Istri
Angin malam berhembus lembut menerpa rambut dua orang yang sedang berjalan berdampingan di sisi sungai kecil yang membentang membelah pusat kota. Malam itu tidak terlalu dingin, sehingga begitu nyaman untuk digunakan berjalan-jalan santai. Suara ramai terdengar sayup-sayup dari kejauhan, sepertinya ada anak-anak yang sedang bermain basket di lapangan terbuka yang tidak begitu jauh dari sana.
Raechan menggandeng wanita di sebelahnya dengan sayang, seperti menggandeng ibu kandungnya sendiri, “Ibu belum capek? Gak mau duduk aja?”
Raechan sudah mulai memanggil ibu Kayana dengan panggilan Ibu atas permintaan ibu Kayana sendiri, paska pertemuan keluarga beberapa waktu lalu.
“Belum kok, belum capek, Ibu suka jalan-jalan begini, Rae.”
Raechan tersenyum lembut dan mengangguk pelan.
“Waktu kecil dulu, Kayana suka banget ngajak Ibu main kesini. Setiap weekend, karena dia gak ada les.”
“Kayana dari kecil emang udah sibuk ya, Bu?”
Kali ini ibu Kayana yang tersenyum lembut, “Iya, dia minta dimasukkan ke les ini dan les itu. Jadwalnya selalu penuh, kadang-kadang Ibu sampe khawatir kalau dia kecapek-an, tapi anak itu selalu bilang kalau dia seneng ngejalaninnya.”
Raechan mendengarkan dengan seksama, mereka masih terus berjalan di atas rerumputan basah.
“Anak itu, meskipun dia selalu jadi pusat perhatian, banyak yang senang sama ibu tapi Ibu gak pernah ngerti kenapa dia gak pernah bawa temen ke rumah.” Raechan mendengar hembusan nafas lemah dari ibu Kayana, “Ibu pengen banget kaya Ibu-Ibu yang lain, nyiapin camilan dan minuman karena anaknya pulang ke rumah bawa teman. Tapi sampai dia bertemu kamu, dia gak pernah bawa siapapun ke rumah, Rae.”
“Sama sekali gak pernah, Bu?”
“Iya, gak pernah sama sekali. Kamu orang pertama yang dateng ke rumah dan bilang kalau kamu temennya Kayana.”
Perkataan ibu Kayana membuat Raechan teringat malam dimana dia menyatukan seluruh keberaniannya untuk mengetuk pintu rumah Kayana. Dia jadi mengerti kenapa senyum ayah Kayana semerekah itu saat dia memperkenalkan diri sebagai teman Kayana. Juga alasan kenapa malam itu ibu Kayana langsung berjingkat-jingkat senang menuju dapur untuk membuat makan malam.
“Ibu banyak bersyukur kamu masuk ke hidup Kayana, Rae. Kamu bawa banyak sekali kebahagiaan ke hidup Kayana, teman-teman baru, pengalaman-pengalaman baru. Ibu masih ingat gimana semangatnya dia waktu kalian mau liburan ke vilanya Jaenandra.”
“Raechan seneng kalau Kayana seneng, Bu.”
Ibu Kayana berhenti berjalan, dia menyentuh lengan Raechan yang sejak tadi menggandengnya, “Tapi kamu jangan sampai lupa cari kebahagiaan kamu sendiri, ya? Kadang-kadang, orang-orang tuh terlalu fokus ngebahagiain orang lain sampai lupa kebahagiaannya sendiri, dan ujung-ujungnya mereka lelah sendiri. Kamu harus cari kebahagiaan kamu, kamu juga bisa minta Kayana untuk ngebahagiain kamu, cinta itu tentang memberi dan menerima, Raechan.”
“Iya, Bu.”
Suara anak-anak sudah tidak lagi terdengar. Malam sudah semakin larut, sepertinya mereka sudah beranjak pulang. Namun Raechan dan ibu Kayana masih saling berpandangan dalam rasa syukur mereka masing-masing.
Di dalam hatinya, ibu Kayana mengucap syukur karena anaknya akan jatuh di tangan laki-laki yang baik seperti Raechan. Segala apa yang anaknya butuhkan telah diberikan oleh laki-laki itu. Didengarnya dari Kayana bahwa Kayana sendiripun sampai kebingungan untuk mengimbangi kebaikan dan kecerdasan Raechan untuk membahagiakan orang-orang sekitarnya.
Dan di dalam hati Raechan, dia amat bersyukur karena bisa diterima dan disayangi oleh calon mertuanya seperti ini. Kebanyakan, orang tua hanya akan mementingkan kebahagiaan anaknya. Tapi ibu Kayana justru menyuruhnya untuk tidak melupakan dirinya sendiri ketika berusaha membahagiakan Kayana.
“Ngomong-ngomong, ada apa kamu ajak Ibu keluar, Nak? Pasti ada yang kamu ingin sampaikan, kan?”
Raechan diam sebentar sebelum menjawab, “Sesuai yang Ibu bilang tadi, Kayana gak pernah punya teman dekat. Jadi Raechan rasa, sahabat Kayana itu ya cuma Ibu.”
“Raechan punya dua adik, Bu. Rasa-rasanya, walaupun nanti Mama merasa kehilangan Raechan karena menikah, rasa kehilangannya gak akan sebesar Ibu. Kayana anak Ibu satu-satunya, teman Ibu, sahabat Ibu, Raechan ngerasa bersalah karena ambil Kayana dari Ibu setelah Ayah dan Ibu didik Kayana jadi anak sehebat sekarang.”
“Nak...” Genggaman tangan ibu Kayana semakin erat, “Ibu gak kehilangan anak Ibu, justru Ibu sekarang punya dua anak. Kayana dan kamu. Atau malah empat anak? Karena Ibu juga sayang ke Dama dan Selo.”
Sungguh, jawaban itu adalah jawaban paling arif dan bijaksana yang Raechan dengar selama dia hidup. Hatinya berbunga-bunga, lega luar biasa. Dibiarkannya perasaannya itu naik dari dada hingga membuat kedua sudut bibirnya terangkat senang. Raechan sama sekali tidak menahan senyumannya, dibiarkannya ibu Kayana melihat jelas seberapa senang dia malam itu.
“Bu, makasih, makasih banyak.”
Mereka lalu kembali berjalan, masih sambil bergandengan tangan. Dan sepertinya janjinya, Raechan mengantarkan ibu Kayana pulang ke rumah, dengan selamat.
Mereka disambut Kayana dan ayahnya yang langsung keluar rumah saat mendengar Raechan membuka gerbang. Sepertinya Kayana sudah pulang sejak tadi, bisa dilihat dari keadaannya yang segar usai mandi, handuk masih melilit di kepalanya. Pakaiannya pun sudah sangat santai, pakaian rumahan, celana pendek putih dan kaus kebesaran berwarna pink pastel.
“Haduh dibawa kemana saja ini Istriku?” seloroh Gati bercanda, pria setengah baya itu langsung membawa tubuh istrinya ke sisinya, “Kamu berani-beraninya bawa kencan Istri saya ya!”
Raechan terkekeh menanggapi guyonan Gati, “Sekarang istri bapak sudah saya kembalikan, sebagai gantinya, boleh saya bawa pergi calon istri saya sendiri?”
“Woh kamu ini! Sama istri saya mau! Sama anak saya juga mau!”
“Lhoo tapi kan istri bapak saya kembalikan,” Raechan menarik lembut tangan Kayana agar berdiri di sisinya, “Kalau yang ini gak akan saya kembalikan.”
Kedua orang tua Kayana hanya bisa tertawa atas tingkah calon menantu mereka, lalu mereka masuk dan membiarkan dua sejoli itu duduk berdua di kursi teras, “Gimana hari ini? Cerita dong.”
Atas dibukanya sesi bercerita oleh Raechan, Kayana menceritakan segala yang ingin dia ceritakan. Raechan mendengarkan dengan seksama cerita wanita yang dicintainya itu. Sambil memandangi wajahnya yang ayu tanpa make up. Juga aroma sabun yang menyatu dengan body lotion yang Kayana kenakan.