Us. Kami.
Dari sekian banyak aroma wangi-wangian di muka bumi, entah kenapa aku justru jatuh pada aroma tubuh seseorang. Aku sering memaki diriku sendiri. Kenapa bukan aroma bunga yang membuatmu mabuk? Kenapa bukan aroma kue yang baru keluar dari pemanggang yang kau gandrungi? Kenapa pula bukan aroma minyak wangi yang sering kau semprotkan dari ujung kepala hingga ujung kaki? Kenapa? Kenapa justru aroma tubuh seseorang yang sedang tidur di pangkuanmu ini yang ingin kau nikmati tiap hari?
Tidak ada habisnya aku memaki diriku sendiri. Tapi si bodoh ini tetap saja mengikuti kata hati.
Otakku tidak lagi bekerja tiap kali ada sosok ini di di dekatku. Hatiku selalu mendominasi, membuatku dungu.
Aku menatap lekat pria yang tengah lelap dalam tidurnya itu. Kusentuh pelan garis rahangnya yang tegas, lalu naik untuk menyentuh tulang hidungnya yang tinggi dan mempesona, jari-jari nakalku juga ingin berkenalan dengan alis matanya yang lebat teratur. Aku menyukai semuanya, bukan lagi menyukai bahkan, aku jatuh cinta pada mereka. Sering kali aku mengagumi bagaimana Tuhan meletakkan seluruh komponen indah itu pada satu wajah yang bisa aku tatap tiap hari. Betapa baiknya Ia mengizinkanku menyentuh segala keindahan yang ada pada tubuh seorang Jevander Novanda.
Jevander Novanda, sahabatku, yang kucintai diam-diam. Sahabatku, yang juga dicintai banyak perempuan.
Laki-laki yang sering dipanggil Jevan itu menggeliat pelan. Bulu matanya bergerak-gerak pelan sebelum akhirnya kedua mata indahnya terbuka sempurna. Dia menatapku seraya menyunggingkan senyum.
“Hehehe kelamaan ya gue tidurnya?”
Suaranya masih berat dan serak, khas sekali seperti halnya laki-laki lain ketika mereka baru bangun tidur. Tapi hanya suara berat Jevan yang mampu membutku menelan ludah. Membuatku kehilangan kata-kata hingga hanya memberinya anggukan sebagai jawaban.
Dia bergerak-gerak merenggangkan tubuh untuk kemudian membawa tubuhnya bangkit dari pangkuanku dan berjalan ke arah dapur. Air minum adalah hal pertama yang selalu dia cari ketika bangun tidur.
Selesai dengan urusannya, Jevan kembali duduk di sofa, di sebelahku.
“Kenapa ya El tiap lagi sama lo gue selalu tidur nyenyak? Jangan-jangan lo reinkarnasi dari pil tidur ya?”
Jevan dan ucapannya yang selalu nyeleneh.
“Pulang dari liburan bikin lo tambah jayus ya,” balasku seadanya. Membuatnya terkekeh pelan.
“Tapi serius El, di Jepang gue gak pernah bisa tidur. Padahal siangnya gue jalan-jalan, harusnya gue capek kan, tapi tetep aja mata gue gak mau diajak merem.”
“Karena lo bawa cewek ke hotel kali makanya gak bisa tidur.”
“Gak ada Elena Sayaaaang, gue gak ada bawa cewek ke hotel waktu di Jepang kemaren. Sumpah deh.” Dua jari Jevan terangkat membentuk huruf V. Hal yang selalu dia lakukan ketika dia berusaha meyakinkanku akan ucapannya.
“Makanya harusnya lo kemarin ikut gue ke Jepang, gue yakin deh kalau lo ada di sana sama gue, pasti gue lebih seneng. Kita bisa ke disneyland bareng, kita bisa makan takoyaki bareng, kita bisa tidur bareng, kita bisa....”
Plak
“Apa tuh maksudnya tidur bareng?”
“Ih sakit! Ya maksudnya tidur aja! Tidur sebelahan! Gak ngapa-ngapain! Gue juga gak akan ngapain-ngapain lo kali!” jelas Jevan terburu-buru sembari mengusap sebelah pipinya yang baru saja bersentuhan kasar dengan telapak tanganku.
Aku tidak lagi merepson ucapannya dan memilih untuk ke dapur. Perutku sudah kosong dan minta diisi. Sepertinya satu bungkus mie instan pedas dan satu telur goreng akan cukup untuk mengisinya.
Ah, sepertinya aku harus membuat dua porsi. Laki-laki yang aku dengar langkahnya tengah mendekat itu akan menagih jatahnya.
“Waktu gue disana kemarin, Papa gak telfon gue sama sekali El.”
Aku melirik ke arah Jevan yang menyandarkan dirinya pada pantry.
“Om Alex gak mau ganggu lo, kan lo gak suka diganggu kalau lagi solo trip.”
“Ya iya sih, tapi kan gue anaknya, masa gak sekalipun ngecek keadaan gue sih. Segitu gak pedulinya dia sama gue?”
Aku menghembuskan nafas pelan, berusaha mencari kata-kata yang baik untuk menenangkannya.
“He cares, tapi dia punya caranya sendiri untuk nunjukin kepedulian itu.”
“Apa emang caranya? Gue gak ngerasa tuh dia...”
“Gue,” aku menyela, “Om Alex selalu nanyain lo lewat gue.”
Mata Jevan berbinar ketika memandangku. Ada harap dalam binar mata itu. Sebenci apapun Jevan pada ayahnya, dia tetaplah seorang anak laki-laki yang haus akan kasih sayang.
“Om Alex tau kalau kita selalu kontakan, jadi beliau nanyain lo lewat gue. Om Alex selalu cari tau kabar lo, Jevan. Dan beliau selalu bersyukur tiap kali gue bilang kalau lo baik-baik aja.”
Jevan diam. Mungkin tidak menyangka atas semua perkataan yang baru saja aku katakan padanya.
Namun satu hal yang pasti, semburat bahagia tercetak jelas di wajahnya.
Aku memberinya waktu untuk menikmati kebahagiaan itu. Aku kembali berkutat pada makanan kami yang hampir jadi.
Jevan masih terus diam sampai aku membawa satu sendok mie ke depan mulutnya yang masih saja membentuk lengkung senyum.
“Cobain, kepedesan gak? Kalau kepedesan gue bikinin yang lain.”
Masih dengan perasaan riangnya, Jevan membuka mulut. Satu sendok itu masuk ke dalam mulutnya dan dia mengunyahnya pelan. Lalu, perlahan namun pasti, wajahnya memerah.
“HAHHH HAAAHHH HAHHH ELEN PEDES INI PEDES BANGET.”
Seperti seseorang yang kesetanan, dia meraih sebotol air di atas meja, meminumnya hingga tandas.
“Hahh haaahhh Elen ih lo sengaja ya!”
“HAHAHAHHA ENGGAK! GUE KIRA GAK SEPEDES ITU!!!”
“Bohong! Lo pasti sengaja kan! Sini gak lo...”
Aku mengambil langkah menjauh dan berlari. Menghindari Jevan yang seakan akan menerkamku. Kami berkejar-kejaran di ruang tamu apartemenku yang sebenarnya tidak terlalu luas. Membuat beberapa barang berantakan dan bercecran dimana-mana.
“Elen sini gak!”
“Gak mau wooooo wleeee!”
Aku menyukai kami yang ini.
Aku.
Jevan.
Kami berdua.
Kami, dua orang yang memasuki usia dua puluh tahun, yang sedang meraba apa itu arti kedewasaan.
Kami, dua orang yang saling mencintai namun tidak pernah saling mengutarakan.
Kami, yang tidak tahu kapan perasaan ini akan berkahir.
Dan kami...
Yang tanpa kami sadari akan segera dipisahkan olek takdir.
—
Bunyi pintu yang terbuka membuat aku dan Jevan seketika berhenti.
Seorang laki-laki muncul dengan wajah ramahnya. Menatap kami dan keadaan apartemen yang berantakan secara bergantian.
“Eh sorry gue ganggu ya?” tanya laki-laki itu.
“Enggak kok Kak,” jawab Jevan terengah-engah.
Dia adalah Markio.
Yang aku dan Jevan tidak ketahui akan mengambil peran penting di antara kami.