Ada kalimat terkenal yang berbunyi, jangan mengambil keputusan ketika sedang marah dan jangan berjanji ketika sedang senang. Kayana lupa pernah membacanya dimana, mungkin dari buku-buku yang tertumpuk di sudut kamarnya, atau mungkin juga dari unggahan orang-orang yang ada di dunia luas yang disebut sosial media. Saat marah, orang-orang cenderung berpikir tidak dengan hati dan pikirannya, tetapi mengikuti amarah yang sedang menguasai dirinya. Itulah kenapa, Kayana memilih untuk diam di kamarnya hingga kemarahannya akan kebohongan Raechan mereda. Lalu nanti, saat dia merasa keadaan hatinya membaik, dia sendiri yang akan menemui Raechan yang mungkin saat ini juga sedang menunggu kabar darinya.
Ingatan Kayana kembali pada pukul setengah sembilan pagi tadi. Saat dia hendak menuju mobil Raechan yang terparkir di lahan parkir kampus. Matanya menatap bingung ke arah seorang gadis yang sudah lebih dulu berdiri di mobil Raechan. Gadis yang belum pernah Kayana lihat sebelumnya. Dengan lembut Kayana menegur gadis itu dan menanyakan kenapa dia berada di sebelah mobil Raechan. Lalu dengan sama lembutnya gadis itu menjelaskan bahwa dia datang kesini untuk menemui si pemilik mobil. Dari gadis itu juga Kayana tahu bahwa selama sebulan belakangan ini, Raechan bekerja di sebuah cafe yang bernama Purply Cafe.
Satu bulan yang membuat Kayana tidak bisa bertemu dengan Raechan. Satu bulan yang Kayana yakini bahwa Raechan bekerja di kantor milik papanya hingga tidak sempat pergi ke kampus. Satu bulan yang Kayana habiskan dengan mengkhawatirkan Raechan. Dan ternyata, satu bulan itu Raechan habiskan untuk bekerja di suatu tempat yang tidak Kayana ketahui seluk beluknya. Gadis itu sama sekali bukan mahasiswi kampus ini. Dia adalah mahasiswi di kampus yang dekat dengan cafe tempat Raechan bekerja. Dia datang kesini setelah diberi tahu oleh pemilik cafe bahwa Raechan berkuliah di kampus ini.
Dengan berat hati Kayana memberitahu pada gadis itu bahwa laki-laki yang ingin ditemuinya sedang berkutat dengan soal-soal ujian di kelasnya. Dan dengan hati yang lebih berat lagi, Kayana melangkah pergi dengan banyak pertanyaan menggantung di benaknya.
Kayana tidak menceritakan hal ini pada siapapun, tapi dengan otak cerdiknya, dia mencari tahu apakah Raechan hanya menyembunyikan hal ini darinya atau juga menyembunyikannya pada semua orang. Orang pertama yang Kayana selidiki adalah Dama, adik kandung Raechan. Dan laki-laki muda itu ternyata tidak juga mengetahui bahwa selama ini kakak kandungnya bekerja sebagai pegawai cafe. Perasaan Kayana sedikit membaik karena ternyata Raechan menyembunyikan hal tersebut bukan hanya pada dirinya, namun juga pada orang-orang terdekatnya. Diingatnya juga bahwa bahkan papa Raechan sendiri tidak tahu apa yang dilakukan anak kandungnya saaat Kayana menanyakan keberadaan Raechan.
Namun ada hal yang masih mengganjal pada hati Kayana, yaitu alasan kenapa Raechan mengambil pekerjaan sampingan itu hingga mengorbankan kuliahnya? Dan pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Raechan seorang.
Karenanya, setelah merasa dirinya baik-baik saja dan siap mendengarkan penjelasan Raechan. Kayana pergi seorang diri ke sebuah area perkantoran dimana kantor travel agent papa Raechan berada. Setibanya disana, Kayana menghubungi Raechan lebih dulu dan membuat laki-laki itu berlari dalam satu tarikan nafas untuk menemuinya di area parkir.
“Udah makan? Ini aku beliin lagi rice box sama kopinya. Yang tadi siang udah gak enak.”
Raechan tersenyum lembut menatap sekotak makanan yang baru saja Kayana ulurkan padanya, “Kamu udah gak marah nih ceritanya?”
“Aku dari awal juga gak marah.” Jawab Kayana santai, “Cuma males aja ketemu kamu.”
“Ya sama aja gak sih, Sayang?”
“Gak.”
“Iya-iya yaudah, maaf. Tadi kamu kesini udah bilang Ibu sama Ayah? Udah pamit?”
Samar-samar, dari sudut matanya Raechan bisa melihat Kayana mengangguk, “Ibu mau bawain makanan tadi, takutnya kamu belum makan malem. Tapi aku bilang gak usah, soalnya aku masih utang rice box sama kamu.”
Sebelah tangan Raechan mengelus kepala Kayana pelan dan turun untuk mencubit sebelah pipinya, terlalu gemas dengan tingkah kekasihnya itu, “Kamu lucu amat sih, Kay.”
Kayana tidak menggubris, dia tidak ingin runtuh pertahanannya karena kelakuan manis Raechan, “Jadi gimana? Purply Cafe tuh apa?”
“Ya cafe, aku kerja di sana. Buat cari tambahan. Selama hampir sebulan, aku harus nyetir dua jam buat sampe sana, karena jaraknya jauh banget dari rumah, sengaja biar gak ada yang tau. Aku kerja dari jam delapan pagi sampe jam tiga sore, abis itu langsung ke kantor Papa. Kerja sampe jam sembilan atau jam sempuluh, pulang dari sana nemenin kamu sleep call deh. Itu kenapa selama waktu itu aku gak pernah bisa anter-jemput kamu dan nitipin kamu ke anak-anak, Kay.”
“Kenapa sampe segitunya, Rae?”
Raechan mengambil sebelah tangan Kayana dan menggenggamnya lembut, “Untuk kita, Kay. Uang tabungan aku baru cukup buat beli rumah dan isinya. Juga buat biaya hidup kita setelah menikah. Tapi untuk resepsi, aku harus cari lagi. Makanya aku cari kerja sampingan yang lain. Awalnya, aku gak mau kasih tau kamu dan yang lainnya, karena aku ngerasa ya ini tanggung jawab aku, sebagai laki-laki. Tapi karena kejadian hari ini, aku gak mau nutup-nutupin apa-apa lagi dari kamu.”
Mata Kayana mengerjap-ngerjap tak percaya atas apa yang dia dengar, “Rae...”
“Tolong, tolong banget jangan merasa bersalah. Dari awal, aku gak mau cerita ke kamu karena aku tau respon kamu bakal kayak gini. Tapi aku lakuin semuanya seneng-seneng aja, Kay. Karena aku punya kamu dan aku selalu inget kalau aku lakuin ini semua untuk kita.” Raechan mengecup tangan Kayana yang tadi digenggamnya, “Tapi kamu gak usah khawatir, sekarang aku udah dapet pekerjaan yang lebih baik. Ayahnya Jaenandra baru punya bisnis online gitu dan aku jadi tim marketingnya, aku bisa kerja dari rumah. Gaji yang aku dapet juga jauh lebih besar dari sebelumnya, dalam enam bulan, aku bisa wujudin pernikahan impian kita. Dengan uang yang aku hasilin sendiri.”
“Raechan..” Kayana hanya mampu mendesah pelan. Segala yang didengarnya menimbulkan perasaan aneh. Dia tenang namun juga khawatir. Dia senang tapi juga merasa bersalah.
“Selagi bayaran dari semuanya tuh aku bisa bahagiain kamu dengan usaha aku sendiri, aku bener-bener gak keberatan lakuin ini semua, Kay. You deserve all the good things in life dan aku disini untuk memberikan semua hal itu.”
Malam itu mereka tutup dengan perayaan luar biasa di dalam mobil. Dalam cumbuan Raechan yang bibirnya sedang dia jamah, Kayana tidak lagi merasakan dadanya sesak akan banyak pikiran. Dirinya sudah lega. Raechan sudah menjelaskan semuanya. Dalam hangatnya dekapan Raechan, Kayana kembali merasa bahwa mengiyakan ajakan Raechan untuk menikah adalah hal yang benar.