Broke.
Jika beberapa hari lalu Raechan melihat Jevan terkulai lemas di atas ranjang studio karena dipukuli, hari ini laki-laki yang gemar mengenakan kaus berwarna hitam itu harus melihat sahabatnya terkapar lemas di atas ranjang berukuran besar yang terletak di rumahnya yang lebih mirip istana. Luka-luka akibat pengeroyokan yang dialami Jevan sudah mulai sembuh. Namun ada luka lain yang baru saja tercipta tadi malam. Luka yang jauh lebih menyakitkan, karena hingga hari ini pun belum ada satupun dokter yang mampu menemukan obat untuk meredakan sakitnya.
Wajah Jevan muram, aura ketampanannya sedikit luntur. Tapi meskipun begitu, Raechan tetap mentertawainya. Membuat Jevan bersungut-sungut kesal.
“Lo sayang banget ya Jev sama Elen?”
“Ya lo pikir aja sendiri,” jawab Jevan ketus. Kalau boleh, dia ingin sekali mengusir Raechan dari kamarnya dan tidur saja seharian dengan bantuan obat tidur. Dipikirannya, itu akan terasa jauh lebih menyenangkan dari pada meladeni Raechan dan wajah tengilnya.
“Jev, katanya, level mencintai paling tinggi tuh merelakan orang yang kita sayang buat bahagia sama orang lain loh. Nah, kaya lo sekarang ini nih, artinya rasa sayang lo buat Elen udah berada di level paling tinggi, udah mentok. Harusnya lo bangga, jangan malah sedih gini.”
“Taik kucing.”
Sungguh, saat ini Jevan ingin sekali melempar Raechan dengan lampu tidur yang berada di atas nakas sebelah ranjang. Supaya kepalanya pecah, atau paling tidak bibirnya robek dan tidak bisa lagi digunakan untuk mengoceh.
“Dari buku yang gue baca juga, katanya....”
“Lo pilih diem apa gue lakban mulut lo?!” gertak Jevan geram.
“O...oke, gue diem.”
Raechan mengalah, dia memilih untuk menutup rapar-rapat mulutnya. Perhatiannya dia alihkan ke meja panjang yang berada di dekat jendela kamar Jevan. Di atas meja panjang itu, berderet bingkai foto yang ditata begitu apik. Mulai dari Jevan kecil hingga usianya menginjak delapan belas tahun. Raechan melihat satu-persatu foto itu dan mengagumi bagaimana wajah Jevan tidak berubah sejak dulu. Jevan kecil sudah terlihat begitu tampan meskipun dengan gigi depan yang ompong. Dan ketampanannya semakin bertambah saat sahabatnya itu sudah mulai tahu cara merawat diri. Di sebelah meja panjang, terdapat rak kecil berisi buku-buku yang bungkus plastiknya belum terbuka. Buku-buku itu adalah buku-buku yang dibeli Jevan untuk Jelena. Namun sayang, buku-buku itu hanya berakhir di rak kamarnya karena Jevan terlalu malu untuk memberikannya kepada gadis yang begitu dicintainya itu.
Di atas rak buku, Raechan melihat beberapa bingkai foto yang dipajang di dinding. Itu adalah foto-foto persahabatan mereka. Ada foto Raechan, Jevan, Jaenandra dan Juan yang diambil saat kelulusan SMP mereka. Ada foto mereka berempat bersama Markio yang diambil beberapa bulan lalu di depan gedung Fakultas Kedokteran untuk merayakan diterimanya Markio di fakultas itu. Ada juga foto Klarisa dan Jelena yang saling merangkul di pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Ada foto mereka semua tersenyum manis di depan perkebunan teh yang diambil oleh Garend di perkebunan teh milik ayah Klarisa.
Namun ada satu foto yang paling menarik perhatian Raechan. Foto yang hanya dipasang seadanya, tanpa bingkai, hanya diberi selotip di setiap ujungnya. Seolah foto itu sengaja dibiarkan seperti itu agar bisa dilepas kapan saja dari dinding.
Foto Jevan dan Jelena, yang juga diambil saat pesta ulang tahun Jelena tahun lalu. Jevan tampak mencium pipi kanan Jelena yang sedang tersenyum riang menatap kamera. Tangan mereka saling rangkul, lengan Jevan berada di bahu Jelena dan lengan Jelena berada di pinggang Jevan.
Sungguh manis.
Namun terasa menyakitkan jika dilihat saat ini.
Karena Jevan dan Jelena tidak akan bisa seperti itu lagi. Mengingat malam tadi, Markio telah meresmikan dirinya sebagai kekasih Jelena.
“Copot aja Rae fotonya.”
Raechan tersentak kaget karena suara itu. Baru disadarinya saat ini Juan telah berada di kamar Jevan dengan kedua tangan yang penuh membawa berbagai makanan dan minuman.
“Buat apa juga dipasang, cuma bikin sakit hati.” tambah Juan lagi. “Iya kan, Jep?”
Jevan hanya mengangguk lemah mengiyakan. Dia kembali menenggelamkan dirinya pada kasur namun dengan gerakan cepat Juan menarik tubuhnya untuk duduk.
“Duduk, makan, lo pasti belum makan kan dari tadi malem?”
“Gue gak napsu...”
“MAKAN!” titah Juan menolak bantahan, “lo begini juga gak akan bikin Elen balik ke lo, Jep. Lo mau nahan laper sampe busung lapar juga gak akan bikin Kak Kiyo ngelepas Elen buat balik sama lo lagi.”
Jevan melirik Raechan dengan wajah memelas, memohon pertolongan. Namun Raechan pura-pura tidak menyadarinya karena tidak ingin terlibat dalam masalah besar. Ketika Juan sudah memulai pidatonya, maka mereka sudah seharusnya mendengarkan. Menginterupsi pidato Juan hanya akan membawa mereka pada masalah baru.
“Lagian bego banget jadi orang, udah tau sayang sama Elen, cinta sama Elen, malah masih aja deketin cewek sana-sini. Lo pikir karena Elen sebaik itu dan gak nuntut hubungan resmi sama lo, itu artinya dia terima-terima aja lo gantungin? Ya enggak, lah!”
Wajah Jevan semakin memelas.
Raechan pura-pura sibuk dengan majalah yang dia ambil dari laci.
“Makanya lo harus makan, jangan jadi lebih tolol lagi.”
Juan sibuk membuka beberapa bungkus roti dan cemilan, dia juga mengulurkan sekotas susu cokelat pada Jevan. Mau tidak mau, untuk meredakan omelan Jevan, dia mengambil sepotong roti untuk teman susu cokelat dingin yang baru dia terima.
“Gue kan lagi sedih ya, harusnya dihibur. Tapi kalian malah begini, yang satu ngetawain, yang satu marahin.”
“Emang kehadiran kita gak cukup menghibur lo, Jev?” tanya Raechan polos.
“Iya, iya, nenghibur kok,” jawab Jevan pasrah pada akhirnya.
Jevan kemudian diam dan sibuk memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya. Sekuat tenaga dia memaksa potongan roti itu masuk melewati tenggorokan setelah mengunyahnya dengan susah payah. Sama sekali tidak ada selera untuk makan ataupun minum. Pikiran Jevan masih kacau, terpecah memikirkan persahabatannya yang harus dia pertahankan dan kisah percintannya yang telah terlanjur kandas.
Dia takut, kalau-kalau masalah ini akan berpengaruh kepada persahabatannya dengan Jelena dan Markio. Karena bagaimanapun dia juga tidak bisa langsung bersikap biasa saja di depan kedua orang itu. Dan mungkin saja mereka juga begitu. Meskipun Jevan juga sadar betul bahwa kepergian Jelena dari sisinya memang benar-benar kesalahannya sendiri. Tepat seperti yang Juan katakan.
Dia mencintai Jelena, tapi berhenti pada satu wanita bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Jiwa mudanya masih ingin berkelana, mencicipi manisnya gadis-gadis cantik.
Brengsek memang, Jevan juga mengakui dirinya sebrengsek itu.