petrichorslines

Saat selesai memakirkan mobil di garasi rumah, yang Raechan bayangkan adalah dirinya akan segera diguyur air dingin, membersihkan seluruh kotoran yang menempel di tubuh. Lalu setelah itu, dia akan membawa istrinya ke puncak kenikmatan yang hanya dia dan istrinya yang tahu.

Namun saat membuka pintu depan, yang didapatinya justru pemandangan yang berbanding terbalik dengan apa yang dia bayangkan. Istrinya, yang dia harapkan tengah menunggu di kamar dengan pakaian dinas yang menggoda, justru sedang berdiri bersidekap menatap anak pertama mereka yang terlihat menunduk dalam-dalam.

“Loh... loh... Ada apa ini?”

“Tuh Papa kamu udah pulang, panutan kamu udah pulang.” Kayana berucap dingin, membuat Sergio semakin menundukkan kepalanya.

Raechan hendak menyentuh lengan Kayana untuk membuatnya tenang namun perempuan itu dengan gesit mengelak.

“Mama ke kamar dulu, kamu selesaiin urusan kamu sama Papa.”

Selepas suara pintu kamar yang ditutup terdengar, Sergio baru berani menegakkan kepala. Dia menatap papanya yang juga menatapnya. Saat itulah Raechan menyadari wajah Sergio babak belur penuh luka.

“Papa...”

“Kita bicara di ruang kerja Papa yuk, kita obatin luka kamu sekalian.”

Sergio menurut, mengikuti papanya masuk ke ruang kerja. Mereka berdua duduk di sofa yang berada di dekat jendela yang telah Raechan buka.

“Kalau perih bilang ya,” ucap Raechan sembari membersihkan wajah Sergio yang terluka.

“Papa kok gak marahin aku?”

“Papa tau, anak papa yang keren ini gak mungkin berantem tanpa alasan. Papa gak akan marahin kamu, asal kamu cerita ke papa apa alasannya.” Raechan menyingkap rambut depan anak bungsunya agar luka di dahinya dapat terlihat. “Ada yang gangguin Yemima waktu kamu anter dia pulang?” terka Raechan.

“Enggak, Pa. Bukan itu.”

“Terus?”

“Selesai aku anter Kak Yemima pulang, aku buru-buru balik ke halte bus buat pulang ke rumah. Tapi waktu lewat gang deket rumah Kak Yemima, aku liat ada anak kecil dipalakin. Kayaknya dia pulang ngamen. Aku gak bisa diem aja dong, yaudah aku bantuin. Jadinya begini deh.” Sergio menjelaskan dengan rinci meskipun dia sedang menahan perih.

“Kamu lawan berapa orang?”

“Empat.”

“Jagoan anak Papa! Lawan empat orang tapi lukanya cuma segini. Keren!” Raechan mengacak pelan rambut Sergio kemudian kembali mengobati luka-luka diwajahnya. “Dulu waktu awal-awal nikah, Papa juga pernah dimarahin Mama karena berantem, kamu tau gak kenapa Mama marah?”

Sergio menggeleng.

“Karena Mama khawatir, Nak. Mama sayang sama Papa, Mama gak mau Papa kenapa-kenapa. Mama gak suka liat Papa luka. Jadi waktu liat kamu pulang dengan keadaan kayak gini, Mama juga ngerasain hal yang sama.”

“Nah, udah beres, pelan-pelan nanti kalau mandi ya. Pasti perih.”

Tepukan pelan Raechan berikan pada Sergio yang entah kenapa tiba-tiba terdiam setelah mendengar kalimat yang Raechan ucapkan tentang Kayana. Mungkin anak itu sedang merasa bersalah telah membuat khawatir wanita yang telah melahirkannya. Mungkin juga anak itu sedang bingung memikirkan bagaimana caranya membuat mamanya tidak marah lagi.

Maka Raechan mengambil peran, dia melepaskan jas dan dasinya. Kemudian mengeluarkan rokok dari saku celana.

“Dulu waktu seumuran kamu, Papa sama Om Jaenan pernah ngelawan delapan orang gara-gara mereka ngeroyok Om Jevan.” Raechan menghisap rokoknya dalam lalu asap mengepul ke udara. “Oma marahin Papa waktu itu.”

“Terus cara Papa minta maaf ke Oma gimana?”

Raechan merangkul bahu Sergio. “Kamu inget gak apa yang selalu Papa bilang tentang wanita?”

“Inget,” jawab Sergio lugas. “Mereka itu perasa, mudah marah, tapi mudah juga dibahagiakan. Bahkan dengan hal-hal kecil.”

“Naaaah, itu tau.” Raechan menjawab dengan semangat, membuat semburat wajah Sergio kembali ceria.

“Bikin Mama seneng lagi, dengan hal-hal kecil. Kamu pasti tau caranya, anak Papa kan pinter.”

Sergio tidak menjawab, anak itu hanya menabrak lembut tubuh papanya untuk memberi pelukan.

“Mama marah bukan karena gak sayang sama Gio.”

“Iya, Pa.”

“Gio gak marah kan ke Mama?”

Sergio melepaskan pelukan, menatap tepat ke manik mata papanya. “Enggak, sama sekali enggak Pa.”

Good boy. Mama mu itu Papa ajak menikah waktu usianya masih sangat muda, melahirkan kamu waktu usianya masih 23 tahun. Mama kasih semuanya yang dia punya untuk kamu, Mama pusatkan semua perhatiannya untuk tumbuh kembang kamu. Bahkan butuh 15 tahun untuk Mama yakin sampai kita punya Sergia. Mama sayang sekali sama kamu, Sergio.”

“Iya, Pa, aku ngerti. Aku juga sayang banget sama Mama.”


Kecupan lembut mendarat di bahu Kayana beriringan dengan sebuah suara. “Aku udah ngomong sama Gio.” Raechan melingkarkan lengannya di perut Kayana. Memeluknya dari belakang.

“Aku keterlaluan ya ke Gio?”

“Enggak, aku ngerti kok kamu khawatir sama dia. Aku juga ngerti kamu dari dulu gak pernah suka liat orang berantem.”

Kayana diam, belum menanggapi jawaban Raechan.

“Sayang, liat aku,” pinta Raechan seraya membalikkan tubuh Kayana agar berhadap-hadapan dengannya. “Gio punya alasan sendiri kenapa dia berantem. Dia belain anak kecil yang dipalakin. Itu mungkin gak akan membenarkan perbuatannya, tapi seengganya kamu tahu, dia berantem karena memang dia harus ngelakuin itu. Bukan karena dia iseng atau pengen keliatan keren aja. Sergio, anak kita, itu anak keren. Kamu juga tau itu kan?”

“Iya, Mas.”

“Udah dong jangan cemberut gitu,” goda Raechan pada istrinya yang masih saja memberengut. Membuat bibirnya mengerucut menggemaskan.

Smile or i'll kiss that pouty lips.”

I don't want to smile so kiss me then.”

This naughty girl.” Raechan berbisik lirih sebelum akhirnya menyatukan bibirnya dengan ranumnya bibir kayana. Mencecap rasa yang telah lama dikenalnya.

Ternyata malam itu, rencana mereka tidak berubah sedikitpun.

“Ica gak marah gak lo ajak kesini?”

“Dia tau kok kita kesini buat Raechan.”

“Buat Raechan? Emang dia kenapa, Jaen?”

Jaenan membiarkan asap tebal yang keluar dari mulutnya terbang bersama angin malam Ayu Laga. Dia juga membiarkan pertanyaan Garend menggantung di udara.

Ditatapnya sahabatnya, Raechan, yang tengah duduk bersama Juwan, Markio, Jevan dan Juan di meja kayu tempat mereka makan malam bersama. Dari kejauhan, tidak ada yang salah dengan Raechan. Anak itu masih selalu menjadi sumber kecerian orang-orang di sekitarnya. Melempar celotehan jenaka, bernyanyi, minum-minum atau bahkan bermain perempuan. Tidak ada yang salah sama sekali dengannya. Hingga malam itu, saat Jaenandra menyadari bahwa Raechan tetaplah seorang manusia biasa.

“Jadi anak pertama tuh berat gak sih Kak?”

Garend terkekeh pelan atas pertanyaan Jaenandra yang begitu tiba-tiba itu. Namun sesuatu dalam dirinya merasa terpanggil.

“Jaenan, sebenernya, mau jadi anak pertama, anak kedua, anak ketiga, atau anak keberapapun, pasti punya masalahnya sendiri-sendiri. Mereka semua pasti punya tanggung jawab yang bikin mereka ngerasa kalau hidup yang mereka jalanin tuh berat.”

Jaenandra diam, menyimak.

“Tapi Jaen, jadi anak pertama itu bahunya harus kuat, kepalanya harus keras, hatinya harus tangguh.” Garend melemparkan tatapan matanya pada Raechan. “Harus jadi garda terdepan yang siap ngegantiin orang tuanya, harus jadi contoh yang baik buat adik-adiknya, harus bisa ini-itu karena dianggap yang paling dewasa, banyak harusnya.”

Jaenandra masih tetap diam.

“Padahal, anak pertama juga butuh kakak. Mereka juga butuh tempat buat bersandar.”

“Kak Garend juga ngerasa gitu?” Jaenandra akhirnya bersuara.

“Iya, hahaha.” Garend tertawa hambar. “Ini alasan lo bawa Raechan kesini?”

“Kemarin malem... Raechan tiba-tiba dateng ke apartemen gue. Dia minta ditemenin minum.”

Garend menyerngit heran. “Bukannya seharusnya dia dateng ke apartemen Jevan? Lo kan gak kuat minum?”

“Justru itu, dia mau abisin semua minumannya sendiri. Dia cuma butuh temen.”

Kali ini Garend yang diam menyimak.

“Gue tungguin dia cerita alasanya kenapa tiba-tiba pengen minum, tapi sampai abis botol pertama dia gak ngomong apa-apa. Sampai akhirnya dia tumbang dan cuma satu kalimat yang keluar dari mulutnya.”

“Apa?”

“Gue pengen punya kakak.”

Ada seulas senyum yang nampak di wajah Garend. Dia tahu betul arti kalimat itu. Dia tahu betul selelah apa Raechan.

“Setelah ngomong itu, dia tidur pules tapi mukanya keliatan capek banget. Sambil liatin dia tidur, gue banyak mikir Kak. Terus gue baru sadar, kalau selama ini, tanpa kita sadarin, Raechan selalu jadi yang paling manja kalau lagi ngumpul sama kita-kita.” Saat mengucapkannya, Jaenandra merasakan kedua matanya memanas. “Dia selalu jadi yang paling banyak mau, dia banyak protes dan ngerengek, dia paling minta diemong. Dan gue juga baru sadar kalau semua itu ya dia lakuin karena dia lagi di luar rumah. Karena ketika di dalam rumah... dia adalah seorang kakak buat adik-adiknya.”

“Cuma sama kita... dia ngerasa punya kakak. Terutama sama Kak Kiyo.”

Garend merangkul bahu Jaenandra, menepuknya beberapa kali. Menghantarkan perasaan hangat agar kekasih dari adiknya itu merasa lebih baik.

“Jaenan.” Garend memulai, “gak perduli seharmonis apapun sebuah keluarga, pasti ada masanya, tanpa sengaja, kita merasa tersakiti sama keluarga kita sendiri. Gue gak tau apa yang lagi Raechan alamin sampai dia ngomong kayak gitu, tapi sepertinya sumber masalahnya ya dari keluarga. Dia bilang dia pengen punya kakak, yang artinya dia gak punya tempat bersandar di keluarganya.”

“Tanya ke dia pelan-pelan Jaen. Gue yakin dia pasti cerita.”

Garend menepuk bahu Jaenandra sekali lagi sebelum bangkit berdiri dan mendekati Juwan. Dia mengacak rambut adik angkatnya itu sembari berkata, “Udah malem, tidur, besok lo jaga pagi.” Lalu tatapan Garend jatuh pada yang lainnya. “Kalian lanjut aja minum-minumnya, kalau kurang, di dapur masih ada lagi. Anggep aja rumah sendiri. Gue sama si Uwu tidur dulu.”

Seperginya Garend dan Juwan, Jaenandra kembali bergabung di meja makan. Duduk di sebelah Markio.

“Lo lagi ada masalah Jaen?” Raechan bertanya.

“Harusnya gue yang tanya ke lo, lo lagi ada masalah apa?”

“Gue?”

“Kemarin waktu lo mabok, lo bilang lo butuh kakak. Muka lo keliatan capek banget. Lo kenapa?”

Yang ditanya hanya menunduk dalam, enggan bersuara. Sementara yang lainnya saling pandang tidak mengerti.

“Kalian minum bareng?” tanya Juan yang masih mencoba mengerti tentang apa yang terjadi.

“Iya, kemarin malem dia ke apartemen gue. Minta ditemenin minum katanya, tapi Raechan gak bilang apa-apa tentang masalahnya. Makanya gue bawa kalian ke sini, kali aja ni anak jadi mau terbuka.”

“Rae, something bad happened?” Jevan menggeser duduknya lebih dekat pada Raechan, “kalau lo mau cerita, jangan ditahan. Tapi kalau lo belum siap, ya gak usah cerita dulu gak papa.”

“Kemarin gue anter Mama ke acara nikahan sodara, di sana gue ketemu Tante Elis.” Raechan memulai ceritanya setelah meyakinkan diri, dia masih terus menunduk dalam rangkulan Jevan. “Kalian tau kan kalau Tante Elis masih nentang keputusan gue buat masuk bisnis? Kemarin dia bahas lagi, di depan orang banyak, nunjuk-nunjuk muka gue dan ngatain gue anak gak berguna karena gak mau jadi dokter.”

“Tante Elis bilang, gue gak pantes jadi contoh yang baik buat adik-adik gue. Kata Tante Elis, gue cuma ngasih contoh jadi anak pembangkang ke mereka. Katanya, gue gagal jadi kakak.”

Terdengar hembusan nafas berat dari Raechan. Kepalanya semakin merunduk. Suaranya melirih.

“Gue... bingung. Gue pengen cerita ke Papa, tapi waktu sampe rumah, Papa baru banget pulang kantor. Mukanya capek, jasnya berantakan, bahkan Papa gak makan malem sangking capeknya. Jadi gue segan buat cerita, gue takut nambah pikiran Papa. Gue mau cerite ke Dama, tapi dia masih terlalu kecil. Jadi gue bingung, kepala gue berisik, tapi gue gak bisa ngadu ke siapa-siapa. Mau cerita ke kalian, kok rasanya gue ngumbar aib keluarga besar gue.”

“Gue berharap gue punya kakak. Supaya gue bukan anak pertama.”

Selepas Raechan selesai bercerita, belum ada yang berani bersuara. Gelegar petir terdengar samar-samar di kejauhan. Angin dingin mulai menusuk-nusuk kulit kelima laki-laki yang masih mengunci mulut mereka.

Dari balik jendela kaca yang mengarah ke halaman belakang, Garend berdiri mengamati. Meskipun dia tidak mendengar apapun dari sana, tapi dia tahu betul keadaan sahabat-sahabat adiknya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Rae...” Juan mengambil langkah pertama, mendahului sahabatnya yang lain karena dia merasa dia perlu mengatakan sesuatu untuk Raechan. “Gue, Jevan, Jaenan, Kak Kiyo, kita semua anak tunggal. Kita gak pernah tau rasanya dituntut untuk jadi contoh yang baik buat adik-adik kita. Tapi satu hal yang kita tau Rae, tanpa jadi dokterpun, lo adalah sosok kakak yang sempurna buat Dama dan Selo.”

Juan mengambil sebelah tangan Raechan yang berada di atas meja. “Dengan nekat masuk bisnis, lo gak kasih contoh buruk ke adik-adik lo kok. Justru lo kasih contoh baik ke mereka untuk jadi anak-anak yang berani. Berani untuk ngikutin kata hati mereka sendiri.”

“Gue setuju sama Juan.” Sambung Markio mantap, “kalau lo gagal jadi kakak, gak mungkin dengan bangganya Dama nyebut nama lo waktu dia menang tanding futsal kemarin. Lo inget kan, dengan bangga, dia bilang dia adik Raechan Leenandar.”

Raechan tersenyum tipis mengingat kejadian yang Markio sebutkan. Saat itu, sebulan lalu, Dama meminta Raechan dan sahabat-sahabatnya untuk datang ke acara final pertandingan futsal tingkat nasional yang diadakan di sekolah Dama. Dan saat Dama memenangkan pertandingan itu, sebagai kapten, dia diberi waktu untuk mengucapkan terimakasih. Lalu dengan mata yang berkilat-kilat penuh rasa bangga, Dama memperkenalkan dirinya sebagai Aldama Leenandar. Adik dari Raechan Leenandar.

“Dama gak akan sudi nyebut nama lo kalau lo bukan sosok kakak yang pantes buat dibanggain,” tegas Markio sekali lagi.

“Rae, gak usah denger lah apa yang Tante lo omongin. Biar aja dia berkicau kayak apa juga. Yang penting lo, orang tua lo, adik-adik lo dan kita semua sahabat-sahabat lo, bangga sama diri lo yang sekarang.” Jaenandra menimpali.

If it's toxic, it's toxic. You have the right to cut them off, eventho they are your family.” Jevan mengakhiri malam itu dengan tepukan pelan pada bahu Raechan.

Angin basah melewati Ayu Laga malam itu. Bergerak dari perkebunan teh, melewati perbukitan di sebelah barat lalu menabrak lembut dedaunan di halaman Laga Home Stay. Raechan masih duduk di teras depan, ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok yang sesekali menyapa bibirnya. Sementara di dalam sana, Kayana, gadisnya, tengah mengeringkan rambut usai mandi.

Pagi tadi mereka tiba di Ayu Laga, sebuah daerah di pinggiran kota tempat mereka akan menikmati bulan madu usai pesta pernikahan yang diadakan secara sederhana. Siang tadi mereka menyempatkan diri untuk megunjungi rumah dinas Garend dan Juwan-keduanya adalah kakak sahabat mereka, Klarisa.

“Rae, mandi gih.” Suara Kayana terdengar sayup-sayup, namun Raechan masih bisa mendengarnya. Laki-laki itu lalu mematikan rokoknya dan menenggak habis sisa kopi yang tersisa di cangkir.

Raechan masuk ke dalam home stay, melempar senyum pada istrinya kemudian masuk ke kamar mandi. Dia sudah bertekad akan membersihkan dirinya sampai ke sel-sel darahnya jika perlu. Karena malam ini, untuk pertama kalinya, dia akan membuka diri sepenuhnya untuk Kayana.

Usai mandi, Raechan menatap dirinya di cermin. Laki-laki itu mengulang kembali perkataan sahabat-sahabatnya.

Jangan sampe kasar, ini pertama kalinya buat Kak Kayana.”

Senafsu apapun diri lo, harus tetep bisa kontrol. Lo harus buat Kak Kayana ketagihan bukan malah ngerasa kapok.”

Be gentle, Raechan.”

Raechan menghembuskan nafas, berusaha melonggarkan dadanya yang penuh. Jauh di dalam hatinya, mantan pemuja wanita itu khawatir bukan main. Dia takut malam ini gagal. Dia takut menyakiti Kayana. Dia takut akan segala hal. Tapi ada sesuatu yang juga bersorak dalam dirinya, malam ini dia akan membuat Kayana menjadi miliknya seutuhnya. Penantiannya selama hampir dua tahun bisa dia bayar tuntas malam ini.

Dua hal yang saling bertentangan dalam dirinya itulah yang membuat dadanya penuh.

Lalu setelah meyakinkan diri, Raechan melangkah keluar kamar mandi. Disapa oleh Kayana yang tengah membaca buku di atas ranjang. Gadis itu-atau Raechan harus mulai menyebutnya sebagai seorang wanita-tampak begitu tenang. Wajahnya terlihat cantik seperti biasanya, tanpa ada gurat ketegangan atau rasa khawatir apapun disana.

Malam ini, wanita itu mengenakan gaun tidur berwarna hitam pekat. Rambutnya diikat asal dan menyisakan anak-anak rambut yang menjuntai berantakan. Kayana tidak merias wajahnya sedikitpun, hanya polesan lip balm yang membuat bibirnya terlihat segar dan... nikmat.

“Lama banget mandinya? Lebih lama dari aku deh kayaknya.” Ucapan Kayana membuyarkan lamunan Raechan, laki-laki itu kembali menguasai diri dan duduk di sisi ranjang yang kosong.

Kayana meletakkan bukunya, memandangi Raechan dari samping. Tangannya melingkari lengan Raechan yang masih terasa dingin usai mandi. “Makasih ya, dua tahun ini kamu gak pernah nyentuh aku lebih dari yang aku izinin. Pasti rasanya berat ya?”

Raechan menolehkan kepalanya, membalas tatapan Kayana. “Kehormatan kamu sebanding sama usaha aku untuk nahan diri, Kay.” Raechan mengulas senyum, tangannya yang bebas mengelus lembut pipi Kayana.

“Sekarang kamu boleh nyentuh aku sesuka kamu, Raechan,” bisik Kayana pelan, sepelan hembusan angin di luar sana. Namun itu cukup membuat bulu kuduk Raechan meremang.

Wanita yang telah sah menjadi istri Raechan itu memajukan wajahnya. Mendaratkan bibir ranumnya pada milik Raechan. Sementara sang suami menerimanya dengan senang hati. Tangan kekarnya menahan kepala Kayana agar tidak menjauh sementara dia mengambil alih ciuman itu.

Dibelainya bibir Kayana dengan lembut. Lidahnya menyusul setelah itu. Keselarasan di antara kedua bibir itu menciptakan alunan indah yang memuaskan indera pendengaran keduanya.

Mereka bertahan pada posisi itu selama beberapa saat. Hingga Raechan, dengan terpaksa, melepaskan pagutannya. Dia menatap Kayana dalam. “Kamu... lebih nyaman lampunya nyala atau mati?”

“Nyala.”

“Yaudah, aku gak matiin lampunya.”

Raechan kembali meraup bibir Kayana. Hanya sesaat, karena setelahnya bibir itu bergeriliya menuju leher Kayana.

Tangan Raechan juga mulai ikut andil. Menurunkan tali gaun malam Kayana. Membuat gaun malam itu tidak lagi memiliki penyangga. Raechan menariknya turun, membuat tubuh Kayana berbaring hanya dengan dilindungi pakaian dalam dengan warna senada.

Raechan menikmati pemandangan itu. Untuk pertama kali, dia melihat tubuh wanitanya. Dan itu lebih indah dari yang pernah dia bayangkan. Payudara Kayana tidak terlalu besar, namun terlihat sintal dan pas di telapak tangan Raechan. Kulitnya mulus tanpa cacat.

Raechan mendaratkan ciumannya di antara gundukan payudara Kayana. Mengecupnya ringan. Sebelah tangannya menuju belakang punggung Kayana, menarik lepas pengait yang menjadi pelindung terakhir hal indah itu. Ciumannya bergeser ke puncak payudara Kayana. Raechan mengecupnya beberapa kali, lalu kecupan itu berubah menjadi kuluman. Sesekali dia melepaskan kulumannya dan meniup puting kecoklatan itu pelan. Sensasinya membuat Kayana mendesah pelan. Membusungkan dadanya menuntut lebih.

Raechan menyukai respon Kayana. Wanita itu begitu responsif.

Tangan Raechan menggantikan bibirnya. Laki-laki itu mulai meremas payudara Kayana. Sementara bibirnya kembali bermain dengan bibir Kayana. Raechan meremas payudara Kayana bergantian, sesekali memilin putingnya pelan.

Setelah puas, laki-laki itu berhenti sebentar. Memberikan waktu pada Kayana untuk menarik nafas. Dia memanfaatkan waktu itu untuk sekali lagi menikmati tubuh Kayana yang saat ini hanya dibalut celana dalam. Sementara yang ditatap merasa tersipu, berusaha menutup dirinya dari tatapan mendamba Raechan. Namun dengan begitu lembut, Raechan menyingkirkan tangan Kayana yang menutupi dirinya.

“Jangan, Sayang. Jangan malu.”

Tidak ingin mengambil waktu istirahat terlalu lama, Raechan kembali bergerak. Kali ini dia mengecupi Kayana mulai dari perutnya, terus turun hingga ke paha. Kecupan-kecupan itu membuat Kayana sedikit menegakkan tubuh, bingung dengan sensasi yang dia rasakan.

“Raechan, jangan...”

Namun sekali lagi, dengan kelembutan yang luar biasa, Raechan menghela Kayana untuk kembali berbaring.

“Gak papa, Kay. Jangan takut.”

Raechan melemparkan senyum menenangkan, menyihir Kayana hingga membuat wanita itu mengangguk dan bahkan membuka pahanya. Memberi ruang pada Raechan untuk mengenal dirinya lebih jauh.

Raechan menyambut Kayana yang membuka diri. Dia melanjutkan kecupannya. Mulai dari paha bagian dalam hingga akhirnya mendarat di bagian diri Kayana yang paling intim. Raechan mengecupi kewanitaan Kayana yang masih dibalut celana dalam berenda.

“Mhhh, Rae...”

Kayana menyambutnya dengan erangan.

Raechan semakin bersemangat, dengan jarinya, Raechan menarik celana dalam Kayana. Membiarkannya terlepas melewati kaki Kayana yang jenjang.

“Cantik,” puji Raechan pada pemadangan yang ada di hadapannya saat ini. Dia membayar keindahan itu dengan memanjakan kewanitaan Kayana. Dengan bibirnya, lidahnya, juga jari-jarinya.

Meskipun tidak berpengalaman, Raechan tahu titik mana yang disukai perempuan. Dan hal itu dibenarkan oleh Kayana karena wanita itu menggeram hebat ketika lidah Raechan menyentuh titik paling sensitif dalam dirinya.

“Ahh, disini ternyata. Kamu suka disini ya, Sayang?”

Kayana tidak mampu menjawab dengan bibirnya, dia hanya mampu menjawab pertanyaan itu dengan meremas rambut belakang Raechan. Menuntutnya untuk melanjutkan kegiatan nikmat itu.

Raechan menurut, dia memasukkan dua jari pada kewanitaan Kayana. Menyentuh titik sensitif itu berkali-kali, membuat Kayana menggelinjang kenikmatan. Sampai pada titik dimana Kayana merasakan dirinya akan mencapai titik paling nikmat, Raechan menghentikan kegiatannya.

Kayana hendak protes namun Raechan lebih dulu berkata, “Jangan sekarang, tunggu aku, Cantik.”

Raechan bangkit, melepas kaus hitam polos yang sejak tadi masih dia kenakan. Kayana hanya menatap suaminya dalam diam. Ini juga pertama kalinya untuk Kayana melihat Raechan melepas pakaiannya. Selama ini, laki-laki itu tidak pernah sekalipun sembarangan membuka baju di depannya. Hanya sesekali Kayana tidak sengaja melihat tubuh Raechan ketika kaus yang Raechan kenakan tidak sengaja tersingkap.

Tubuh Raechan yang Kayana sangka kurus ternyata begitu kekar. Dadanya bidang, perutnya rata meskipun tidak memiliki enam kotak seperti Jevan dan Jaenandra.

“Mau sentuh?” tawar Raechan saat menyadari sejak tadi Kayana menatapnya.

Kayana mengangguk sebagai jawaban pertanyaan itu. Raechan terkekeh pelan, membaringkan tubuhnya di sisi Kayana lalu menuntun wanitanya untuk duduk di atas perutnya.

“Sentuh aja, Kay.”

Atas izin itu, Kayana mulai menyentuh tubuh Raechan. Sensasinya menyenangkan ketika telapak tangannya bersentuhan dengan tubuh Raechan. Kulit Raechan halus, namun Kayana juga bisa merasakan kerasnya otot di balik kehalusan itu. Setelah puas menyentuh dengan tangan, Kayana mengecup leher Raechan. Meniru apa yang suaminya tadi sempat lakukan.

Kayana menghirup aroma yang tersimpan di leher Raechan. Aroma parfum yang tercampur dengan aroma asli tubuh laki-laki itu. Lalu kecupannya turun ke dada bidang suaminya, terus turun hingga ke perut.

Si pemilik tubuh menggeram hebat. Sentuhan yang Kayana berikan memang tidak terlalu intim, tapi Karena wanita itu memang sudah membuatnya menggila sejak awal, sentuhan ringan ini sudah cukup membuatnya hilang akal.

Saat sibuk mengecupi perut Raechan, tidak sengaja lengan Kayana menyentuh sesuatu yang terasa keras dan terlihat timbul dari balik dari celana Raechan. Dia sudah akan menyentuhnya namun Raechan buru-buru menahan.

“Jangan, Kayana. Aku bisa gila kalau kamu sentuh aku sekarang.”

Setelah mengatakan itu, Raechan membimbing Kayana untuk kembali berbaring. Dia memposisikan tubuhnya di antara paha Kayana yang terbuka. Laki-laki itu menjilat jarinya sebelum kembali memasukkan jarinya ke dalam kewanitaan Kayana. Memastikan bahwa wanitanya itu sudah cukup basah dan siap untuk menerima kehadirannya.

Setelah mematikan bahwa wanitanya siap, Raechan menurunkan celananya dan memposiskan kejantanannya di depan liang surgawi itu. Tidak lupa dia mengenakan pengaman terlebih dahulu.

“Rae, nanti sakit gak? Itu keliatan keras dan... besar.”

“Bakal masuk kok, Kay. Tenang aja. Relax, jangan takut. Biar gak sakit. Tapi kalau emang kerasa sakit, aku bakal berhenti, ya?”

Kayana memejamkan mata, meremas sprei yang telah acak-acakan di bawahnya. Sementara Raechan berusaha sepelan mungkin memasukkan kejantannya kedalam kewanitaan Kayana.

“AAAHHHHH~~”

“Kay, maaf, maafin aku. Sakit ya? Cakar aku aja gak papa, jangan ngeremes sprei gitu.”

Raechan menuntun tangan Kayana untuk memeluk dirinya. Supaya mudah bagi wanitanya untuk melampiaskan rasa sakitnya. Agar bisa juga Raechan rasakan sesakit apa Kayana saat dia masuki.

“Maaf, maaf aku harus nyakitin kamu kayak gini.” Raechan mengecup butir air mata yang mengalir dari sudut mata Kayana.

Sementara itu Kayana masih berusaha menyesuaikan rasa tidak nyaman di bawah sana. Dia tidak ingin suaminya merasa bersalah dan meminta maaf berkali-kali seperti ini.

“Gerak, Rae. Tapi pelan-pelan ya.”

“Kamu yakin?” tanya Raechan ragu.

Kayana memberi jawaban dengan menggerakkan pinggulnya. Membuat Raechan membalas dengan gerakan yang sama. Masih ada rasa perih yang tertinggal, namun perlahan rasa itu tergantikan dengan kenikmatan yang kentara dari geraman mereka berdua.

Raechan terus bergerak di bawah sana. Sementara bibir dan tangannya juga tidak tinggal diam. Dia berusaha memuaskan Kayana dimana-mana. Dengan seluruh dirinya.

“Kay... Kay... It feels so crazy.”

Hentakan Raechan semakin keras dan cepat. Membuat Kayana hampir mencapai titik tertinggi dirinya lagi.

“Rae... Aku mau pipis rasanya.”

“Tunggu aku Kay.” Raechan semakin menaikkan tempo hentakannya hingga keduanya mencapai titik paling nikmat yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

“AAAHHHH RAECHAN...”

“Kayana... Kayana... Kayana...”

Raechan terkulai lemas, menabrak lembut tubuh Kayana yang berada di bawahnya. Tubuh mereka dibanjiri peluh kenikmatan.

Setelah istirahat beberapa saat, Raechan membaringkan tubuhnya di sisi Kayana. Melepas pengaman dan membuangnya ke kotak sampah.

“Masih sakit?” tanyanya pada Kayana yang terbaring lemah. Raechan memeluk istrinya itu dan mengecup bahunya yang telanjang. “Maaf, aku terlalu kasar ya?”

“Enggak, kok. Tapi aku capek.”

“Iya, kita bersih-bersih di kamar mandi dulu ya. Abis itu kamu bisa tidur.” Raechan mengecup bahu Kayana sekali lagi.

Menghirup aroma tubuh Kayana dan menyimpannya di memori otaknya. Bersama dengan kenangan malam ini. Mereka akan bersemayam selamanya dalam ingatan Raechan.

Belum pernah sekalipun, selama bertahun-tahun Jevan dan Jelena berteman, mereka merasa canggung saat duduk berdua bersebelahan. Biasanya, selalu ada canda dan gelak tawa di antara mereka. Jauh berbeda dengan situasi malam ini, yang terdengar hanya hela nafas dan lenguhan kosong karena tak ada satupun yang mulai bicara.

“Itu apa Jev?”

Jelena menjadi pembicara pertama, mulai jengah dengan keheningan yang justru memekakkan telinga. Dia bertanya merujuk pada tiga shopping bag yang Jevan letakkan di sebelah kakinya.

“Hadiah buat lo.”

“Hadiah buat gue?” tanya Jelena bingung, “hadiah pernikahan?”

“Bukan, ini hadiah buat lo yang selama ini gak pernah berani gue kasih ke lo.”

Jevan membuka salah satu shopping bag lalu mengeluarkan beberapa buku yang masih tersegel. Laki-laki itu meletakkannya di atas meja.

“Semua ini buku-buku dari penulis-penulis favorite lo, El. Gue selalu ikut pre ordernya, atas nama lo, jadi semua tanda tangan di dalem bukunya ya atas nama lo.”

“Jev...”

“Terus yang ini.” Jevan mengambil shopping bag yang lain, dia mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Saat kotak itu dibuka, Jelena bisa melihat sepasang sepatu balet berwarna pink pastel yang terlihat begitu cantik. “Sepatu ini gue beli waktu lo tampil di pensi terakhir kita waktu SMA, tapi lagi-lagi, gue gak berani untuk kasih sepatu ini ke lo. Di bagian dalem sepatunya ada inisial nama lo, El.”

Jelena tertegun, tangannya meraih sepatu itu dan membawanya ke atas pangkuan. Matanya menatap sepatu itu dengan kagum. Dia mengelusnya pelan, merasakan betapa lembutnya sepatu itu ketika bersentuhan dengan kulitnya. Dan Jevan tidak berbohong, di bagian dalam sepatu itu terdapat tiga huruf yang merupakan inisial nama Jelena.

J. A. I.

“Dan yang terakhir,” Jevan memberikan shopping bag paling kecil pada Jelena, “lo buka sendiri aja ya yang ini.”

Jelena menurut, dia meletakkan sepatunya ke dalam kotak dan beralih pada kotak kecil di dalam shopping bag terakhir. Saat dia membuka kotak itu, nampak sebuah benda berkilauan ditimpa lampu ruangan. Benda berkilau itu adalah sebuah kalung, yang lagi-lagi dapat dipastikan kalau benda itu memang dibuat untuk Jelena. Liontinnya berbentuk huruf J, A dan I yang saling bertautan. Cantik, cantik sekali.

As you can see, I put your name on them, jadi gue gak bisa kasih barang itu ke orang lain selain lo.”

Gadis yang Jevan ajak bicara termangu mendengarkan. Manik indahnya masih tertaut pada benda berkilau di dalam kotak.

“Hari ini, gue ngumpulin semua keberanian gue untuk kasih semua benda ini ke lo. Tanpa maksud apa-apa. Gue cuma mau barang-barang ini sampai ke pemiliknya.” Jevan menelan ludah sebelum melanjutkan. “Dan mungkin dengan begitu, gue bisa sepenuhnya melepas lo untuk kebaikan kita bertiga. Demi pernikahan lo dan Kak Kiyo dan tentu juga buat kebaikan diri gue sendiri. Seperti yang kalian omongin malam itu.”

“Jev...”

Jevan menunggu setiap kata yang keluar dari bibir Jelena.

“Makasih, buat semuanya.”

Namun hanya satu kalimat yang keluar dari bibir gadis cantik dan anggun itu.

“Sama-sama, gue balik ya.”

Jevan bangkit berdiri karena merasa semua urusannya telah selesai. Nampaknya Jelena juga tidak memiliki apapun lagi untuk dikatakan. Tidak apa-apa, yang terpenting adalah segala hal yang harus Jevan selesaikan sudah benar-benar terlaksana.

Let's be bestfriend forever, Jevander.”

Jelena mengulurkan tangannya, menunggu Jevan untuk menyambut.

“Hm, let's be bestfriend forever, Jelena.”

Jevan menyambut uluran tangan itu dengan senyum ikhlas.


“Kak Adzkiya beneran gak mau saya anterin sampe Ayu Laga aja?”

Jevan menatap gadis di sampingnya yang tengah sibuk membereskan isi tas.

“Iya, sampe sini aja. Naik bus malam gini lebih nyaman dan kamu juga jadi gak capek harus nyetir ke Ayu Laga.”

Adzkiya tersenyum sekali lagi sebelum turun dari mobil. Sementara Jevan hanya menatap gadis itu yang kini tengah berjalan mendekat ke arah bus yang terpakir di halaman terminal. Lalu mata Jevan menyadari sesuatu. Dia buru-buru turun dari mobil dan menahan lengan Adzkiya.

“Pakai jaket saya, Kak. Bus malam ini AC-nya dingin banget.”

Adzkiya mengangguk dan menerima jaket itu.

“Makasih, kamu hati-hati ya nyetir pulangnya. Sampe rumah langsung istirahat, ketemu Elen tadi pasti drained your energy.”

Kali ini Jevan yang mengangguk.

“Makasih juga selama dua minggu kebelakang Kak Adzkiya dengerin cerita saya terus. Padahal saya tau cerita saya bikin Kak Adzkiya inget Bang Garend. Bahkan hari ini, Kakak nemenin saya nemuin Elen sampai harus nunggu di cafe sebrang apartemennya Elen.”

That's okay. Life must go on. Kak Adzkiya pamit ya.”

Adzkiya kembali meneruskan langkahnya. Masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Lalu dia menoleh ke jendela, menatap Jevan yang masih berdiri menatapnya.

Mereka bertatapan cukup lama sampai akhirnya bus yang ditumpangi Adzkiya mulai berjalan meninggalkan area parkir terminal.

Your scars, believe that they can heal, Jevan.” Adzkiya bergumam pulang.

I wish you find your happiness, Kak Adzkiya,” ucap Jevan pelan sesaat setelah bus yang ditumpangi Adzkiya benar-benar hilang dari pandangannya.

Belum pernah sekalipun, selama bertahun-tahun Jevan dan Jelena berteman, mereka merasa canggung saat duduk berdua bersebelahan. Biasanya, selalu ada canda dan gelak tawa di antara mereka. Jauh berbeda dengan situasi malam ini, yang terdengar hanya hela nafas dan lenguhan kosong karena tak ada satupun yang mulai bicara.

“Itu apa Jev?”

Jelena menjadi pembicara pertama, mulai jengah dengan keheningan yang justru memekakkan telinga. Dia bertanya merujuk pada tiga shopping bag yang Jevan letakkan di sebelah kakinya.

“Hadiah buat lo.”

“Hadiah buat gue?” tanya Jelena bingung, “hadiah pernikahan?”

“Bukan, ini hadiah buat lo yang selama ini gak pernah berani gue kasih ke lo.”

Jevan membuka salah satu shopping bag lalu mengeluarkan beberapa buku yang masih tersegel. Laki-laki itu meletakkannya di atas meja.

“Semua ini buku-buku dari penulis-penulis favorite lo, El. Gue selalu ikut pre ordernya, atas nama lo, jadi semua tanda tangan di dalem bukunya ya atas nama lo.”

“Jev...”

“Terus yang ini.” Jevan mengambil shopping bag yang lain, dia mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Saat kotak itu dibuka, Jelena bisa melihat sepasang sepatu balet berwarna pink pastel yang terlihat begitu cantik. “Sepatu ini gue beli waktu lo tampil di pensi terakhir kita waktu SMA, tapi lagi-lagi, gue gak berani untuk kasih sepatu ini ke lo. Di bagian dalem sepatunya ada inisial nama lo, El.”

Jelena tertegun, tangannya meraih sepatu itu dan membawanya ke atas pangkuan. Matanya menatap sepatu itu dengan kagum. Dia mengelusnya pelan, merasakan betapa lembutnya sepatu itu ketika bersentuhan dengan kulitnya. Dan Jevan tidak berbohong, di bagian dalam sepatu itu terdapat tiga huruf yang merupakan inisial nama Jelena.

J. A. I.

“Dan yang terakhir,” Jevan memberikan shopping bag paling kecil pada Jelena, “lo buka sendiri aja ya yang ini.”

Jelena menurut, dia meletakkan sepatunya ke dalam kotak dan beralih pada kotak kecil di dalam shopping bag terakhir. Saat dia membuka kotak itu, nampak sebuah benda berkilauan ditimpa lampu ruangan. Benda berkilau itu adalah sebuah kalung, yang lagi-lagi dapat dipastikan kalau benda itu memang dibuat untuk Jelena. Liontinnya berbentu huruf J, A dan I yang saling bertautan. Cantik, cantik sekali.

As you can see, I put your name on them jadi gue gak bisa kasih barang itu ke orang lain selain lo.”

Gadis yang Jevan ajak bicara termangu mendengarkan. Manik indahnya masih tertaut pada benda berkilau di dalam kotak.

“Hari ini, gue ngumpulin semua keberanian gue untuk kasih semua benda ini ke lo. Tanpa maksud apa-apa. Gue cuma mau barang-barang ini sampai ke pemiliknya.” Jevan menelan ludah sebelum melanjutkan. “Dan mungkin dengan begitu, gue bisa sepenuhnya melepas lo untuk kebaikan kita bertiga. Demi pernikahan lo dan Kak Kiyo dan tentu juga buat kebaikan diri gue sendiri. Seperti yang kalian omongin malam itu.”

“Jev...”

Jevan menunggu setiap kata yang keluar dari bibir Jelena.

“Makasih, buat semuanya.”

Namun hanya satu kalimat yang keluar dari bibir gadis cantik dan anggun itu.

“Sama-sama, gue balik ya.”

Jevan bangkit berdiri karena merasa semua urusannya telah selesai. Nampaknya Jelena juga tidak memiliki apapun lagi untuk dikatakan. Tidak apa-apa, yang terpenting adalah segala hal yang harus Jevan selesaikan sudah benar-benar terlaksana.

Let's be bestfriend forever, Jevander.”

Jelena mengulurkan tangannya, menunggu Jevan untuk menyambut.

“Hm, *let's be bestfriend forever, Jelena.”

Jevan menyambut uluran tangan itu dengan senyum ikhlas.


“Kak Adzkiya beneran gak mau saya anterin sampe Ayu Laga aja?”

Jevan menatap gadis di sampingnya yang tengah sibuk membereskan isi tas.

“Iya, sampe sini aja. Naik bus malam gini lebih nyaman dan kamu juga jadi gak capek harus nyetir ke Ayu Laga.”

Adzkiya tersenyum sekali lagi sebelum turun dari mobil. Sementara Jevan hanya menatap gadis itu yang kini tengah berjalan mendekat ke arah bus yang terpakir di halaman terminal. Lalu mata Jevan menyadari sesuatu. Dia buru-buru turun dari mobil dan menahan lengan Adzkiya.

“Pakai jaket saya, Kak. Bus malam ini AC-nya dingin banget.”

Adzkiya mengangguk dan menerima jaket itu.

“Makasih, kamu hati-hati ya nyetir pulangnya. Sampe rumah langsung istirahat, ketemu Elen tadi pasti draind your energy.”

Kali ini Jevan yang mengangguk.

“Makasih juga selama dua minggu kebelakang Kak Adzkiya dengerin cerita saya terus. Padahal saya tau cerita saya bikin Kak Adzkiya inget Bang Garend.”

That's okay. Life must go on. Kak Adzkiya pamit ya.”

Adzkiya kembali meneruskan langkahnya. Masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Lalu dia menoleh ke jendela, menatap Jevan yang masih berdiri menatapnya.

Mereka bertatapan cukup lama sampai akhirnya bus yang ditumpangi Adzkiya mulai berjalan meninggalkan area parkir terminal.

Your scars, believe that they can heal, Jevan.” Adzkiya bergumam pulang.

I wish you find your happiness, Kak Adzkiya,” ucap Jevan pelan sesaat setelah bus yang ditumpangi Adzkiya benar-benar hilang dari pandangannya.

Hal paling menyesakkan dalam hidup adalah penyesalan. Kita tidak bisa memutar waktu, sekalipun kita ingin. Kita tidak bisa memperbaiki segala hal yang terlanjur salah, meskipun kita ingin.

Penyesalan menjadi momok paling mengerikan bagi tiap individu yang pernah atau sedang merasakannya. Menyalahkan diri sendiri pun sudah tidak lagi ada gunanya. Namun berdamai dengan keadaan masih begitu sulit untuk dilakukan.

Begitulah yang dialami oleh seorang pria yang tengah duduk sendirian di dalam studio pribadi miliknya. Beberapa botol minuman keras tergeletak begitu saja di meja. Lagu-lagu sendu terputar silih berganti melalui sebuah aplikasi berbayar yang disambungkan dengan dua speaker besar yang terletak di samping TV.

Tangan kanan pria itu mengenggam sebuah undangan pernikahan yang tidak karuan lagi bentuknya. Dia sudah berusaha meremukkannya sejak tadi, seremuk mungkin, jika bisa sama remuknya dengan keadaan hatinya saat ini. Tapi semakin dia meremas undangan pernikahan itu, semakin ngilu pula hatinya.

Jevan mendesah pelan, membuang undangan sialan itu ke lantai. Tangannya kembali menuang cairan yang akan membuat dirinya merasa lebih baik ke dalam gelas, menenggaknya hingga habis.

Okay, okay, I'll pray for your happiness, Elen. As you wish,” katanya pada diri sendiri.

“Tapi abis itu, berdoa buat kebahagiaan lo sendiri ya, Jev?” Sebuah suara menyahut dari arah pintu masuk, berdiri di sana Markio yang masih mengenakan jas dokternya.

Jevan terkekeh seraya mengangguk. “Yang penting Elen bahagia dulu, gue mah gampang.”

Don't say something that will hurt yourself,” sindir Markio. Dia berjalan mendekat, memungut surat undangan pernikahannya dari lantai dan duduk di sebelah Jevan.

Sorry undangan lo jadi...”

“Gak papa, hati lo pasti lebih remuk dari pada kertas ini,” jawab Markio santai. “Katanya, melepaskan seseorang buat bahagia sama pilihannya tuh level tertinggi dari mencintai. So, your love for Elen is bigger than mine ya Jev?”

“Itu lo sadar, Kak.”

“Kalau gitu lo juga seharusnya sadar, lo harus sadar kalau lo gak pernah kalah dari gue. Jangan patah hati kayak gini. Cinta lo ke Elen gak pernah sia-sia. Dia juga tau itu kok.”

Jevan menatap Markio yang juga menatapnya, membiarkan lagu sendu menjadi latar pembicaraan mereka.

“Tapi kalau gue boleh minta sesuatu dari lo, tolong lepasin Elen ya Jev. Lepasin Elen sepenuhnya. Bukan untuk gue, tapi untuk diri lo sendiri. Gue gak minta lo lepasin Elen karena pengen milikin dia sepenuhnya. Tapi gue minta lo lepasin Elen supaya ruang di hati lo itu kosong dan bisa diisi sama cewek baik lainnya. Gue juga mau lo bahagia, Jev.”

Markio menepuk pelan bahu Jevan sebagai penutup kalimatnya. Lalu dia bangkit berdiri dan keluar dari studio milik Jevan.

Sementara Jevan masih termangu akan ucapan sahabatnya itu. Matanya menatap kosong ke arah gelas kaca yang sekarang juga telah kosong.

Dia telah lama merelakan Jelena untuk bersama dengan Markio, tapi sampai saat ini dia belum bisa melepaskan gadis itu sepenuhnya. Dia memang sudah berdamai dengan hubungan Jelena dan Markio, tapi untuk melihat mereka bersanding di kursi pelaminan adalah perkara lain lagi. Dan hal itu masih menjadi batu pengganjal di hatinya.

Karena itu, mendengar Markio mengatakan semua hal yang baru didengarnya membuat pertahanan Jevan roboh. Dia seakan dipaksa untuk melepaskan Jelena, demi dirinya sendiri. Dan itu membuatnya semakin hancur.

“Dari sekian banyak club yang sering lo datengin, gue gak ngerti deh kenapa lo malah milih minum-minum di sini. Sendirian lagi.”

Jevan mendongak, sedikit tersentak, dia kira Markio datang sendirian.

“Elen...”

Yang dipanggil hanya tersenyum simpul, kemudian dia duduk di sebelah Jevan. Gadis itu menggeser gelas milik Jevan dan menuang sedikit alkohol disana.

“Calon pengantin ngapain kesini? Pamali tau keluar-keluar,” Jevan berucap pelan tanpa menatap Jelena.

“Soalnya abis ini gue gak bisa lagi nuang minuman buat lo.”

Jevan terhenyak, tangannya yang hendak mengambil gelas, bergetar tanpa sadar.

“Abis ini, lo gak bisa lagi ya sembarangan nelfon gue pas lagi mabuk, nanti yang angkat Kak Kiyo.” Jelena melanjutkan.

“Abis ini, lo gak bisa lagi minta tolong gue buat lindungin lo dari Om Alex.”

Jelena masih terus bicara. Dan tangan Jevan semakin bergetar hebat.

“Abis ini... Abis ini....” Suara Jelena bergetar, air mata menumpuk di pelupuk matanya. “Abis ini... Lo gak bisa lagi bilang kalau nama belakang gue Novanda. Karena sebentar lagi nama gue jadi Jelena Ayunanda Baratama.”

“El...” Bibir Jevan bergetar hebat, dia kesulitan mengucapkan bahkan satu kata. “Cukup,” katanya parau.

“Lo inget kan Jev apa yang bundanya Ica bilang ke Kak Garend waktu Kak Garend lepasin Kak Vivian dulu?”

Jevan mengangguk. Kali ini mata mereka saling bertautan.

“Ketika kita mau melepaskan seseorang, pastikan bahwa kita melepaskan hatinya dalam keadaan utuh, agar dia bisa memberikannya pada orang lain.” Jelena menyentuh sisi wajah Jevan yang telah basah oleh air mata. “Sama seperti Kak Garend, gue juga ingin melepas lo dengan keadaan hati yang utuh. Supaya lo bisa mencintai orang lain dengan keadaan hati yang baik.”

“El...”

Be happy, Jevan. We didn't make the happy ending, but I will remember every page of our story.”

Setelah itu, Jelena meninggalkan Jevan yang menangis tersungkur di lantai. Jevan melepas tangisnya sebanyak yang dia mau. Mengerang sekeras yang dia bisa. Karena menurutnya sudah tidak lagi ada siapa-siapa disana. Tanpa dia tahu, kelima sahabatnya menahan diri untuk tidak masuk ke dalam sana dan memeluknya.

Tanpa dia tahu kalau Raechan menggigit bibirnya sendiri hingga nyaris berdarah.

Tanpa dia tahu bahwa Klarisa dan Kayana saling berpegang tangan dan berderai air mata.

Tanpa dia tahu bahwa Jaenandra menatap ke langit agar bulir matanya tak jatuh.

Dan tanpa dia tahu, bahwa kuku-kuku jari Juan memutih karena pria itu terlalu kuat mengepal tangannya.

Jevan tidak menangis sendirian. Meskipun menurutnya, dia menangis sendirian.

Sahabat-sahabatnya tetap berada di sana, hingga suara erangan Jevan tidak lagi terdengar.

Guys sorry banget, kayaknya gue harus balik. Sergio kebangun dari tidurnya dan nyari mamanya, Bude Imah baru kirim whatsapp ke gue.” Raechan berucap teramat pelan, menatap sahabatnya satu persatu dengan perasaan bersalah. Kayana yang berdiri di sampingnya hanya bisa menunduk.

“Gak papa, kalian pulang aja. Kasian Gio.” Klarisa berusaha memberikan senyum.

“Soal Jevan, biar kita yang urus.”

Raechan dan Kayana mengangguk dan memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Di sana tersisa Juan, Jaenandra dan Klarisa. Setelah tadi Markio dan Jelena langsung pulang ke rumah setelah bertemu Jevan.

“Kalian tunggu di sini aja, ya. Biar gue yang cek ke dalem.”

Juan membuka pintu studio dengan begitu pelan. Ruangan itu sudah senyap, tidak lagi ada suara musik maupun suara Jevan. Saat pria itu melangkah masuk, dia menemukan sahabatnya sudah tertidur di sofa. Dalam keadaan berantakan. Rambut Jevan acak-acakan, matanya sembab dan basah, bau alkohol juga bisa tercium jelas dari tubuhnya.

Juan duduk di lantai, membelakangi tubuh Jevan. Dia menyandarkan kepalanya pada sisi sofa.

“Gue kira, kisah cintanya Bang Garend, Kak Adzkiya dan Kak Vivian udah paling pedih. Tapi ngeliat kondisi lo sekarang, gue gak bisa mikir gitu lagi. Bang Garend bener ya Jev, takdir itu jahat.”

Juan mendesah pelan sebelum melanjutkan.

“Kalauuuu aja, lo gak ditakdirkan untuk gak akur sama bokap lo. Kalau aja, lo gak ditakdirkan untuk jadi cowo banjingan yang bisa lupain masalah lo cuma dengan nidurin perempuan-perempuan yang rela tubuhnya lo jamah.”

“Kalau aja lo ditakdirin jadi cowok biasa yang bisa duduk main catur sama bokap dan gak harus jadi Jevan si tukang nidurin perempuan, gue yakin Elen pasti masih di sini sama lo.”

Juan terpaksa mendongakkan kepalanya sekali lagi. Kepalan tangannya juga kembali menguat.

“Gue gak bisa nyalahin siapa-siapa. Gue gak bisa nyalahin lo dengan pilihan hidup lo, gue juga gak bisa nyalahin Elen yang lebih milih cowok sebaik Kak Kiyo. Dan gue juga gak bisa nyalahin Kak Kiyo karena ngambil Elen dari lo. Karena gue tau Jev, gue tau sesakit apa Elen dulu selalu harus beresin kamar lo setelah lo pakai untuk nidurin cewek-cewek lo. Gue tau secapek apa Elen harus selalu bersihin muntahan lo ketika lo pulang clubbing sama cewek gak jelas. Dan gue tau sefrustasi apa Kak Kiyo karena selama ini dia tau kalau dia gak mencintai Elen sendirian. Gue tau kalau Kak Kiyo harus selalu hati-hati sama sikapnya supaya rasa cintanya ke Elen, pacarnya sendiri, gak akan nyakitin lo sebagai sahabatnya.”

Sebulir air mata lolos dari mata Juan sekeras apapun dia berusaha menahannya.

“Terus gue, sebagai sahabat kalian harus nyalahin siapa selain takdir?! Kasih tau gue, Jev! Kasih tau gue! Gue benci liat keadaan lo begini! Tapi gue juga harus seneng karena dua sahabat gue akhirnya nikah!”

Malam itu, Juan menggantikan tangis Jevan yang telah usai.

Biar ku perkenalkan kamu pada kisahku. Tidak terlalu istimewa, hanya saja layak diceritakan.

Ku mulai dari memperkenalkan diriku sebagai Jelena Ayunanda Iskandar. Terlahir sebagai anak tunggal dari kedua orang tuaku yang memilih untuk pindah ke sebuah pedesaan yang jauh dari kota. Meninggalkan aku yang menempuh pendidikan di pusat kota, bersama seorang supir pribadi kepercayaan mereka.

Kisahku berisi tentang persahabatan dan percintaan anak remaja yang beranjak dewasa.

Bersama tujuh sahabatku, tahun ini kami akan mulai menjadi mahasiswa. Lepas dari segaram putih abu. Menapaki satu lagi fase pendidikan yang kami harapkan akan menghantarkan kami pada cerahnya masa depan.

Dalam tahap itu, Tuhan mempertemukanku pada dua orang pria. Yang satu menjadi pendamping hidup dan yang satu lagi memberi pelajaran hidup.

Akan ku perkenalkan mereka saat kisah ini berlangsung.

Juga sahabat-sahabatku.

Tenang saja, tak akan ada yang tertinggal.

Karena di kisahku ini, mereka semua pemeran utama.

Family : a group of one or more parents and their childern living together as an unit.

Jika definisi keluarga hanya sebatas itu, maka yang Jevan dan papanya lakukan sudah cukup membuktikan bahwa mereka adalah keluarga. Mereka tinggal di satu atap, sebagai sebuah kesatuan. Meskipun sering kali Alexander Novanda-ayah Jevan- menghabiskan waktunya di kantor dan Jevan menghabiskan waktu di sebuah apartemen mewah di pusat kota- peninggalan ibunya. Tapi setidaknya, tempat mereka pulang masih di bangunan yang sama. Rumah.

Rumah yang tidak pernah sama lagi sejak ibu Jevan meninggal. Rumah yang tidak lagi terasa hangat sejak satu-satunya manusia yang membawa kehangatan itu pergi meninggalkan mereka. Canda tawa yang dulu pernah mengisi rumah agung itu kini berganti dengan teriakan marah dan rintihan kesakitan.

“Kamu cuma tinggal datang, duduk dan makan, Novanda! Papa tidak pernah meminta lebih! Apa sulitnya?!”

Teriakan itu masih terus terdengar, beriringan dengan suara pukulan yang menghantam pria muda yang tengah meringkuk di lantai.

“Ini semua juga untuk kamu! Untuk masa depan kamu! Kenapa kamu gak pernah bisa ngerti Papa?!”

Jevan diam, seberapa banyak pun pertanyaan terlontar dari ayahnya, dia tetap diam. Karena setiap jawaban yang keluar dari mulutnya hanya akan menjadi petaka.

“ANAK BODOH! TIDAK TAHU TERIMA KASIH!” Makian itu adalah hal terakhir yang Jevan dengar sebelum ayahnya membanting alat pemukul dan pergi meninggalkan ruang penyiksaan itu.

Tertatih-tatih, Jevan beranjak berdiri. Meraih jaketnya lalu keluar dari rumah. Dengan mengendarai mobil hitamnya, dia menuju sebuah apartemen tempat dimana dia akan melampiaskan rasa sakit. Di sana, seorang gadis cantik telah menunggunya datang.

Hanya itu satu-satunya cara agar Jevan dapat melupakan tiap amarah, makian bahkan perlakuan kasar Alexander. Hanya dengan membuat tubuhnya bekerja dua kali lebih sibuk dari otaknya lah Jevan bisa melupakan semua rasa sakit dan penderitaan itu. Dia tidak ingin membaginya dengan orang-orang yang dia kasihi. Dia tidak ingin mereka tahu bahwa hidupnya semenyedihkan ini. Dia hanya akan membaginya pada gadis yang akan ditidurinya satu kali lalu dia campakkan keesokan paginya.

“Buang dimana?” tanya Jevan pada gadis cantik bernama Arista yang sedang terengah-engah dalam kenikmatan bersamanya.

“Luar aja, gue belum minum pil.” Arista menjawab lemah lalu kembali mendesah saat Jevan menaikkan tempo gerakannya.

“Van please, ahh~ hhh hhhh.”

Jevan ambruk, membanting tubuhnya ke sisi ranjang yang kosong. Otaknya telah kosong sekarang, berganti dengan kenikmatan yang membuatnya puas. Sakit di tubuhnya akibat pukulan-pukulan kejam Alexander berganti dengan rasa lelah akibat pergulatan panjang dengan Arista.

“Kamu... gak mau obatin luka kamu dulu, Van?” Arista hendak meraih sisi wajah Jevan namu pria itu langsung memalingkan wajah. Jevan tidak pernah suka disentuh jika sudah mendapatkan apa yang dia mau.

“Gak usah, biar Elen aja, gue-shit.” Jevan memaki dalam hati, memaki dirinya sendiri. Otaknya benar-benar kosong dan tolol. Terlalu kosong sampai dia melupakan janjinya pada gadis lain yang saat ini pasti sedang menunggunya.

Jevan buru-buru mengambil handphone dari saku jaket, memeriksa panggilan dan pesan masuk. Benar saja, Jelena menghubunginya beberapa kali. Juga sahabatnya yang lain. Jevan memaki dirinya sekali lagi.

“Van, kamu mau kemana?” Arista bertanya saat dia melihat Jevan buru-buru masuk ke kamar mandi dan keluar dari sana dengan keadaan rapi.

“Gue harus balik.”

“Van... Jevan... Jevander!”

Jevan tidak memperdulikan teriakan Arista yang memanggil namanya. Yang dia fikirkan hanya Jelena dan rasa kecewa gadis itu. Hari ini adalah ulang tahun Jelena, Jevan telah menyiapkan segalanya dengan bantuan sahabatnya yang lain. Tapi justru dia jugalah yang menghancurkan segalanya.

Jevan melirik jam yang melingkar di tangan kirinya dan mendesah kesal saat menyadari saat ini sudah pukul sebelas malam. Dia yakin benar sahabat-sahabatnya yang lain pasti sudah pulang ke rumah masing-masing. Mereka sudah terlalu lama menunggunya di studio. Karena itu, Jevan tidak mau repot-repot mengecek studio miliknya dan langsung pergi ke sebuah restoran cepat saji. Membeli beberapa burger karena dia tidak akan mendapatkan kue tart semalam ini. Setelah itu dia langsung mengarahkan mobilnya ke apartemen Jelena. Perduli setan jika gadis itu akan mengusirnya, yang terpenting adalah Jevan harus merayakan ulang tahun gadis kesayangannya itu.

Jevan tiba di depan unit Jelena pukul sebelas lebih 45. Yang artinya ulang tahun Jelena akan berakhir 15 menit lagi.

Saat menekan bel, Pak Abdul lah yang membuka pintu untuk Jevan. Pria paruh baya yang dipercayai keluarga Jelena untuk menjaga anak gadisnya itu memang tinggal satu unit dengan Jelena. Pak Abdul tersenyum lembut mempersilakan Jevan untuk masuk.

“Tadi teman-teman yang lain sudah kesini, Mas. Bapak sempet heran kenapa Mas Jevan nggak ada, ternyata nyiapin kejutan sendiri.”

Jevan hanya membalas senyum Pak Abdul dan langsung menuju kamar Jelena. Saat dia membuka pintu kamar, gadis kesayangannya itu tengah duduk sendirian di kursi santai yang menghadap ke jendela.

Happy Birthday, Elen. Happy Birthday, Elen. Happy birthday happy birthday, happy birthday, Elen.”

Si pemilik hari special menoleh pelan saat mendengar nyanyian pelan itu, dia tersenyum senang mendapati seseorang yang paling ditunggunya sejak tadi akhirnya datang juga. Tapi keadaan pria itu...

“Jev, lo....”

Jevan menggeleng pelan. “Gue gak papa,” lalu pria itu melangkah mendekat pada Jelena yang kini berdiri menghadapnya, “tiup lilinnya dulu ayooo.”

Jevan menyalakan korek sebagai pengganti lilin dan Jelena meniupnya pelan. Perayaan ulang tahun yang terlampau jauh dari yang telah Jevan persiapkan.

“Maaf gue telat, maaf gue cuma bawa burger dan bukan kue tart, bahkan lilinnya aja menyedihkan. Maaf kita gak jadi dinner. Maaf bikin ulang tahun lo menyedihkan kayak gini, El.”

“Gak papa, I'm happy Jev. Makasih udah jauh-jauh kesini semalam ini.”

Untuk kesekian kalinya, Jevan memaki dirinya dalam hati. Gadis ini, gadis yang sudah dia kecewakan di hari spesialnya masih bisa tersenyum manis, berterima kasih dan bahkan mengatakan bahwa dirinya bahagia. Betapa bodohnya dia melupakan semua janji yang dibuatnya sendiri.

“Luka lo, gue obatin ya?”

Tanpa banyak bertanya lagi, Jelena menuntun Jevan untuk duduk di tepi kasurnya. Mengobati luka-luka di wajah Jevan dengan begitu hati-hati. Jelena tidak perlu bertanya dari mana luka-luka itu berasal, karena dia tahu betul apa yang terjadi pada Jevan. Ini bukan pertama kalinya.

“Buka baju lo, pasti luka juga kan?” titah Jelena yang langsung dituruti Jevan.

Jelena hanya bisa mendesah pelan saat dugaannya benar. Area tubuh Jevan terluka jauh lebih parah dari pada wajahnya.

“Kali ini pake apa, Jev? Stick golf, sarung tinju atau....”

“Raket tenis, El.”

Tangan Jelena yang tadi sibuk mengoleskan salep ke tubuh Jevan berhenti seketika. Jawaban sahabatnya itu membuatnya mematung. Terbayang seberapa sakit ketika raket itu menghantam tubuh Jevan berkali-kali hingga meninggalkan luka lebam kebiruan.

“Malam ini gak usah pulang, tidur di kamar Pak Abdul aja, ya?”

Jevan mengangguk lemah dan Jelena kembali pada aktivitasnya.

Sekian detik terlewat tanpa ada obrolan di antara mereka hingga Jelena kembali terdiam saat menemukan beberapa area kulit yang kemerahan di tubuh Jevan.

Itu bukan luka akibat pukulan raket tenis.

Itu luka yang diakibatkan ciuman dari seorang gadis.

Jelena menatap luka itu nanar. Dia tahu bahwa Jevan tidak hanya terlambat datang karena ayahnya.

Sebuah denting suara beriringan dengan terbukanya pintu lift yang mengantarkan seorang gadis muda menuju lantai nomor lima belas sebuah apartemen mewah di pusat kota. Kaki gadis itu berjalan mantap ke arah kanan lift dan berhenti di depan pintu bertuliskan angka 15.4 di atasnya. Tangan lentiknya menekan beberapa angka hingga pintu terbuka dengan sendirinya. Dia melangkah masuk, meletakkan tas selempangnya di atas sofa dan duduk nyaman di atas sana.

Tanpa perlu izin dari si pemilik apartemen, gadis itu menyalakan TV. Bukan bermaksud untuk menontonnya, hanya sebagai pengisi kekosongan suasana.

Dia duduk di sana beberapa menit hingga pintu kamar terbuka, menampilkan seorang gadis dengan keadaaan segar usai mandi dan make up yang terlihat baru saja dipoles ulang. Si gadis segar terkejut mendapati seorang gadis lain duduk santai di sofa. Diingatnya bahwa ketika dia datang, tidak ada siapapun di dalam apartemen ini.

“Udah mandi kan? Gih pulang. Supir gue ada di mobil, lo ke basement aja. Mobil gue warna item, platnya B 07 DR. Lo bisa pulang naik mobil itu, dianter sama supir gue.”

Si gadis segar tergagap tak percaya. “Lo... siapa emang?”

“Gue? Ibunya Jevan,” jawab Jelena santai.

“Ibu?” si gadis segar mendecih. “Mana mungkin ibunya Jevan seumuran sama dia. Gak usah ngaco. Dan gak usah atur-atur gue buat balik sekarang.”

“Dengerin apa kata nyokap gue kalau lo masih mau main sama gue lagi, Car.”

Suara itu berasal dari dalam kamar, terdengar malas dan setengah mengantuk.

Si gadis segar menoleh tidak terima, menatap ke arah pria yang tengah berbaring santai di ranjangnya. “Gak bisa gitu dong, Jev. Aku belum mau pulang.”

“Terserah, keputusan ada di diri lo sendiri. Balik sekarang atau gue gak akan pernah mau ketemu lo lagi.”

Dengan marah dan kecewa, si gadis segar meraih tasnya dan langsung keluar dari apartemen Jevan tanpa mengatakan apapun lagi.

Sepeninggal Carla-si gadis segar, Jelena melirik ke arah kamar Jevan melalui pintu yang terbuka. Dia dapat melihat seluruh sisi kamar yang sekarang tampak begitu berantakan. Sprei acak-acakan, selimut terjatuh di lantai, tisu bertebaran di sisi ranjang, gorden yang ditutup asal dan tentu saja pakaian Jevan yang tergelatak sembarangan di atas karpet.

Jelena tahu betul apa yang terjadi di dalam kamar itu beberapa menit lalu. Dia hanya bisa menghembuskan nafas lelah.

“Jaenandra udah jalan jemput gue kesini, gue nunggu dia di depan aja. Gue balik, Jev.” Sangking lelahnya dengan kelakuan Jevan, Jelena hanya mengatakan itu. Dia tidak mau berlama-lama ada di sana. Tugasnya sudah selesai.

Tugas menyebalkan yang telah dia lakukan selama beberapa bulan belakangan. Tugas yang sebenarnya meremukkan hatinya yang memang sudah terlanjur hancur.

Mengantarkan kekasihnya setelah puas menidurinya adalah tugas Jevan. Tapi Jevan tidak pernah suka mengantarkan gadis yang ditidurinya pulang. Dia lebih senang bersantai di atas ranjang dengan asap rokok yang mengepul dari pada membelah jalanan setelah perncintaan panjang.

Dan sialnya, itu menjadi tugas Jelena untuk memastikan gadis-gadis jajahan sahabatnya itu untuk pulang ke rumah. Dia merelakan mobil dan supirnya untuk melakukan tugas itu.

Jelena memaki dirinya sendiri karena menjadi sebodoh ini.

Mendengar perkataan Jelena, Jevan buru-buru turun dari kasur. Mematikan rokoknya yang masih sisa setengah batang dan berjalan ke luar kamar tepat sebelum Jelena bangkit berdiri.

“Gue laper,” kata Jevan pelan.

Jelena tertawa pelan sebelum berkata, “Gue bukan beneran ibu lo. Bukan tanggung jawab gue untuk bikin lo kenyang.”

“Biar Jaenandra naik aja kesini, lo tunggu disini aja,” kata Jevan lagi.

Kali ini, tawa Jelena terdengar sinis. “Tapi gue gak mau.”

“El...”

“Mending lo tidur, capek kan?”

Jelena mematikan TV dan meraih tasnya. Dia berjalan ke arah pintu. Sementara Jevan mengepalkan kedua tangannya yang terkulai di sisi tubuh. Dia menahan diri, dia ingin sekali menahan Jelena untuk tetap berada di sini. Tapi kelihatannya gadis itu tidak sudi untuk berlama-lama bersamanya, dalam keadaan ini.

Lagi pula, wanita mana yang mau melihat seorang pria yang menyatakan cinta padanya berkali-kali tapi tetap saja meniduri wanita lain berkali-kali? Tidak ada kan?

Jevan tahu diri.

Kaki-kaki kecil berlarian mengelilingi sebuah ruangan yang tampak luas. Tidak banyak perabotan, hanya kotak-kotak plastik berisi tumpukan mainan di sudut ruangan. Lantainya dilapisi karpet tebal dan lembut untuk menjaga si pemilik kaki-kaki kecil agar tidak terluka ketika bermain. Si Kecil itu dikelilingi tiga laki-laki dan dua perempuan yang seusia dengan ayahnya. Mereka menyebut diri mereka sebagai Gio's Protectors.

“Udah sana lo berdua belanja deh, kulkas Raechan isinya sayuran semua tuh. Kita lagi pengen makan daging,” ucap salah satu laki-laki yang berpenampilan paling rapi, kemeja putih dilapisi dengan jas abu-abu tua serta celana bahan dengan warna senada. Laki-laki itu, Jaenandra, mengeluarkan dompet dari saku jas sebelum berucap lagi. “Ini pake kartu aku aja, kamu tau pinnya kan, Sayang?”

Si wanita yang dipanggil dengan sebutan Sayang mengangguk mengiyakan. “Iya tau, tapi kalian beneran jagain Gio loh, ya! Jangan ditinggal ngegame.”

“Aman,” yakin seorang pria lain dengan penampilan yang lebih santai, Jevander. “udah deh sana buruan,” usirnya pelan.

Klarisa dan Jelena akhirnya keluar dari ruangan dan memesan ojek online sementara tiga laki-laki itu tetap berada di ruangan untuk menemani Sergio bermain. Juan pura-pura mengejar Sergio hingga membuat anak kecil itu berlari sambil tertawa dan menabrakkan dirinya pada tubuh Jaenandra yang telah siap menangkapnya dalam pelukan.

Sergio sudah terbiasa bermain dengan sahabat orang tuanya itu, karena setiap hari, sepulang kerja, om dan tantenya selalu datang ke rumah. Mengajaknya bermain, menyuapinya makan dan bahkan menemaninya tidur. Hingga rasanya, ketidak beradaan kedua orang tuanya yang tengah berlibur tidak dirasakannya. Dia tetap asik bermain dan tertawa hingga lupa waktu.

Sudah tiga puluh menit sejak Klarisa dan Jelena pergi berbelanja saat tiba-tiba Sergio berjalan ke pojok ruangan dan berjongkok di sana. Ekspresinya aneh, dia terlihat menahan sesuatu. Ketiga laki-laki dewasa yang ada di sana hanya saling memandang. Menyadari apa yang tengah dilakukan kesayangan mereka itu.

“Cek gih, Jep,” perintah Juan tanpa rasa berdosa.

Yang ditunjuk langsung meringsut ngeri. “Jangan gue ah, gue orangnya sensitif. Lo aja Jaen sana.”

Jaenandra mendengus tidak terima. “Dih apaan lo nyuruh-nyuruh, lo berdua aja sana cek.”

Lagi-lagi mereka adu pandang. Aroma tidak sedap mulai menguar di ruangan luas itu.

“TUH KAN BAU! CEK SANA WAN!”

“IH LO AJA SANA!”

“SUIT AJA DEH KITA!”

Serempak, mereka duduk berdekatan. Berancang-ancang.

“Kertas, batu, gu....nting.”

Jaendra mengeluarkan kertas, Juan juga mengeluarkan kertas, sementara Jevan memaki dirinya dalam hati karena dia satu-satunya yang mengeluarkan batu.

“YES!” Sorak Jaenandra dan Juan bersamaan.

“Mati deh gue,” lirih Jevan pelan.

Perlahan-lahan, Jevan mendekati Sergio yang masih saja berjongkok di pojok ruangan. Aroma semakin menyengat saat Jevan sudah duduk di depan Sergio. Dengan sebelah tangan, Jevan menutup hidungnya rapat, sementara sebelah tangannya yang lain berusaha membuka sedikit celana Sergio. Saat itu lah mata Jevan melotot ketika mendapati diapers Sergio telah penuh dengan sesuatu yang mengeluarkan bau begitu menyengat.

“Gio.... berak guys,” katanya lemah.

Jaenandra dan Juan menghembuskan nafas lelah. Kepala mereka pening. Benar memang mereka selalu bermain, menyuapi dan bahkan menemani Sergio tidur. Tapi belum pernah sekalipun mereka membersihkan tubuh Sergio ketika pria kecil itu buang air besar.

“Kita nunggu Ica sama Elen pulang atau gimana?”

“Mereka pasti masih lama.”

“Berarti harus kita bersihin sendiri, dong?”

Berbekal keterpaksaan, ketiga laki-laki dewasa itu telah berkumpul di kamar mandi. Jaenandra telah melepaskan jasnya dan menggulung lengan kemeja, tidak lupa dia memanfaatkan dasi untuk menutupi hidungnya. Juan melepaskan jaket jeans dan menggulung celananya hingga lutut. Sementara Jevan tampak paling siap dengan celana santai selutut, kaus oblong berwarna putih hingga memanfaatkan penjepit jemuran untuk mengamankan hidungnya.

“Lo udah siapin plastik kan, Wan?” tanya Jevan sesaat sebelum dia melepaskan diapers dari tubuh Sergio.

“Udah, lo buka aja diapersnya nanti gue masukin plastik.”

Proses pelapasan diapers itu berjalan cepat diiringi suara menahan mual dari Jevan.

“Oke, abis ini gue semprot ya pantatnya, Jev lo yang bersihin sisa-sisa tokai di badan Sergio ya.”

“Hueek.... huekk... baunya nembus! Bentar dulu!” ucap Jevan seraya memalingkan wajah dan berharap bau menyengat itu tidak lagi menggelitik indra pernafasannya.

“Udah buruan deh! Kalau dinanti-nanti, keburu makin bau!” Juan menyenggol lengan Jaenandra yang memegang shower. “Udah semprot aja, Jaen.”

“Sabar gilaaa! Lo enak tinggal ngomong aja, Wan!” bantah Jevan tidak terima dengan kelakuan temannya yang satu itu.

“Udah buruan ih! Kasian Gionya juga woy! Nanti dia kedinginan kalau kelamaan di kamar mandi!”

“Ish bawel lo yee... yaudah siram dah, Jaen.”

Jaenan menurut, menyemprotkan air ke arah tubuh Sergio sementara Jevan membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel. Mereka mengulangnya beberapa kali, dengan sabun mandi tentu saja, hingga dirasa seluruh bau menyengat telah meninggalkan tubuh Sergio.

Setelah itu mereka mengeringkan tubuh Sergio dengan handuk. Mengenakan diapers yang baru serta mengganti pakaian Sergio.

Saat si pria kecil telah kembali bersih dan bermain dengan ceria, si ketiga pria dewasa merebahkan tubuh mereka di atas karpet. Jevan melepaskan penjepit dari hidungnya dan membuangnya asal.

“Gila, tokai bocah baunya begitu ya.”

“Sergio dikasih makan apa sih sama Kak Kayana?!”

“Ampe lupa caranya nafas gue dari tadi nahan-nahan.”