Angin basah melewati Ayu Laga malam itu. Bergerak dari perkebunan teh, melewati perbukitan di sebelah barat lalu menabrak lembut dedaunan di halaman Laga Home Stay. Raechan masih duduk di teras depan, ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok yang sesekali menyapa bibirnya. Sementara di dalam sana, Kayana, gadisnya, tengah mengeringkan rambut usai mandi.
Pagi tadi mereka tiba di Ayu Laga, sebuah daerah di pinggiran kota tempat mereka akan menikmati bulan madu usai pesta pernikahan yang diadakan secara sederhana. Siang tadi mereka menyempatkan diri untuk megunjungi rumah dinas Garend dan Juwan-keduanya adalah kakak sahabat mereka, Klarisa.
“Rae, mandi gih.” Suara Kayana terdengar sayup-sayup, namun Raechan masih bisa mendengarnya. Laki-laki itu lalu mematikan rokoknya dan menenggak habis sisa kopi yang tersisa di cangkir.
Raechan masuk ke dalam home stay, melempar senyum pada istrinya kemudian masuk ke kamar mandi. Dia sudah bertekad akan membersihkan dirinya sampai ke sel-sel darahnya jika perlu. Karena malam ini, untuk pertama kalinya, dia akan membuka diri sepenuhnya untuk Kayana.
Usai mandi, Raechan menatap dirinya di cermin. Laki-laki itu mengulang kembali perkataan sahabat-sahabatnya.
“Jangan sampe kasar, ini pertama kalinya buat Kak Kayana.”
“Senafsu apapun diri lo, harus tetep bisa kontrol. Lo harus buat Kak Kayana ketagihan bukan malah ngerasa kapok.”
“Be gentle, Raechan.”
Raechan menghembuskan nafas, berusaha melonggarkan dadanya yang penuh. Jauh di dalam hatinya, mantan pemuja wanita itu khawatir bukan main. Dia takut malam ini gagal. Dia takut menyakiti Kayana. Dia takut akan segala hal. Tapi ada sesuatu yang juga bersorak dalam dirinya, malam ini dia akan membuat Kayana menjadi miliknya seutuhnya. Penantiannya selama hampir dua tahun bisa dia bayar tuntas malam ini.
Dua hal yang saling bertentangan dalam dirinya itulah yang membuat dadanya penuh.
Lalu setelah meyakinkan diri, Raechan melangkah keluar kamar mandi. Disapa oleh Kayana yang tengah membaca buku di atas ranjang. Gadis itu-atau Raechan harus mulai menyebutnya sebagai seorang wanita-tampak begitu tenang. Wajahnya terlihat cantik seperti biasanya, tanpa ada gurat ketegangan atau rasa khawatir apapun disana.
Malam ini, wanita itu mengenakan gaun tidur berwarna hitam pekat. Rambutnya diikat asal dan menyisakan anak-anak rambut yang menjuntai berantakan. Kayana tidak merias wajahnya sedikitpun, hanya polesan lip balm yang membuat bibirnya terlihat segar dan... nikmat.
“Lama banget mandinya? Lebih lama dari aku deh kayaknya.” Ucapan Kayana membuyarkan lamunan Raechan, laki-laki itu kembali menguasai diri dan duduk di sisi ranjang yang kosong.
Kayana meletakkan bukunya, memandangi Raechan dari samping. Tangannya melingkari lengan Raechan yang masih terasa dingin usai mandi. “Makasih ya, dua tahun ini kamu gak pernah nyentuh aku lebih dari yang aku izinin. Pasti rasanya berat ya?”
Raechan menolehkan kepalanya, membalas tatapan Kayana. “Kehormatan kamu sebanding sama usaha aku untuk nahan diri, Kay.” Raechan mengulas senyum, tangannya yang bebas mengelus lembut pipi Kayana.
“Sekarang kamu boleh nyentuh aku sesuka kamu, Raechan,” bisik Kayana pelan, sepelan hembusan angin di luar sana. Namun itu cukup membuat bulu kuduk Raechan meremang.
Wanita yang telah sah menjadi istri Raechan itu memajukan wajahnya. Mendaratkan bibir ranumnya pada milik Raechan. Sementara sang suami menerimanya dengan senang hati. Tangan kekarnya menahan kepala Kayana agar tidak menjauh sementara dia mengambil alih ciuman itu.
Dibelainya bibir Kayana dengan lembut. Lidahnya menyusul setelah itu. Keselarasan di antara kedua bibir itu menciptakan alunan indah yang memuaskan indera pendengaran keduanya.
Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa saat. Hingga Raechan, dengan terpaksa, melepaskan pagutannya. Dia menatap Kayana dalam. “Kamu... lebih nyaman lampunya nyala atau mati?”
“Nyala.”
“Yaudah, aku gak matiin lampunya.”
Raechan kembali meraup bibir Kayana. Hanya sesaat, karena setelahnya bibir itu bergeriliya menuju leher Kayana.
Tangan Raechan juga mulai ikut andil. Menurunkan tali gaun malam Kayana. Membuat gaun malam itu tidak lagi memiliki penyangga. Raechan menariknya turun, membuat tubuh Kayana berbaring hanya dengan dilindungi pakaian dalam dengan warna senada.
Raechan menikmati pemandangan itu. Untuk pertama kali, dia melihat tubuh wanitanya. Dan itu lebih indah dari yang pernah dia bayangkan. Payudara Kayana tidak terlalu besar, namun terlihat sintal dan pas di telapak tangan Raechan. Kulitnya mulus tanpa cacat.
Raechan mendaratkan ciumannya di antara gundukan payudara Kayana. Mengecupnya ringan. Sebelah tangannya menuju belakang punggung Kayana, menarik lepas pengait yang menjadi pelindung terakhir hal indah itu. Ciumannya bergeser ke puncak payudara Kayana. Raechan mengecupnya beberapa kali, lalu kecupan itu berubah menjadi kuluman. Sesekali dia melepaskan kulumannya dan meniup puting kecoklatan itu pelan. Sensasinya membuat Kayana mendesah pelan. Membusungkan dadanya menuntut lebih.
Raechan menyukai respon Kayana. Wanita itu begitu responsif.
Tangan Raechan menggantikan bibirnya. Laki-laki itu mulai meremas payudara Kayana. Sementara bibirnya kembali bermain dengan bibir Kayana. Raechan meremas payudara Kayana bergantian, sesekali memilin putingnya pelan.
Setelah puas, laki-laki itu berhenti sebentar. Memberikan waktu pada Kayana untuk menarik nafas. Dia memanfaatkan waktu itu untuk sekali lagi menikmati tubuh Kayana yang saat ini hanya dibalut celana dalam. Sementara yang ditatap merasa tersipu, berusaha menutup dirinya dari tatapan mendamba Raechan. Namun dengan begitu lembut, Raechan menyingkirkan tangan Kayana yang menutupi dirinya.
“Jangan, Sayang. Jangan malu.”
Tidak ingin mengambil waktu istirahat terlalu lama, Raechan kembali bergerak. Kali ini dia mengecupi Kayana mulai dari perutnya, terus turun hingga ke paha. Kecupan-kecupan itu membuat Kayana sedikit menegakkan tubuh, bingung dengan sensasi yang dia rasakan.
“Raechan, jangan...”
Namun sekali lagi, dengan kelembutan yang luar biasa, Raechan menghela Kayana untuk kembali berbaring.
“Gak papa, Kay. Jangan takut.”
Raechan melemparkan senyum menenangkan, menyihir Kayana hingga membuat wanita itu mengangguk dan bahkan membuka pahanya. Memberi ruang pada Raechan untuk mengenal dirinya lebih jauh.
Raechan menyambut Kayana yang membuka diri. Dia melanjutkan kecupannya. Mulai dari paha bagian dalam hingga akhirnya mendarat di bagian diri Kayana yang paling intim. Raechan mengecupi kewanitaan Kayana yang masih dibalut celana dalam berenda.
“Mhhh, Rae...”
Kayana menyambutnya dengan erangan.
Raechan semakin bersemangat, dengan jarinya, Raechan menarik celana dalam Kayana. Membiarkannya terlepas melewati kaki Kayana yang jenjang.
“Cantik,” puji Raechan pada pemadangan yang ada di hadapannya saat ini. Dia membayar keindahan itu dengan memanjakan kewanitaan Kayana. Dengan bibirnya, lidahnya, juga jari-jarinya.
Meskipun tidak berpengalaman, Raechan tahu titik mana yang disukai perempuan. Dan hal itu dibenarkan oleh Kayana karena wanita itu menggeram hebat ketika lidah Raechan menyentuh titik paling sensitif dalam dirinya.
“Ahh, disini ternyata. Kamu suka disini ya, Sayang?”
Kayana tidak mampu menjawab dengan bibirnya, dia hanya mampu menjawab pertanyaan itu dengan meremas rambut belakang Raechan. Menuntutnya untuk melanjutkan kegiatan nikmat itu.
Raechan menurut, dia memasukkan dua jari pada kewanitaan Kayana. Menyentuh titik sensitif itu berkali-kali, membuat Kayana menggelinjang kenikmatan. Sampai pada titik dimana Kayana merasakan dirinya akan mencapai titik paling nikmat, Raechan menghentikan kegiatannya.
Kayana hendak protes namun Raechan lebih dulu berkata, “Jangan sekarang, tunggu aku, Cantik.”
Raechan bangkit, melepas kaus hitam polos yang sejak tadi masih dia kenakan. Kayana hanya menatap suaminya dalam diam. Ini juga pertama kalinya untuk Kayana melihat Raechan melepas pakaiannya. Selama ini, laki-laki itu tidak pernah sekalipun sembarangan membuka baju di depannya. Hanya sesekali Kayana tidak sengaja melihat tubuh Raechan ketika kaus yang Raechan kenakan tidak sengaja tersingkap.
Tubuh Raechan yang Kayana sangka kurus ternyata begitu kekar. Dadanya bidang, perutnya rata meskipun tidak memiliki enam kotak seperti Jevan dan Jaenandra.
“Mau sentuh?” tawar Raechan saat menyadari sejak tadi Kayana menatapnya.
Kayana mengangguk sebagai jawaban pertanyaan itu. Raechan terkekeh pelan, membaringkan tubuhnya di sisi Kayana lalu menuntun wanitanya untuk duduk di atas perutnya.
“Sentuh aja, Kay.”
Atas izin itu, Kayana mulai menyentuh tubuh Raechan. Sensasinya menyenangkan ketika telapak tangannya bersentuhan dengan tubuh Raechan. Kulit Raechan halus, namun Kayana juga bisa merasakan kerasnya otot di balik kehalusan itu. Setelah puas menyentuh dengan tangan, Kayana mengecup leher Raechan. Meniru apa yang suaminya tadi sempat lakukan.
Kayana menghirup aroma yang tersimpan di leher Raechan. Aroma parfum yang tercampur dengan aroma asli tubuh laki-laki itu. Lalu kecupannya turun ke dada bidang suaminya, terus turun hingga ke perut.
Si pemilik tubuh menggeram hebat. Sentuhan yang Kayana berikan memang tidak terlalu intim, tapi Karena wanita itu memang sudah membuatnya menggila sejak awal, sentuhan ringan ini sudah cukup membuatnya hilang akal.
Saat sibuk mengecupi perut Raechan, tidak sengaja lengan Kayana menyentuh sesuatu yang terasa keras dan terlihat timbul dari balik dari celana Raechan. Dia sudah akan menyentuhnya namun Raechan buru-buru menahan.
“Jangan, Kayana. Aku bisa gila kalau kamu sentuh aku sekarang.”
Setelah mengatakan itu, Raechan membimbing Kayana untuk kembali berbaring. Dia memposisikan tubuhnya di antara paha Kayana yang terbuka. Laki-laki itu menjilat jarinya sebelum kembali memasukkan jarinya ke dalam kewanitaan Kayana. Memastikan bahwa wanitanya itu sudah cukup basah dan siap untuk menerima kehadirannya.
Setelah mematikan bahwa wanitanya siap, Raechan menurunkan celananya dan memposiskan kejantanannya di depan liang surgawi itu. Tidak lupa dia mengenakan pengaman terlebih dahulu.
“Rae, nanti sakit gak? Itu keliatan keras dan... besar.”
“Bakal masuk kok, Kay. Tenang aja. Relax, jangan takut. Biar gak sakit. Tapi kalau emang kerasa sakit, aku bakal berhenti, ya?”
Kayana memejamkan mata, meremas sprei yang telah acak-acakan di bawahnya. Sementara Raechan berusaha sepelan mungkin memasukkan kejantannya kedalam kewanitaan Kayana.
“AAAHHHHH~~”
“Kay, maaf, maafin aku. Sakit ya? Cakar aku aja gak papa, jangan ngeremes sprei gitu.”
Raechan menuntun tangan Kayana untuk memeluk dirinya. Supaya mudah bagi wanitanya untuk melampiaskan rasa sakitnya. Agar bisa juga Raechan rasakan sesakit apa Kayana saat dia masuki.
“Maaf, maaf aku harus nyakitin kamu kayak gini.” Raechan mengecup butir air mata yang mengalir dari sudut mata Kayana.
Sementara itu Kayana masih berusaha menyesuaikan rasa tidak nyaman di bawah sana. Dia tidak ingin suaminya merasa bersalah dan meminta maaf berkali-kali seperti ini.
“Gerak, Rae. Tapi pelan-pelan ya.”
“Kamu yakin?” tanya Raechan ragu.
Kayana memberi jawaban dengan menggerakkan pinggulnya. Membuat Raechan membalas dengan gerakan yang sama. Masih ada rasa perih yang tertinggal, namun perlahan rasa itu tergantikan dengan kenikmatan yang kentara dari geraman mereka berdua.
Raechan terus bergerak di bawah sana. Sementara bibir dan tangannya juga tidak tinggal diam. Dia berusaha memuaskan Kayana dimana-mana. Dengan seluruh dirinya.
“Kay... Kay... It feels so crazy.”
Hentakan Raechan semakin keras dan cepat. Membuat Kayana hampir mencapai titik tertinggi dirinya lagi.
“Rae... Aku mau pipis rasanya.”
“Tunggu aku Kay.” Raechan semakin menaikkan tempo hentakannya hingga keduanya mencapai titik paling nikmat yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
“AAAHHHH RAECHAN...”
“Kayana... Kayana... Kayana...”
Raechan terkulai lemas, menabrak lembut tubuh Kayana yang berada di bawahnya. Tubuh mereka dibanjiri peluh kenikmatan.
Setelah istirahat beberapa saat, Raechan membaringkan tubuhnya di sisi Kayana. Melepas pengaman dan membuangnya ke kotak sampah.
“Masih sakit?” tanyanya pada Kayana yang terbaring lemah. Raechan memeluk istrinya itu dan mengecup bahunya yang telanjang. “Maaf, aku terlalu kasar ya?”
“Enggak, kok. Tapi aku capek.”
“Iya, kita bersih-bersih di kamar mandi dulu ya. Abis itu kamu bisa tidur.” Raechan mengecup bahu Kayana sekali lagi.
Menghirup aroma tubuh Kayana dan menyimpannya di memori otaknya. Bersama dengan kenangan malam ini. Mereka akan bersemayam selamanya dalam ingatan Raechan.