Solidaritas.
Mata Raechan menatap lurus ke arah tubuh Jevan yang dipenuhi luka. Mulai dari bahu, dada hingga area perut, semuanya tertutup luka gores dan lebam yang entah dihasilkan oleh berapa pasang tangan dengan kepal tinju. Saat Jelena memiringkan tubuh Jevan yang tengah tertidur tanpa pakaian menutupi bagian atas tubuhnya, Raechan bisa melihat area punggung Jevan terluka lebih parah. Luka-luka itu bukan lagi dihasilkan oleh pukulan, tapi juga karena cambukan. Raechan meringis ngeri, ikut merasakan sakit yang diderita Jevan.
Tangan Raechan terkepal kuat, menahan amarah yang sudah hampir meledak. Dia sama sekali belum bersuara sejak tadi.
“Lo tau siapa yang mukulin Jevan, El?” tanya Jaenandra pelan.
“Kata Jevan, yang mukulin dia tadi tuh gengnya pacar Kak Erika. Kalian tau kan kalau Jevan lagi deket sama Kak Erika sekarang? Jevan taunya Kak Erika udah putus, jadi dia deketin. Tapi ternyata mereka belum putus, jadi Jevan dianggep selingkuhannya.”
“Terus kenapa Si Bego ini gak ngelawan? Percuma punya otot gede kalau cupu gini.” Jaenandra berucap lagi, kali ini sambil memandangi Jevan yang masih terpejam.
“Jevan didatengin subuh tadi, dan semalem dia minum-minum disini sendirian karena abis dimarahin papanya. Jadi dia....”
“Anjing.”
Makian itu datang dari Raechan.
Bukan, bukan dia bermaksud memaki sahabatnya yang tengah berbaring tidak berdaya itu. Dia hanya sedang memaki kemalangan yang menimpa Jevan.
“Jaen, temenin gue ngerokok di depan.”
Raechan berjalan lebih dulu keluar dari studio sedangkan Jaenandra masih berdiri bersandar pada dinding.
“Gue keluar bentar ya, El. Tolong jaga Jevan dulu, kata Raechan dokter yang bakal meriksa keadaan Jevan lagi di jalan mau ke sini.”
Jelena hanya mengangguk sekenanya. Perhatiannya kembali jatuh pada Jevan. Sedangkan Jaenandra melangkah keluar dan mendapati Raechan sedang bersandar di kap mobil. “Bagi dong, gue sampe lupa bawa rokok tadi.”
Raechan tidak menjawab, dia hanya mengeluarkan kotak rokok dari saku belakang celana jeans yang dia pakai.
“Gue gak mau bawa kasus ini ke polisi, ribet. Paling juga ujung-ujungnya duit. Duel sama mereka berani, Jaen? Kita selesaiin sendiri.” Raechan berucap mantap di sela-sela pertemuan antara rokok dan bibirnya.
“Berdua? Lo sama gue? Lawan geng yang gebukin Jevan tadi?” tanya Jaenandra memastikan.
“Iya.”
“Berani lah. Orang yang beraninya nyerang orang mabuk dan keroyokan gitu tuh pasti aslinya cupu.” Bibir Jaenandra menyunggingkan senyum meremehkan. “Tapi pasti nanti orang tua kita bakal dipanggil ke sekolah. Yang lebih parah dari itu, uang jajan kita pasti dipotong. Kasus ini gak mungkin gak nyampe ke kuping guru BK, Rae.”
“Nanti kita minta tolong Kak Kiyo sama Kak Garend aja yang dateng buat wakilin. Kalau soal uang jajan, lo gak usah khawatir, gue ada tabungan dari hasil kerja di kantor Bokap. Gue makan lo makan, gue ngerokok lo ngerokok, gue minum lo minum.” Raechan merangkul bahu Jaenandra dan menepuk-nepuknya pelan.
Mata mereka berdua menatap nyalang ke depan. Asap rokok masih terus terhembus seiring hisapan dari keduanya yang juga terus berlangsung. Mereka berdua sudah yakin akan keputusan yang mereka ambil. Tanpa takut akan apapun, tanpa memperdulikan apapun selain membayar kembali apa yang sudah diderita sahabat mereka. Namun tiba-tiba....
“Juan gimana, Rae? Gue lebih takut sama dia dari pada sama orang tua gue sendiri. Dia pasti bakal ngomel kalau tau kita berantem lagi.”
“Dipikir nanti aja deh ya. Lebih baik minta maaf dari pada minta izin.”
Bermodalkan semangat berapi-api, kedua remaja yang dipenuhi amarah itu masuk ke mobil Jaenandra. Raechan mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan pada salah satu kontak di ponselnya. “Halo, Bang. Lo tau gak basecamp gengnya pacar Kak Erika dimana?”
“Tau, kenapa Rae?” jawab seseorang di seberang sana.
“Dimana, Bang? Gue ada urusan sedikit sama mereka.”
“Di deket sekolah ada gang kecil, lo masuk ke sana aja lurus terus. Ketemu perempatan pertama, lo belok kanan. Lurus aja sampek ketemu gereja tua yang udah gak dipake, nah tongkrongan mereka di pojok gereja tua itu. Di depannya ada pohon mangga besar.”
“Oke, makasih Bang.”
Dengan sekali gerakan, Raechan mematikan sambungan telepon dan memberi kode pada Jaenandra yang memegang kemudi kemana mereka harus pergi. Mobil Jaenandra membelah jalanan dengan kecepatan penuh, tidak memperdulikan suara klakson dari mobil-mobil lain yang dia dahului. Hingga akhirnya, dalam waktu kurang dari tiga puluh menit mereka telah tiba di tempat tujuan. Sepertinya benar ini tempatnya, karena mereka berdua bisa melihat beberapa motor yang diparkir secara sembarangan. Suara tawa dari dalam rumah juga terdengar sampai ke tempat Raechan dan Jaenandra berdiri.
“Jangan sampe luka parah ya, Jaen.”
“Lo juga, Rae.”
Itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum meringsak masuk ke dalam rumah dan berhadap-hadapan dengan delapan orang yang langsung terkejut melihat kedatangan mereka berdua. Salah seorang dari anggota geng itu berjalan maju, menanyakan ada kepentingan apa mereka apa kesini.
Raechan tersenyum kecut dan meludah ke lantai. “Gak usah sok gak tau deh. Lo pasti tau kita temennya Jevan.”
“Ahh.... jadi kalian temennya anak bau kencur itu?” Laki-laki yang berusi satu tahun lebih tua dari mereka itu berjalan mendekat. “Mau ngapain kesini? Balas dendam?”
Pertanyaan itu diiringu tawa dari tujuh anggota geng yang lain.
“Udah deh, mending kalian pulang aja. Sebelum nasib kalian sama kayak junior gak tau diri yang berani deketin pacar gue itu.”
Si laki-laki pentolan mendorong bahu Raechan pelan sebelum kemudian membalikkan badan dan berjalan angkuh ke arah teman-temannya lagi. Namun langkahnya mendadak terhenti saat Raechan tertawa keras sekali. “Bener kata lo Jaen, mereka cuma orang-orang cupu yang beraninya ngeroyok orang mabuk doang.”
“Apa kata lo? Cup—–”
Bugh
Raechan melayangkan tinjunya tepat saat si Pentolan Geng berbalik muka. Satu tinju dari Raechan sudah cukup untuk membuatnya tersungkur ke lantai dengan sudut bibir robek.
“Soni!” Ketujuh teman si Pentolan Geng berjalan cepat dan membantu laki-laki itu berdiri. Mereka menatap Raechan dan Jaenandra dengan tatapan marah.
“Kalau gak mau dikatain cupu, sini coba lawan kita.”
Setelah itu, perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Dua lawan delapan. Empat orang menyerbu Raechan dan empat orang lain menyerbu Jaenandra di sudut ruangan. Mereka saling pukul semampu mereka, mencari celah untuk saling melumpuhkan. Suara benda patah dan pecah mengiringi suara pukulan dan makian yang memenuhi rumah.
Beberapa orang dari geng Si Pentolan sudah tersungkur ke lantai dan tidak lagi mampu bangkit setelah beberapa menit terlewat. Luka lebam dan darah menghiasi wajah dan tubuh mereka. Mereka merintih kesakitan sambil memegangi anggota tubuh yang terluka paling parah. Ada yang memegangi hidungnya, kaki kanannya dan juga perutnya.
Bugh
Pukulan terakhir dari Raechan membuat si Pentolan Geng tersungkur di bawah kakinya. Dengan marah, kaki Raechan menginjak dada seniornya itu. “Jangan lagi lo berani ganggu sahabat gue.”
“Temen lo yang rebut cewek gue, aarrghh sakit....” lirih si Pentolan Geng kesakitan.
“Cewek lo yang bilang ke Jevan kalau kalian udah putus, cari tau dulu yang sebenernya sebelum pukul orang.”
“Aaaargghhh....” teriakan si Pentolan Geng semakin keras saat injakan Raechan juga semakin meremukkan tulang-tulangnya.
“Rae, udah Rae. Ini udah setimpal sama apa yang Jevan dapet. Dia bisa mati kalau lo lanjutin.” Jaenandra memperingatkan, menarik tubuh Raechan menjauh dari Pentolan Geng yang langsung berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah kaki Raechan terangkat dari dadanya.
“Lo semua... Sampe sekali lagi gue tau kalian cari gara-gara sama Jevan atau sahabat gue yang lain, abis lo sama gue.” Raechan menatap satu-persatu seniornya yang saat ini menatapnya dengan takut-takut sebelum pergi meninggalkan rumah sialan itu dan kembali ke studio Jevan.
“LO BERDUA TUH SOLIDARITASNYA EMANG TINGGI BANGET. TAPI KADAR KETOLOLANNYA JAUH LEBIH TINGGI!”
Bibir Raechan dan Jaenandra terkatup rapat di hadapan Juan. Rancauan penuh emosi yang disampaikan dengan nada tinggi masih terus keluar secara membabi buta dari mulut laki-laki setinggi lebih dari 170cm itu. Di belakangnya berdiri Markio dan Garend yang juga menatap kedua terdakwa dengan wajah jengah.
“Nanti lo pada pulang ke rumah mau ngomong apa sama Om dan Tante, hah? Jatuh di kamar mandi? Kepleset di tangga sekolah?! Udah gak bakal percaya mereka juga.” sambung Juan belum selesai, “orang tua lo berdua tuh udah pantes menyandang gelar sebagai orang tua paling sabar sedunia tau gak? Baru juga tahun lalu lo berdua legal, udah adaaaa aja kelakuannya perasaan.”
“Wan...”
“DIEM!” Juan menghentak keras tidak ingin diinterupsi, “kalau sampe gengnya pacar Kak Erika tadi mati, lo berdua bakal masuk penjara! Mikir sampe sana gak sih? Lo gak kasian apa nanti orang tua lo berdua harus ngunjungin anaknya ke LAPAS?”
“Tapi kan mereka gak mati, Wan.” lirih Raechan membela diri.
“HAMPIR, RAECHAN! MEREKA UDAH HAMPIR MATI!”
Juan mengacak-acak rambutnya frustasi. Matanya masih menyala marah menatap dua orang sahabatnya yang menunduk sambil memainkan jari-jari tangan.
“Sekarang lo berdua ikut gue ke rumah sakit. Biar luka lo berdua diobatin. Sekalian rontgen deh siapa tau ada tulang yang patah...”
“Kan ini ada dua dokter di depan kita, Wan. Gak usah ke rumah sakit deh ya.” Jaenandra menyela lemah.
“GAK! TETEP HARUS KE RUMAH SAKIT! Yang satu masih mahasiswa tahun pertama, yang satu lagi cuma dokter koas yang kurang tidur. Gue gak percaya sama mereka. Buruan ikut gue!” Dengan ketus, Juan menarik lengan Raechan dan Jaenandra bersamaan. Mereka berdua berjalan pasrah di belakang Juan.
Sementara itu, Markio dan Garend saling pandang.
“Tadi... Si Wawan, ngatain gue gak sih? Perasaan di rumah sakit gue dihormatin karena dianggap dokter koas paling pinter deh. Kok di sini gue jadi dilepeh gini.”
“Kita semua gak ada harganya di mata Wawan, Kak. Sabar, ya!”