New Born
Enam pasang mata orang dewasa menatap takjub ke arah bayi kecil yang sedang menggeliat pelan di balik selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Wajah bayi itu begitu mungil, dengan sepasang mata cantik yang terpejam erat. Hidungnya sudah terlihat tinggi untuk ukuran seorang bayi yang baru terlahir siang tadi. Rambutnya lebat dan hitam pekat. Bibirnya kecil dan berwarna kemerah-merahan. Enam pasang mata itu masih mengikuti gerak-gerak si bayi yang bahkan belum sadar betul betapa menggemaskan dirinya.
“Ini.... beneran hasil bikinannya Raechan?” pertanyaan asal Jevan dihadiahi toyoran pelan dari pria yang berdiri di sebelahnya—Juan. Laki-laki berperewakan paling kecil di antara yang lainnya itu mengulurkan tangan untuk menyentuh kulit si bayi, “Lembut banget, gemes.” gumamnya pelan.
Sementara dua orang laki-laki lain masih menatap si bayi tanpa bersuara. Bibir mereka berdua bergetar. Genangan air menumpuk di sudut mata mereka yang memerah. Perasaan bahagia, takjub dan haru membuat mereka tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Malaikat kecil yang mereka tunggu selama sembilan lamanya telah lahir ke dunia. Si janin kecil yang dulu hanya mereka ajak bicara lewat perut Kayana telah hadir ke dunia dengan wujudnya yang begitu menggemaskan. Si janin yang dulu membuat mereka memperdebatkan nama untuknya selama semalaman suntuk.
Si janin yang akan menyandang nama Sergio Arkiano Leenandar.
Nama yang mereka sepakati untuk diberikan kepada anak Raechan dan Kayana.
“Kak, aku pengen banget gendong Gio. Boleh gak, Kak?”
Satu anggukan dari Kayana membuat Jelena menggelinjang senang. Dia memastikan kedua tangannya bersih terlebih dulu sebelum dengan perlahan mengangkat tubuh kecil Sergio dari ranjang bayinya.
“Halo, Gio. Ini Tante Elen.” Jelena menimang-nimang Sergio dalam pelukannya dan yang lainnya langsung saja mengelilingi Jelena.
Seberapapun mereka merasa gemas, tidak ada di antara mereka yang mencium kedua pipi Sergio dengan asal. Bukan karena Kayana melarang, tapi mereka paham betul bahwa bayi seusia Sergio yang bahkan belum genap satu hari masih memiliki imun yang lemah. Mereka tidak ingin terjadi apa-apa pada si kecil Sergio karena melakukan tindakan sembarangan tanpa lebih dulu memastikan bahwa diri mereka aman dari kuman dan bakteri. Terlebih Jevan dan Jaenandra yang menyadari bahwa mereka berdua adalah perokok berat.
“Nanti Gio kalau udah besar ikut Om Jaenan main basket ya Gio ya?”
“Enak aja, dia mau gue masukin les renang aja biar tinggi.” Juan berucap mantap.
“Gak ada! Gio tuh harus les gitar, drum atau piano dulu! Lo pada gak tau apa kalau anak band tuh ada di urutan paling atas cowok keren yang banyak ditaksir cewek?”
“Guys yang bener tuh Sergio harus belajar IPA dan ikut olimpiade. Supaya jadi dokter.”
“Lo pada ngapain sih sebenernya? Bapaknya juga bukan... Eh btw Raechan kemana, ya?” Klarisa menatap ke sekeliling ruangan dan diikuti tatapan yang lainnya.
Mereka sedikit merasa bersalah karena sejak masuk ke ruangan tadi, fokus mereka hanya pada keadaan Kayana paska melahirkan serta pada si bayi kecil. Mereka sampai tidak menyadari bahwa sejak tadi Raechan tidak ada di antara mereka.
“Gue di sini.”
Suara itu berasal dari pintu kamar mandi yang terbuka. Raechan muncul dari sana, dengan mata dan hidung yang memerah. Di tangan kanannya terdapat satu kotak tisu dan di tangan kirinya terdapat sehelai baju bayi.
“Rae, lo....”
“Gue jadi Papa.” Raechan berbisik lirih, air mata kembali menuruni kedua pipinya dengan begitu deras. Raechan terduduk di lantai, bersandar pada dinding, dan kembali sibuk dengan tisu-tisunya, “Anak gue sehat, gue jadi Papa.”
“Dia udah kayak gitu dari Gio lahir tadi.” dari ranjang rumah sakit tempatnya berbaring, Kayana berucap lirih sambil memandangi suaminya, “Papa, Mama, Ayah sama Ibu sampe capek liatnya.”
Belum habis rasa geli sahabat-sahabat Raechan, seorang suster mengetuk lalu membuka pintu ruangan Kayana, “Permisi....”
“Saya mau mengantarkan makan malam untuk Ibu Kayana.”
“Oh iya-iya, Sus. Silahkan...” Raechan langsung berdiri mempersilahkan meskipun mata dan hidungnya masih berair, “Keadaan istri saya gak dicek, Sus?”
“Besok pagi akan dicek, Pak. Tapi sejauh ini keadaan Ibu Kayana baik, Pak Raechan tidak perlu khwatir.” Suster itu tersenyum ramah sambil mendekati Kayana setelah meletakkan nampan berisi makanan di meja, “Atau mungkin Ibu Kayana ada keluhan?”
“Gak ada, Sus. Saya baik-baik aja, cuma belum terbiasa aja kalau Gio menyusu, sedikit sakit.”
“Gio gak kayak aku ya, Sayang? Kalau aku mah gak sakit, ya?”
Kini, delapan pasang mata menatap ke arah Raechan. Kebingungan. Speechless.
“Saya permisi, ya.” Suster cantik itu tersenyum kaku, lalu melangkah keluar ruangan.
PLAK
Sebuah pukulan kencang mendarat di leher belakang Raechan dengan keras, “Lo tuh ya!” hardik Klarisa gemas.
“Apa lo?”
“Bisa gak sih....”
“Mas, aku mau makan.”
“Oh iya, Sayang. Aku suapin.” Raechan buru-buru duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang dan membantu Kayana untuk duduk, dia juga memposisikan ranjang Kayana agar nyaman untuk bersandar, “Sakit gak bekas jahitannya?”
“Enggak, Mas.”
Raechan tersenyum, tangannya mengelus lembut sisi wajah Kayana, “Yaudah kita makan, ya. Biar Gio diurusin Om sama Tantenya dulu tuh.”
Kayana mengangguk menatap anaknya yang kini berpindah ke pangkuan Markio yang duduk di sofa dekat jendela.
“Gio boleh diajak pergi-pergi umur berapa, Kak?”
“Katanya sih umur 1 bulan udah boleh, Jev. Asal berat Gio udah sampai 4kg. Bener gak, Yo?”
“Bener, tapi paling amannya nanti kalau udah umur antara 3-6 bulan. Soalnya di usia segitu sistem imunnya udah bagus. Biar Gionya gak sakit, ya, Sayang, ya?”
“Oke kalau gitu berarti selama 3 bulan pertama lo harus siap rumah lo rame terus ya, Raechan? Solanya gue tiap hari bakal ke rumah lo.”
“Gue juga!” sahut Klarisa semangat.
“Gue juga!” tambah Juan.
Raechan dan Kayana saling berpandangan dengan senyuman di wajah mereka masing-masing. Merasa bersyukur karena anak mereka disambut dengan penuh cinta oleh semua orang. Kebahagiaan mereka terasa lengkap, bahkan berlebih.