Same Love.

Dalam hidup Jevan, dia hanya akan marah pada dua hal. Pertama, ketika ada yang menyakiti wanita yang dia cintai. Kedua, ketika dia tahu ada yang melukai sahabat-sahabatnya. Dan kejadian yang Jevan dengar pagi ini adalah perpaduan keduanya. Perpaduan paling menyulut amarah yang membuat kepalanya seakan mendidih.

Kevin, bajingan itu dengan dungunya menyentuh Jelena, sahabat sekaligus wanita yang Jevan cintai. Membuat Jelena gemetar ketakutan hingga duduk berjarak dari Jevan dan sahabat laki-lakinya yang lain. Bahkan ketika Markio-kekasihnya-mencoba menenangkan, Jelena beringsut ngeri.

Tolol.

Bodoh.

Pria bernama Kevin itu benar-benar pantas dihakimi.

Jevan keluar dari mobil dan membanting pintu. Menarik atensi beberapa orang yang kebetulan berada di area parkir yang sama dengannya. Tanpa pikir panjang, pria itu berjalan mantap ke arah salah satu gedung fakultas dimana dia yakini ada Kevin di sana.

Dan benar saja, Jevan melihat mangsanya itu tengah duduk bersama teman-temannya yang lain di kantin fakultas. Tampak asyik saling bercanda seolah tidak terjadi apa-apa. Hal itu membuat kebencian Jevan akan pria itu semakin memuncak. Diingatnya kembali bagaimana wajah ketakutan Jelena di studionya tadi.

“Kevin,” desis Jevan geram. Berjalan makin dekat pada mangsanya yang sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

Bug

Brak

Tendangan Jevan tepat mengenai punggung Kevin. Membuat si pria dungu tersungkur ke lantai setelah menabrak meja kayu dengan kencang. Teman-teman Kevin berpencar dengan terkejut, meninggalkan Kevin dengan keterkejutan yang sama.

“Kalau sange tuh bayar cewek bro minimal, atau cari aja cewek yang emang doyan dipegang. Jangan nyentuh cewek sembarangan.”

Sosok Jevan mendekat dengan senyum miring meremehkan. Sementara Kevin masih belum juga bangkit dari posisinya.

Seluruh mata tertuju pada mereka berdua. Tapi Jevan tidak perduli, dia hanya ingin membalas apa yang harus dia balas.

“Lo tau gak? Cewek yang lo pegang sembarangan itu dijaga mati-matin sama orang tuanya, sama cowoknya dan sama sahabat-sahabatnya? Tau gak lo?”

Dengan sengaja, Jevan menginjak tangan kanan Kevin yang terkulai lemas di sisi tubuh. Membuat si empunya merintih kesakitan memohon ampun.

“Lo tau gak kelakuan lo tadi bisa bikin korbannya trauma seumur hidup? Mikir sampe sana gak lo?”

Tekanan yang Jevan berikan pada tangan Kevin semakin dalam seiring dengan teriakan Kevin yang juga makin mengencang.

Namun tidak ada seorang pun di sana yang berani melerai.

“Van... lepas Van! Sakit Van.” Kevin merintih, memohon ampunan.

Jevan terkekeh namun dia menuruti permintaan Kevin. Pria itu lalu berjongkok tepat di hadapan Kevin. Disentuhnya dagu Kevin agar mereka bisa saling tatap.

“Gue tau gue juga bukan cowok baik-baik, tapi gue bukan sampah semacam lo yang ngelakuin hal menjijikkan semacam itu, Kevin.”

Bug

Sebelah tangan Jevan yang bebas terayun keras mengenai rahang kiri Kevin.

“Lo gak punya hak untuk nyentuh cewek manapun, tanpa izin dari mereka.”

Bug

Pukulan Jevan makin kencang.

“Dan lebih dari itu semua... Lo gak bisa lakuin itu ke Elen.”

Bug

Pukulan yang ketiga benar-benar tidak ternilai kencangnya. Sangat kencang hingga membuat tubuh Kevin terlempar ke belakang.

Pria itu mengaduh, mengerang dan merintih.

“Sekali lagi gue denger lo lakuin hal menjijikkan itu ke cewek manapun, abis lo sama gue.”

“Jev.. sorry, maafin gue.”

“Maaf? Bukan ke gue lo harusnya minta maaf. Ikut gue.”

Jevan menarik tubuh Kevin dengan kasar. Membawa pria dungu itu keluar dari area kantin diikuti tatapan semua orang yang menyaksikan kejadian itu.

“El, sekarang udah gak papa. Lo jangan takut lagi ya.” Klarisa tidak henti membisikkan kalimat itu pada Jelena yang berangsur-angsur membaik perasaannya.

Jelena tidak lagi gemetar. Dia juga tidak lagi takut melihat sahabat-sahabatnya yang lain.

Terutama Markio. Kekasihnya itu sudah dia perbolehkan mengenggam sebelah tangannya.

“Kak, aku mau minum,” ucap Jelena lemah dan dengan sigap Markio langsung menyerahkan sebotol air yang sudah sejak tadi dia persiapkan.

“Mulai besok, kita anter kalian ke kelas.”

“Setuju sama Raechan...” ucapan Juan tidak selesai karena ditraksi dari pintu studio yang tiba-tiba terbuka.

Tampak Jevan tengah memapah seseorang lalu membanting pria itu tepat di depan Jelena.

“Lo harus minta maaf sama Elen, bukan sama gue,” tegas Jevan pada pria itu, yang baru sahabat-sahabatnya ketahui adalah Kevin.

Si pria yang ditunjuk mendongakkan wajah dengan takut-takut. Dia menatap Jelena yang menatapnya kasihan.

“Elen, maafin gue ya. Gue....”

Plak

Bukan Jelena, tapi tamparan itu datang dari Klarisa.

“Elen orang baik Vin, gue yakin dia maafin lo. Tapi gue gak sebaik dia, jadi gue wakilin Elen nampar lo. Sekarang lo pergi.”

“Biar gue yang anter Kevin balik.” Raechan hendak meraih tubuh lemas Kevin namun Jevan menahannya.

“Biarin aja dia urus dirinya sendiri.”

Mendengar itu, Kevin tertatih-tatih menuju pintu studio. Sementara Jevan langsung berjongkok di depan Jelena yang masih mengekori Kevin dengan tatapan kasihannya.

“Hei udah gak usah diliatin.” Jevan menyentuh kedua tangan Jelena lembut, menarik atensi gadis itu. “Masih gemeter gak? Mau pulang ke rumah Papa Mama aja gak?”

Jelena menggeleng seraya tersenyum.

“Makasih ya Jev lo udah... tangan lo.” Fokus Jelena terbelah saat menyadari ruas-ruas jari Jevan lebam. Jelena ngeri membayangkan betapa keras tangan Jevan menghantam wajah Kevin hingga tangannya pun terluka seperti itu.

“Jev kita obatin tangan lo ya, biar gak...”

“Gak usah, Cantik. Gue gak papa.” Jevan tersenyum lembut, masih setia memandangi wajah ayu Jelena. “Malam ini kita makan malam sama Papa Alex yuk? Papa baru pulang dari Sydney, gue yakin dia bawa banyak oleh-oleh buat lo.”

“Kok tumben Om Alex ngabarin lo dulu dibanding gue?”

“Gue tau dari sekretarisnya hahahaha.”

“Ih curang.”

Wajah Jelena makin cerah. Ketakutannya seketika hilang. Sekarang gadis itu merasa tenang. Tapi dia lupa satu hal...

Markio, sejak tadi laki-laki itu hanya memandangi mereka. Bahkan ketika Jevan tanpa sadar mengambil tangan Jelena dari genggamannya saja dia membiarkan.

Markio seperti diingatkan sekali lagi bahwa dia tidak mencintai Jelena sendirian.

Masih ada Jevan. Jevander Novanda.

Laki-laki yang tidak hanya memberikan seluruh cintanya untuk Jelena. Tapi bahkan seluruh hidupnya.