangan di studio Jevan untuk dirinya sendiri. Bukan berarti setelah menikah dia tidak akan datang kesini lagi, hanya saja dia sadar betul bahwa mulai minggu depan statusnya akan berubah. Menjadi seorang suami, tentu, segala sikap dan tindak-tanduknya tidak boleh seperti dulu. Dalam artian, sikap buruknya sebagai bujangan harus coba dia rubah, perlahan-lahan.
Raechan masuk ke ruangan band, dia duduk di kursi yang berhadapan dengan drum. Tangannya mengambil stick dan bermain asal, disini, dulu, hampir setiap malam mereka menghabiskan waktu paling tidak sekitar 15 menit, 4 sampai 5 lagu. Lalu dia keluar lagi, duduk di sofa hitam yang tidak pernah diganti sejak dulu. Sudah ada beberapa sisi sofa yang sobek, namun mereka enggan menggantinya. Tatapan Raechan jatuh pada kulkas kecil di sudut ruangan. Kulkas itu tidak pernah kosong, selalu ada yang bergantian mengisinya karena Jevan sering sekali bilang, “Udah dikasih tempat ngumpul tau diri lah ya.” Dari kulkas kecil itu, Raechan menyeret tatapannya ke arah ranjang kecil yang penuh dengan bantal. Biasanya, mereka selalu berebut untuk tidur di sana. Meskipun pada akhirnya sering kali Markio yang menang, karena mereka sering mengasihani dan membiarkan laki-laki untuk tidur di sana karena dia sering bergadang demi gelar dokternya.
Raechan tersenyum kecil saat menatap TV yang saat ini mati, di bawah TV itu terdapat rak kecil dimana mereka menyimpan berbagai permainan. Uno Stacko, Uno Card, ular tangga, congklak dan monopoli. Tatapan Raechan terarah ke hal lainnya lagi, sebuah rak kecil tempat mereka menyimpan buku-buku. Di atas rak itu tersimpan banyak sekali aksesoris-aksesoris lucu yang kebanyakan dibeli Jaenandra dan Jevan ketika mereka berlibur ke luar negeri.
Sudah cukup, Raechan sudah menyimpan semuanya dalam memori otaknya. Dia tersenyum puas bersamaan dengan suara ramai yang mulai terdengar,
“Awas aja Raechan gak bawa banyak, ya!” Suara Jevan terdengar paling pertama, lalu disusul suara yang lainnya,
“Kayak kuat minum banyak aja lo!” Kalau sudah berisi makian, maka jelas siapa yang berbicara.
“Eh, Mas Bro, udah dateng duluan rupanya.” Jaenandra menyapa Raechan dengan semangat seolah dia tidak melihat mobil Raechan terpakir di halaman studio.
“Mau langsung?” Raechan mengeluarkan dua botol berisi cairan bening dari tasnya, yang langsung disambut gembira oleh semua laki-laki yang ada disana. Sementara Jelena dan Klarisa hanya saling padang melihat sikap sahabat-sahabatnya itu.
Raechan menuangkan cairan bening itu ke lima gelas yang berbeda kemudian menyilakan sahabat-sahabatnya untuk minum.
“Persiapan pernikahan udah beres semua, Rae?”
“Udah, tinggal nunggu hari H aja.”
“Gimana perasaan lo sekarang?”
“Ya kayak yang gue bilang tadi, gue seneng, tapi ada sebagian diri yang ngerasa sedih. Ya namanya juga mau ngelepas status dari bujangan jadi suami, wajar kali ya galau-galau dikit? Hahaha.”
Markio tertawa pelan atas jawaban Raechan yang mengambang, “Wajar banget lah, tapi satu hal yang perlu lo tau, Rae. Pertemanan kita gak akan pernah berubah.”
“Iya, Kak. Waktu bahas hal ini sama Kayana, dia juga bilang kalau dia gak akan pernah nyuruh gue ngejauh dari kalian. Dia paham kalau gue lebih dulu ketemu kalian sebelum ketemu dia.”
“Emang ya, cewek kayak Kak Kayana yang paling cocok buat dampingin cowok modelan kayak lo, Rae. Kak Kayana tuh gak gegabah, dewasa, komunikasinya bagus, hampir setahun kalian pacaran, cuma sekali doang kalian ribut. Itu juga malemnya baikan lagi setelah kalian ngobrol.” Jaenandra berbicara panjang, mengenang kejadian Raechan bertengkar dengan Kayana karena masalah pekerjaan sampingan Raechan kala itu.
“Dimana ya gue bisa nemuin cewek kayak gitu... Sebenernya pengen tobat juga gue tuh, cuma belum ada aja yang bisa nuntun ke jalan yang benar. Haaah andai....”
BUGH
Sebuah bantal sofa melayang begitu saja tepat ke wajah Jevan dan menghantam wajah laki-laki tampan itu dengan begitu kerasnya.
“Gak usah sok mau tobat deh. Lo gak pantes ngomong gitu.”
Coba tebak siapa yang berbicara sekejam itu?
Benar.
Alexander Parajuan.
“Ya elah, Wan, gak dukung amat. Gue juga capek kali tidur sana-sini sama cew—–”
PLAK
Kali ini pukulan keras menghantam leher bagian belakang Jevan. Jelena pelakunya.
“Capek apaan, mobil lo tuh isinya daleman cewek semua! Lo bisa gak sih, Jev, gak main di mobil? Cari hotel kek minimal!” cerca Jelena marah, di antara semuanya wanita itu memang yang paling jengah dengan kelakuan Jevan. Karena diam-diam, ayah Jevan menitipkan anaknya itu kepada Jelena. Dan Jelena juga yang paling tahu sebajingan apa kelakuan Jevan terhadap perempuan-perempuan yang ditidurinya.
“Jangan salahin gue lah! Gue udah mau cari hotel, ya! Tapi baru masuk mobil aja tuh cewek-cewek udah raba-raba gue! Bibir gue udah dicium duluan! Gimana gue mau nyetir coba?! Yaudah gue pake aja di mobil! Lumayan juga gak usah ngeluarin duit buat booking hotel!” Jevan berusaha membela diri, tapi yang didapatnya justru tatapan tajam dari Jelena dan Klarisa.
“Lo...”
“Yaudah sih, El, yang penting kan gue udah nepatin janji gue untuk gak ngotorin studio ini. Lo harus tau sengeyel apa tuh cewek-cewek minta diajak masuk ke sini, tapi gak pernah gue ijinin!”
Untuk yang satu ini, Raechan mengapresiasi sikap Jevan. Bukan, bukan dia menyetujui sikap Jevan yang tidur dengan banyak wanita. Tapi sikap Jevan yang memegang teguh janjinya untuk tidak membawa perempuan manapun masuk ke studio ini. Meskipun seperti yang sudah Jevan katakan bahwa banyak yang ingin dibawa masuk ke sini.
Dulu, saat studio ini mulai mereka gunakan untuk nongkrong, mereka pernah membuat janji satu sama lain untuk tidak membawa sembarangan orang masuk ke studio Jevan. Bukan bermaksud bersikap apatis, mereka hanya ingin menjadikan tempat ini sebagai tempat paling aman untuk mereka sendiri. Tempat yang tidak dijamah oleh orang lain, kecuali orang itu adalah seseorang yang spesial untuk salah satu dari mereka.
Seperti Kayana contohnya.
“Eh, kalau lo gimana, Rae? Udah siap buat malem pertama?” Jevan menyikut-nyikut lengan Raechan dengan jahil, “Lo kan walaupun playboy-playboy gitu tapi gak pernah tidur sama cewek. Bisa gak lo nanti malem pertama?”
“Ya bisa lah!”
“Yang bener? Mau gue ajarin dulu gak?”
“Gak usah lah, apaansih...”
“Muka Raechan merah banget??!!” Klarisa memekik senang mendapati wajah Raechan yang memerah menahan malu, “Heh jiwa playboy lo udah beneran ilang ya, Rae? Masa begini aja salting udahan?!”
Sahabat Raechan yang lain langsung ikut meledek Raechan, membuat wajah calon pengantin pria itu semakin merah dibuatnya. Pesta 'pamitan' malam itu berlangsung menyenangkan, membuat Raechan semakin makan melangkahkan kakinya untuk minggu depan.
Sementara di sisi lain, Kayana sedang berhadap-hadapan dengan seorang laki-laki di gerbang kampus. Laki-laki itu tersenyum seduktif namun hanya dibalas wajah muram oleh Kayana.
“Lo...”
PLAK
Tamparan keras melayang ke pipi kiri laki-laki itu, Lukio.
“Itu untuk kelakuan kurang ajar lo karena udah diem-diem ngikutin gue dan ngirim pesan kotor itu ke Raechan.”
PLAK
Tamparan keras kedua menyusul setelahnya,
“Dan itu, untuk semua kelakuan lo yang kurang ajar ke gue selama ini!”
Brak
Kayana melemparkan dua lembar kertas ke arah Lukio sementara laki-laki itu masih memegangi pipi kirinya yang memanas.
“Event yang LPP pegang kali ini berhubungan sama nama baik bokap lo. Kalau lo masih gak bisa jaga sikap, jangan kira gue gak berani ngacak-ngacak event itu. Ngerti? Dan satu lagi, minggu depan gue sama Raechan bakal nikah, he does something that you will never do as a man. Jangan lagi lo kurang ajar ke cewek apalagi see them as an sexual object.”
Setelah itu, Kayana meninggalkan Lukio yang masih mematung.