Brotherhood

Brotherhood : a belief in or a feeling of cooperation and unity among men.

Seorang pelayan sedang sibuk meletakkan beberapa gelas bening berisi cairan merah juga beberapa piring berisi makanan ringan. Salah seorang dari mereka yang tengah dilayani oleh si pelayan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dalam dompet dan meletakkan uang tersebut ke atas nampan.

“Makasih Mas Jevan, nanti kalau ada tambahan silahkan panggil saya aja ya,” ucap si pelayan yang kemudian pamit untuk melayani tamu yang lain.

Dentingan gelas yang diadu mengisi ruangan dan memeriahkan suasana, beriringan dengan lantunan musik live band yang terdengar dari salah satu sudut cafe.

Sore ini, Jevan dan kawan-kawannya kembali mengunjungi salah satu cafe yang berada tidak terlalu jauh dari sekolah mereka. Cafe yang mereka anggap paling nyaman karena memiliki nuansa tenang dan homey. Tempat duduk yang mereka pilih tidak pernah berubah, yaitu dua sofa panjang di paling ujung ruangan. Satu-satunya tempat yang ditandai dengan smoking area.

“Ntar gue balik duluan ya, mau jemput Elen,” ucap Jevan setelah menyesap minumannya.

“Pak Abidin makan gaji buta Jep lama-lama,” komentar Juan merujuk pada supir pribadi yang ditugaskan oleh orang tua Jelena untuk menjaga putri semata wayang mereka.

“Biarin, hahaha. Malah rencananya, gue mau ngomong ke Papanya Elen supaya Pak Abidin ditarik ke rumah lagi aja pas Elen udah lulus SMA. Biar gue aja yang jagain Elen di sini.”

“Emang bakal boleh?” tanya Raechan ragu.

“Kalau gue jaminannya mah Papanya Elen pasti ngebolehin,” jawab Jevan mantap.

“Gak tau aja tuh Om Iskandar sebajingan apa kelakuan lo sebenernya.” Jaenandra bersuara dan langsung mendapat anggukan mantap dari kawan-kawannya yang lain.

Sementara Jevan, laki-laki muda itu hanya tertawa mengiyakan.

Asap rokok mulai mengepul ke udara berbarengan dengan mulai kosongnya gelas dan piring di hadapan mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, itu artinya terhitung dua jam sejak mereka datang kesini.

Cafe mulai ramai, kursi kosong sudah tidak terlihat lagi. Namun hal itu tidak membuat mereka ingin segera meninggalkan cafe karena Audore Cafe sudah seperti rumah kedua bagi mereka.

“Oy, sorry telat. Macet gila kaya mau nangis gue.” Markio muncul dari balik punggung Raechan, laki-laki yang lebih tua setahun di antara kawan-kawannya yang lain dan sudah menyandang gelar mahasiswa itu menyambar gelas milik Raechan yang isinya hanya sisa seperempat. “Gila ya, kenapa gue dulu pengen jadi dokter sih? Nyesel nih gue.”

“Kalau mau keluar belum telat loh Kak, belum ada setahun kan,” gurau Raechan yang langsung dihadiahi toyoran pelan.

“Duit bokap gue udah terlanjur masuk tapi Nyet.” Sekarang Markio menyambar kentang goreng. “Terus kalian jadinya gimana? Minggu depan kan udah ujian akhir nih, terus abis itu mulai daftar kuliah, jadinya pada mau masuk apa?”

“Gue fix Hospitality and Tourism Management sih, udah disetujuin Mama Papa juga.”

Markio mengacungkan jempol pada Raechan. “Mantap, prospeknya bagus tuh. Bokap lo kan juga punya perusahaan Tour and Travel Rae.”

“Nah itu makanya.”

“Gue bakal nyoba masuk hukum sih, semoga bisa.” Ada keraguan dalam suara Juan.

“Bisa kok Wan, tenang aja. Nilai lo kan aman.”

“Mudah-mudahan. Lo gimana Jaen?”

“Gue sesuai yang gue mau sih, teknik, teknik apanya belum mantep tapi. Dipikir sambil jalan aja.” Jaenandra menyandarkan punggungnya pada sofa. Sudah lebih dulu merasa lemas membayangkan mimpinya sendiri.

“Lo Jev?”

Yang ditanyai hanya diam, tatapannya tertaut pada gelas kaca yang dia goyang-goyangkan padahal isinya sudah kosong.

“Jev?” tegur Markio sekali lagi.

“Gue mau nekat ambil musik. Tapi gue takut mati digebukin bokap gue. Gue salah gak sih kalau perjuangin mimpi gue?”

Jaenandra, yang duduk paling dekat dengan Jevan merangkul bahunya. Menepuknya beberapa kali guna mengirimkan kekuatan.

“Gak Jev, masa depan lo, mimpi-mimpi lo, itu punya lo sendiri. Lo punya hak untuk memperjuangkannya. Lo punya gue, lo punya mereka, kita yakinin bokap lo bareng-bareng ya.”

Jevan mengangguk mantap. Merasa teryakinkan bahwa dia punya hak untuk meraih mimpi-mimpinya sendiri. Kekuatan yang dikirimkan oleh kawan-kawannya menambah keyakinannya.

Jevan bersyukur, meskipun Tuhan telah mengambil Ibunya, tapi Sang Maha Pemberi Hidup mengirimkan empat sahabat sejati yang mengisi ruang kosong atas kepergian wanita yang ia cintai.

Suasana haru itu tidak berlangsung lama karena suara ramai tiba-tiba menyapa meja mereka. Seorang anak remaja yang seumuran dengan Jevan duduk di sebelah Raechan dengan sok akrab.

“Rae, lo temennya Jelena kan? Kenalin lah, gue udah merhatiin dia dari lama. Cakep banget.”

Belum sampai Raechan menjawab, tiba-tiba Jevan berdiri dari duduknya dan meraih kunci dari atas meja. Sementara sebelah tangannya yang lain memegang ponsel hitam yang menempel di telinganya.

“Halo Elen? Selesai satu jam lagi ya? Yaudah gue jalan sekarang aja deh, takut macet,” ucapnya pada seseorang di seberang telepon.

“Gue cabut ya, mau jemput Elen,” katanya berpamitan. Jevan lalu berjalan melewati si laki-laki sok akrab sembari berkata, “Kalau lo udah merhatiin Elen dari lama, harusnya lo tau kalau kesempatan lo buat deketin dia tuh gak ada.”

Jevan berlalu, meninggalkan kawan-kawannya yang menahan tawa dan laki-laki sok akrab yang menunduk lemah.