One and Only
Beautiful place belongs to something beautiful.
Markio lupa pernah mendengar ungkapan itu dari mana, namun sejak mendengarnya, dia tidak pernah lupa.
Ungkapan yang cantik.
Ungkapan yang membuatnya membawa Jelena ke sebuah padang rumput di sisi bukit pinggiran kota, Ayu Laga namanya. Tempat itu jauh dari hingar bingar perkotaan, udaranya bersih karena letaknya jauh terpinggirkan, orang-orangnya ramah dan santun. Tipikal tempat yang ingin dijadikan sebagai tempat menenangkan diri.
Markio tahu tempat ini dari Garend, seniornya di Fakultas Kedokteran. Laki-laki yang merupakan kakak kandung salah satu sahabatnya itu berdinas di rumah sakit yang berada daerah kecil ini.
Namun tujuan utama Markio bukanlah padang rumput itu, melainkan sebuah panti jompo yang berjarak tidak begitu jauh dari sana. Karenanya, setelah merasa Jelena puas menikmati keadaan padang rumput dengan tatanan alam yang apik, Markio mengajaknya berjalan ke panti jompo.
Gedung panti jompo bernama Panti Jompo Karim itu tidak terlalu besar. Ukurannya hanya seperti rumah pada umumnya, dengan teras asri berhiaskan berbagai macam bunga dan tumbuhan bonsai. Ketika masuk ke dalam, langsung terlihat sebuah area makan dengan meja panjang dan kursi yang berjajar rapi. Dekat dengan meja makan, terdapat dapur bersih dengan peralatan masak yang tertata di tempatnya. Lalu ketika mengintip ke sayap kanan rumah, bisa terlihat area santai yang berisi sofa-sofa nyaman dan sebuah rak buku yang penuh dengan berbagai judul. Di sayap kiri rumah, berisi lemari pakaian dan dua meja rias yang mengkilap bersih. Kamar penghuni panti jompo berada di area belakang, dihubungkan oleh lorong.
“Mas Kiyo.” Suara lembut itu terdengar dari belakang. Markio dengan sigap berbalik dan mendapati seorang ibu dengan senyum ramah tengah berjalan ke arahnya. Di tangan ibu itu terdapat keranjang rotan yang penuh dengan bunga segar yang tampak baru saja dipetik.
“Mas Kiyo sudah lama? Kenapa tidak masuk saja?” ibu itu bertanya ketika sudah tiba di hadapan Markio.
“Baru aja saya mau panggil Bu Asri, soalnya sepi banget saya gak enak mau masuk.”
“Oalaaah, masuk saja gak papa Mas harusnya. Iya sepi, soalnya nenek-nenek semua lagi belajar ngerangkai bunga sama Mbak Adzkiya di aula desa.”
“Bu Asri juga dari sana?”
“Iya, Ibu juga dari sana. Tapi pulang duluan soalnya mau masak untuk makan malam,” Bu Asri menjelaskan dengan lembut, “ngomong-ngomong Mas Kiyo bawa siapa? Cantik sekali.”
“Ini Jelena Bu.”
“Pacar?”
“Masih calon.”
Semburat malu-malu menghiasi wajah Jelena. Gadis itu meraih tangan Ibu Asri untuk dia cium.
“Terimakasih sudah mau datang jauh-jauh kesini Mbak Jelena. Selamat datang di Ayu Laga, yahh beginilah pedesaan, sepi.”
“Tapi bikin tenang, Bu. Nyaman sekali ada di sini.”
“Betul sekali, itu juga yang selalu dikatakan oleh Mas Kiyo. Ya sudah ayuk kita minum teh di dalam.”
“Makasih Bu tawarannya, tapi kalau boleh, saya mau ajak Jelena untuk lihat-lihat ke aula aja.” Markio menolak dengan halus.
Bu Asri tersenyum lagi, kemudian berkata,
“Tentu saja boleh, silahkan Mas, Mbak, silahkan.”
Atas izin itu, mereka berdua kembali berjalan ke arah aula. Dari jendela kaca yang berukuran besar, mereka bisa melihat ke dalam dengan jelas. Di sana, beberapa orang wanita berusia lanjut tengah sibuk merangkai bunga, dibimbing seorang wanita muda yang familiar di mata Markio dan Jelena.
“Panti Karim ini khusus perempuan, mereka semua adalah perempuan-perempuan baik yang secara kasar dibuang oleh keluarganya.” Markio berbicara sambil terus menatap ke arah dalam. “Ada yang diantarkan kesini oleh anaknya sendiri, anak yang diantarkan oleh suaminya yang mau menikah lagi, bahkan ada yang datang ke tempat ini seorang diri karena merasa udah gak dihargai lagi oleh keluarganya.”
“Jahat,” Jelena mendesis.
“Iya El, dunia ini emang terlalu jahat untuk mereka. Makanya gue bersyukur ada Panti Karim, karena disini mereka diperlakukan dengan baik.”
“Kak Kiyo udah sering ya dateng kesini?”
“Tiga bulan sekali, bareng Kak Garend, untuk cek kesehatan mereka.”
Jelena mengangguk mengerti. Matanya masih menatap lekat pada indahnya pemandangan di dalam aula. Kali ini, para nenek tampak sedang memamerkan hasil rangkaiannya pada Adzkiya.
“Gue gak pengen lo berakhir disini El. Sebaik-baiknya tempat ini, gue gak ingin lo berakhir disini.”
Ucapan Markio membuat Jelena melemparkan tatapannya pada laki-laki itu secara cepat.
“Gue pengen ngehabisin masa muda sampai masa tua gue sama lo. Supaya kita bisa duduk berdua di teras rumah kita sendiri. Ini kedengeran aneh sih, karena kita bahkan belum pacaran, kita juga belum dapet izin dari papa lo. Tapi tiap kali gue dateng kesini, gue selalu inget sama lo. Gue gak ingin lo jatuh ke tangan orang yang salah dan berakhir seperti mereka.”
Markio membalas tatapan Jelena.
“Gue... gue merasa percaya diri kalau gue bisa ngejaga lo sampe akhir. Gue belajar ini dari Raechan, rasa percaya diri itu adalah rasa yang harus gue pegang seumur hidup. Karena laki-laki, mereka harus percaya sama diri mereka sendiri. Gue percaya diri Elena, perempuan sebaik lo cuma bisa dijaga sama laki-laki seperti gue.”
Markio mengeluarkan cincin dari sakunya.
“Jelena Ayunanda Iskandar, do you want to enjoy every sunset in our backyard together with me?”
Jelena tertegun, itu bukan pernyataan cinta biasa. Itu bukan hanya pernyataan cinta dimana Markio memintanya menjadi kekasih laki-laki itu. Dalam kalimat itu, ada makna tersirat yang penuh dengan keseriusan. Yang membuat Jelena merasa diyakinkan dengan penuh. Dengan utuh. Tanpa keragu-raguan.
Segala rasa yang sudah Markio berikan padanya selama ini adalah perasaan yang jelas. Bukan perasaan abu-abu seperti yang selalu diberikan oleh seorang laki-laki lain yang selalu berkata bahwa dia mencintai Jelena.
Markio tidak pernah ingkar. Markio tidak pernah mengecewakan. Markio tidak pernah menebar luka.
Berangkat dari perasaan itu, Jelena akhirnya berkata yes i do dengan mantap. Gadis itu juga mengulurkan tangannya agar Markio bisa memasangkan cincin indah itu ke dalam jari manisnya.
Pada akhirnya, seorang gadis akan selalu memilih laki-laki yang tidak membuatnya ragu dan bertanya-tanya. Pada akhirnya, seorang gadis akan memilih laki-laki yang menjadikannya satu-satunya.