Toko Buku
Belum pernah sebelumnya Raechan menginjak gas mobil sedalam itu. Belum pernah sebelumnya Raechan mengabaikan keselamatannya sendiri saat berkendara. Tapi malam itu, tidak perduli sesesak apa jalanan, Raechan berusaha mencari celah untuk mendahului kendaraan-kendaraan lain. Tidak begitu dihiraukannya makian yang mungkin dilontarkan oleh orang-orang yang melihat aksinya.
Setibanya di area parkir sebuah toko buku terkenal, Raechan turun dari mobil dengan tergesa. Membanting pintunya hingga menimbulkan bunyi yang luar biasa keras. Langkahnya terayun cepat, melewati seorang satpam yang menyapanya dengan sopan. Setiap lorong di antara rak buku disusurinya dengan panik. Berharap segera menemukan gadis yang dia cari.
Dan ternyata Kayana ada di sana, di rak buku paling belakang namun paling ramai. Raechan bernafas lega, tidak ada Lukio di sekitar kekasihnya itu. Dengan gerak cepat, Raechan mendekat, menyampirkan jaket berwarna hitam ke bahu Kayana.
Si gadis sedikit tersentak kemudian berbalik, didapatinya wajah Raechan begitu pucat. Seperti seluruh darahnya dihisap habis oleh entah siapa. Kayana menatap khawatir, tanpa perintah otaknya, tangan Kayana sudah bergerak lebih dulu untuk menyentuh sisi wajah Raechan.
“Rae, kamu sakit?”
Raechan tidak menjawab. Dia masih sibuk mengatur nafas. Bulir-bulir keringat mulai muncul di dahi dan sekitar hidungnya.
“Rae, kamu kenapa?”
“Kita pulang, ya?” Raechan berdesis lirih, menggenggam sebelah tangan Kayana dan membawanya keluar dari toko buku.
Di pintu keluar, sebuah mobil melintas di hadapan mereka. Seseorang di dalamnya membuka kaca, kemudian menyunggingkan senyum meremehkan, “Gue udah puas liatin badan cewek lo dari tadi, gue balik duluan, ya?”
Lukio, laki-laki itu kembali menutup kaca mobilnya setelah mengatakan kalimat yang membuat kepala Raechan seakan mendidih.
Kayana masih mencoba mengerti apa yang terjadi, kejadiannya terlalu cepat untuk dia serap begitu saja. Perintah aneh Raechan yang dia kirimkan melalui pesan, belum lagi wajah pucat Raechan serta tetes-tetes keringatnya. Lalu sekarang, Lukio tiba-tiba muncul dan pergi begitu saja.
Kayana butuh sekali penjelasan, tapi melihat Raechan yang diam seperti patung membuatnya mengeyampingkan egonya itu. Dia melepas tangannya dari genggaman Raechan dan berjalan ke arah lemari pendingin yang berisi air mineral dan berbagai minuman lainnya yang dijual. Dia membeli satu, lalu menuntun Raechan untuk masuk ke mobil.
“Minum dulu, Rae.” titah Kayana yang dituruti Raechan, laki-laki itu meneguk airnya sedikit. Tangan-tangan kecil Kayana dengan telaten mengelap wajah Raechan dengan tisu yang dia ambil dari jok belakang, “Udah ngerasa tenang?” tanyanya memastikan.
Raechan mengangguk, wajahnya sudah sedikit tenang. Tidak lagi pucat. Urat-urat yang tadi sempat menegang juga sudah mengendur tenang.
“Kamu gak papa kan, Kay?”
“Justru aku yang harusnya tanya ke kamu, Rae, kamu gak papa?”
“Aku gak papa.” Raechan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi jok mobil, “Aku khawatir banget tadi, Kay.”
“Ini... ada apasih, Rae?”
“Kamu liat sendiri aja ya.”
Raechan mengeluarkan handphone dari sakunya lalu memberikan perangkat canggih itu pada Kayana. Dalam layar datar itu Kayana mulai membaca pesan yang dikirimkan oleh nomor Lukio, lengkap dengan fotonya yang diambil secara diam-diam. Tangan Kayana gemetar, perasaan marah, malu, dan dilecehkan bercampur menjadi satu. Kata-kata yang dikirimkan oleh Lukio benar-benar membuatnya geram. Dia sama sekali tidak tahu bahwa ada seseorang yang tadi mempehatikannya dari jauh.
“Rae, Lukio...”
“Kalau tadi dia turun dari mobil, udah abis dia sama aku, Kay.”
“Sebelum kamu, aku bakal pukul dia duluan.”