Sepasang Sepatu Baru

Pernahkah kalian merasakan perasaan begitu menginginkan namun juga ingin lari sejauh-jauhnya dari suatu hal?

Jika pernah, mungkin kalian akan bisa mengerti gundahnya hati seorang Jevander Novanda saat ini.

Hatinya bergejolak, meneriakkan nama Jelena dalam tiap detaknya. Namun segala sel dalam otaknya bekerjasama untuk menyuruhnya tahu diri.

Jevan bimbang.

Jevan bingung.

Dalam kegundahan itu dia menatap Jelena yang tengah momoles wajah. Gadis itu, gadis yang bahkan tidak memerlukan sedikitpun koreksi pada wajahnya. Gadis yang hatinya jauh lebih cantik dari rupanya. Gadis yang bahkan untuk mendapatkannya saja Jevan berani bertaruh nyawa.

“Menurut lo bagusan pake warna ini atau warna yang ini Jev?” Jelena bertanya seraya menunjukkan dua pewarna bibir dengan warna yang sebenarnya tidak jauh berbeda.

“Lo sukanya pake yang mana?” Jevan balik bertanya. Mengabaikan perintah hatinya untuk mengatakan bahwa Jelena akan tetap cantik menggunakan kedua warna itu.

“Yang ini sih,” jawab Jelana mengacu pada pewarna bibir dengan warna yang lebih lembut.

“Emang kalau yang satunya kenapa?”

“Ya gak kenapa-kenapa, cuma yang itu bikin bibir gue kering.”

Jevan tersenyum jahil, laki-laki itu meraih dagu Jelena agar fokusnya teralih dari cermin kepadanya.

“Nanti kalau kering, biar gue yang basahin.”

Biasanya gadis-gadis yang Jevan dekati akan tersenyum malu-malu merasa tersanjung.

Namun Jelena bukan satu dari mereka.

“GUE TONJOK LO KALAU BERANI.”

“Hahahaha iya bercanda, gemes banget sih.”

Jevan menggigit lengan putih Jelena pelan. Terlalu gemas dengan ekspresi marah Jelena yang justru membuat gadis itu terlihat kekanak-kanakan.

“Gue gak akan nyentuh lo sembarangan, Elena. Itu janji gue seumur hidup.”

“Halah! Cowok kayak lo mana bisa nepatin janji!” hardik Jelena namun lagi-lagi itu hanya membuat Jevan gemas. Jevan tidak merasa tersinggung sama sekali.

“Udah ah marah-marah mulu, ayo berangkat, Papa pasti udah nungguin.”


Jevan membawa mobil hitam kesayangannya melewati pagar hitam tinggi yang terbuka secara otomatis. Laki-laki itu kemudian memakirkan mobilnya di barisan paling tepi di sebelah jajaran mobil mewah ayahnya.

Alexander menyambut di muka pintu. Tersenyum ramah dengan kedua tangan terbuka menyambut Jelena yang berlari ke dekapannya dengan hangat.

“Om Alex sehat-sehat aja kan selama di sana?”

“Iya, Nak. Om sehat.” Alexander mengelus pelan punggung gadis yang dicintai anaknya itu.

“Perjalanan bisnisnya lancar Om?”

“Lancar sekali, semuanya berjalan seperti yang Om mau. Nanti Om mau telfon Papamu, dia harus coba bisnis di bidang ini juga.”

“Wah, Papa pasti seneng dikasih ide bisnis baru.”

Alexander tertawa, kemudian dia mengendurkan pelukan. “Masuk yuk, Om kasih lihat oleh-oleh yang Om bawa.”

Jevan memandangi mereka dengan wajah datar. Padahal di dalam hatinya dia bersorak senang. Meskipun ayahnya sama sekali tidak menyapa dan menganggapnya seolah tidak ada sana, Jevan tidak keberatan.

Toh, dia juga sebenarnya tidak terlalu senang bertemu dengan ayahnya.

Di ruang tamu, berjajar beberapa kotak dan tas belanja dengan nama brand terkenal di bagian depannya. Jika Jelena tidak salah hitung, ada lebih dari sepuluh brand yang berbeda di sana.

“Ini semua untuk Elena. Ayo Nak dilihat, semoga kamu senang.”

“Yang untuk Jevan Om?”

“Oleh-oleh Jevan sudah Om simpan di kamarnya.”

Setelah mendengar itu Jelena lega. Jelena tidak ingin Jevan merasa diabaikan.

Jelena menyentuh salah satu kotak yang paling dekat dengan dia. “Ini semua untuk Elena Om?”

“Ya, itu semua Om beli untuk kamu, dengn bantuam beberapa tenaga profesional. Om tunjukan foto kamu dan jelaskan beberapa prefensi fashion yang kamu suka. Dan ini semua rekomendasi terbaik dari mereka.”

Jelena takjub. Ini bukan yang pertama kali, tapi ia tetap merasa takjub sekaligus bersyukur.

Di kotak pertama, Jelena mendapat sepasang sepatu.

“Om, ini beneran buat Elen? Sepatunya cantik sekali Om.”

Beautiful shoes belongs to beautiful girl.”

“Sini gue pakein.”

Jevan meraih sepasang sepatu ber-hak tujuh cm dari tangan Jelena dengan lembut. Kemudian dia berlutut di hadapan Jelena yang tengah duduk di sofa, berdampingan dengan Alexander. Dengan telaten, dia memasangkan sepatu itu. Sepatu cantik berwarna hitam pekat dengan hiasan kristal di bagian atasnya terlihat begitu serasi dengan sepasang kaki Jelena yang putih bersih.

Jevan mengaguminya.

Jelena memang cantik dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Tanpa terkecuali.

Perasaan ingin memiliki gadis itu kembali menyeruak.

“Nanti tugas Jevan yang akan mengajak kamu pergi ke tempat-tempat indah dengan sepatu itu, Elena.”

“Siap, Tuan Jevan?” tanya Jelena meledek.

“Selalu siap, Tuan Putri Elena.”