Once.

Seorang gadis tengah duduk dengan gelisah di atas ranjang berukuran dua kali lipat lebih lebar dari yang biasanya dia gunakan. Gemericik air di kamar mandi bersahut-sahutan dengan desahan nafasnya yang tidak beraturan. Kedua tangannya saling mengait gugup. Dalam hatinya dia memaki dirinya sendiri karena menjadi serapuh ini.

Joana, gadis berusia awal dua puluhan, seorang blasteran Indonesia – Korea yang menuruni segala kecantikannya. Rambut hitam lebat panjang, mata indah kecoklatan, hidung mungil dengan tulang tinggi, serta bibir tebal dengan warna kemerahan alami.

Joana memiliki segalanya untuk bisa memikat paling tidak lima pria di tempat manapun dia berada. Layaknya malam ini, dia didekati setidaknya sepuluh pria tampan di bar yang sering dia kunjungi. Namun gadis itu memilih seorang pria yang seusia dengannya, yang dianggapnya paling menonjol di antara yang lain, satu-satunya yang membuatnya gugup.

Joana menelan ludah kala pria itu keluar dari kamar mandi. Nampak segar usai mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma sabun segar menisik hidung si gadis. Sedikit mengganggu karena rasanya Joana ingin cepat-cepat menarik pria itu ke atas ranjang bersamanya. Menelusuri tubuh pria itu dengan tangannya, bibirnya, atau dengan segala yang ada pada dirinya. Joana ingin melenyapkan segala kegugupannya dengan bercinta bersama Jevan. Jevander Novanda.

Jevan menyadari keinginan bergejolak Joana melalui gerak-gerik gadis itu. Jevan sudah berpengalaman dengan gadis-gadis, dia memahami segalanya.

“Kamu mau mandi dulu atau enggak?” tanyanya mengulur waktu. Ingin membuat Joana makin dibakar gairah.

“Engg... enggak usah Van.”

Jevan tersenyum simpul, dengan sengaja dia membuka bathrobe yang tadi dikenakannya. Membiarkan satu-satunya proteksi akan dirinya itu tersungkur di lantai.

Joana tersedak kemudian memahan nafas akan apa yang dilihatnya. Wajahnya memerah seperti udang rebus. Di hadapannya, Jevan berdiri tanpa sehelai benangpun melindungi tubuhnya yang kekar.

“Kalau gitu kita langsung aja.” Tatapan Jevan menghujani Joana dari atas hingga bawah. “Mau buka sendiri atau aku bukain?”

Si gadis tertegun sekali lagi. Biasanya, pria-pria yang ditidurinya tidak akan menanyakan hal seperti ini. Hal baru ini membuatnya merasa aneh—tapi juga makin bergairah.

Joana memilih untuk tidak menjawab. Jari-jari tangannya bekerja sama untuk melucuti pakainnya satu persatu. Di bawah tatapan Jevan yang nampak menikmati tiap gerakan yang Joana lakukan.

Beautiful,” lirih Jevan kala Joana sudah berdiri di hadapannya dengan keadaan sama polosnya.

Perlahan, Jevan bergerak mendekat. Mengikis jarak anatara dirinya dengan Joana. Lalu, saat gadis itu sudah berada dalam radarnya, dia mengunci Joana dengan ciuman memabukkan. Lembut namun dominan. Membuat Joana tersentak hingga lupa membalas ciuman itu.

Saat Jevan menyadari gadis itu tidak memberi balasan, dia memundurkan wajah, mengelus pipi Joana dengan sebalah tangan. “Hei, kenapa? Aku terlalu kasar ya? Atau gimana? Coba bilang kamu suka ciuman yang seperti apa, nanti aku lakuin.”

Sungguh, kini Joana paham kenapa dia sering mendengar nama Jevan keluar dari bibir teman sepergaulannya.

“Atau kalau kamu gak nyaman sama aku, kita bisa berhenti.”

Pria ini, dia tahu cara meluluhkan wanita.

“Enggak, aku cuma... kaget aja.”

Cute,” desis Jevan pelan sebelum kembali melumat bibir Joana.

Bunyi kecapan beradu dengan deru nafas menggubu dua insan yang tengah saling meraba dan melumat. Jevan sudah membawa Joana ke atas ranjangnya yang besar dan kokoh. Mengunci tubuh indah Joana dengan lengannya yang kekar.

Ciuma Jevan turun ke leher, membelai dengan lihai. Namun pria itu tidak meninggalkan sedikitpun jejak—begitulah Jevan, dia hanya ingin kesenangan, tanpa komitmen. Itulah kenapa dia berusaha tidak meninggalkan bekas apapun pada tubuh tiap perempuan yang ditidurinya.

Desahan nikmat mengudara kala Joana merasakan gigitan kecil pada putingnya yang menegang. Sebelah tangan Jevan bermain di payudara kirinya sementara bibir pria itu menjelajah payudara kanannya. Pergerakan Jevan membuat sesuatu di bawah sana terasa basah. Mendesak dan menuntut lebih. Joana berusaha meraih kejantann Jevan namun ditahan.

“Jangan Sayang, belum waktunya.”

Joana hendak protes, namun bibir Jevan lebih dulu mendarat di pusat dirinya. Mencecap, menjilat, membelai dengan bibir dan lidahnya. Sekitar kewanitaan Joana juga tidak luput dari belaian kasih Jevan. Dikecupinya kedua paha mulus Joana sebelum kembali bermain dengan kewanitaan wanita itu.

Joana kelimpungan. Rasanya nikmat sekali. Dia sering bercinta, namun tidak pernah sehebat ini.

“Cantik, cantik sekali, Joana.” Jevan berucap di sela belaiannya, membuat Joana makin menggila.

Pinggul Joana bergerak-gerak gelisah, berusaha mendekatkan kewanitaannya sedekat-dekatnya dengan bibir Jevan yang sebenarnya tidak pernah kemana-mana.

“Jevan... tolong, lebih dalam.”

Mendengar itu, Jevan bangkit. Diposisikan kewanitaan Joana tepat di hadapan kejantanannya. Kedua paha Joana dia pangku, dia lebarkan hingga dia bisa melihat seluruh keindahan yang ada pada diri gadis yang ditidurinya itu.

“Coba rasain, kamu lebih suka yang mana.”

Jevan memasukkan satu jarinya ke dalam lubang kenikmatan Joana, bergerak teratur, maju dan mundur. Berulang-ulang. Lalu perlahan dia memasukkan jarinya yang lain, juga menambah kecepatan.

Sungguh, Joana ingin berteriak meminta ampun sekarang. Rasanya begitu nikmat hingga dia kelabakan.

Tidak berhenti disana, Jevan mengganti jarinya dengan kejantanannya yang telah menegang. Dia gesekkan kepala penisnya ke bibir vaniga Joana. Perlahan-perlahan, perlahan-perlahan.

“Begini Sayang? Kamu suka?”

“Yaa Van, begitu, tapi masukin sekalian aja Van,” rintih Joana tidak tahan lagi.

Beg for me Joana Larasati.”

“Aku mohon Van, fuck me, fuck me hard. Fuck me like I'm a whore.”

Senyum kemenangan tergambar jelas di wajah Jevan. Pria itu akhirnya menuruti keinginan Joana. Dia mengujamkan penisnya hingga Joana merintih kenikmatan. Temponya pas, tidak terburu-buru dan tidak terlalu lambat. Dia menyentuh seluruh titik vital Joana.

Semua gadis yang ditidurinya tidak pernah memberinya perintah sepeti harder atau faster karena Jevan lebih tahu dari mereka apa yang harus dia lakukan. Tiap kali bercinta Jevan tidak pernah mendengar perintah, dia hanya mendengar erangan putus asa akan kebutuhan sex dari semua gadis-gadis itu.

Jevan membalikkan posisi, dia menuntun Joana untuk menungganginya. Dia ingin bersantai, sambil menikmati payudara Joana yang bergelayut bebas beriringan dengan makin keras hentakannya. Dia juga bisa memandangi wajah Joana yang menikmati tiap sentuhan yang dia berikan.

“Van, AAAHHH AHHHH, I'm coming Van.”

Jevan membantu Joana mempercepat gerakannya dan menopang tubuh gadis itu yang akhirnya roboh setelah pelepasan panjang. Joana melenguh kenikmatan, meraba-raba wajah Jevan untuk menemukan bibirnya.

Lalu mereka berciuman lagi, kali ini lebih intim dari sebelumya. Joana merasa dicintai akan ciuman itu, tapi Jevan hanya ingin pemuas nafsu.

Tidak heran, setelah selesai, Jevan langsung masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari sentuhan Joana. Dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Saat selesai dari urusannya, Jevan duduk di sofa dan memamdangi Joana yang belum mengenakan pakaiannya.

“Abis ini lo gue anter balik.”

“Loh kenapa? Aku mau nginep Van, siapa tau besok pagi kita bisa...”

“Gue gak pernah tidur dua kali sama cewek yang sama.”

Ya, itu lah Jevan, Jevander Novanda.