Makan Malam Keluarga
Tumpukan wadah berisi daging segar tertata rapi di meja. Makanan pendamping lainnya seperti sosis, kentang goreng, pizza, ayam goreng juga tersedia disana. Minuman kalengan dingin melengkapi meriahnya meja makan keluarga Gati. Tidak lupa, Kayana menyediakan beberapa botol kopi karena dia ingat bahwa Raechan tidak begitu menyukai minuman bersoda.
Pukul enam sore, keluarga Leenandar tiba. Nyonya Leenandar memberikan sebuket bunga cantik kepada istri Tuan Gati setelah memeluknya dan melakukan cipika-cipiki, khas sekali seperti ibu-ibu lainnya. Selo berlarian ke dalam untuk menemui Kayana yang masih menata meja, Raechan dan Dama muncul setelahnya. Sedangkan Gati langsung mengajak Andar untuk duduk di ruang tamu keluarganya.
“Wah, rumahnya bagus sekali Mas Gati, saya suka tone warna untuk interiornya.” puji Andar setelah matanya berkeliling menyapu seisi rumah keluarga Gati.
Yang dipuji hanya tersenyum senang kemudian membuka toples-toples makanan yang tersedia di meja ruang tamu, “Semuanya itu, yang pilih Ibunya Kayana, Mas.”
“Saya harus belajar nih dari Mbak Gati, tapi pasti saya aka tetap kalah dengan empat laki-laki yang ada di rumah. Mereka ingin semuanya serba hitam dan putih, pusing saya.”
“Sebentar lagi tinggal tiga laki-laki, Ma.” Andar menyahut jenaka, merujuk pada Raechan yang akan segera meninggalkan rumah karena akan membangun rumah tangganya sendiri, “Tadi sebelum kesini, kami mampir dulu ke rumah barunya Raechan dan Kayana, wah bagus sekali rumahnya. Mas Gati harus melihatnya sendiri, supaya yakin juga kalau Kayana akan nyaman tinggal di sana.”
“Saya sudah percayakan semuanya pada Raechan, Mas. Anak Mas Andar sudah tau tanggung jawabnya sebagai laki-laki, saya yang akan menerimanya sebagai anak menantu saja sudah bangga dengan dia.”
Dari ruang makan, Raechan tersenyum malu-malu. Disembunyikkannya wajahnya yang memerah dari Kayana. Tidak ada satupun orang yang mengetahui, betapa lega dan bahagianya hati Raechan malam itu. Dengan telinganya sendiri, dia mendengar bahwa calon ayah mertuanya memujinya sedemikian rupa. Rasanya, segala lelah yang dia rasakan terbayar sudah dengan ikhlasnya ayah kandung Kayana melepaskan anak gadisnya untuk kelak Raechan nikahi.
Salah satu tanggung jawab Raechan telah terpenuhi, memberikan hunian nyaman untuk Kayana. Gadis itu, tidak pernah dia diberi kekurangan oleh orang tuanya. Dan menjadi tanggung jawab Raechan untuk memberinya lebih, atau paling tidak setara. Dengan terbelinya rumah itu, Raechan juga telah membuktikan kepada papanya bahwa dia memang sudah mampu dan sanggup menjadi kepala keluarga.
Senyum Raechan sedikit memudar saat suara dari ruang tamu kembali terdengar, “Kalau untuk hari baiknya, menurut Mas Andar bagaimana?”
Raechan memasang telinga lebar-lebar.
“Menurut saya, semua hari adalah hari baik. Tapi kemarin Raechan sempat bilang, pernikahannya ingin mereka langsungkan saat liburan semester depan. Itu artinya... Kayana masuk semester lima dan Raechan masuk ke semeter tiga. Kata Raechan, dia juga masih butuh waktu selama itu untuk mengumpulkan dana. Anak itu, dia tidak ingin menggunakan uang Papanya, Mas.”
Tawa Gati terdengar renyah menyambut penjelasan Andar, “Ya, ya, dia juga bilang itu ke saya, Mas. Katanya, kalau menggunakan uang Ayahnya, dia tidak bisa mengatur pestanya sesuai yang Kayana mau. Padahal hari itu, dia ingin menjadikan Kayana sebagai ratu di pesta yang diaturnya sendiri.”
Tawa dua orang ibu-ibu dan bapak-bapak terdengar menggema mengisi seluruh rumah hingga Selo sedikit terkejut dan merapatkan tubuhnya ke paha Kayana—karena tinggi Selo memang baru sebatas itu.
“Padahal, kita siap ya, Mas Andar, jadi donatur pesta mereka?” Gati pura-pura berbisik, meskipun suaranya tetap terdengar.
“Betul itu, tabunganku lho banyak.”
Raechan ikut terkekeh dan mendekati Kayana yang masih saja sibuk dengan bahan makanan di tangannya. Dama sudah melenggang ke halaman belakang untuk melihat-lihat keseluruhan rumah Kayana.
“Aku seneng banget denger Papa-Mama seakrab itu sama Om dan Tante, Kay.” Bisik Raechan lirih, ingin dipeluknya kekasihnya itu dari belakang. Namun dia masih menjaga sopan santun, tidak baik berperilaku seperti itu di saat kedua orang tuanya serta kedua orang tua Kayana berada di ruangan lain yang hanya dibatasi dinding.
“Aku juga. Semuanya berkat kamu, Rae. Kamu yang bikin Mama dateng kesini dan bawa Selo untuk hibur aku waktu itu. Jadinya mereka akrab. Kamu juga yang nemuin Ayah sama Papa dan bikin mereka golf bareng.”
“Jalan Tuhan itu, Kay.” sanggah Raechan merendah. Padahal Kayana benar-benar merasa Raechan benar-benar orang yang paling berbuat banyak untuk kelancaran hubungan mereka.
“Ya tapi tetep aja...” ucapan Kayana tidak selesai karea saat itu, tiba-tiba terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah Kayana. Mereka berdua saling tatap dengan wajah yang bertanya-tanya.
Dari lorong yang menghubungkan ruang makan dengan pintu masuk, Kayana mengintip dan mendapati seorang wanita yang lebih tua dari Ibunya sedang berjalan masuk.
Wanita itu adalah Tante Ana, satu-satunya saudara kandung ibu Kayana.
Ana menatap bingung ke arah Papa dan Mama Raechan, lalu dengan ramah Andar menjelaskan maksud kedatangannya. Ada senyum ganjil yang tercetak di wajah Ana saat mendengar bahwa kepokan tunggalnya akan segera dinikahi oleh laki-laki yang umurnya baru menginjak dua puluh tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa.
“Anak jaman sekarang ada-ada saja, sudah hamil duluan dia?” ucapannya sangat merendahkan, membuat telinga Gati panas hingga berdengung menandakan amarah, “Anak jaman sekarang, kalau masih kuliah tiba-tiba ingin menikah, ya pasti karena pacarannya sudah terlalu jauh.”
“Mbak,” istri Gati itu menyentuh lengan kakak kandungnya untuk memperingatkan.
Kayana memanggil Dama untuk menemani Selo di dapur, sementara dia menarik lengan Raechan untuk bergabung ke ruang tamu, “Tante ngomong apa tadi?”
“Kamu sudah hamil?” cerca Ana.
“Gak semua orang yang mau menikah muda itu karena hamil di luar nikah, Tante.” Kayana masih menjawab dengan suara yang dia buat selembut mungkin.
“Oke anggap saja kamu memang gak hamil. Terus kenapa kamu mau menikah secepat ini? Sudah punya apa kamu? Calon suamimu itu mau menghidupi kamu dengan uang Ayahnya? Cih, mending selesaikan dulu kuliah kalian dulu itu.”
Gati sudah akan merampas hak bicara Ana tapi Kayana lebih dulu melakukan itu dengan ketegasannya, “Tante, maaf sebelumnya, malam ini Ayah sama Ibu mengundang Papa dan Mama untuk datang kesini karena urusan KELUARGA.” Kayana menenankan sekali ucapannya saat menyebut keluarga, “Kayana tau, Tante juga bagian dari keluarga Ibu. Tapi maaf, kalau Tante kesini cuma untuk bikin suasana di rumah ini jadi gak nyaman, Kayana sendiri yang akan menutup pintu rumah ini untuk Tante.”
Bagi sebagian orang, mungkin tindakan Kayana akan terkesan kurang ajar. Tapi jika mereka tahu, sejauh apa ucapan Ana bisa menyinggung keluarga Raechan, mungkin mereka akan memahami sikap Kayana.
“Lihat, belum menikah saja sudah begini kelakuannya.” Ana masih belum mau diam, dia justru mendekat ke arah Raechan, “Bocah bau kencur kok sudah mau menikah.”
Habis sudah kesabaran Kayana, dia hampir-hampir mengatakan hal yang setajam belati namun sentuhan Raechan di punggungnya meredam amarahnya, “Kita ke halaman belakang aja, yuk, Kay? Permisi, Tante.” Raechan melempar senyum pada Ana yang hanya dibalas wajah tanpa ekspresi.
Di halaman belakang, Raechan mendudukkan Kayana di kursi kayu. Dia berjongkok di depan Kayana dan menatap wajah gadis itu yang begitu murung. “Gak semua orang bisa ngerti keputusan kita, Kay.” ucap Raechan kembut, dia ingin menasehati Kayana tapi tidak dengan cara mengguruinya, “Terserah aja orang mau mikir apa tentang keinginan kita untuk menikah muda, iya kan?”
“Iya, Rae, tapi kan bisa aja ngomongnya tuh gak usah kayak tadi.”
“Gak semua orang sepintar kamu, Sayang. Ada beberapa orang yang pola pikirnya kayak Tante Ana gitu.”
“Gak sopan. Aku gak enak sama Papa dan Mama, Rae.”
“Papa sama Mama sepintar kamu, mereka gak akan kepancing emosinya sama ucapan Tante Ana. Jangan khawatir.” Seperti bisasa, Raechan menangkup kedua tangan Kayana untuk kemudian dia cium lembut, “Jangan cemberut lagi, ya?”
“Aku pengen Tante Ana pulang.”
“Kita usir pakai cara halus mau gak?”
“Gimana?”
“Pake anak-anak. Kita suruh mereka kesini. Kamu tau seberesik apa mereka, kan? Aku yakin, Tante Ana gak akan betah lama-lama.”
Kayana tersenyum mengiyakan. Ditatapnya wajah Raechan yang masih tetap tenang bahkan ketika hatinya mungkin mencelos karena ucapan Tante Ana. Kayana menyukai ketenangan Raechan dalam menghadapi masalah semenyebalkan ini. Dan ketenangan Raechan membawa ketenangan juga untuk dirinya.