petrichorslines

Ada kalimat terkenal yang berbunyi, jangan mengambil keputusan ketika sedang marah dan jangan berjanji ketika sedang senang. Kayana lupa pernah membacanya dimana, mungkin dari buku-buku yang tertumpuk di sudut kamarnya, atau mungkin juga dari unggahan orang-orang yang ada di dunia luas yang disebut sosial media. Saat marah, orang-orang cenderung berpikir tidak dengan hati dan pikirannya, tetapi mengikuti amarah yang sedang menguasai dirinya. Itulah kenapa, Kayana memilih untuk diam di kamarnya hingga kemarahannya akan kebohongan Raechan mereda. Lalu nanti, saat dia merasa keadaan hatinya membaik, dia sendiri yang akan menemui Raechan yang mungkin saat ini juga sedang menunggu kabar darinya.

Ingatan Kayana kembali pada pukul setengah sembilan pagi tadi. Saat dia hendak menuju mobil Raechan yang terparkir di lahan parkir kampus. Matanya menatap bingung ke arah seorang gadis yang sudah lebih dulu berdiri di mobil Raechan. Gadis yang belum pernah Kayana lihat sebelumnya. Dengan lembut Kayana menegur gadis itu dan menanyakan kenapa dia berada di sebelah mobil Raechan. Lalu dengan sama lembutnya gadis itu menjelaskan bahwa dia datang kesini untuk menemui si pemilik mobil. Dari gadis itu juga Kayana tahu bahwa selama sebulan belakangan ini, Raechan bekerja di sebuah cafe yang bernama Purply Cafe.

Satu bulan yang membuat Kayana tidak bisa bertemu dengan Raechan. Satu bulan yang Kayana yakini bahwa Raechan bekerja di kantor milik papanya hingga tidak sempat pergi ke kampus. Satu bulan yang Kayana habiskan dengan mengkhawatirkan Raechan. Dan ternyata, satu bulan itu Raechan habiskan untuk bekerja di suatu tempat yang tidak Kayana ketahui seluk beluknya. Gadis itu sama sekali bukan mahasiswi kampus ini. Dia adalah mahasiswi di kampus yang dekat dengan cafe tempat Raechan bekerja. Dia datang kesini setelah diberi tahu oleh pemilik cafe bahwa Raechan berkuliah di kampus ini.

Dengan berat hati Kayana memberitahu pada gadis itu bahwa laki-laki yang ingin ditemuinya sedang berkutat dengan soal-soal ujian di kelasnya. Dan dengan hati yang lebih berat lagi, Kayana melangkah pergi dengan banyak pertanyaan menggantung di benaknya.

Kayana tidak menceritakan hal ini pada siapapun, tapi dengan otak cerdiknya, dia mencari tahu apakah Raechan hanya menyembunyikan hal ini darinya atau juga menyembunyikannya pada semua orang. Orang pertama yang Kayana selidiki adalah Dama, adik kandung Raechan. Dan laki-laki muda itu ternyata tidak juga mengetahui bahwa selama ini kakak kandungnya bekerja sebagai pegawai cafe. Perasaan Kayana sedikit membaik karena ternyata Raechan menyembunyikan hal tersebut bukan hanya pada dirinya, namun juga pada orang-orang terdekatnya. Diingatnya juga bahwa bahkan papa Raechan sendiri tidak tahu apa yang dilakukan anak kandungnya saaat Kayana menanyakan keberadaan Raechan.

Namun ada hal yang masih mengganjal pada hati Kayana, yaitu alasan kenapa Raechan mengambil pekerjaan sampingan itu hingga mengorbankan kuliahnya? Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Raechan seorang.

Karenanya, setelah merasa dirinya baik-baik saja dan siap mendengarkan penjelasan Raechan. Kayana pergi seorang diri ke sebuah area perkantoran dimana kantor travel agent papa Raechan berada. Setibanya disana, Kayana menghubungi Raechan lebih dulu dan membuat laki-laki itu berlari dalam satu tarikan nafas untuk menemuinya di area parkir.

“Udah makan? Ini aku beliin lagi rice box sama kopinya. Yang tadi siang udah gak enak.”

Raechan tersenyum lembut menatap sekotak makanan yang baru saja Kayana ulurkan padanya, “Kamu udah gak marah nih ceritanya?”

“Aku dari awal juga gak marah.” Jawab Kayana santai, “Cuma males aja ketemu kamu.”

“Ya sama aja gak sih, Sayang?”

“Gak.”

“Iya-iya yaudah, maaf. Tadi kamu kesini udah bilang Ibu sama Ayah? Udah pamit?”

Samar-samar, dari sudut matanya Raechan bisa melihat Kayana mengangguk, “Ibu mau bawain makanan tadi, takutnya kamu belum makan malem. Tapi aku bilang gak usah, soalnya aku masih utang rice box sama kamu.”

Sebelah tangan Raechan mengelus kepala Kayana pelan dan turun untuk mencubit sebelah pipinya, terlalu gemas dengan tingkah kekasihnya itu, “Kamu lucu amat sih, Kay.”

Kayana tidak menggubris, dia tidak ingin runtuh pertahanannya karena kelakuan manis Raechan, “Jadi gimana? Purply Cafe tuh apa?”

“Ya cafe, aku kerja di sana. Buat cari tambahan. Selama hampir sebulan, aku harus nyetir dua jam buat sampe sana, karena jaraknya jauh banget dari rumah, sengaja biar gak ada yang tau. Aku kerja dari jam delapan pagi sampe jam tiga sore, abis itu langsung ke kantor Papa. Kerja sampe jam sembilan atau jam sempuluh, pulang dari sana nemenin kamu sleep call deh. Itu kenapa selama waktu itu aku gak pernah bisa anter-jemput kamu dan nitipin kamu ke anak-anak, Kay.”

“Kenapa sampe segitunya, Rae?”

Raechan mengambil sebelah tangan Kayana dan menggenggamnya lembut, “Untuk kita, Kay. Uang tabungan aku baru cukup buat beli rumah dan isinya. Juga buat biaya hidup kita setelah menikah. Tapi untuk resepsi, aku harus cari lagi. Makanya aku cari kerja sampingan yang lain. Awalnya, aku gak mau kasih tau kamu dan yang lainnya, karena aku ngerasa ya ini tanggung jawab aku, sebagai laki-laki. Tapi karena kejadian hari ini, aku gak mau nutup-nutupin apa-apa lagi dari kamu.”

Mata Kayana mengerjap-ngerjap tak percaya atas apa yang dia dengar, “Rae...”

“Tolong, tolong banget jangan merasa bersalah. Dari awal, aku gak mau cerita ke kamu karena aku tau respon kamu bakal kayak gini. Tapi aku lakuin semuanya seneng-seneng aja, Kay. Karena aku punya kamu dan aku selalu inget kalau aku lakuin ini semua untuk kita.” Raechan mengecup tangan Kayana yang tadi digenggamnya, “Tapi kamu gak usah khawatir, sekarang aku udah dapet pekerjaan yang lebih baik. Ayahnya Jaenandra baru punya bisnis online gitu dan aku jadi tim marketingnya, aku bisa kerja dari rumah. Gaji yang aku dapet juga jauh lebih besar dari sebelumnya, dalam enam bulan, aku bisa wujudin pernikahan impian kita. Dengan uang yang aku hasilin sendiri.”

“Raechan..” Kayana hanya mampu mendesah pelan. Segala yang didengarnya menimbulkan perasaan aneh. Dia tenang namun juga khawatir. Dia senang tapi juga merasa bersalah.

“Selagi bayaran dari semuanya tuh aku bisa bahagiain kamu dengan usaha aku sendiri, aku bener-bener gak keberatan lakuin ini semua, Kay. You deserve all the good things in life dan aku disini untuk memberikan semua hal itu.”

Malam itu mereka tutup dengan perayaan luar biasa di dalam mobil. Dalam cumbuan Raechan yang bibirnya sedang dia jamah, Kayana tidak lagi merasakan dadanya sesak akan banyak pikiran. Dirinya sudah lega. Raechan sudah menjelaskan semuanya. Dalam hangatnya dekapan Raechan, Kayana kembali merasa bahwa mengiyakan ajakan Raechan untuk menikah adalah hal yang benar.

Sampai kapanpun, seorang anak akan tetap menjadi anak bagi orang tuanya. Sama halnya dengan darah yang tak pernah berhenti mengalir dalam tubuh manusia, kasih sayang orang tua juga akan terus mengalir untuk anak-anak yang mereka kasihi. Meskipun kelak nantinya, orang tua akan dipisahkan dengan anak-anak mereka. Karena pendidikan, pekerjaan dan bahkan pernikahan. Melepaskan bukan perkara mudah. Merelakan tak akan pernah jadi hal remeh. Namun hal itu harus dilakukan, jika memang sudah waktunya. Anak-anak itu, meskipun sudah dibesarkan sepenuh hati, mereka bukan milik orang tuanya. Mereka adalah milik diri mereka sendiri. Orang tua mungkin bisa menasehati tapi mereka bebas menentukan ke arah mana mereka akan pergi.

Pedoman itu yang selalu Gati pegang sejak dulu. Sejak pertama kali seorang putri kecil hadir dalam kehidupannya. Dia sudah berjanji, bahwa kelak, dia tidak akan menjadi sosok ayah yang mengekang anaknya. Ia ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri, yang percaya pada kekuatan kedua kakinya sendiri.

Mungkin karena itulah, Kayana tumbuh menjadi anak yang pemberani, percaya diri dan begitu mandiri. Sejak kecil, Kayana jarang sekali mengadu kepada kedua orang tuanya. Bukan karena mereka tidak dekat, tapi karena Kayana sudah bisa memimpin dirinya sendiri dan menyelesaikan masalah-maalahnya sendiri.

Dan hal itu terjadi lagi, saat akhirnya ada seorang pria yang ingin mempersuntingnya. Kayana baru membicarakan hal tersebut kepada ayah dan ibunya setelah dia membuat keputusannya sendiri. Karena dia paham betul, bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjalani semuanya. Segala baik dan buruknya. Tapi Kayana juga tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang anak yaitu untuk selalu meminta izin dan restu dari kedua orang tuanya.

Kemandirian Kayana itu membuat Gati, sebagai seorang ayah, merasa begitu tenang. Bahkan ketika sebentar lagi dia akan melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup dengan laki-laki lain. Terlebih, laki-laki itu adalah Raechan.

“Loh, Om Gati, kok di sini?” Gati tersenyum lembut mendapati Raechan yang baru keluar dari kantor ayahnya, “Kok gak masuk ke dalem?”

“Om gak punya uang untuk beli paket tour ayah kamu, nanti malah Om diusir.”

“Ih ya enggak lah, ayo, Om masuk aja ke dalem. Apa mau ngopi aja kita?” Raechan berjalan mendekat ke arah Gati dan memeluknya singkat, “Di deket sini ada warung kopi enak loh, Om, kalau malem gini di sebelahnya ada yang jual ketoprak juga. Mau kesana?”

“Enggak, gak usah. Om mau ajak kamu ke suatu tempat, kamu ada waktu, Rae?”

Raechan nampak termangu sesaat. Dia sebetulnya masih keheranan karena mendapati ayah dari kekasihnya itu berada di depan kantornya semalam ini, “Kemana, Om?”

“Udah ayo ikut aja.”

Mereka berdua berakhir mengendarai mobil mereka masing-masing, beriringan untuk menuju ke suatu tempat. Tidak terlalu jauh, hanya berjarak sepuluh menit dari kantor. Gati memakirkan mobilnya di area parkir sebuah toko yang sudah tutup. Diikuti oleh Raechan. Lalu setelahnya mereka berdua berdiri bersebelahan, menatap ke arah jendela kaca besar toko tersebut. Di balik kaca itu, berderet tiga manekin yang mengenakan gaun pernikahan dengan jenis yang berbeda-beda. Dan semuanya tampak begitu cantik diterangi cahaya temaram lampu toko yang sengaja tidak dimatikan bahkan ketika toko tersebut sudah tutup.

“Cantik ya, Rae?” Gati berucap pelan, matanya masih memandangi gaun-gaun pernikahan itu, “Kayana cocok pake yang mana ya, Rae?”

“Semuanya, Om.” jawab Raechan tanpa keragu-raguan, “Kayana cantik pake yang mana aja.”

“Bisa aja kamu tuh.” Gati terkekeh pelan, disenggolnya tubuh Raechan dengan sikunya, “Apa yang bikin kamu jatuh cinta sama Kayana, Rae?”

“Karena Kayana sexy Om. Orangnya, pemikirannya, tingkah-lakunya, semuanya sexy. Dan saya sebagai laki-laki, terlalu suka sama wanita yang se-sexy itu. Om gak berharap saya jawab karena Kayana cantik dan baik, kan?”

Mereka berdua tertawa bersama, membuat suasana menjadi lebih akrab dari sebelumnya, “Kamu harus makasih ke ibunya, Om sejak dulu sibuk kerja. Jadi yang mendidik Kayana ya ibunya itu. Ke-sexy-an Kayana yang kamu sebutin tadi, itu semua karena ibunya.”

“Tante pasti seneng kalau tau Om muji Tante gini.”

“Hahaha pasti, perempuan tu sebetulnya mudah sekali dibuat bahagia, Rae.”

“Setuju, Om.” Raechan menghembuskan napas pelan, “Dulu, waktu Om mau nikahin Tante, apa aja yang Om siapin?”

“Rasa tanggung jawab.”

“Rasa tanggung jawab, Om?”

“Iya, menikahi Tante artinya Om mengambil Tante dari keluarganya. Itu artinya, Om harus bertanggung jawab untuk hidup Tante, seluruhnya.”

“Sama seperti yang kamu lakukan sekarang, Rae. Kamu kerja sampe malem begini karena kamu ingin memberi kehidupan yang baik untuk Kayana, kan?”

Raechan tersenyum dan mengangguk.

“Om merasa tenang melepaskan Kayana karena calon suaminya punya rasa tanggung jawab sebesar kamu. Ayah kamu punya perusahaan besar, sebagai anak, kamu bisa aja minta dimodali sama ayahmu itu. Tapi kamu gak melakukannya, kamu memilih untuk kerja padahal Om tau kalau kuliah saja sudah cukup sulit.”

Tangan Gati merangkul bahu Raechan dan menepuknya pelan, “Om kesal karena bisa melepaskan Kayana semudah ini. Tapi Om juga bersyukur, artinya kamu anak yang baik sampai Om aja gak merasa perlu melihat kamu melakukan banyak hal besar untuk mengizinkan Kayana menikah sama kamu.”

“Widih artinya oke nih ya Om saya nikah sama Kayana?” Raechan bukan bermaksud untuk tidak sopan, hanya saja dia tidak ingin berada di situasi yang terlalu serius. Om Gati adalah orang yang begitu menyenangkan, jadi tidak akan masalah untuk sedikit membelokkan ucapannya seperti ini.

“Emang kalau gak Om izinin, kamu mau apa?”

“Mau minta dinikahin lah sama Om. Siapa suruh Om gak izinin Kayana nikah sama saya, yaudah Om aja yang nikahin saya.”

“Sembarangan kamu tu!” Dan Gati akan selalu menjadi Gati. Seorang ayah yang menyenangkan untuk diajak bercanda.

Malam itu mereka lewati dengan memandangi gaun pernikahan yang masih setia berada di tempatnya. Gati membayangkan betapa anggunnya anaknya nanti ketika mengenakan gaun itu dan berjalan di sampingnya untuk dia antarkan menjemput kebahagiannya.

Sementara Raechan membayangkan betapa cantiknya Kayana dalam balutan gaun pengantin yang akan dia lepaskan dengan kedua tangannya sendiri pada malam harinya.

Oh, sudah cukup sampai disana Raechan berani membayangkan.

Setiap keluarga mempunyai ciri khasnya masing-masing. Ada yang harus bepergian ke luar kota setiap akhir bulan, ada yang harus berkumpul bersama setiap sarapan pagi, ada juga yang diharuskan untuk mencium kening semua anaknya ketika hendak tidur. Di keluarga Kayana, kebiasaan kecil yang selalu mereka lakukan sejak dulu adalah duduk bersama di ruang keluarga setelah selesai makan malam. Entah untuk minum teh bersama dan menonton series atau hanya duduk-duduk saja sambil bercengkrama. Tidak heran, malam ini, ketika Kayana pulang sedikit terlambat dari biasanya, dia sudah mendapati Ayah dan Ibunya duduk bersebelahan di sofa dengan hidangan teh dan kue-kue kering di hadapan mereka.

“Yah, Bu, Aya pulang.” ucap Kayana untuk menarik perhatian kedua orangtuanya.

Ayahnya yang lebih dulu merespon, “Eh, Aya udah pulang. Raechan mana? Kok gak mampir dulu?”

“Langsung Aya suruh pulang, soalnya kalau dia mampir dulu pasti Ayah ajak ngobrol sampe tengah malem.”

“Loh emang kenapa? Gak boleh Ayah ngobrol sama pacar kamu?”

“Bukan gak boleh, tapi besok dia UAS, Yah. Dia harus belajar.”

“Tuh, Yah, anak Ayah mah sekarang posesip tuh sama pacarnya. Bener-bener keturunan Ayah.” Ibu Kayana mencibir, “Ayah kamu tuh, Ay, beehh dulu posesipnya jelek. Kalau kamu kan bagus ya posesipnya.”

“Posesip posesip, posesif, Ibu.”

“Ih protes aja si Ayah! Eh Aya, sebenernya semalem Aya tuh kemana, sih? Beneran nginep di studio? Emang ada sofa atau kasur buat tidur?”

Sebetulnya, pagi tadi saat Raechan mengantarnya pulang, laki-laki itu sudah menjelaskan langsung pada kedua orang tua Kayana. Kemana mereka pergi, apa yang terjadi semalam, kenapa mereka tidur di studio dan tidak pulang ke rumah. Raechan sudah menjelaskan semuanya, tentu saja dengan meninggalkan fakta bahwa semalam mereka berciuman dan tidur bersebelahan hingga pagi.

Namun mungkin saja ibu Kayana ingin mendengar langsung dari anaknya.

“Iya, Bu. Ada sofa sama kasur kok. Aya tidur di kasur terus Raechan yang di sofa. Studionya tuh gak cuma banyak alat band aja, tapi ada satu ruangan lagi yang mirip-mirip sama kosan, jadi nyaman, kok.”

“Oh yaudah, Ibu lega dengernya.”

“Bu, Yah, sebenernya Aya mau ngomong sesuatu,” Kayana berpindah untuk duduk di antara Ibu dan Ayahnya, “Raechan ngajak Aya nikah.”

“Oh ya? Kapan? Sekarang? Jangan dong, Ayah masih pake sarung doang nih, bentar Ayah ganti baju dulu.”

“Ih, Ayah, serius....” Kayana memberengut, bersandar pada bahu ibunya dengan manja, “Umur Aya masih dua puluh sekarang, masih muda banget, kuliah aja belum selesai. Tapi anehnya, waktu Raechan bilang mau nikahin Aya, Aya ngerasa yakin buat nikah muda.”

“Karena orangnya Raechan, ya?” ibu Kayana menjawab sembari mengambil sebelah tangan anaknya untuk dia genggam, “Aya yakin buat nikah, karena yang ngajak nikahnya Raechan, ya? Aya gak ngerasa takut nikah, karena sama Raechan, ya?”

“Kok Ibu tau?”

“Dulu.. waktu Ayah ngajak Ibu nikah. Ayah belum punya pekerjaan tetap, masih pegawai bawahan yang kerjanya disuruh-suruh. Tante Ana, dia selalu tanya ke Ibu, apa sih yang buat Ibu mau menikah sama Ayahmu yang saat itu belum punya apa-apa. Jawaban Ibu cuma satu, Ibu yakin Ayah gak akan biarin Ibu hidup susah. Dan Ayahmu membuktikannya, kita bisa hidup nyaman sampai sekarang.” ibu Kayana tersenyum lembut, “Saat itu, Ibu gak ngerasa takut sama sekali, Ibu merasa tenang dan yakin buat mulai hidup baru sama Ayah. Mungkin itu yang lagi kamu rasain sekarang. Iya, Ay?”

Kayana mengangguk pelan, “Semalem, di ruangan studio cuma ada Raechan sama Aya. Kalau Raechan apa-apain Aya, gak akan ada yang liat. Tapi Raechan gak berani sentuh Aya lebih dari yang Aya izinin, Bu. Rasa nyaman dan aman itu, kayaknya gak bakal Aya terima selain dari Raechan.”

“Kalau Aya yakin, Ibu doakan yang terbaik untuk rencana kalian yang juga begitu baik.”

“Ibu bolehin Aya nikah? Tapi nanti Ibu sama Ayah gimana? Gak ada yang nemenin di rumah, anaknya kan cuma satu.”

“Aya...” Kali ini ayah Kayana yang mengambil sebelah tangan Kayana yang lainnya, “Waktu kamu kecil dulu, waktu kamu masuk TK, Ibu kamu selalu nangis tiap kamu Ayah anter ke sekolah. Katanya rumah jadi sepi, Ibu kesepian. Tapi lama-lama Ibu kamu paham, kalau kamu pergi tuh ya buat kebaikan kamu. Kamu sekolah, supaya kamu jadi anak pinter. Jadi sekarang, kalau akhirnya nanti Raechan bawa kamu pergi dari sini, Ayah sama Ibu gak akan sedih. Mungkin iya kami bakal merasa sepi, tapi kan kamu pergi buat jalanin hidup kamu yang baru. Kalau anaknya bahagia, orang tuanya jauh lebih bahagia, Ay.”

Kayana menatap manik mata kedua orang tuanya secara bergantian. Didapatinya kedua pasang mata itu berkilat-kilat penuh ketulusan.

“Aya anak Ayah satu-satunya, kenapa Ayah semudah ini buat lepasin Aya?”

“Karena Ayah tau Raechan punya mental yang tidak sama dengan laki-laki lainnya, Nak. Saat pertama kali dia datang ke sini, dia langsung cari Ayah. Padahal biasanya, laki-laki, apa lagi masih semuda itu gak akan seberani dia. Dia datang sendiri, tanpa kamu, untuk mencari Ayah. Dari situ Ayah sudah tau, dia datang bukan untuk main-main.”

Keyakinan Kayana terhadap Raechan melonjak hingga melewati batas tertinggi yang ditetapkannya untuk standar laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Keyakinan itu disokong oleh keyakinan yang juga datang dari sahabat-sahabat Raechan, restu dari Ayah Raechan hingga izin dari kedua orang tuanya. Tak ada satupun dari mereka yang meragukan Raechan.

Setiap keluarga mempunyai ciri khasnya masing-masing. Ada yang harus bepergian ke luar kota setiap akhir bulan, ada yang harus berkumpul bersama setiap sarapan pagi, ada juga yang diharuskan untuk mencium kening semua anaknya ketika hendak tidur. Di keluarga Kayana, kebiasaan kecil yang selalu mereka lakukan sejak dulu adalah duduk bersama di ruang keluarga setelah selesai makan malam. Entah untuk minum teh bersama dan menonton series atau hanya duduk-duduk saja sambil bercengkrama. Tidak heran, malam ini, ketika Kayana pulang sedikit terlambat dari biasanya, dia sudah mendapati Ayah dan Ibunya duduk bersebelahan di sofa dengan hidangan teh dan kue-kue kering di hadapan mereka.

“Yah, Bu, Aya pulang.” ucap Kayana untuk menarik perhatian kedua orangtuanya.

Ayahnya yang lebih dulu merespon, “Eh, Aya udah pulang. Raechan mana? Kok gak mampir dulu?”

“Langsung Aya suruh pulang, soalnya kalau dia mampir dulu pasti Ayah ajak ngobrol sampe tengah malem.” “Loh emang kenapa? Gak boleh Ayah ngobrol sama pacar kamu?”

“Bukan gak boleh, tapi besok dia UAS, Yah. Dia harus belajar.”

“Tuh, Yah, anak Ayah mah sekarang posesip tuh sama pacarnya. Bener-bener keturunan Ayah.” Ibu Kayana mencibir, “Ayah kamu tuh, Ay, beehh dulu posesipnya jelek. Kalau kamu kan bagus ya posesipnya.”

“Posesip posesip, posesif, Ibu.”

“Ih protes aja si Ayah! Eh Aya, sebenernya semalem Aya tuh kemana, sih? Beneran nginep di studio? Emang ada sofa atau kasur buat tidur?”

Sebetulnya, pagi tadi saat Raechan mengantarnya pulang, laki-laki itu sudah menjelaskan langsung pada kedua orang tua Kayana. Kemana mereka pergi, apa yang terjadi semalam, kenapa mereka tidur di studio dan tidak pulang ke rumah. Raechan sudah menjelaskan semuanya, tentu saja dengan meninggalkan fakta bahwa semalam mereka berciuman dan tidur bersebelahan hingga pagi.

Namun mungkin saja ibu Kayana ingin mendengar langsung dari anaknya.

“Iya, Bu. Ada sofa sama kasur kok. Aya tidur di kasur terus Raechan yang di sofa. Studionya tuh gak cuma banyak alat band aja, tapi ada satu ruangan lagi yang mirip-mirip sama kosan, jadi nyaman, kok.”

“Oh yaudah, Ibu lega dengernya.”

“Bu, Yah, sebenernya Aya mau ngomong sesuatu,” Kayana berpindah untuk duduk di antara Ibu dan Ayahnya, “Raechan ngajak Aya nikah.”

“Oh ya? Kapan? Sekarang? Jangan dong, Ayah masih pake sarung doang nih, bentar Ayah ganti baju dulu.”

“Ih, Ayah, serius....” Kayana memberengut, bersandar pada bahu ibunya dengan manja, “Umur Aya masih dua puluh sekarang, masih muda banget, kuliah aja belum selesai. Tapi anehnya, waktu Raechan bilang mau nikahin Aya, Aya ngerasa yakin buat nikah muda.”

“Karena orangnya Raechan, ya?” ibu Kayana menjawab sembari mengambil sebelah tangan anaknya untuk dia genggam, “Aya yakin buat nikah, karena yang ngajak nikahnya Raechan, ya? Aya gak ngerasa takut nikah, karena sama Raechan, ya?”

“Kok Ibu tau?”

“Dulu.. waktu Ayah ngajak Ibu nikah. Ayah belum punya pekerjaan tetap, masih pegawai bawahan yang kerjanya disuruh-suruh. Tante Ana, dia selalu tanya ke Ibu, apa sih yang buat Ibu mau menikah sama Ayahmu yang saat itu belum punya apa-apa. Jawaban Ibu cuma satu, Ibu yakin Ayah gak akan biarin Ibu hidup susah. Dan Ayahmu membuktikannya, kita bisa hidup nyaman sampai sekarang.” ibu Kayana tersenyum lembut, “Saat itu, Ibu gak ngerasa takut sama sekali, Ibu merasa tenang dan yakin buat mulai hidup baru sama Ayah. Mungkin itu yang lagi kamu rasain sekarang. Iya, Ay?”

Kayana mengangguk pelan, “Semalem, di ruangan studio cuma ada Raechan sama Aya. Kalau Raechan apa-apain Aya, gak akan ada yang liat. Tapi Raechan gak berani sentuh Aya lebih dari yang Aya izinin, Bu. Rasa nyaman dan aman itu, kayaknya gak bakal Aya terima selain dari Raechan.”

“Kalau Aya yakin, Ibu doakan yang terbaik untuk rencana kalian yang juga begitu baik.”

“Ibu bolehin Aya nikah? Tapi nanti Ibu sama Ayah gimana? Gak ada yang nemenin di rumah, anaknya kan cuma satu.”

“Aya...” Kali ini ayah Kayana yang mengambil sebelah tangan Kayana yang lainnya, “Waktu kamu kecil dulu, waktu kamu masuk TK, Ibu kamu selalu nangis tiap kamu Ayah anter ke sekolah. Katanya rumah jadi sepi, Ibu kesepian. Tapi lama-lama Ibu kamu paham, kalau kamu pergi tuh ya buat kebaikan kamu. Kamu sekolah, supaya kamu jadi anak pinter. Jadi sekarang, kalau akhirnya nanti Raechan bawa kamu pergi dari sini, Ayah sama Ibu gak akan sedih. Mungkin iya kami bakal merasa sepi, tapi kan kamu pergi buat jalanin hidup kamu yang baru. Kalau anaknya bahagia, orang tuanya jauh lebih bahagia, Ay.”

Kayana menatap manik mata kedua orang tuanya secara bergantian. Didapatinya kedua pasang mata itu berkilat-kilat penuh ketulusan.

“Aya anak Ayah satu-satunya, kenapa Ayah semudah ini buat lepasin Aya?”

“Karena Ayah tau Raechan punya mental yang tidak sama dengan laki-laki lainnya, Nak. Saat pertama kali dia datang ke sini, dia langsung cari Ayah. Padahal biasanya, laki-laki, apa lagi masih semuda itu gak akan seberani dia. Dia datang sendiri, tanpa kamu, untuk mencari Ayah. Dari situ Ayah sudah tau, dia datang bukan untuk main-main.”

Keyakinan Kayana terhadap Raechan melonjak hingga melewati batas tertinggi yang ditetapkannya untuk standar laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Keyakinan itu disokong oleh keyakinan yang juga datang dari sahabat-sahabat Raechan, restu dari Ayah Raechan hingga izin dari kedua orang tuanya. Tak ada satupun dari mereka yang meragukan Raechan.

Tidak ada kelegaan yang lebih menyenangkan dari pada mendapati kembali kehadiran dari seseorang yang diinginkan. Mata Kayana tidak lepas memandang ke arah sofa hitam dimana Raechan sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Sementara Kayana diajak Klarisa dan Jelena untuk duduk di karpet. Mereka sudah berada di studio Jevan sejak pukul enam sore. Atas ajakan Raechan yang secara tiba-tiba memiliki waktu luang untuk bertemu.

“Lo sebenernya kemarin-kemarin kemana dah, Rae? Perasaan dulu waktu SMA walaupun lo kerja, lo gak sesibuk ini.”

“Ya kan dulu gue cuma bantu bikin paket tour aja, Wan. Sekarang gue udah masuk divisi marketing, kerjaannya lebih banyak, udah bukan cuma bantu-bantu lagi.” Raechan menjawab santai, “Kenapa? Kangen lo sama gue?”

“Kagak dih.” jawab Juan mencibir, meskipun di dalam hatinya dia mengakui adanya kekosongan di hatinya ketika studio ini tidak diisi dengan kehadiran Raechan.

Raechan tidak merespon ucapan Juan, dia memilih berdiri dari duduknya dan berjalan untuk mendekat ke arah Kayana. Laki-laki itu ikut duduk di atas karpet, tepat di belakang Kayana. Sebelah tangannya dia lingkarkan ke perut Kayana dan kepalanya dia sandarkan pada punggung kekasihnya itu. Gerakan Raechan yang begitu tiba-tiba membuat Kayana sedikit terkejut. Tapi dia juga menyukai sensasi yang dberikan oleh sentuhan Raechan. Bagaimanapun, dia sangat merindukan Raechan setelah tidak bertemu selama tiga mingggu lamanya.

“Kamu capek? Mau tidur aja?” tanya Kayana pelan.

Dia merasakan gelengan kepala Raechan dari balik punggungnya, “Enggak, aku kangen kamu.”

Meskipun Raechan menjawab tidak pada pertanyaan itu, namun lambat-laun Kayana merasakan bahwa beban di punggungnya semakin berat. Napas teratur juga dia rasakan menembus bagian belakang kaus yang dia kenakan.

“Tidur dia, Kak?” Jaenandra menjadi orang pertama yang menyadari bahwa sejak tadi Raechan tidak terdengar bersuara lagi. Jaenandra mengintip ke balik punggung Kayana dan mendapati mata Raechan yang tertutup rapat, “Eh tidur dia, njir. Mau dibangunin aja, Kak? Udah jam sepuluh juga nih.”

“Gak usah, biarin aja dia tidur sebentar lagi. Kalian kalau mau pulang gak papa pulang aja, nanti sekitar jam sebelas, aku bangunin dia.”

“Emang Kak Kayana gak capek digelendotin Raechan gitu?” tanya Jelena mengkhawatirkan keadaan Kayana.

Kayana menggeleng dan tersenyum lembut, “Enggak, kok, gak papa. Gih kalian pulang aja, udah malem.”

Setelah mendapat izin itu, Jelena, Klarisa, Juan, Jaenandra dan Jevan pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Meninggalkan Kayana yang masih saja bertahan pada posisinya agar tidak membuat Raechan terbangun. Sepeninggalnya para sahabatnya yang lain, studio Jevan menjadi sangat lengang hingga Kayana bisa mendengar lenguhan kecil yang sesekali terdengar dari raechan. Hati Kayana terasa penuh oleh kebahagiaan yang akhir-akhir tidak didapatkannya. Rasa penasarannya akan keberadaan Raechan juga sudah tidak lagi menjadi penganggu sejak Jaenandra memberitahukan bahwa Raechan memang bekerja di perusahaan papanya hingga tidak sempat pergi ke kampus. Setidaknya, saat ini, Kayana tahu bahwa Raechan menghilang bukan karena sudah tidak menginginkannya lagi.

Tiga puluh menit berselang, Kayana mulai merasakan gerakan Raechan. Laki-laki itu membuka matanya dan mendapati bahwa tinggal dirinya dan Kayana yang berada di ruangan ini, ”Yang lain kemana, Kay?” tanyanya dengan suara berat dan serak.

“Udah pada pulang.”

“Kok kamu gak bangunin aku?”

“Aku mau disini lebih lama sama kamu.”

Jawaban Kayana membuat Raechan tersenyum tipis dalam rasa kantuknya, “Aku cuci muka sama sikat gigi sebentar, ya. Biar seger.”

Selama Raechan pergi ke kamar mandi, Kayana membereskan beberapa barangnya ke dalam tas. Juga sedikit membereskan studio Jevan agar besok saat mereka kembali menggunakan ruangan ini, keadaannya sedikit lebih baik.

“Mau pulang? Atau mau kemana dulu?” Raechan muncul dari balik pintu kamar mandi yang terbuak dengan keadaannya yang lebih segar, “Kamu laper gak? Mau makan?”

“Aku udah bilang, aku cuma mau disini lebih lama sama kamu.” jawab Kayana masih sibuk dengan aktivitasnya, “Aku takut kamu sibuk lagi kayak kemarin.”

Raechan tersenyum getir, dia bergerak mendekat dan memeluk Kayana dari belakang, “Pertama, aku mau minta maaf ya, Kay, sama kamu. Maaf karena ilang-ilangan, bahkan gak nemuin kamu hampir tiga minggu. Tapi aku gak kemana-kemana kok, aku kerja, buat kamu.”

Kayana mengelus pelan lengan Raechan yang memeluknya, “Iya, aku tau. Tapi jangan sampai gila-gilaan gitu, Rae, kerjanya. Aku gak mau kuliah kamu berantakan karena rencana nikah kita.”

“Enggak, kok, gak ada yang berantakan. Semuanya baik-baik aja.” Sebuah kecupan kecil Raechan berikan pada bahu Kayana, “Kamu beneran mau kan nikah sama aku? Aku gak akan ngerasa capek kerja selagi jawaban kamu masih iya.”

“Iya, Sayang, asal semuanya siap dan gak terburu-buru.” Kayana membalikkan tubuhnya untuk menatap Raechan, “Gak berangkat ke kampus sama kamu selama hampir tiga minggu bikin aku sadar kalau sepertinya ide kamu buat berangkat ke kampus dari rumah yang sama bukan ide yang buruk.”

“Loh kemana perginya Kayana si independent girl yang gak mau diantar-jemput?” tanya Raechan meledek.

“Hahahaha ngeselin kamu tuh, ya. Aku beneran kangen sama kamu, Rae.”

“Masa sih?”

“Iya.”

So, show me how much you miss me.”

Raechan menunggu sembari menebak-nebak, dengan cara apa kiranya Kayana akan membuktikan ucapannya. Raechan sama sekali tidak mengira bahwa Kayana akan menempelkan bibir ranumnya dengan milik Raechan. Kejadiannya begitu cepat hingga Raechan terkejut dan sedikit bergerak mundur. Namun dengan cepat Raechan kembali menguasai diri. Dieratkannya pelukannya pada pinggang Kayana dan dia mengambil alih ciuman itu. Bibir Kayana terasa begitu lembab, mungkin karena dia sering mengoleskan lipbalm tiap kali merasa bibirnya sedikit kering. Bibir itu juga terasa manis, memabukkan. Membuat Raechan lupa diri hingga tanpa disadarinya, dia membawa Kayana untuk berbaring di atas ranjang yang ada di pojok studio Jevan.

Ciuman itu akhirnya terlepas saat mereka berdua sama-sama merasakan butuh untuk mengambil napas. Raechan menatap Kayana yang berbaring di bawahnya. Gadis itu terlihat sedikit berantakan, ada beberapa bulir keringat di dahinya, bibirnya juga sedikit terbuka, tapi entah kenapa, Raechan sangat menyukai pemandangan itu.

So, this is how much you miss me, Kayana Aburima Gati?”

Kayana tidak menjawab dengan kata-kata. Tangan kanannya bergerak untuk menyentuh wajah Raechan, mulai dari dahi, mata, hidung, bibir dan dagunya. Awalnya, dia sama sekali tidak memiliki niatan untuk menikah muda, tapi dengan laki-laki yang saat ini berada di atasnya membuatnya ingin melakukan itu. Meskipun dia tahu, mungkin akan ada beberapa pihak yang menentang atau bahkan mengejek keinginnya. Kayana tidak perduli, yang Kayana tahu, dia sedang mempersiapkan diri untuk ini. Dan seseorang yang akan menikahinya pun juga sedang mempersiapkan diri. Dari segala segi, kesiapan diri, mental dan juga keuangan. Pernikahan bukanlah hal yang main-main, banyak sekali yang harus dipersiapkan untuk menunjang keputusan itu.

“Besok aku mau bilang ke Ayah sama Ibu soal rencana pernikahan kita.” bisik Kayana pelan.

“Kamu mau aku temenin buat ngomong ke Om sam Tante?”

“Gak usah, biar aku sendiri dulu aja. Tapi kamu siap kan kalau Ayah sama Ibu mau ketemu kamu buat ngobrol langsung ke kamu?”

“Siap lah, Kay. Siap banget, kapanpun itu.”

Kayana tersenyum lembut sebelum kembali menyatukan bibirnya dengan milik Raechhan. Ciumannya kali ini lebih panas dari sebelumnya. Bukan hanya pagutan bibir, namun lidah mereka juga turut serta di dalamnya. Tangan Kayana bergerak naik untuk melingkari leher Raechan sedangkan tangan Raechan sibuk dengan pinggang Kayana. Tidak ada suara lain selain suara kecupan dan lenguhan pelan yang mengisi studio Jevan.

Entah menyadarinya atau tidak, tangan Raechan bergerak untuk menyingkap kaus yang Kayana kenakan, hingga membuat perut gadis itu terlihat, “Rae, you want to do more?” tanya Kayana di sela pagutannya.

Raechan menatap manik mata Kayana dan menyadari kesalahannya, dia buru-buru menutup kembali area perut Kayana dan mengecup dahi kekasihnya itu, “Enggak, i’m sorry, Kay.”

Raechan lalu berguling ke samping, memeluk Raechan dari sisi tubuhnya, “Malem ini kita tidur disini, ya? Besok pagi aku anter kamu pulang. I promise you, aku gak bakal macem-macem. Aku cuma mau tidur, di sebelah kamu. Aku takut pulang ke rumah, sendirian di kamar dan malah nonton yang enggak-enggak.”

Kayana tidak tahu harus teratawa atau kecewa dengan pengakuan jujur Raechan itu. Tapi akhirnya dia hanya diam dan tertidur dalam dekapan Raechan hingga pagi menjelang.

Sepasang mata menatap nanar ke arah pintu cafe dari balik counter pemesanan tempat si pemilik mata berdiri. Pikirannya menerawang memikirkan banyak sekali hal. Mulai dari urusan keuangan hingga hal-hal lain yang harus dia persiapkan. Ponselnya tergeletak di samping tangannya yang terkulai lemah di atas meja, masih menyala menampilkan isi pesan yang dia terima dari sahabatnya beberapa menit lalu.

Delapan puluh juta rupiah, biaya yang harus dia keluarkan untuk sebuah intimate wedding. Mewujudkan impian pernikahannya yang sudah dia rancang sejak pertama kali bertemu dengan gadis cantik yang kelak akan dia jadikan ratu di pesta perkawinannya itu. Napas Raechan berhembus pelan, mencoba membawa kembali kesadarannya yang sempat direnggut oleh deretan angka yang jumlahnya tidak main-main. Dia menutup aplikasi pesan pada ponselnya dan menatap sebuah foto yang ada pada homescreennya. Foto Kayana, yang dia ambil pada makan malam pertama mereka. Dalam foto itu, Kayana mengenakan topi yang hampir menutupi seluruh bagian wajahnya. Posenya yang menunduk membuat Raechan semakin kesulitan untuk mengabadikan wajah cantik itu dalam bentuk foto. Namun sampai saat ini, bahkan setelah ratusan foto yang dia ambil dengan wajah Kayana terlihat sepenuhnya, Raechan masih sangat menyukai foto pertamanya itu. Foto itu kembali memberinya semangat, meskipun saat ini tubuhnya sudah seperti robot yang kehabisan baterai.

Selama hampir lebih dari dua minggu, Raechan tidak punya cukup waktu untuk beristirahat. Dia berangkat dari rumah pukul tujuh pagi, bukan untuk ke kampus, melainkan pergi ke sebuah cafe yang berada jauh dari rumahnya, kampus dan studio Jevan. Raechan bekerja sebagai pegawai part-time di sana. Lalu pukul tiga sore, dia akan pergi ke kantor papanya untuk melakukan tugasnya sebagai karyawan di sana, hingga pukul sepuluh malam. Lalu setelah itu dia akan pulang ke rumah, mengabari kekasihnya yang telah seharian dia abaikan. Raechan tidak dengan sengaja mengabaikan Kayana, hanya saja pekerjaannya yang menumpuk membuatnya tidak bisa se-intens dulu dalam memberi perhatian pada Kayana. Dia hanya berharap bahwa gadis itu kelak akan mengerti, kalau Raechan melakukan semua ini untuk dirinya.

Mungkin bagi sebagian orang, mereka akan bertanya-tanya. Kenapa Raechan segigih ini untuk menikah dengan Kayana di usia mereka yang begitu muda? Atau sebagiannya lagi akan menghakimi keputusannya. Tapi Raehan tahu apa yang dia inginkan. Raechan tahu apa yang terbaik untuk hidupnya. Sejak awal, Raechan tahu bahwa yang dia inginkan bukanlah menjadi kekasih Kayana. Tetapi menjadi partner dalam kehidupan untuk gadis itu.

Seperti yang dia katakan sejak awal, dia tidak akan berhenti sampai nama Leenandar ada di belakang nama Kayana.

Denting lonceng pada pintu masuk membuat Raechan menatap ke sana, sorot matanya jatuh pada seorang laki-laki yang sangat dia kenali. Jaenandra, dia berdiri di sana dengan tatapan mata marah.

“Jaenan, lo...”

“Jatah bolos lo masih banyak apa gimana, sih? Yakin banget lo nilai UAS lo bakal bagus sampek gak pernah masuk kelas gitu? Ya gue tau sih lo pinter... Bokap-nyokap lo tau anaknya malah pergi ke sini dan bukannya pergi ke kampus? Lo pikir Kak Kayana seneng lo lakuin ini buat dia?” Jaenandra berbicara tanpa memberi jeda, dia berjalan cepat ke arah Raechan, “Ice Americano satu, haus gue.” Lalu melenggang pergi dan duduk di salah satu kursi yang terletak paling dekat dengan counter.

Raechan terkekeh pelan menyaksikan tingkah Jaenandra, tangannya dengan cekatan menyiapkan pesanan yang diminta oleh sahabatnya itu. Untung saja saat ini cafe sedang kosong, hingga tidak ada yang ikut menyaksikan omelan panjang Jaenandra.

“Lo milih tempat part time jauh amat dah di ujung dunia gini. Gaji lo gak abis buat beli bensin emangnya?” Jaenandra menatap ke sekeliling cafe, “Bukannya nabung buat kawin, malah nombok lo yang ada.”

Lagi, Raechan hanya terkekeh pelan. Sebetulnya, dia merasa lega karena Jaenandra paham akan situasinya tanpa perlu dia jelaskan. Tapi Raechan juga bertanya-tanya dari mana sahabatnya itu tahu kalau dia berada di sini.

“Bokap gue kemarin kesini, mungkin lo gak ngenalin dia. Soalnya bokap gue pakai masker, sengaja, biar lo gak ngerasa ke-gep. Tapi bokap gue langsung ngabarin gue buat ngasih tau lo ada di sini, makanya gue kesini sekarang. Tenang aja, gue belum kasih tau yang lainnya.” Seakan bisa membaca pikiran Raechan, Jaenandra menjelaskan tanpa perlu ditanya.

“Pesanan lo.” Raechan ikut duduk di kursi yang ada di seberang Jaenandra, “Dan makasih karena lo gak kasih tau yang lain soal gue.” Raechan berucap tulus, benar-benar berterimakasih karena Jaenandra telah menjaga rahasia yang coba disimpannya sendiri. Raechan sengaja tidak memberi tahu siapapun, terutama Kayana, karena dia merasa ini memang tanggung jawabnya sendiri sebagai seorang laki-laki.

“Kak Kayana nyariin lo terus, tuh, ke kelas. Tiap dia mau bareng gue buat ke studio, dia selalu bilang ke gue buat nunggu dia di parkiran aja. Soalnya dia mau ngecek lo ke kelas dulu sebelum ke studio Jevan.”

“Kalau kalian, nyariin gue juga gak?”

“Ya lo pikir aja sendiri, anjing.” Jaenandra menyesap ice americanonya setelah melemparkan tatapan marah pada Raechan sekali lagi, “Kata lo kalau masalah duit udah gak ada masalah, kok masih part time aja sampek ngorbanin kuliah?”

“Buat wedding party, Jaen. Gue gak mau pake duit Papa. Lagian ini gue manfaatin jatah bolos gue ni, jadi aman, gue tetep bisa ikut UAS minggu depan.” jelas Raechan santai, “Abis UAS kan kita libur, jadi aman buat gue ambil dua kerjaan sekaligus kayak sekarang ini.”

Jaenandra menatap Raechan menyelidik. Mulai dari mata sahabatnya yang mulai terlihat lelah, rambutnya yang memanjang hingga bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekitar dagunya, “Buat urusan kampus sih oke, tapi kesehatan lo gimana? Tuh nyukur aja sampe gak sempet.”

“Hahahaha, iya nanti gue cukuran.”

“Ajak lah, Rae, Kak Kayana jalan sesekali. Jangan bikin dia ngerasa kesepian gitu, lo sendiri yang bilang gak suka liat dia kesepian.”

“Iya, Jaen.”

“Jangan bikin Kak Kayana gak merasa diinginkan, dari awal, lo udah nunjukin ke dia seberapa besar keinginan lo buat sama dia, kalau tiba-tiba lo ngilang-ngilangan kayak gini, bisa aja dia ngerasa gak lo inginkan lagi. Tanggung jawab sama ekspektasi yang udah dia punya tentang lo, Rae.”

“Iya, Jaen.”

“Jangan iya-iya aja lo.” Jaenandra berdiri dari duduknya hanya sekadar untuk menoyor kepala Raechan, “Kalau lo butuh part time yang fee-nya lebih besar dan gak nyita terlalu banyak waktu, telfon aja bokap gue, doi lagi butuh anak marketing buat bisnis barunya.”

“Jaen...”

“Gak usah ngerasa spesial, lo telfon bokap gue juga buat interview dulu, gak asal langsung diterima. Gak usah geer.

Raechan terkekeh untuk terakhir kali sebelum mengantar Jaenandra pergi. Dia menatap mobil Jaenandra yang melaju meninggalkan cafe. Dalam hati, Raechan mengucapkan syukur yang begitu besar. Sahabatnya itu, tidak perlu diragukan lagi rasa perdulinya pada orang-orang yang dia sayangi. Dan kali ini, Raechan yang merasakan keperduliannya.

Sudah lebih dari dua minggu sejak terakhir kali Kayana merasakan berada satu mobil dengan Raechan. Mereka sama sekali tidak pernah bertemu sejak Raechan mulai meminta tolong pada sahabat-sahabatnya untuk bergantian mengantar ataupun menjemput Kayana. Awalnya Kayana tidak menaruh curiga ataupun merasakan kejanggalan dalam sikap Raechan. Dia hanya mengira bahwa mungkin saja kekasihnya itu sedang merasa kerepotan karena harus membagi tugasnya menjadi mahasiswa dan pegawai di kantor. Namun akhir-akhir ini, saat Kayana tidak lagi mendapati Raechan berkeliaran di kampus ataupun bersantai di studio Jevan, gadis itu mulai bertanya-tanya ada apa dengan Raechan. Saat berusaha menanyakannya pada yang lain, mereka juga sama tidak tahunya dengan Kayana. Bahkan beberapa kali Jevan ataupun Juan mengajaknya untuk nongkrong, Raechan hanya menjawab bahwa dia tidak bisa bertemu untuk sementara waktu karena sedang sangat sibuk.

Kayana penasaran sekaligus khawatir, pasalnya, minggu depan adalah jadwal ujian akhir semester bagi mereka. Namun Raechan malah hilang entah kemana. Laki-laki itu hanya sesekali mengabari Kayana melalui pesan ataupun telepon untuk menanyakan kabar Kayana.

Berbekal rasa penasaran itu, Kayana pergi ke rumah Raechan untuk mencari tahu. Mungkin mama Raechan bisa menjawab rasa penasaran Kayana yang sudah tidak terbendung itu. Rumah Raechan masih sama seperti terakhir kali Kayana datang—saat dia masih berstatus sebagai teman Raechan. Diketuknya pintu rumah itu beberapa kali hingga mendapat sahutan dari dalam. Kayana mengira yang akan muncul saat pintunya terbuka adalah mama raechan, namun ternyata yang berdiri di hadapannya sekarang justru seorang laki-laki berperakan tinggi dengan pakaian rapi dan terlihat begitu berwibawa. Jika tidak salah ingat, laki-laki itu adalah laki-laki yang sama dengan orang yang ada dalam foto keluarga yang sempat Kayana lihat di ruang tamu rumah Raechan.

Laki-laki itu adalah ayah Raechan.

“Mencari siapa, ya?” tanya Andar.

“Mamanya Raechan... ada, Om?”

“Sedang pergi untuk belanja bulanan, mau menunggu di dalam?”

Sungguh, rasanya Kayana ingin menanyakan langsung pada Raechan apakah laki-laki yang sedang berhadapan dengannya ini adalah benar-benar papanya. Saat pertama kali bertemu dengan mama Raechan, Kayana bisa langsung mengenali bahwa itu adalah benar mama Raechan karena sikap dan cara bicara mereka yang sangat mirip. Tapi papa Raechan bersikap begitu berbeda dengan Raechan.

“Mau menunggu di dalam?” tanya Andar lagi karena Kayana tidak kunjung memberi jawaban.

Mulut Kayana sudah terbuka untuk menjawab saat sebuah suara mengiterupsi jawabannya, “Loh Kak Kayana kok di luar aja? Masuk, Kak!”

Dama, adik Raechan itu turun dari motor dan berjalan mendekat pada Kayana dan Andar, “Kalau Abang tau pacarnya disuruh berdiri di depan kayak gini, pasti Papa bakal diomelin.” Dama berucap sembari mengambil tangan papanya untuk dia cium.

“Oh rupanya ini gadis cantik yang Raechan bangga-banggakan,” Andar kembali menatap Kayana, “Mari masuk, Nak!”

“Masuk, Kak. Aku ke atas dulu ganti baju, ya.” Ucap Dama mempersilahkan.

Andar membuka pintu lebih lebar untuk memudahkan Kayana masuk ke dalam. Laki-laki itu juga langsung melesat ke dapur untuk mengambilkan minuman sebelum menemani Kayana duduk di ruang tamu.

“Mamanya Raechan mungkin sebentar lagi pulang. Ditunggu saja, ya?”

“Iya, Om. Terimakasih.”

“Jangan panggil, Om. Papa saja, sebentar lagi juga akan jadi anak Papa, kan?”

Ini dia.

Sekarang Kayana percaya bahwa laki-laki yang sedang mengajaknya bicara adalah papa Raechan. Walaupun kalimat yang keluar dari mulut papanya Raechan selalu baku dan tertata, tapi nada kelembutan dan kenyamanan yang terkandung dalam ucapannya mirip sekali dengan Raechan. Mereka berdua sama-sama tahu cara membuat seorang wanita merasa diterima.

“Om.... maksud saya Papa, Raechan udah ngomong sama Papa soal pernikahan?”

“Tentu saja, Papa malah lebih dulu tahu sebelum Mama.” Andar tersenyum lembut, “Kalau kamu belum siap, jangan dulu di-iyakan keinginan Raechan. Tapi kalau kamu memang sudah siap, Papa dan Mama merestui kalian untuk menikah muda.”

“Kayana kadang-kadang suka kaget sama sikap Raechan, Pa. Rasanya baru kemarin anak itu datengin Kayana dan bilang dia gak akan berhenti ngejar Kayana sampai nama Leenandar ada di belakang nama Kayana, terus sekarang... tiba-tiba, dia bener-bener mau Kayana pakai nama belakangnya.” Itu baru pertemuan mereka, tapi atmosfer kedekatan sudah menguar begitu baik hingga Kayana tidak merasa canggung lagi.

“Kemarin Papa sudah bertemu ayah kamu, tapi Papa gak bilang apa-apa soal ini karena sepertinya ayah kamu belum tahu soal ini.”

“Iya, Pa, Ayah belum tahu.”

“Ya sudah, coba kamu bicara dulu dengan keluarga kamu ya. Kayana kan anak satu-satunya, perempuan lagi, pasti butuh waktu lebih banyak untuk berfikir.” Andar memilih untuk menyudahi perbincangan itu, “Oh iya, ini ada apa kamu kesini cari Mama?”

“Sebenernya, Kayana mau cari Raechan, Pa. Udah sebulan ini dia selalu bilang sibuk di kantor, tapi Raechan gak pernah keliatan ke kampus.”

“Loh... Dia selalu ke kantor sore menjelang malam, kok. Pagi sampai siang dia kuliah, kan?”

“Seharusnya gitu, Pa. Dulu selalu begitu juga, pagi-pagi Raechan jemput Kayana terus kita ke kampus bareng, baru sorenya dia pamit buat ke kantor. Baru sebulan ini deh dia gak keliatan di kampus.”

Andar diam sebentar, mengira-ngira apa yang salah dengan anaknya, “Kemana anak itu....”

“Ya sudah, nanti Papa ajak dia bicara, ya? Kamu gak usah khawatir.”

Kayana mengangguk pelan, meskipun rasa khawatirnya juga belum menghilang.

“Daaahh, sayang! Jam sembilan Mama pulang ya! Selo jangan lupa minum susu sebelum bobo ya, Sayang!”

Sama halnya dengan hampir seluruh ibu-ibu di muka bumi, Mama tidak akan berhenti berpesan sampai mobil yang ditumpanginya meninggalkan pekaran rumah. Raechan menggandeng tangan Selo untuk kembali masuk ke dalam rumah setelah mengirim Mama pergi—berbelanja dengan kartu kredit Papa.

“Mama lu kirim kemana, Bang?” Dama bertanya saat melihat gue dan Selo berjalan masuk ke rumah.

“Belanja, biar doi gak kepo liat gue sama Papa ngobrol, itung-itung me time juga lah buat Mama biar gak bosen di rumah mulu.”

“Emang lu mau ngobrolin apaan sama Papa sampek Mama disuruh pergi segala?”

“Soal yang tadi pagi.” jawab Raechan membuat Dama membelalak terkejut, “Lu serius mau kawin, Bang?”

“Papa juga heran sekali dengan abangmu itu, Dam.” Sebuah suara muncul dari lantai dua, seorang pria dengan kaus polo berwarna putih turun dari tangga dengan langkahnya yang gagah, “Papa kaget tadi pagi dia bilang mau menikah.”

Saat berbicara—Andar—Ayah Raechan selalu menggunakan kata-kata baku, entah karena terbiasa berbicara dengan orang-orang penting atau karena dia menyukai berbicara dengan gaya seperti itu saja. Tapi hal itu tidak membuat orang-orang di sekitarnya merasa kikuk untuk berada di dekatnya. Karena dibalik kebakuannya itu, Andar adalah sosok laki-laki yang lembut dan penyayang.

“Nah, Pa, duduk sini, Pa. Kita bahas soal itu.” ucap Raechan dengan semangat, “Selo, selo nonton spongebob dulu, ya? Abang mau ngobrol sama Papa.”

Adik laki-lakinya yang baru berusia tiga tahun itu hanya mengangguk mengerti dan langsung memusatkan perhatiannya pada layar televisi.

“Kamu kenapa tiba-tiba ingin menikah, Rae? Setahu Papa kamu bahkan gak pernah bertahan lama sama pacar-pacarmu yang dulu.”

“Tobat kali tuh, Pa.” sahut Dama.

“Soalnya cewek yang dulu-dulu gak asik sih, Pa!”

“Yang sekarang asik?” tanya Papa lagi.

“Pa, Papa pernah gak sih ngerasa cintaaaaa banget sama cewek gitu? Yang kalau tiap anter dia pulang tuh rasanya beraaat gitu, kayak mikir gini jadinya aduh lo gak usah pulang deh, sama gue terus aja. Pernah gak?”

Belum lagi Andra menjawab, Dama lebih dulu mendahului Papanya itu, “Lu mikir dah, Bang! Kalau Papa gak pernah ngerasain hal kayak gitu, lu, gua, Selo, kita gak bakal ada!”

Andra terkekeh mendengar ucapan anak keduanya itu, “Dama benar. Tentu saja Papa pernah, ya ke Mama kalian itu.”

Ekspresi antusias langsung menghiasi wajah Raechan, “Nah! Itu yang aku rasain ke Kayana, Pa. Aaahh, Papa sibuk terus sih, makanya belum sempet ketemu dia. Kalau Papa udah ketemu sama dia dan ngobrol sebentar aja, Papa bakal paham kenapa Raechan kayak gini.”

Andra mengangguk paham, “Kamu sudah bertemu orang tuanya? Bertemu untuk mengobrol, selayaknya laki-laki yang bukan hanya mau ke anaknya, tapi juga seluruh keluarganya.”

“Udah dong! Ayah sama Ibunya aja suka banget sama aku! Aku yakin, pasti direstuin deh!”

“Belum tentu, Rae. Kamu datang ke mereka kan belum menawarkan pernikahan. Saat tahu anaknya akan diminta untuk menjadi istri kamu, respon mereka bisa saja berbeda. Ada banyak ketakuan orang tua untuk melepaskan anak mereka pada orang lain.”

Saat mendengar itu, antusiasme Raechan menurun.

Bener juga kata Papa, pikir Raechan.

“Raechan, saat mau mengambil seorang anak dari orang tuanya, pastikan dulu kalau kehidupan yang akan kamu berikan ke anak mereka akan lebih baik, atau setidaknya harus setara dengan yang sudah mereka berikan. Kalau sebelumnya dia tinggal di tempat yang nyaman, maka kamu juga harus memberinya rumah yang aman dan nyaman. Kalau sebelumnya dia tidak pernah kekurangan, maka beri dia kehidupan yang lebih dari kata cukup. Bahagiakan dia, sebagaimana orang tuanya berusaha untuk memberi kebahagiaan pada anak itu.”

“Raechan tahu, Pa...”

“Kalau kamu tahu, artinya kamu harus mempersiapkan segalanya. Sebetulnya Papa bangga sekali, anak Papa sudah berani untuk ambil keputusan sebesar ini di usia yang begitu muda, tapi Papa juga harus memastikan kalau anak Papa ini memang sudah cukup pantas untuk menanggung tanggung jawab besar atas hidup orang lain.”

“Pa...”

“Tentang posisi di kantor yang kamu ingini, Papa bisa berikan. Papa juga tahu kamu punya tabungan yang cukup. Tapi untuk sisanya, kamu harus menyiapkan semuanya sendiri, Rae. Tapi Papa selalu ada di belakang kamu, untuk mensupport kamu.”

Malam itu, tidak seperti biasanya, Raechan merasakan sudut-sudut matanya berair.

“Kamu anak Papa yang pertama, selama ini kamu berhasil jadi sosok kakak yang memimpin dan membimbing adik-adik kamu, jadi Papa yakin kamu bisa jadi kepala keluarga yang baik.”

Bulir-bulir air mata yang menyodok-nyodok ujung mata Raechan akhirnya tumpah juga saat Andra merangkul bahunya dan menepuknya pelan, “Papa izinkan kamu untuk menikah.”

4 Juli 2014.

Pertama kali Raechan, Jaenandra, Jevan, Juan dan Markio bermain billiard bersama di sebuah arena permainan billiard yang mereka sewa dengan uang jajan yang mereka satukan. Saat itu, mereka masih anak-anak ingusan yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya memegang stick billiard dengan benar. Saat itu, mereka sama sekali tidak berpikir bahwa enam tahun setelahnya, mereka akan kembali datang ke sini dengan formasi lengkap.

Mereka berdiri di sisi meja billiard dengan stick di tangan masing-masing, fokus pada permainan. Karena sebelumnya mereka sudah memutuskan bahwa siapa yang kalah akan membayar makanan untuk malam ini. Mereka sudah berencana untuk datang ke sebuah restoran dengan menu makanan yang harganya tidak main-main.

“Kayaknya bakal Kak Kiyo lagi nih yang kalah.” Jaenandra berkomentar setelah melihat Markio gagal memasukkan bola ke dalam lubang. Laki-laki yang paling tua di antara yang lainnya itu langsung tersenyum kecut, kesal namun tidak bisa menyangkal karena dia sendiripun menyadari bahwa kemapuannya tidak begitu baik dalam permainan ini.

“Udah lah, langsung siapin aja kartu kredit lo, Kak.” Jevan menyambung setelah mengelus stick billiardnya dan bersiap memukul bola, “OKE!” teriaknya senang saat bola yang disasarnya berhasil masuk ke lubang.

“Nanti gue yang bayar parkirnya deh,” hibur Juan meskipun yang dihiburnya tidak merasa terhibur.

“Rae, giliran lo.” Jevan menyenggol lengan Raechan dengan sikunya karena laki-laki itu tampak tidak fokus pada permainan, “Kenapa sih diem aja dari tadi?”

“Kalau gue nikah muda, kalian masih mau temenan sama gue gak?”

“HAH?!”

Jaenandra hampir tersedak cairan yang sedang diminumnya, mata Juan hampir meloncat keluar, urat-urat muncul di sekitar leher Jevan karena dia terlalu keras berteriak dan Markio hampir melemparkan satu buah bola billiard ke wajah Raechan agar juniornya itu sadar.

“Gue pengen nikahin Kayana.”

“Wahhhh... Ni tempat kayaknya banyak setannya nih. Husss husss husss setan pergi husss.”

“Kayaknya kita harus bawa nih bocah ke dukun.”

Jaenandra mengangguk mantap, “Dibawa ke daerah rumah lo aja, Wan! Kata lo daerah sana masih banyak dukun pinter.”

“Boleh, nanti gue telpon Ibu gue dulu.”

“Gue gak kesurupan, njir.” Raechan memukul pelan pantat Jaenandra, “Gue beneran pengen nikah muda, sama Kayana.”

“Duduk yuk, Rae, duduk dulu. Ngomong yang bener.” Markio, sebagai yang tertua, berusaha memahami situasi, dia menarik Raechan dan membuatnya duduk di sofa yang berada di sudut ruangan, “Coba gimana tadi? Lo mau apa?”

“Nikah.”

“Sama?”

“Kayana.”

“Lo udah punya modal apa, Rae? Cinta? Gak usah ngaco, Kayana gak akan kenyang lo kasih makan cinta lo itu.”

“Gue udah kerja dari gue SMA, Kak. Duitnya gue tabung, cukup buat beli rumah. Sekarang, gue juga mau minta kerjaan yang lebih bagus di perusahaan Papa, biar gaji gue bisa ditabung, buat biaya hidup sama Kayana.”

Markio mengangguk paham, “Oke, let's say you are financially stable. Tapi gimana sama hal yang lainnya? Mental lo? Lo udah siap buat jadi seorang suami?”

Kali ini Raechan yang mengangguk pelan, “Gue anak paling tua, Kak. Udah biasa mimpin adik-adik gue. Oke mungkin kalian masih ragu tentang gue bisa stay sama satu cewek atau enggak, tapi gue beneran udah gak perduli ke cewek lain romantically setelah sama Kayana.”

“Orang tua lo bakal izinin emang, Rae?” Juan bertanya dengan nada serius.

“Mudah-mudahan, gue belum coba bilang sih.” Raechan mendesah pelan, “Rumah gue selalu ramai sama suara berantemnya Dama sama Selo, sampai gue gak tau kalau sebuah rumah bisa sesepi rumah Kayana karena gak ada adik-adiknya yang berantem disana. Setiap gue berangkat atau pulang, selalu ada salah satu dari kalian yang nebeng mobil gue, sampai gue gak tau kalau sebuah mobil bisa sesepi mobil Kayana karena cuma Kak Iren yang sesekali numpang di mobilnya. Kita selalu berusaha makan bareng tiap jam makan siang, sampai gue gak tau kalau seseorang yang terkenal kayak Kayana bisa duduk sendirian di kantin waktu makan siang. Semua hal itu bikin perasaan gue gak enak, bro.”

“Itu alasan lo nikahin Kayana?”

“Mungkin itu jadi salah satunya, tapi alasan terbesarnya ya karena dari awal gue emang mau serius sama Kayana, Kak.”

“Gue paham,” Markio menepuk-nepuk bahu Raechan, “Lo ngobrol dulu sama orang tua lo dan yang paling penting lo harus tanya dulu ke Kayana dia siap atau enggak. Kalau soal kita masih mau temenan sama lo atau enggak....”

“Ya jelas mau lah, Rae. Sampa kapanpun juga kita bakal tetep sama-sama.” sambung Jaenandra mantap dan langsung disetujui sahabatnya yang lain.

Siang ini, kantin Fakultas Seni Rupa dan Desain, tempat Raechan dan teman-temannya makan siang, tidak terlalu ramai. Entah karena hari ini begitu terik hingga para mahasiswa malas berdesak-desakan di kantin atau karena ya memang mereka tidak lapar saja.

Raechan dan sahabat-sahabatnya memilih untuk duduk di area paling pojok, tempat dimana mereka tidak akan merasa terlalu kepanasan karena cahaya matahari terhalang oleh sebuah pohon rindang yang berdiri tidak terlalu jauh dari area kantin. Para wanita memilih sup buah dan para lelaki memilih untuk minum susu milo dingin dan memesan beberapa cemilan seperti kentang dan jamur goreng.

Asap rokok sudah mulai mengepul ke udara ketika Jevan dan Jaenandra menyalakan rokoknya, sedangkan Raechan memilih untuk menikmati makanan ringan yang dipesannya karena dia sadar, seorang gadis cantik tengah duduk di sampingnya. Dia tidak ingin asap rokok yang ditimbulkannya membuat sesak gadis cantik itu.

“Biasanya kalian ngapain kalau lagi ngerayain anniv brothership kalian gini?” Kayana bertanya karena ini baru pertama kali untuknya.

“Main billiard biasanya, Kak. Kalau udah capek lanjut minum sambil karaoke-an.” Jevan menjawab di sela hisapan rokoknya, “Tapi kayaknya malem ini gak bakal minum, deh. Masih kapok sama pengar yang kemarin.”

Ucapan Jevan membuat Jaenandra dan Markio bergidik ngeri mengingat betapa parahnya efek dari minuman beralkohol yang mereka minum tanpa aturan saat berlibur kemarin.

“Terus yang cewek-cewek biasanya kemana?” tanya Kayana lagi.

“Nonton ke bioskop paling, Kak. Kadang juga kalau lagi males, kita beli makanan aja terus ke studio, di sana nonton aja tuh drama atau series di Netflix.”

“Kalian suka K-Pop gak sih?”

Mata Klarisa dan Jelena langsung berbinar-binar saat mendengar pertanyaan Kayana, bahkan Jelena langsung menghadap Kayana sepenuhnya, “Sumpah, Kak, suka banget. Jangan bilang.....”

“Aku Nctzen.”

“AAAAAAA AKU JUGA, bias Kak Kayana siapa?”

“Johnny.”

“Kita bestie, bias aku Yuta!” Klarisa berseru, “Dan Elen...”

“Aku Taeyong, Kak!”

Mereka saling menatap, lalu sedetik kemudian mereka berteriak heboh, “EMANG YA PESONA 95 LINER TUH!!!!!”

“Ya udah nanti balik kampus kita ke studio Jevan aja, ya? Kita nonton di sana.”

“Neng, belajar, Neng, mau UAS inget.” Jaenandra berceloteh bersungut-sungut, kesal melihat tingkah kekasihnya yang selalu seperti itu ketika membahas idolanya.

Klarisa melirik sinis, “Ih diem deh yang absnya gak lebih bagus dari Yuta.”

“Yaudah gih sono ama Yuta sono, lu! Kagak usah ngerengek minta ditemenin sleep call ke gua lagi!”

“Hehehe walaupun absnya bagusan Yuta tapi kan aku sayangnya sama kamu.” Klarisa merengek manja, menarik-narik lengan kemeja Jaenandra yang digulung sampai siku.

“Lo berdua kalau mau romantis-romantisan jangan di depan gue kek! Milo gue jadi anyep nih!” Juan berbicara sambil melempar sepotong kentang ke arah Jaenandra.

“Lo cari pacar deh, Wan, biar gak sensi.” timpal Markio tenang.

Di tengah-tengah kericuhan para insan manusia itu, Raechan mendekatkan bibirnya ke telinga Kayana untuk berbisik pelan, “I'll never complain like him, do what you like, I'll try to like them too.”

Sekali lagi, perasaan “diterima” memenuhi relung hati Kayana. Membuatnya tersipu, hingga dia yakin saat ini pipinya memerah karena senang.


Selesai makan siang, Raechan dan Kayana berpisah dengan mereka semua karena Raechan berinisiatif untuk mengantarkan Kayana ke kelas. Kayana sudah menolak tawaran itu berkali-kali tapi Raechan tetap kekeh pada keinginannya.

“Raechan!”

Mereka baru sampai di jembatan yang menyambungkan antar gedung fakultas saat tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar memanggil Raechan. Keduanya berbalik dan mendapati seorang gadis tengah tersenyum ke arah mereka—ke arah Raechan lebih tepatnya.

Gadis itu berlari mendekat kemudian sebelah tangannya mengulurkan sebuah kertas bercorak pink dan putih kepada Raechan, “Undangan ulang tahun gue, dateng ya!”

Raechan menyambut kartu undangan itu dan tersenyum santai, “Oke.” jawabnya.

“Gue juga undang Kak Kiyo, Jaenandra, Jevan sama Juan, mudah-mudahan mereka juga bisa dateng.”

“Temen-temen gue yang cewek gak lo undang?”

“Enggak, gue gak kenal soalnya. Pokoknya lo harus dateng ya!” Gadis yang tidak Kayana ketahui namanya itu mengerling manja pada Raechan dan membuat Kayana tersenyum geli.

“Iya gue dateng, temen-temen gue yang cewek juga kayaknya bakal pada dateng sih.”

Ekspresi gadis itu langsung berubah, masam, “Maksudnya?”

“Kalau lo undang Jenan sama Kak Kiyo, mereka pasti bakal ajak Ica sama Elen, kan ceweknya. Gue juga bakal ajak dia, kenalin nih, Kak Kayana, cewek gue. Ahhhh, gak usah dikenalin juga kayaknya lo udah tau sih ya Kak Kayana siapa.”

Wajah gadis itu semakin masam.

“Gue gak tau, Rae, kalau selera lo yang tua-tua gini.”

Raechan sudah akan membalas ucapan gadis itu saat Kayana menahan tangannya dan dia maju satu langkah mendekat pada gadis itu,

“Iya, ya? Saya juga gak tau ada apa sama cewek-cewek seumuran Raechan sampe dia harus susah-susah deketin yang tua-tua kayak saya gini.”

Kayana tersenyum tenang, “Mungkin yang tua kayak saya lebih tau attitude kali ya?”