Amarah

Sejak Kayana berusia tepat tujuh belas tahun, dia tidak pernah lagi memanggil Ana—Tantenya—dengan sebutan “Tante”. Dia lebih senang memanggil wanita itu dengan panggilan Kakaknya Ibu. Karena menurut Kayana, tantenya itu sama sekali tidak mencerminkan sosok seorang Tante yang sepantasnya. Kayana hanya merasa bahwa dia harus menghormati wanita itu karena hubungan darah antara wanita itu dan ibunya.

Pada ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun, Kayana masih ingat betul apa yang dilakukan kakak ibunya itu. Di pesta yang sedang digelar meriah, kakak ibunya itu justru menjadikan pesta perayaan ulang tahun Kayana menjadi pesta pertunangan anak kandungnya sendiri. Entah apa yang ada di otak wanita itu saat melakukannya, Kayana benar-benar tidak pernah bisa mengerti. Mulai hari itu, ada perasaan amarah yang melanda jiwa Kayana. Terlebih, jika menengok ke belakang, sudah banyak sekali kejadian menyebalkan yang diakibatkan oleh kakak ibunya itu. Mulai dari barang-barang di rumah Kayana yang sering dihinanya, prestasi Kayana yang selalu dia bandingkan dengan anak-anaknya, kehidupan sekolah Kayana yang tidak pernah memenuhi ekspektasi hingga persoalan pernikahan Kayana yang dianggapnya aib keluarga.

Hari ini, di rumah neneknya yang berada di pinggiran kota, Kayana menatap sosok kakak ibunya itu dengan tatapan paling jengah. Wanita itu masih sibuk mengata-ngatai kedua orang tua Kayana karena tidak sanggup mendidik Kayana menjadi anak yang lebih mementingan pendidikan dari pada urusan cinta. Disalahkannya kedua orang tua Kayana karena Kayana akan melangsungkan pernikahan saat statusnya masih menjadi mahasiswa. Disalahkannya kedua orang tua Kayana dan dituduhnya bahwa mereka tidak sanggup menjaga seorang anak gadis hingga hamil di luar nikah.

Percikan api amarah yang sudah ada sejak lama di hati Kayana berkobar. Membuatnya pergi ke luar rumah dan menghentikan sebuah taksi untuk membawanya pulang ke rumah, atau kemana saja yang jauh dari rumah kakek dan neneknya. Sudah tidak difikirkannya lagi ketakutannya untuk naik kendaraan umum. Sudah tidak difikirkannya lagi argo taksi yang mungkin akan sangat mahal karena jarak yang ditempuhnya sangat jauh. Yang Kayana fikirkan hanyalah dia ingin segera pergi dari sana, agar tidak lagi mendengar ocehan panjang tanpa arti dari wanita tua itu. Sebetulnya, Kayana bisa saja membalas semua ocehan menyebalkan yang keluar seperti daun-daun tua yang terhempas oleh angin ribut, tapi sayang, Kayana sudah berjanji kepada ayahnya bahwa dia tidak akan berlaku kurang ajar di depan kakek dan neneknya yang sudah mulai renta.

Taksi yang Kayana tumpangi dia arahkan menuju sebuah hotel di pusat kota. Tempat dimana dia sudah membooking sebuah kamar dan menyuruh Raechan untuk datang kesana lebih dulu. Tidak dijawabnya sapaan para petugas hotel yang menyapanya dengan ramah. Kayana terus berjalan membelah koridor yang akan membawanya ke sebuah kamar dimana ada Raechan di dalamnya.

Ketukan pintu yang terdengar liar membuat Raechan buru-buru membuka pintu itu. Kayana muncul di baliknya, dengan wajah merah padam karena menahan amarah. Tanpa berkata apapun lebih dulu, Kayana menerjang tubuh Raechan. Mengunci bibir Raechan dengan ciumannya, membuat laki-laki itu terhuyung ke belakang karena terkejut. Dengan sebelah tangan, Kayana mendorong pintu hotel agar tertutup rapat. Setelah itu, dia melingkarkan kedua lengannya di leher Raechan, memaksa kekasihnya untuk membalas ciumannya dengan sama bergairah.

Raechan masih belum tahu apa yang terjadi, tapi sentuhan lembut yang Kayana berikan pada tengkuknya membuat Raechan memejamkan mata dan mengimbangi ciuman panas Kayana. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara kecapan dan deru nafas tertahan. Lama mereka bertahan dalam posisi itu sebelum tangan-tangan kecil Kayana menyentuh ujung kemeja Raechan. Dibukanya kancing kemeja itu satu-persatu hingga menampakkan dada Raechan yang bidang. Raechan membiarkannya saja, mengikuti segala bentuk permainan yang coba Kayana lakukan. Mereka bergerak lebih jauh saat tubuh keduanya sudah berada di atas ranjang. Ciuman Kayana kian panas, bahkan gadis itu dengan berani menurunkan ciumannya ke leher bahkan dada Raechan. Raechan dibuatnya mabuk kepayang dengan ciuman-ciuman kecil. Hampir lepas kendali, karena sejujurnya, meskipun sering menahan diri, Raechan tetaplah seorang laki-laki. Laki-laki yang bisa begitu bergairah saat gadis yang dicintainya mengangkangi dirinya dan duduk tepat di atas pusat dirinya. Ditambah lagi sentuhan-sentuhan Kayana yang membuatnya hampir kehilangan akal.

Kayana sudah hampir melepaskan ikat pinggang Raechan, namun kedua tanggan kekar Raechan menahannya.

“Kayana,” tegur Raechan teramat pelan, membuat Kayana menatap kedua mata Raechan yang juga sedang menatapnya, “Don’t do this, kalau kamu ngelakuinnya tanpa sadar. Nanti kamu nyesel, Kay. Get yourself together, kamu kenapa?”

Let’s do this, Rae. Aku sadar kok sama apa yang lakuin.” ucapan Kayana berbanding terbalik dengan suaranya yang bergetar—-menandakan ketidakpastian, keragu-raguan, “Kakaknya Ibu masih aja yakin aku hamil di luar nikah. Ayo bikin aku hamil, Rae. Biar dia puas sekalian.”

Raechan mulai mengerti titik permasalahannya. Wajah merah padam Kayana dan ciumannya yang menggebu-gebu ternyata diakibatkan oleh urusan keluarganya yang berlangsung tidak baik. Dengan telaten, Raechan merapikan rambut Kayana yang berantakan dan dia bangkit dari posisi tidurnya. Saat ini, mereka duduk berhadap-hadapan, sangat dekat, terlewat intim. Membuat Raechan kembali merasakan gelenyar aneh yang coba dia tahan mati-matian.

“Kay, I know that your are such a great kisser. Tapi ciuman kamu hari ini, aku gak menikmatinya sama sekali.” bohong Raechan demi kebaikan Kayana, “Aku gak tau semarah apa kamu sama Tante Ana, tapi apa yang kamu minta dari aku sekarang ini, bener-bener gak masuk akal.”

“Aku gak suka Kakaknya Ibu, Rae.”

“Aku tau, tapi gak dengan cara ini kamu balas dia, Kay.” Raechan berusaha menatap Kayana yang tertunduk, “Selain karena masalah ini, Tante Ana ada buat salah sama kamu, ya? Kemarahan kamu yang coba kamu lampiasin itu gak hanya kemarahan karena hal ini, kan?”

Raechan memang tidak membuka baju Kayana sedikitpun, tapi gadis itu telah merasa ditelanjangi karena Raechan merasakan apa yang selama ini menggerogoti hatinya.

“Kemarahan kamu ke Tante Ana, udah kamu tahan bertahun-tahun, ya?”

Kayana tidak bisa mengelak lagi, dia hanya mengangguk pelan.

“Sini,” bisik Raechan lembut. Direngkuhnya tubuh Kayana hingga dia merasakan dadanya yang telanjang basah oleh air mata. Untuk kedua kalinya Kayana menangis di pelukan Raechan, “Aku gak akan maksa kamu untuk maafin Tante Ana, karena aku gak tau separah apa luka yang dia buat di hati kamu. Tapi kalau boleh aku minta, jangan simpen semua amarah kamu sendirian, ya? Kamu punya aku sekarang, kamu bisa bagi sakitnya sama aku.”

Kayana belum menjawab, dia masih sibuk dengan isak tangisnya sendiri.

“Kay, dalam hidup, kita gak selalu ketemu sama orang yang sepaham sama kita. Masih seperti malam itu, aku cuma mau bilang kalau mungkin pola pikir Tante Ana masih sebegitu buruknya tentang nikah muda. Tapi kita gak bisa maksa dia buat sepaham sama kita. Kita juga gak bisa ngebuat dia ngehapus pemikiran buruknya tentang alasan kenapa ingin cepat-cepat menikah.” Raechan mengelus pelan punggung Kayana, “Tapi kita bisa mengabaikannya, Kay. Sangat-sangat bisa. Itu cara termudah buat ngelindungin hati kita sendiri. Selagi apa yang dia omongin gak bener, selagi orang-orang terdekat kita sejalan sama kita, kita gak perlu musingin hal-hal yang diluar kendali kita.”

“Mungkin Tante Ana itu jadi ujian buat memperkuat hubungan kita sebelum menikah.” Raechan mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecupan pada kepala Kayana.

Tangis Kayana mereda, diusapnya dada Raechan yang basah karena air matanya, “Badan kamu jadi basah, maaf, Rae.” Ucap Kayana sembari sesekali terisak.

“Gak papa, nanti juga kering. Ada masalah yang lebih penting dari itu, Kay.”

“Apa?”

“Kayaknya aku harus mandi sekarang, keramas, supaya otak aku bener lagi. Ciuman kamu tadi, sentuhan kamu. Ah enggak, gak bisa dibiarin, aku harus mandi sekarang.”

Kayana hanya menatap bingung ke arah Raechan yang hilang dibalik pintu kamar mandi. Gadis itu belum sadar bahwa dialah di balik alasan kenapa Raechan harus mengucuri kepalanya dengan dinginnya air keran.