That was their dreams, not mine.

Raket tenis, sarung tinju dan tongkat golf selalu tersedia di pojok ruang kerja Alexander. Sialnya, tujuan dari alat-alat itu tidaklah sebagaimana mestisnya. Bukan di lapangan tenis, bukan di ring tinju, bukan pula di lapangan golf, alat-alat itu justru lebih sering digunakan di ruangan kerja milih ayah Jevan itu.

“Anak bodoh,” Alexander memaki anak yang meringkuk kesakitan namun tidak memohon ampun. Beberapa tetes darah mengotori lantai dan kaus yang dikenakan Jevan.

Alexander makin meggila, menghantamkan raket tenis ke tubuh Jevan berkali-kali dan lebih kuat dari sebelumnya.

“Apa sih sulitnya menurut?” Alexander bertanya frustasi, makin muak karena Jevan tidak membalas satupun ucapannya.

“Sudah berkali-kali Papa bilang Jevan, kuliah musik itu tidak ada gunanya! Lebih baik kamu masuk bisnis! Toh kamu juga yang akan meneruskan bisnis Papa!”

Jevan masih diam. Bibirnya sekebas anggota tubuhnya yang lain.

“Papa gak tau kesalahan apa yang Papa lakukan di masa lalu sampai punya anak pembangkang seperti kamu!”

Bugh

Pukulan terakhir mengenai bahu Jevan dengan begitu keras hingga lenguhan kecil lolos dari bibirnya.

Alexander membanting raket tenisnya sembarang. Namun matanya masih menatap Jevan dengan nyalang.

“Harusnya kamu ikut mati saja dengan Mama kamu, hidup pun gak bisa dibanggakan. Percuma.”

Alexander hendak keluar dari ruang kerjanya setelah melontarkan kalimat keji itu, namun sebuah gumaman pelan menghentikan langkahnya.

“Kalau bisa memilih, Jevan juga mau ikut Mama, Pa.”

Tangan Alexander menggantung di udara. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu.

“Tapi kalau Jevan mati, yang jadi samsak Papa nanti siapa?”

Jevan belum bangun dari posisi meringkuknya hingga perkataan yang dia ucapkan hanya terdengar samar-samar. Terhalang lengan yang sejak tadi setia melindungi area wajah dan kepalanya dari hantaman raket tenis.

“Pa, Jevan gak keberatan jadi samsak Papa. Tapi boleh gak Pa hargai Jevan sebagai manusia, bukan sebagai boneka Papa?”

Angin malam berhembus dingin melewati jendela ruang kerja yang terbuka. Menabrak lembut tubuh Alexander dan membuat tubuhnya makin beku. Membuat bibirnya makin kelu.

“Jevan juga punya mimpi Pa. Seperti anak-anak lain seusia Jevan. Jevan bukannya mau membangkang, Jevan cuma ingin menjalani hidup sesuai yang Jevan mau.”

Setetes air mata mengalir menuruni pipi Jevan. Jatuh membentur lantai tanpa menimbulkan suara. Tenggorokan Jevan serasa tercekat, dia ingin mengeluaran segala yang dia tahan selama ini.

Sementara Alexander masih diam. Punggungnya masih setia membelakangi Jevan.

“Pa, apa jadi penerus perusahaan Papa beneran satu-satunya cara untuk berbakti dan jadi anak yang membanggakan untuk Papa? Gak boleh lewat musik aja ya Pa?”

Susah payah Jevan paksa dirinya untuk tetap berbicara. Meskipun beberapa kali dia merasa nafasnya terkecat. Anak itu berfikir bahwa jika tidak malam ini, dia tidak akan memiliki kesempatan lain untuk berbicara pada ayahnya.

“Jevan gak ingin jadi boneka yang ikut kemanapun Papa pergi, pindah dari satu rapat ke rapat lain. Dateng ke acara makan malam cuma untuk dijadikan objek sebagai penerus perusahaan.”

Mata Jevan perlahan terpejam.

“Jevan gak ingin dibanggakan atas apa yang Jevan lakukan secara terpaksa, Pa.”

Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang Jevan ucapkan sebelum dia jatuh pingsan. Rasa sakit di sekujur tubuhnya berhasil merampas kesadaran anak malang itu.

“Papa tau apa yang terbaik untuk kamu.”

Alexander akhirnya berbalik saat tidak lagi mendengar ucapan Jevan. Dia memandangi Jevan sebentar sebelum akhirnya meninggalkan ruangan. Meninggalkan Jevan yang terkapar dengan keadaan tubuh penuh luka dan darah. Dia bahkan mengabaikan pipi Jevan yang basah oleh air mata.