petrichorslines

Brotherhood : a belief in or a feeling of cooperation and unity among men.

Seorang pelayan sedang sibuk meletakkan beberapa gelas bening berisi cairan merah juga beberapa piring berisi makanan ringan. Salah seorang dari mereka yang tengah dilayani oleh si pelayan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet dan meletakkan uang tersebut ke atas nampan.

“Makasih Mas Jevan, nanti kalau ada tambahan silahkan panggil saya aja ya,” ucap si pelayan yang kemudian pamit untuk melayani tamu yang lain.

Dentingan gelas yang diadu mengisi ruangan dan memeriahkan suasana, beriringan dengan lantunan musik live band yang terdengar dari salah satu sudut cafe.

Sore ini, Jevan dan kawan-kawannya kembali mengunjungi salah satu cafe yang berada tidak terlalu jauh dari sekolah mereka. Cafe yang mereka anggap paling nyaman karena memiliki nuansa tenang dan homey. Tempat duduk yang mereka pilih tidak pernah berubah, yaitu dua sofa panjang di paling ujung ruangan. Satu-satunya tempat yang ditandai dengan smoking area.

“Ntar gue balik duluan ya, mau jemput Elen,” ucap Jevan setelah menyesap minumannya.

“Pak Abidin makan gaji buta Jep lama-lama,” komentar Juan merujuk pada supir pribadi yang ditugaskan oleh orang tua Jelena untuk menjaga putri semata wayang mereka.

“Biarin, hahaha. Malah rencananya, gue mau ngomong ke Papanya Elen supaya Pak Abidin ditarik ke rumah lagi aja pas Elen udah lulus SMA. Biar gue aja yang jagain Elen di sini.”

“Emang bakal boleh?” tanya Raechan ragu.

“Kalau gue jaminannya mah Papanya Elen pasti ngebolehin,” jawab Jevan mantap.

“Gak tau aja tuh Om Iskandar sebajingan apa kelakuan lo sebenernya.” Jaenandra bersuara dan langsung mendapat anggukan mantap dari kawan-kawannya yang lain.

Sementara Jevan, laki-laki muda itu hanya tertawa mengiyakan.

Asap rokok mulai mengepul ke udara berbarengan dengan mulai kosongnya gelas dan piring di hadapan mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, itu artinya terhitung dua jam sejak mereka datang kesini.

Cafe mulai ramai, kursi kosong sudah tidak terlihat lagi. Namun hal itu tidak membuat mereka ingin segera meninggalkan cafe karena Audore Cafe sudah seperti rumah kedua bagi mereka.

“Oy, sorry telat. Macet gila kaya mau nangis gue.” Markio muncul dari balik punggung Raechan, laki-laki yang lebih tua setahun di antara kawan-kawannya yang lain dan sudah menyandang gelar mahasiswa itu menyambar gelas milik Raechan yang isinya hanya sisa seperempat. “Gila ya, kenapa gue dulu pengen jadi dokter sih? Nyesel nih gue.”

“Kalau mau keluar belum telat loh Kak, belum ada setahun kan,” gurau Raechan yang langsung dihadiahi toyoran pelan.

“Duit bokap gue udah terlanjur masuk tapi Nyet.” Sekarang Markio menyambar kentang goreng. “Terus kalian jadinya gimana? Minggu depan kan udah ujian akhir nih, terus abis itu mulai daftar kuliah, jadinya pada mau masuk apa?”

“Gue fix Hospitality and Tourism Management sih, udah disetujuin Mama Papa juga.”

Markio mengacungkan jempol pada Raechan. “Mantap, prospeknya bagus tuh. Bokap lo kan juga punya perusahaan Tour and Travel Rae.”

“Nah itu makanya.”

“Gue bakal nyoba masuk hukum sih, semoga bisa.” Ada keraguan dalam suara Juan.

“Bisa kok Wan, tenang aja. Nilai lo kan aman.”

“Mudah-mudahan. Lo gimana Jaen?”

“Gue sesuai yang gue mau sih, teknik, teknik apanya belum mantep tapi. Dipikir sambil jalan aja.” Jaenandra menyandarkan punggungnya pada sofa. Sudah lebih dulu merasa lemas membayangkan mimpinya sendiri.

“Lo Jev?”

Yang ditanyai hanya diam, tatapannya tertaut pada gelas kaca yang dia goyang-goyangkan padahal isinya sudah kosong.

“Jev?” tegur Markio sekali lagi.

“Gue mau nekat ambil musik. Tapi gue takut mati digebukin bokap gue. Gue salah gak sih kalau perjuangin mimpi gue?”

Jaenandra, yang duduk paling dekat dengan Jevan merangkul bahunya. Menepuknya beberapa kali guna mengirimkan kekuatan.

“Gak Jev, masa depan lo, mimpi-mimpi lo, itu punya lo sendiri. Lo punya hak untuk memperjuangkannya. Lo punya gue, lo punya mereka, kita yakinin bokap lo bareng-bareng ya.”

Jevan mengangguk mantap. Merasa teryakinkan bahwa dia punya hak untuk meraih mimpi-mimpinya sendiri. Kekuatan yang dikirimkan oleh kawan-kawannya menambah keyakinannya.

Jevan bersyukur, meskipun Tuhan telah mengambil Ibunya, tapi Sang Maha Pemberi Hidup mengirimkan empat sahabat sejati yang mengisi ruang kosong atas kepergian wanita yang ia cintai.

Suasana haru itu tidak berlangsung lama karena suara ramai tiba-tiba menyapa meja mereka. Seorang anak remaja yang seumuran dengan Jevan duduk di sebelah Raechan dengan sok akrab.

“Rae, lo temennya Jelena kan? Kenalin lah, gue udah merhatiin dia dari lama. Cakep banget.”

Belum sampai Raechan menjawab, tiba-tiba Jevan berdiri dari duduknya dan meraih kunci dari atas meja. Sementara sebelah tangannya yang lain memegang ponsel hitam yang menempel di telinganya.

“Halo Elen? Selesai satu jam lagi ya? Yaudah gue jalan sekarang aja deh, takut macet,” ucapnya pada seseorang di seberang telepon.

“Gue cabut ya, mau jemput Elen,” katanya berpamitan. Jevan lalu berjalan melewati si laki-laki sok akrab sembari berkata, “Kalau lo udah merhatiin Elen dari lama, harusnya lo tau kalau kesempatan lo buat deketin dia tuh gak ada.”

Jevan berlalu, meninggalkan kawan-kawannya yang menahan tawa dan laki-laki sok akrab yang menunduk lemah.

Jevan, berapa lama sampai kamu berhenti menipu dirimu sendiri? Berapa lama waktu yang harus kamu tempuh hingga kamu akhirnya bisa menyadari bahwa apa yang rusak tidak akan selamanya menjadi rusak?

Jelena, berapa lama sampai kamu bisa paham bahwa kebahagiaanmu adalah yang utama? Berapa lama waktu yang harus kamu habiskan sampai kamu tahu bahwa kamu, adalah doa yang dipanjatkan dengan khusyuk oleh lebih dari satu orang?

Markio, berapa lama sampai kamu sadar bahwa apa yang kamu mau memang pantas kamu perjuangkan? Dan berapa banyak detik yang ingin kamu buang sampai kamu yakin bahwa apa yang sudah menjadi milik kamu memang harus dipertahankan?

Beautiful place belongs to something beautiful.

Markio lupa pernah mendengar ungkapan itu dari mana, namun sejak mendengarnya, dia tidak pernah lupa.

Ungkapan yang cantik.

Ungkapan yang membuatnya membawa Jelena ke sebuah padang rumput di sisi bukit pinggiran kota, Ayu Laga namanya. Tempat itu jauh dari hingar bingar perkotaan, udaranya bersih karena letaknya jauh terpinggirkan, orang-orangnya ramah dan santun. Tipikal tempat yang ingin dijadikan sebagai tempat menenangkan diri.

Markio tahu tempat ini dari Garend, seniornya di Fakultas Kedokteran. Laki-laki yang merupakan kakak kandung salah satu sahabatnya itu berdinas di rumah sakit yang berada daerah kecil ini.

Namun tujuan utama Markio bukanlah padang rumput itu, melainkan sebuah panti jompo yang berjarak tidak begitu jauh dari sana. Karenanya, setelah merasa Jelena puas menikmati keadaan padang rumput dengan tatanan alam yang apik, Markio mengajaknya berjalan ke panti jompo.

Gedung panti jompo bernama Panti Jompo Karim itu tidak terlalu besar. Ukurannya hanya seperti rumah pada umumnya, dengan teras asri berhiaskan berbagai macam bunga dan tumbuhan bonsai. Ketika masuk ke dalam, langsung terlihat sebuah area makan dengan meja panjang dan kursi yang berjajar rapi. Dekat dengan meja makan, terdapat dapur bersih dengan peralatan masak yang tertata di tempatnya. Lalu ketika mengintip ke sayap kanan rumah, bisa terlihat area santai yang berisi sofa-sofa nyaman dan sebuah rak buku yang penuh dengan berbagai judul. Di sayap kiri rumah, berisi lemari pakaian dan dua meja rias yang mengkilap bersih. Kamar penghuni panti jompo berada di area belakang, dihubungkan oleh lorong.

“Mas Kiyo.” Suara lembut itu terdengar dari belakang. Markio dengan sigap berbalik dan mendapati seorang ibu dengan senyum ramah tengah berjalan ke arahnya. Di tangan ibu itu terdapat keranjang rotan yang penuh dengan bunga segar yang tampak baru saja dipetik.

“Mas Kiyo sudah lama? Kenapa tidak masuk saja?” ibu itu bertanya ketika sudah tiba di hadapan Markio.

“Baru aja saya mau panggil Bu Asri, soalnya sepi banget saya gak enak mau masuk.”

“Oalaaah, masuk saja gak papa Mas harusnya. Iya sepi, soalnya nenek-nenek semua lagi belajar ngerangkai bunga sama Mbak Adzkiya di aula desa.”

“Bu Asri juga dari sana?”

“Iya, Ibu juga dari sana. Tapi pulang duluan soalnya mau masak untuk makan malam,” Bu Asri menjelaskan dengan lembut, “ngomong-ngomong Mas Kiyo bawa siapa? Cantik sekali.”

“Ini Jelena Bu.”

“Pacar?”

“Masih calon.”

Semburat malu-malu menghiasi wajah Jelena. Gadis itu meraih tangan Ibu Asri untuk dia cium.

“Terimakasih sudah mau datang jauh-jauh kesini Mbak Jelena. Selamat datang di Ayu Laga, yahh beginilah pedesaan, sepi.”

“Tapi bikin tenang, Bu. Nyaman sekali ada di sini.”

“Betul sekali, itu juga yang selalu dikatakan oleh Mas Kiyo. Ya sudah ayuk kita minum teh di dalam.”

“Makasih Bu tawarannya, tapi kalau boleh, saya mau ajak Jelena untuk lihat-lihat ke aula aja.” Markio menolak dengan halus.

Bu Asri tersenyum lagi, kemudian berkata,

“Tentu saja boleh, silahkan Mas, Mbak, silahkan.”

Atas izin itu, mereka berdua kembali berjalan ke arah aula. Dari jendela kaca yang berukuran besar, mereka bisa melihat ke dalam dengan jelas. Di sana, beberapa orang wanita berusia lanjut tengah sibuk merangkai bunga, dibimbing seorang wanita muda yang familiar di mata Markio dan Jelena.

“Panti Karim ini khusus perempuan, mereka semua adalah perempuan-perempuan baik yang secara kasar dibuang oleh keluarganya.” Markio berbicara sambil terus menatap ke arah dalam. “Ada yang diantarkan kesini oleh anaknya sendiri, anak yang diantarkan oleh suaminya yang mau menikah lagi, bahkan ada yang datang ke tempat ini seorang diri karena merasa udah gak dihargai lagi oleh keluarganya.”

“Jahat,” Jelena mendesis.

“Iya El, dunia ini emang terlalu jahat untuk mereka. Makanya gue bersyukur ada Panti Karim, karena disini mereka diperlakukan dengan baik.”

“Kak Kiyo udah sering ya dateng kesini?”

“Tiga bulan sekali, bareng Kak Garend, untuk cek kesehatan mereka.”

Jelena mengangguk mengerti. Matanya masih menatap lekat pada indahnya pemandangan di dalam aula. Kali ini, para nenek tampak sedang memamerkan hasil rangkaiannya pada Adzkiya.

“Gue gak pengen lo berakhir disini El. Sebaik-baiknya tempat ini, gue gak ingin lo berakhir disini.”

Ucapan Markio membuat Jelena melemparkan tatapannya pada laki-laki itu secara cepat.

“Gue pengen ngehabisin masa muda sampai masa tua gue sama lo. Supaya kita bisa duduk berdua di teras rumah kita sendiri. Ini kedengeran aneh sih, karena kita bahkan belum pacaran, kita juga belum dapet izin dari papa lo. Tapi tiap kali gue dateng kesini, gue selalu inget sama lo. Gue gak ingin lo jatuh ke tangan orang yang salah dan berakhir seperti mereka.”

Markio membalas tatapan Jelena.

“Gue... gue merasa percaya diri kalau gue bisa ngejaga lo sampe akhir. Gue belajar ini dari Raechan, rasa percaya diri itu adalah rasa yang harus gue pegang seumur hidup. Karena laki-laki, mereka harus percaya sama diri mereka sendiri. Gue percaya diri Elena, perempuan sebaik lo cuma bisa dijaga sama laki-laki seperti gue.”

Markio mengeluarkan cincin dari sakunya.

“Jelena Ayunanda Iskandar, do you want to enjoy every sunset in our backyard together with me?”

Jelena tertegun, itu bukan pernyataan cinta biasa. Itu bukan hanya pernyataan cinta dimana Markio memintanya menjadi kekasih laki-laki itu. Dalam kalimat itu, ada makna tersirat yang penuh dengan keseriusan. Yang membuat Jelena merasa diyakinkan dengan penuh. Dengan utuh. Tanpa keragu-raguan.

Segala rasa yang sudah Markio berikan padanya selama ini adalah perasaan yang jelas. Bukan perasaan abu-abu seperti yang selalu diberikan oleh seorang laki-laki lain yang selalu berkata bahwa dia mencintai Jelena.

Markio tidak pernah ingkar. Markio tidak pernah mengecewakan. Markio tidak pernah menebar luka.

Berangkat dari perasaan itu, Jelena akhirnya berkata yes i do dengan mantap. Gadis itu juga mengulurkan tangannya agar Markio bisa memasangkan cincin indah itu ke dalam jari manisnya.

Pada akhirnya, seorang gadis akan selalu memilih laki-laki yang tidak membuatnya ragu dan bertanya-tanya. Pada akhirnya, seorang gadis akan memilih laki-laki yang menjadikannya satu-satunya.

Raket tenis, sarung tinju dan tongkat golf selalu tersedia di pojok ruang kerja Alexander. Sialnya, tujuan dari alat-alat itu tidaklah sebagaimana mestisnya. Bukan di lapangan tenis, bukan di ring tinju, bukan pula di lapangan golf, alat-alat itu justru lebih sering digunakan di ruangan kerja milih ayah Jevan itu.

“Anak bodoh,” Alexander memaki anak yang meringkuk kesakitan namun tidak memohon ampun. Beberapa tetes darah mengotori lantai dan kaus yang dikenakan Jevan.

Alexander makin meggila, menghantamkan raket tenis ke tubuh Jevan berkali-kali dan lebih kuat dari sebelumnya.

“Apa sih sulitnya menurut?” Alexander bertanya frustasi, makin muak karena Jevan tidak membalas satupun ucapannya.

“Sudah berkali-kali Papa bilang Jevan, kuliah musik itu tidak ada gunanya! Lebih baik kamu masuk bisnis! Toh kamu juga yang akan meneruskan bisnis Papa!”

Jevan masih diam. Bibirnya sekebas anggota tubuhnya yang lain.

“Papa gak tau kesalahan apa yang Papa lakukan di masa lalu sampai punya anak pembangkang seperti kamu!”

Bugh

Pukulan terakhir mengenai bahu Jevan dengan begitu keras hingga lenguhan kecil lolos dari bibirnya.

Alexander membanting raket tenisnya sembarang. Namun matanya masih menatap Jevan dengan nyalang.

“Harusnya kamu ikut mati saja dengan Mama kamu, hidup pun gak bisa dibanggakan. Percuma.”

Alexander hendak keluar dari ruang kerjanya setelah melontarkan kalimat keji itu, namun sebuah gumaman pelan menghentikan langkahnya.

“Kalau bisa memilih, Jevan juga mau ikut Mama, Pa.”

Tangan Alexander menggantung di udara. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu.

“Tapi kalau Jevan mati, yang jadi samsak Papa nanti siapa?”

Jevan belum bangun dari posisi meringkuknya hingga perkataan yang dia ucapkan hanya terdengar samar-samar. Terhalang lengan yang sejak tadi setia melindungi area wajah dan kepalanya dari hantaman raket tenis.

“Pa, Jevan gak keberatan jadi samsak Papa. Tapi boleh gak Pa hargai Jevan sebagai manusia, bukan sebagai boneka Papa?”

Angin malam berhembus dingin melewati jendela ruang kerja yang terbuka. Menabrak lembut tubuh Alexander dan membuat tubuhnya makin beku. Membuat bibirnya makin kelu.

“Jevan juga punya mimpi Pa. Seperti anak-anak lain seusia Jevan. Jevan bukannya mau membangkang, Jevan cuma ingin menjalani hidup sesuai yang Jevan mau.”

Setetes air mata mengalir menuruni pipi Jevan. Jatuh membentur lantai tanpa menimbulkan suara. Tenggorokan Jevan serasa tercekat, dia ingin mengeluaran segala yang dia tahan selama ini.

Sementara Alexander masih diam. Punggungnya masih setia membelakangi Jevan.

“Pa, apa jadi penerus perusahaan Papa beneran satu-satunya cara untuk berbakti dan jadi anak yang membanggakan untuk Papa? Gak boleh lewat musik aja ya Pa?”

Susah payah Jevan paksa dirinya untuk tetap berbicara. Meskipun beberapa kali dia merasa nafasnya terkecat. Anak itu berfikir bahwa jika tidak malam ini, dia tidak akan memiliki kesempatan lain untuk berbicara pada ayahnya.

“Jevan gak ingin jadi boneka yang ikut kemanapun Papa pergi, pindah dari satu rapat ke rapat lain. Dateng ke acara makan malam cuma untuk dijadikan objek sebagai penerus perusahaan.”

Mata Jevan perlahan terpejam.

“Jevan gak ingin dibanggakan atas apa yang Jevan lakukan secara terpaksa, Pa.”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang Jevan ucapkan sebelum dia jatuh pingsan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya berhasil merampas kesadaran anak malang itu.

“Papa tau apa yang terbaik untuk kamu.”

Alexander akhirnya berbalik saat tidak lagi mendengar ucapan Jevan. Dia memandangi Jevan sebentar sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Meninggalkan Jevan yang terkapar dengan keadaan tubuh penuh luka dan darah. Dia bahkan mengabaikan pipi Jevan yang basah oleh air mata.

Dalam hidup Jevan, dia hanya akan marah pada dua hal. Pertama, ketika ada yang menyakiti wanita yang dia cintai. Kedua, ketika dia tahu ada yang melukai sahabat-sahabatnya. Dan kejadian yang Jevan dengar pagi ini adalah perpaduan keduanya. Perpaduan paling menyulut amarah yang membuat kepalanya seakan mendidih.

Kevin, bajingan itu dengan dungunya menyentuh Jelena, sahabat sekaligus wanita yang Jevan cintai. Membuat Jelena gemetar ketakutan hingga duduk berjarak dari Jevan dan sahabat laki-lakinya yang lain. Bahkan ketika Markio-kekasihnya-mencoba menenangkan, Jelena beringsut ngeri.

Tolol.

Bodoh.

Pria bernama Kevin itu benar-benar pantas dihakimi.

Jevan keluar dari mobil dan membanting pintu. Menarik atensi beberapa orang yang kebetulan berada di area parkir yang sama dengannya. Tanpa pikir panjang, pria itu berjalan mantap ke arah salah satu gedung fakultas dimana dia yakini ada Kevin di sana.

Dan benar saja, Jevan melihat mangsanya itu tengah duduk bersama teman-temannya yang lain di kantin fakultas. Tampak asyik saling bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Hal itu membuat kebencian Jevan akan pria itu semakin memuncak. Diingatnya kembali bagaimana wajah ketakutan Jelena di studionya tadi.

“Kevin,” desis Jevan geram. Berjalan makin dekat pada mangsanya yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

Bug

Brak

Tendangan Jevan tepat mengenai punggung Kevin. Membuat si pria dungu tersungkur ke lantai setelah menabrak meja kayu dengan kencang. Teman-teman Kevin berpencar dengan terkejut, meninggalkan Kevin dengan keterkejutan yang sama.

“Kalau sange tuh bayar cewek bro minimal, atau cari aja cewek yang emang doyan dipegang. Jangan nyentuh cewek sembarangan.”

Sosok Jevan mendekat dengan senyum miring meremehkan. Sementara Kevin masih belum juga bangkit dari posisinya.

Seluruh mata tertuju pada mereka berdua. Tapi Jevan tidak perduli, dia hanya ingin membalas apa yang harus dia balas.

“Lo tau gak? Cewek yang lo pegang sembarangan itu dijaga mati-matin sama orang tuanya, sama cowoknya dan sama sahabat-sahabatnya? Tau gak lo?”

Dengan sengaja, Jevan menginjak tangan kanan Kevin yang terkulai lemas di sisi tubuh. Membuat si empunya merintih kesakitan memohon ampun.

“Lo tau gak kelakuan lo tadi bisa bikin korbannya trauma seumur hidup? Mikir sampe sana gak lo?”

Tekanan yang Jevan berikan pada tangan Kevin semakin dalam seiring dengan teriakan Kevin yang juga makin mengencang.

Namun tidak ada seorang pun di sana yang berani melerai.

“Van... lepas Van! Sakit Van.” Kevin merintih, memohon ampunan.

Jevan terkekeh namun dia menuruti permintaan Kevin. Pria itu lalu berjongkok tepat di hadapan Kevin. Disentuhnya dagu Kevin agar mereka bisa saling tatap.

“Gue tau gue juga bukan cowok baik-baik, tapi gue bukan sampah semacam lo yang ngelakuin hal menjijikkan semacam itu, Kevin.”

Bug

Sebelah tangan Jevan yang bebas terayun keras mengenai rahang kiri Kevin.

“Lo gak punya hak untuk nyentuh cewek manapun, tanpa izin dari mereka.”

Bug

Pukulan Jevan makin kencang.

“Dan lebih dari itu semua... Lo gak bisa lakuin itu ke Elen.”

Bug

Pukulan yang ketiga benar-benar tidak ternilai kencangnya. Sangat kencang hingga membuat tubuh Kevin terlempar ke belakang.

Pria itu mengaduh, mengerang dan merintih.

“Sekali lagi gue denger lo lakuin hal menjijikkan itu ke cewek manapun, abis lo sama gue.”

“Jev.. sorry, maafin gue.”

“Maaf? Bukan ke gue lo harusnya minta maaf. Ikut gue.”

Jevan menarik tubuh Kevin dengan kasar. Membawa pria dungu itu keluar dari area kantin diikuti tatapan semua orang yang menyaksikan kejadian itu.

“El, sekarang udah gak papa. Lo jangan takut lagi ya.” Klarisa tidak henti membisikkan kalimat itu pada Jelena yang berangsur-angsur membaik perasaannya.

Jelena tidak lagi gemetar. Dia juga tidak lagi takut melihat sahabat-sahabatnya yang lain.

Terutama Markio. Kekasihnya itu sudah dia perbolehkan mengenggam sebelah tangannya.

“Kak, aku mau minum,” ucap Jelena lemah dan dengan sigap Markio langsung menyerahkan sebotol air yang sudah sejak tadi dia persiapkan.

“Mulai besok, kita anter kalian ke kelas.”

“Setuju sama Raechan...” ucapan Juan tidak selesai karena ditraksi dari pintu studio yang tiba-tiba terbuka.

Tampak Jevan tengah memapah seseorang lalu membanting pria itu tepat di depan Jelena.

“Lo harus minta maaf sama Elen, bukan sama gue,” tegas Jevan pada pria itu, yang baru sahabat-sahabatnya ketahui adalah Kevin.

Si pria yang ditunjuk mendongakkan wajah dengan takut-takut. Dia menatap Jelena yang menatapnya kasihan.

“Elen, maafin gue ya. Gue....”

Plak

Bukan Jelena, tapi tamparan itu datang dari Klarisa.

“Elen orang baik Vin, gue yakin dia maafin lo. Tapi gue gak sebaik dia, jadi gue wakilin Elen nampar lo. Sekarang lo pergi.”

“Biar gue yang anter Kevin balik.” Raechan hendak meraih tubuh lemas Kevin namun Jevan menahannya.

“Biarin aja dia urus dirinya sendiri.”

Mendengar itu, Kevin tertatih-tatih menuju pintu studio. Sementara Jevan langsung berjongkok di depan Jelena yang masih mengekori Kevin dengan tatapan kasihannya.

“Hei udah gak usah diliatin.” Jevan menyentuh kedua tangan Jelena lembut, menarik atensi gadis itu. “Masih gemeter gak? Mau pulang ke rumah Papa Mama aja gak?”

Jelena menggeleng seraya tersenyum.

“Makasih ya Jev lo udah... tangan lo.” Fokus Jelena terbelah saat menyadari ruas-ruas jari Jevan lebam. Jelena ngeri membayangkan betapa keras tangan Jevan menghantam wajah Kevin hingga tangannya pun terluka seperti itu.

“Jev kita obatin tangan lo ya, biar gak...”

“Gak usah, Cantik. Gue gak papa.” Jevan tersenyum lembut, masih setia memandangi wajah ayu Jelena. “Malam ini kita makan malam sama Papa Alex yuk? Papa baru pulang dari Sydney, gue yakin dia bawa banyak oleh-oleh buat lo.”

“Kok tumben Om Alex ngabarin lo dulu dibanding gue?”

“Gue tau dari sekretarisnya hahahaha.”

“Ih curang.”

Wajah Jelena makin cerah. Ketakutannya seketika hilang. Sekarang gadis itu merasa tenang. Tapi dia lupa satu hal...

Markio, sejak tadi laki-laki itu hanya memandangi mereka. Bahkan ketika Jevan tanpa sadar mengambil tangan Jelena dari genggamannya saja dia membiarkan.

Markio seperti diingatkan sekali lagi bahwa dia tidak mencintai Jelena sendirian.

Masih ada Jevan. Jevander Novanda.

Laki-laki yang tidak hanya memberikan seluruh cintanya untuk Jelena. Tapi bahkan seluruh hidupnya.

Seorang gadis tengah duduk dengan gelisah di atas ranjang berukuran dua kali lipat lebih lebar dari yang biasanya dia gunakan. Gemericik air di kamar mandi bersahut-sahutan dengan desahan nafasnya yang tidak beraturan. Kedua tangannya saling mengait gugup. Dalam hatinya dia memaki dirinya sendiri karena menjadi serapuh ini.

Joana, gadis berusia awal dua puluhan, seorang blasteran Indonesia – Korea yang menuruni segala kecantikannya. Rambut hitam lebat panjang, mata indah kecoklatan, hidung mungil dengan tulang tinggi, serta bibir tebal dengan warna kemerahan alami.

Joana memiliki segalanya untuk bisa memikat paling tidak lima pria di tempat manapun dia berada. Layaknya malam ini, dia didekati setidaknya sepuluh pria tampan di bar yang sering dia kunjungi. Namun gadis itu memilih seorang pria yang seusia dengannya, yang dianggapnya paling menonjol di antara yang lain, satu-satunya yang membuatnya gugup.

Joana menelan ludah kala pria itu keluar dari kamar mandi. Nampak segar usai mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma sabun segar menisik hidung si gadis. Sedikit mengganggu karena rasanya Joana ingin cepat-cepat menarik pria itu ke atas ranjang bersamanya. Menelusuri tubuh pria itu dengan tangannya, bibirnya, atau dengan segala yang ada pada dirinya. Joana ingin melenyapkan segala kegugupannya dengan bercinta bersama Jevan. Jevander Novanda.

Jevan menyadari keinginan bergejolak Joana melalui gerak-gerik gadis itu. Jevan sudah berpengalaman dengan gadis-gadis, dia memahami segalanya.

“Kamu mau mandi dulu atau enggak?” tanyanya mengulur waktu. Ingin membuat Joana makin dibakar gairah.

“Engg... enggak usah Van.”

Jevan tersenyum simpul, dengan sengaja dia membuka bathrobe yang tadi dikenakannya. Membiarkan satu-satunya proteksi akan dirinya itu tersungkur di lantai.

Joana tersedak kemudian memahan nafas akan apa yang dilihatnya. Wajahnya memerah seperti udang rebus. Di hadapannya, Jevan berdiri tanpa sehelai benangpun melindungi tubuhnya yang kekar.

“Kalau gitu kita langsung aja.” Tatapan Jevan menghujani Joana dari atas hingga bawah. “Mau buka sendiri atau aku bukain?”

Si gadis tertegun sekali lagi. Biasanya, pria-pria yang ditidurinya tidak akan menanyakan hal seperti ini. Hal baru ini membuatnya merasa aneh—tapi juga makin bergairah.

Joana memilih untuk tidak menjawab. Jari-jari tangannya bekerja sama untuk melucuti pakainnya satu persatu. Di bawah tatapan Jevan yang nampak menikmati tiap gerakan yang Joana lakukan.

Beautiful,” lirih Jevan kala Joana sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan sama polosnya.

Perlahan, Jevan bergerak mendekat. Mengikis jarak anatara dirinya dengan Joana. Lalu, saat gadis itu sudah berada dalam radarnya, dia mengunci Joana dengan ciuman memabukkan. Lembut namun dominan. Membuat Joana tersentak hingga lupa membalas ciuman itu.

Saat Jevan menyadari gadis itu tidak memberi balasan, dia memundurkan wajah, mengelus pipi Joana dengan sebalah tangan. “Hei, kenapa? Aku terlalu kasar ya? Atau gimana? Coba bilang kamu suka ciuman yang seperti apa, nanti aku lakuin.”

Sungguh, kini Joana paham kenapa dia sering mendengar nama Jevan keluar dari bibir teman sepergaulannya.

“Atau kalau kamu gak nyaman sama aku, kita bisa berhenti.”

Pria ini, dia tahu cara meluluhkan wanita.

“Enggak, aku cuma... kaget aja.”

Cute,” desis Jevan pelan sebelum kembali melumat bibir Joana.

Bunyi kecapan beradu dengan deru nafas menggubu dua insan yang tengah saling meraba dan melumat. Jevan sudah membawa Joana ke atas ranjangnya yang besar dan kokoh. Mengunci tubuh indah Joana dengan lengannya yang kekar.

Ciuma Jevan turun ke leher, membelai dengan lihai. Namun pria itu tidak meninggalkan sedikitpun jejak—begitulah Jevan, dia hanya ingin kesenangan, tanpa komitmen. Itulah kenapa dia berusaha tidak meninggalkan bekas apapun pada tubuh tiap perempuan yang ditidurinya.

Desahan nikmat mengudara kala Joana merasakan gigitan kecil pada putingnya yang menegang. Sebelah tangan Jevan bermain di payudara kirinya sementara bibir pria itu menjelajah payudara kanannya. Pergerakan Jevan membuat sesuatu di bawah sana terasa basah. Mendesak dan menuntut lebih. Joana berusaha meraih kejantann Jevan namun ditahan.

“Jangan Sayang, belum waktunya.”

Joana hendak protes, namun bibir Jevan lebih dulu mendarat di pusat dirinya. Mencecap, menjilat, membelai dengan bibir dan lidahnya. Sekitar kewanitaan Joana juga tidak luput dari belaian kasih Jevan. Dikecupinya kedua paha mulus Joana sebelum kembali bermain dengan kewanitaan wanita itu.

Joana kelimpungan. Rasanya nikmat sekali. Dia sering bercinta, namun tidak pernah sehebat ini.

“Cantik, cantik sekali, Joana.” Jevan berucap di sela belaiannya, membuat Joana makin menggila.

Pinggul Joana bergerak-gerak gelisah, berusaha mendekatkan kewanitaannya sedekat-dekatnya dengan bibir Jevan yang sebenarnya tidak pernah kemana-mana.

“Jevan... tolong, lebih dalam.”

Mendengar itu, Jevan bangkit. Diposisikan kewanitaan Joana tepat di hadapan kejantanannya. Kedua paha Joana dia pangku, dia lebarkan hingga dia bisa melihat seluruh keindahan yang ada pada diri gadis yang ditidurinya itu.

“Coba rasain, kamu lebih suka yang mana.”

Jevan memasukkan satu jarinya ke dalam lubang kenikmatan Joana, bergerak teratur, maju dan mundur. Berulang-ulang. Lalu perlahan dia memasukkan jarinya yang lain, juga menambah kecepatan.

Sungguh, Joana ingin berteriak meminta ampun sekarang. Rasanya begitu nikmat hingga dia kelabakan.

Tidak berhenti disana, Jevan mengganti jarinya dengan kejantanannya yang telah menegang. Dia gesekkan kepala penisnya ke bibir vaniga Joana. Perlahan-perlahan, perlahan-perlahan.

“Begini Sayang? Kamu suka?”

“Yaa Van, begitu, tapi masukin sekalian aja Van,” rintih Joana tidak tahan lagi.

Beg for me Joana Larasati.”

“Aku mohon Van, fuck me, fuck me hard. Fuck me like I'm a whore.”

Senyum kemenangan tergambar jelas di wajah Jevan. Pria itu akhirnya menuruti keinginan Joana. Dia mengujamkan penisnya hingga Joana merintih kenikmatan. Temponya pas, tidak terburu-buru dan tidak terlalu lambat. Dia menyentuh seluruh titik vital Joana.

Semua gadis yang ditidurinya tidak pernah memberinya perintah sepeti harder atau faster karena Jevan lebih tahu dari mereka apa yang harus dia lakukan. Tiap kali bercinta Jevan tidak pernah mendengar perintah, dia hanya mendengar erangan putus asa akan kebutuhan sex dari semua gadis-gadis itu.

Jevan membalikkan posisi, dia menuntun Joana untuk menungganginya. Dia ingin bersantai, sambil menikmati payudara Joana yang bergelayut bebas beriringan dengan makin keras hentakannya. Dia juga bisa memandangi wajah Joana yang menikmati tiap sentuhan yang dia berikan.

“Van, AAAHHH AHHHH, I'm coming Van.”

Jevan membantu Joana mempercepat gerakannya dan menopang tubuh gadis itu yang akhirnya roboh setelah pelepasan panjang. Joana melenguh kenikmatan, meraba-raba wajah Jevan untuk menemukan bibirnya.

Lalu mereka berciuman lagi, kali ini lebih intim dari sebelumya. Joana merasa dicintai akan ciuman itu, tapi Jevan hanya ingin pemuas nafsu.

Tidak heran, setelah selesai, Jevan langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari sentuhan Joana. Dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Saat selesai dari urusannya, Jevan duduk di sofa dan memamdangi Joana yang belum mengenakan pakaiannya.

“Abis ini lo gue anter balik.”

“Loh kenapa? Aku mau nginep Van, siapa tau besok pagi kita bisa...”

“Gue gak pernah tidur dua kali sama cewek yang sama.”

Ya, itu lah Jevan, Jevander Novanda.

Pernahkah kalian merasakan perasaan begitu menginginkan namun juga ingin lari sejauh-jauhnya dari suatu hal?

Jika pernah, mungkin kalian akan bisa mengerti gundahnya hati seorang Jevander Novanda saat ini.

Hatinya bergejolak, meneriakkan nama Jelena dalam tiap detaknya. Namun segala sel dalam otaknya bekerjasama untuk menyuruhnya tahu diri.

Jevan bimbang.

Jevan bingung.

Dalam kegundahan itu dia menatap Jelena yang tengah momoles wajah. Gadis itu, gadis yang bahkan tidak memerlukan sedikitpun koreksi pada wajahnya. Gadis yang hatinya jauh lebih cantik dari rupanya. Gadis yang bahkan untuk mendapatkannya saja Jevan berani bertaruh nyawa.

“Menurut lo bagusan pake warna ini atau warna yang ini Jev?” Jelena bertanya seraya menunjukkan dua pewarna bibir dengan warna yang sebenarnya tidak jauh berbeda.

“Lo sukanya pake yang mana?” Jevan balik bertanya. Mengabaikan perintah hatinya untuk mengatakan bahwa Jelena akan tetap cantik menggunakan kedua warna itu.

“Yang ini sih,” jawab Jelana mengacu pada pewarna bibir dengan warna yang lebih lembut.

“Emang kalau yang satunya kenapa?”

“Ya gak kenapa-kenapa, cuma yang itu bikin bibir gue kering.”

Jevan tersenyum jahil, laki-laki itu meraih dagu Jelena agar fokusnya teralih dari cermin kepadanya.

“Nanti kalau kering, biar gue yang basahin.”

Biasanya gadis-gadis yang Jevan dekati akan tersenyum malu-malu merasa tersanjung.

Namun Jelena bukan satu dari mereka.

“GUE TONJOK LO KALAU BERANI.”

“Hahahaha iya bercanda, gemes banget sih.”

Jevan menggigit lengan putih Jelena pelan. Terlalu gemas dengan ekspresi marah Jelena yang justru membuat gadis itu terlihat kekanak-kanakan.

“Gue gak akan nyentuh lo sembarangan, Elena. Itu janji gue seumur hidup.”

“Halah! Cowok kayak lo mana bisa nepatin janji!” hardik Jelena namun lagi-lagi itu hanya membuat Jevan gemas. Jevan tidak merasa tersinggung sama sekali.

“Udah ah marah-marah mulu, ayo berangkat, Papa pasti udah nungguin.”


Jevan membawa mobil hitam kesayangannya melewati pagar hitam tinggi yang terbuka secara otomatis. Laki-laki itu kemudian memakirkan mobilnya di barisan paling tepi di sebelah jajaran mobil mewah ayahnya.

Alexander menyambut di muka pintu. Tersenyum ramah dengan kedua tangan terbuka menyambut Jelena yang berlari ke dekapannya dengan hangat.

“Om Alex sehat-sehat aja kan selama di sana?”

“Iya, Nak. Om sehat.” Alexander mengelus pelan punggung gadis yang dicintai anaknya itu.

“Perjalanan bisnisnya lancar Om?”

“Lancar sekali, semuanya berjalan seperti yang Om mau. Nanti Om mau telfon Papamu, dia harus coba bisnis di bidang ini juga.”

“Wah, Papa pasti seneng dikasih ide bisnis baru.”

Alexander tertawa, kemudian dia mengendurkan pelukan. “Masuk yuk, Om kasih lihat oleh-oleh yang Om bawa.”

Jevan memandangi mereka dengan wajah datar. Padahal di dalam hatinya dia bersorak senang. Meskipun ayahnya sama sekali tidak menyapa dan menganggapnya seolah tidak ada sana, Jevan tidak keberatan.

Toh, dia juga sebenarnya tidak terlalu senang bertemu dengan ayahnya.

Di ruang tamu, berjajar beberapa kotak dan tas belanja dengan nama brand terkenal di bagian depannya. Jika Jelena tidak salah hitung, ada lebih dari sepuluh brand yang berbeda di sana.

“Ini semua untuk Elena. Ayo Nak dilihat, semoga kamu senang.”

“Yang untuk Jevan Om?”

“Oleh-oleh Jevan sudah Om simpan di kamarnya.”

Setelah mendengar itu Jelena lega. Jelena tidak ingin Jevan merasa diabaikan.

Jelena menyentuh salah satu kotak yang paling dekat dengan dia. “Ini semua untuk Elena Om?”

“Ya, itu semua Om beli untuk kamu, dengn bantuam beberapa tenaga profesional. Om tunjukan foto kamu dan jelaskan beberapa prefensi fashion yang kamu suka. Dan ini semua rekomendasi terbaik dari mereka.”

Jelena takjub. Ini bukan yang pertama kali, tapi ia tetap merasa takjub sekaligus bersyukur.

Di kotak pertama, Jelena mendapat sepasang sepatu.

“Om, ini beneran buat Elen? Sepatunya cantik sekali Om.”

Beautiful shoes belongs to beautiful girl.”

“Sini gue pakein.”

Jevan meraih sepasang sepatu ber-hak tujuh cm dari tangan Jelena dengan lembut. Kemudian dia berlutut di hadapan Jelena yang tengah duduk di sofa, berdampingan dengan Alexander. Dengan telaten, dia memasangkan sepatu itu. Sepatu cantik berwarna hitam pekat dengan hiasan kristal di bagian atasnya terlihat begitu serasi dengan sepasang kaki Jelena yang putih bersih.

Jevan mengaguminya.

Jelena memang cantik dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Tanpa terkecuali.

Perasaan ingin memiliki gadis itu kembali menyeruak.

“Nanti tugas Jevan yang akan mengajak kamu pergi ke tempat-tempat indah dengan sepatu itu, Elena.”

“Siap, Tuan Jevan?” tanya Jelena meledek.

“Selalu siap, Tuan Putri Elena.”

Dari sekian banyak aroma wangi-wangian di muka bumi, entah kenapa aku justru jatuh pada aroma tubuh seseorang. Aku sering memaki diriku sendiri. Kenapa bukan aroma bunga yang membuatmu mabuk? Kenapa bukan aroma kue yang baru keluar dari pemanggang yang kau gandrungi? Kenapa pula bukan aroma minyak wangi yang sering kau semprotkan dari ujung kepala hingga ujung kaki? Kenapa? Kenapa justru aroma tubuh seseorang yang sedang tidur di pangkuanmu ini yang ingin kau nikmati tiap hari?

Tidak ada habisnya aku memaki diriku sendiri. Tapi si bodoh ini tetap saja mengikuti kata hati.

Otakku tidak lagi bekerja tiap kali ada sosok ini di di dekatku. Hatiku selalu mendominasi, membuatku dungu.

Aku menatap lekat pria yang tengah lelap dalam tidurnya itu. Kusentuh pelan garis rahangnya yang tegas, lalu naik untuk menyentuh tulang hidungnya yang tinggi dan mempesona, jari-jari nakalku juga ingin berkenalan dengan alis matanya yang lebat teratur. Aku menyukai semuanya, bukan lagi menyukai bahkan, aku jatuh cinta pada mereka. Sering kali aku mengagumi bagaimana Tuhan meletakkan seluruh komponen indah itu pada satu wajah yang bisa aku tatap tiap hari. Betapa baiknya Ia mengizinkanku menyentuh segala keindahan yang ada pada tubuh seorang Jevander Novanda.

Jevander Novanda, sahabatku, yang kucintai diam-diam. Sahabatku, yang juga dicintai banyak perempuan.

Laki-laki yang sering dipanggil Jevan itu menggeliat pelan. Bulu matanya bergerak-gerak pelan sebelum akhirnya kedua mata indahnya terbuka sempurna. Dia menatapku seraya menyunggingkan senyum.

“Hehehe kelamaan ya gue tidurnya?”

Suaranya masih berat dan serak, khas sekali seperti halnya laki-laki lain ketika mereka baru bangun tidur. Tapi hanya suara berat Jevan yang mampu membutku menelan ludah. Membuatku kehilangan kata-kata hingga hanya memberinya anggukan sebagai jawaban.

Dia bergerak-gerak merenggangkan tubuh untuk kemudian membawa tubuhnya bangkit dari pangkuanku dan berjalan ke arah dapur. Air minum adalah hal pertama yang selalu dia cari ketika bangun tidur.

Selesai dengan urusannya, Jevan kembali duduk di sofa, di sebelahku.

“Kenapa ya El tiap lagi sama lo gue selalu tidur nyenyak? Jangan-jangan lo reinkarnasi dari pil tidur ya?”

Jevan dan ucapannya yang selalu nyeleneh.

“Pulang dari liburan bikin lo tambah jayus ya,” balasku seadanya. Membuatnya terkekeh pelan.

“Tapi serius El, di Jepang gue gak pernah bisa tidur. Padahal siangnya gue jalan-jalan, harusnya gue capek kan, tapi tetep aja mata gue gak mau diajak merem.”

“Karena lo bawa cewek ke hotel kali makanya gak bisa tidur.”

“Gak ada Elena Sayaaaang, gue gak ada bawa cewek ke hotel waktu di Jepang kemaren. Sumpah deh.” Dua jari Jevan terangkat membentuk huruf V. Hal yang selalu dia lakukan ketika dia berusaha meyakinkanku akan ucapannya.

“Makanya harusnya lo kemarin ikut gue ke Jepang, gue yakin deh kalau lo ada di sana sama gue, pasti gue lebih seneng. Kita bisa ke disneyland bareng, kita bisa makan takoyaki bareng, kita bisa tidur bareng, kita bisa....”

Plak

“Apa tuh maksudnya tidur bareng?”

“Ih sakit! Ya maksudnya tidur aja! Tidur sebelahan! Gak ngapa-ngapain! Gue juga gak akan ngapain-ngapain lo kali!” jelas Jevan terburu-buru sembari mengusap sebelah pipinya yang baru saja bersentuhan kasar dengan telapak tanganku.

Aku tidak lagi merepson ucapannya dan memilih untuk ke dapur. Perutku sudah kosong dan minta diisi. Sepertinya satu bungkus mie instan pedas dan satu telur goreng akan cukup untuk mengisinya.

Ah, sepertinya aku harus membuat dua porsi. Laki-laki yang aku dengar langkahnya tengah mendekat itu akan menagih jatahnya.

“Waktu gue disana kemarin, Papa gak telfon gue sama sekali El.”

Aku melirik ke arah Jevan yang menyandarkan dirinya pada pantry.

“Om Alex gak mau ganggu lo, kan lo gak suka diganggu kalau lagi solo trip.”

“Ya iya sih, tapi kan gue anaknya, masa gak sekalipun ngecek keadaan gue sih. Segitu gak pedulinya dia sama gue?”

Aku menghembuskan nafas pelan, berusaha mencari kata-kata yang baik untuk menenangkannya.

He cares, tapi dia punya caranya sendiri untuk nunjukin kepedulian itu.”

“Apa emang caranya? Gue gak ngerasa tuh dia...”

“Gue,” aku menyela, “Om Alex selalu nanyain lo lewat gue.”

Mata Jevan berbinar ketika memandangku. Ada harap dalam binar mata itu. Sebenci apapun Jevan pada ayahnya, dia tetaplah seorang anak laki-laki yang haus akan kasih sayang.

“Om Alex tau kalau kita selalu kontakan, jadi beliau nanyain lo lewat gue. Om Alex selalu cari tau kabar lo, Jevan. Dan beliau selalu bersyukur tiap kali gue bilang kalau lo baik-baik aja.”

Jevan diam. Mungkin tidak menyangka atas semua perkataan yang baru saja aku katakan padanya.

Namun satu hal yang pasti, semburat bahagia tercetak jelas di wajahnya.

Aku memberinya waktu untuk menikmati kebahagiaan itu. Aku kembali berkutat pada makanan kami yang hampir jadi.

Jevan masih terus diam sampai aku membawa satu sendok mie ke depan mulutnya yang masih saja membentuk lengkung senyum.

“Cobain, kepedesan gak? Kalau kepedesan gue bikinin yang lain.”

Masih dengan perasaan riangnya, Jevan membuka mulut. Satu sendok itu masuk ke dalam mulutnya dan dia mengunyahnya pelan. Lalu, perlahan namun pasti, wajahnya memerah.

“HAHHH HAAAHHH HAHHH ELEN PEDES INI PEDES BANGET.”

Seperti seseorang yang kesetanan, dia meraih sebotol air di atas meja, meminumnya hingga tandas.

“Hahh haaahhh Elen ih lo sengaja ya!”

“HAHAHAHHA ENGGAK! GUE KIRA GAK SEPEDES ITU!!!”

“Bohong! Lo pasti sengaja kan! Sini gak lo...”

Aku mengambil langkah menjauh dan berlari. Menghindari Jevan yang seakan akan menerkamku. Kami berkejar-kejaran di ruang tamu apartemenku yang sebenarnya tidak terlalu luas. Membuat beberapa barang berantakan dan bercecran dimana-mana.

“Elen sini gak!”

“Gak mau wooooo wleeee!”

Aku menyukai kami yang ini.

Aku.

Jevan.

Kami berdua.

Kami, dua orang yang memasuki usia dua puluh tahun, yang sedang meraba apa itu arti kedewasaan.

Kami, dua orang yang saling mencintai namun tidak pernah saling mengutarakan.

Kami, yang tidak tahu kapan perasaan ini akan berkahir.

Dan kami...

Yang tanpa kami sadari akan segera dipisahkan olek takdir.

Bunyi pintu yang terbuka membuat aku dan Jevan seketika berhenti.

Seorang laki-laki muncul dengan wajah ramahnya. Menatap kami dan keadaan apartemen yang berantakan secara bergantian.

“Eh sorry gue ganggu ya?” tanya laki-laki itu.

“Enggak kok Kak,” jawab Jevan terengah-engah.

Dia adalah Markio.

Yang aku dan Jevan tidak ketahui akan mengambil peran penting di antara kami.

Seorang gadis muncul dari balik pintu yang baru saja Kayana ketuk dua kali. Wajah gadis itu ramah, senyumnya manis menenangkan, membuat gemuruh pada hati Kayana sedikit mereda.

“Cari siapa ya Kak?” tanya gadis itu pelan.

“Saya cari Clairine,” balas Kayana tenang.

Si gadis yang memang sudah Kayana ketahui namanya sebagai Clairine itu tersenyum lebih lebar lagi. “Saya Clairine, tapi maaf Kakak siapa ya?”

“Saya Kayana, boleh kita bicara sebentar?”

Clairine mengangguk ramah kemudian membuka pintu kamar kosnya lebih lebar, memberi ruang pada Kayana untuk masuk ke dalam kamar kosnya.

“Kak Kayana duduk dulu aja, saya ambilin minum dulu.”

Clairine masih terus bersikap ramah, bahkan gadis itu nampak tidak menaruh curiga sama sekali pada kehadiran Kayana yang begitu tiba-tiba. Padahal, ini baru pertemuan mereka yang pertama.

“Diminum dulu Kak.” Clairine meletakkan air mineral dingin botolan yang baru dia keluarkan dari kulkas kecil yang terletak di salah satu sudut ruangan. Kemudian gadis itu ikut duduk di atas karpet bulu bersama dengan tamunya. “Jadi ada apa ya Kak? Dan... Kakak tau saya dari mana?”

“Raechan..” Kayana menggantungkan kalimatnya, membuat Clairine menyerngitkan kening. “Saya tau kamu dari Raechan.”

“Kak Kayana temen Kak Raechan?”

“Saya mantan pacarnya.”

Kerutan pada dahi Clairine makin nampak, senyum gadis itu juga memudar.

“Maaf, saya tau saya lancang datang kesini tiba-tiba. Tapi saya merasa saya harus datang kesini, untuk kebaikan kamu.”

Daripada Kayana, Clairine terlihat lebih membutuhkan sebotol air untuk menenangkan dirinya. Gadis itu sudah terlihat lemas setelah mendengar penuturan Kayana yang bahkan belum menjelaskan apa-apa.

“Saya dan Raechan sudah berhubungan selama lebih dari setahun, tapi beberapa minggu ke belakang, saya sadar ada yang salah sama tingkahnya. Puncaknya beberapa hari yang lalu, dia bilang ke saya dia mau main sama temen-temennya, tapi ternyata malam itu justru temen-temennya cari dia ke saya.”

Clairine mendengarkan dengan seksama, meskipun bahunya makin merunduk.

“Saya mulai cari tau dan ternyata penyebabnya adalah dia mulai dekat dengan kamu.”

“Kak maaf saya... saya gak tau...”

Kayana tersenyum lembut pada Clairine yang bahkan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya dengan baik.

“Gak papa, gak perlu minta maaf. Saya tau kamu gak tau hubungan saya sama Raechan.”

Jika tadi keramahan Clairine menenangkan Kayana. Kini giliran kelembutan dan ketenangan dalam tutur kata Kayana membuat Clairine lega.

“Kalau boleh tau, udah sejauh apa hubungan kamu sama Raechan?”

“Kita baru sering jalan bareng aja sih Kak. Awalnya saya kenal sama Kak Raechan karena Kak Raechan dateng ke event musik kampus saya. Karena selera musik kita sama, kita jadi lanjut ngobrol dan keterusan sampe sekarang.”

Kayana menyeringai mendengarnya. Dia tahu benar tipikal seperti apa Raechan ketika mendekati perempuan. Dia bahkan tidak sedikitpun menyalahkan Calirine karena dia sendiripun jatuh pada pesona Raechan ketika pria itu mencoba mendekatinya.

Tutur kata manis dan sikap baik Raechan memang selalu mampu meluluhkan hati tiap gadis yang didekatinya. Kayana jadi merasa jijik karena menjadi salah satunya.

“Tapi sumpah Kak, Kak Raechan beneran gak keliatan kalau dia udah punya pacar. Saya bener-bener gak tau.”

“Iya Clairine.”

“Jadi... sekarang Kak Kayana udah putus sama Kak Raechan?” Clairine bertanya takut-takut.

“Iya, tapi saya gak bilang kalau saya mutusin dia karena dia selingkuh.”

“Kenapa Kak?”

Ada seulas senyum tipis menghiasi wajah ayu Kayana sebelum dia menjawab. “Karena saya gak ingin dia merasa menang.”

“Maksudnya Kak?”

“Ada banyak laki-laki yang merasa bangga ketika dia bisa menaklukan dua wanita atau bahkan lebih dari itu sekaligus. Ada banyak laki-laki yang merasa menang ketika dia tau kalau ada dua wanita yang saling memaki satu sama lain sampai lupa kalau yang menjadi sumber masalahnya adalah laki-laki itu sendiri. Saya gak ingin dia merasakan kemenangan itu. Dan lebih dari itu, saya gak ingin kita berdua menjadi dua wanita bodoh yang memperebutkan laki-laki seperti Raechan.”

Sakit hati yang Kayana rasakan akan pengkhianatan Raechan tidaklah main-main. Tapi alih-alih larut dalam kesedihan, wanita dewasa itu memilih untuk menyembuhkan dirinya dengan cara yang baik. Tanpa menimbulkan keributan, tanpa menarik perhatian, tanpa saling melempar aib keburukan. Karena satu hal yang Kayana teladani, ketika dua orang dipertemukan dan pernah saling membahagiakan. Maka mereka harus berpisah dengan kedewasaan.

“Saya datang kesini bukan untuk maksa kamu ninggalin Raechan seperti yang saya lakukan, saya datang kesini hanya untuk membuat kamu tau kalau Raechan bukan laki-laki yang baik. Saya gak ingin apa yang terjadi sama saya terjadi juga sama kamu. Setelah ini, kamu bebas membuat keputusan terbaik menurut kamu, Clairine.” Kayana bangkit berdiri. “Saya pamit ya.”

Saat Kayana hendak membuka pintu, sebuah ucapan dari Clairine membuatnya berbalik.

“Saya juga akan menjauh dari Kak Raechan, tanpa bilang ke dia kalau saya tau semuanya. Sepertinya, ditinggalkan secara tiba-tiba oleh dua perempuan yang pernah membuatnya merasa begitu menginginkan dia akan cukup membuatnya paham kalau dia tidak sespesial itu.”

Bulan Juni datang lebih cepat dari yang aku perkirakan. Rasanya, baru beberapa hari lalu aku menyambut tahun baru. Larut dalam euphoria apik yang diagungkan seluruh manusia di muka bumi. Dan dalam sekejap mata, bulan Juni menyapa. Membawa anginnya yang terasa basah.

Aku terduduk di suatu ruangan seorang diri. Berkawan sebuah buku naskah dengan judul Bittersweet pada halaman depan. Naskah film yang akan segera dimulai proses produksinya. Naskah film yang diambil dari buku karanganku yang sempat nangkring di rak best seller nomor satu di seluruh toko buku. Naskah yang berisi mimpiku, angan-anganku, kebangaanku. Naskah yang kelak akan aku ceritakan pada para penerusku.

“Mbak Sabitha, Mas Kylo sudah pulang. Dan barusan manajer Mas Gentala bilang lima menit lagi mereka akan sampai. Sementara Mbak Penny lagi istirahat di mobilnya sambil nunggu dipanggil lagi untuk casting sama Mas Gentala.”

Aku mengangguk seraya tersenyum kala Mbak Tari-Casting Manager rumah produksi tempat aku mempercayakan karyaku- membawa kabar mengenai aktor dan aktris yang akan menjadi pemeran dari karakter dalam karyaku itu.

Salah seorang dari mereka yang bernama Kylo Noah Salim telah melakukan uji coba untuk peran Garend, tokoh utama dalam novel Bittersweet, seorang dokter residen berusia 26 tahun. Namun sayang sekali, dia masih tampak terlalu muda untuk karakter itu. Lalu setelah ini, seorang aktor lain bernama Gentala Harold Hastanta akan melakukan uji coba untuk karakter yang sama. Aku menaruh harapan besar pada Gentala karena dia memiliki aura Garend pada dirinya.

“Selamat siang.”

Lamunanku lenyap kala seorang pria dengan tubuh tegap yang aku perkirakan tingginya 177cm masuk ke dalam ruangan. Dari wajahnya, aku melihat keramahan dan ketenangan sekaligus. Laki-laki bernama Gentala itu juga tampak percaya diri, mungkin karena didukung pakaian yang membuatnya terlihat baik.

Tipikal laki-laki yang akan menjadi pusat perhatian seklipun dia tidak mencoba untuk menarik perhatian.

“Saya Gentala Harold.”

Dia mengulurkan tangan, menungguku menyambutnya. Namun si bodoh ini justru tak kunjung menjabat uluran tangan itu.

“Hei, melamun?” tanyanya seraya melambaikan tangan tepat di depan wajahku, membuatku mengerjap beberapa kali.

“Eh, hai, maaf hehehe, saya Sabitha, Sabitha Karen.”

“Saya tahu, saya juga pembaca Bittersweet makanya saya sangat tertarik ketika manajemen menawarkan project ini.”

“Oh? Terimakasih,” ucapku gugup. Aneh rasanya mendengar bahwa dia adalah pembaca karyaku. Aku meraba-raba, seharusnya dia sudah tahu karakter macam apa Garend itu.

“Jadi... bisa kita mulai castingnya? Mungkin ada request tertentu saya harus mencoba scene yang mana?”

Aku diam sebentar, menimbang-nimbang. Dari seluruh bagian cerita, aku paling menyukai scene dimana Garend dan Adzkiya sedang berdiri berhadap-hadapan di kaki bukit dan sunset menjadi latar waktu mereka. Aku sangat ingin melihat bagaimana Gentala akan merealisasikan tatapan penuh cinta yang diberikan Garend pada Adzkiya sore itu.

“Boleh yang scene di kaki bukit aja kali ya? Tapi itu harus sama Adzkiyanya... ah sebentar, biar saya panggil Mbak....”

“Boleh saya coba sama kamu dulu aja gak?” Gentala menyela, “kamu kan penulisnya, kamu yang paling tau nantinya saya cocok atau enggak untuk karakter Garend.”

“Boleh.”

Tidak ada alasan untuk tidak menyetujui usulan Gentala.

Kami berdiri berhadap-hadapan, aku mencoba memanggil karakter Adzkiya untuk masuk ke dalam diriku. Adzkiya yang begitu mencintai Garend. Adzkiya yang hanya memiliki Garend dalam hati dan otaknya.

Sementara laki-laki di hadapanku nampak memejamkan mata. Entah untuk apa. Mungkin melakukan pemanggilan karakter seperti yang aku lakukan. Lalu saat aba-aba action terdengar, Gentala membuka mata. Menatapku dengan penuh cinta. Mengunci kornea mataku agar hanya menatapnya. Aku benar-benar merasa dicintai. Diterima. Dipuja. Tatapannya membuatku merasakan seluruh perasaan indah yang bisa diberikan oleh hamba Tuhan.

“Jangan nangis, aku sabar kok.” Gentala mengucapkan dialognya dengan fasih, penuh perasaan dan pengucapan yang lugas tanpa terbata. Lalu dia maju selangkah, mengikis jarak di antara kami. Tangannya terangkat sebelah dan mendarat di sisi pipi kananku. “Adzkiya, aku gak akan kemana-kemana.”

Setelah itu, yang aku ingat hanyalah dekapannya yang hangat.

Sebagai seseorang yang telah lama tidak mengenal cinta kecuali dari karakter fiksi, aku seperti tersadarkan bahwa sebuah sentuhan dari sosok nyata bisa memberikan efek senyaman ini. Membuatmu mendambakan sesuatu yang lebih.

Namun....

Cut

Tepat saat aba-aba itu, Gentala menarik diri. Membuat kulitku terasa digerayangi angin dingin bulan Juni karena tidak lagi berada dalam dekapannya.

“Sekarang boleh panggil yang jadi Adzkiyanya ya, biar saya coba sama dia.”

Salah seorang dari tim casting mengangguk dengan semangat dan keluar ruangan untuk menemui Penny Kimberly, aktris yang dipilih untuk membawakan karakter Adzkiya.

“Semoga acting saya sesuai gambaran Garend yang kamu ciptakan ya, Sabitha.” Gentala tersenyum ramah, meninggalkan diriku yang diam tidak merespon.

Mataku mengikuti dirinya yang berjalan ke arah pintu masuk, menyambut seorang gadis cantik yang tengah sibuk membuka ikatan rambutnya. Gadis itu tampak anggun dengan gaun berwarna putih tulang selutut dan flat shoes berwarna cream. Visualisasi sempurna untuk Adzkiya.

“Mbak Sab, sekarang Mbak Sab liat Mas Gentala sama Mba Kimberlynya acting ya.”

“Oke Mbak.”

“Mau adegan yang mana?” Gentala bertanya pada Kimberly, sementara si gadis yang ditanya langsung membuka salah satu halaman dalam naskah.

“Yang ini aja kali ya Tal? Yang dokter Garend ngeliat Adzkiya untuk pertama kali?”

Gentala menyetujui, lalu dia bersiap-siap di posisinya.

Scene yang dimaksudkan Kimberly adalah scene dimana Adzkiya tengah meletakkan bunga di salah satu kamar rawat dan Garend menatapnya dari jauh.

Action.”

Kimberly memulai actingnya, meletakkan setangkai bunga mawar di atas nakas lalu menatap sofa seolah itu adalah ranjang pasien. Sementara dari tempatnya duduk, mata Gentala mengawasi tiap gerakan Kimberly. Dengan sabar. Dengan kekaguman. Selayaknya Garend yang jatuh cinta pada Adzkiya sejak pandangan pertama.

Pada detik itu aku menyadari bahwa Gentala Harold Hastanta adalah seorang aktor yang baik. Actingnya bahkan sempat membuatku lupa daratan karena terasa begitu nyata. Membuatku merasa bahwa dia benar-benar mencintai aku. Membuatku hampir lupa bahwa saat itu kami adalah Garend dan Adzkiya.

Lalu akhirnya, saat kata cut kembali terdengar, aku berbisik pada Mbak Tari,

“Mbak, mereka adalah Garend dan Adzkiya yang aku mau.”