petrichorslines

Bulan juni datang lebih cepat dari yang aku perkirakan. Rasanya, baru beberapa hari lalu aku menyambut tahun baru. Larut dalam euphoria apik yang diagungkan seluruh manusia di muka bumi. Dan dalam sekejap mata, bulan Juni menyapa. Membawa anginnya yang terasa basah.

Aku terduduk di suatu ruangan seorang diri. Berkawan sebuah buku naskah dengan judul Bittersweet pada halaman depan. Naskah film yang akan segera dimulai proses produksinya. Naskah film yang diambil dari buku karanganku yang sempat nangkring di rak best seller nomor satu di seluruh toko buku. Naskah yang berisi mimpiku, angan-anganku, kebangaanku. Naskah yang kelak akan aku ceritakan pada para penerusku.

“Mbak Sabitha, Mas Kylo sudah pulang. Dan barusan manajer Mas Gentala bilang lima menit lagi mereka akan sampai. Sementara Mbak Penny lagi istirahat di mobilnya sambil nunggu dipanggil lagi untuk casting sama Mas Gentala.”

Aku mengangguk seraya tersenyum kala Mbak Tari-Casting Manager rumah produksi tempat aku mempercayakan karyaku membawa kabar mengenai aktor dan aktris yang akan menjadi pemeran dari karakter dalam karyaku itu.

Salah seorang dari mereka yang bernama Kylo Noah Salim telah melakukan uji coba untuk peran Garend, tokoh utama dalam novel Bittersweet, seorang dokter residen berusia 26 tahun. Namun sayang sekali, dia masih tampak terlalu muda untuk karakter itu. Lalu setelah ini, seorang aktor lain bernama Gentala Harold Hastanta akan melakukan uji coba untuk karakter yang sama. Aku menaruh harapan besar pada Gentala karena dia memiliki aura Garend pada dirinya.

“Selamat siang.”

Lamunanku lenyap kala seorang pria dengan tubuh tegap yang aku perkirakan tingginya 177cm masuk ke dalam ruangan. Dari wajahnya, aku melihat keramahan dan ketenangan sekaligus. Laki-laki bernama Gentala itu juga tampak percaya diri, mungkin karena didukung pakaian yang membuatnya terlihat baik.

Tipikal laki-laki yang akan menjadi pusat perhatian seklipun dia tidak mencoba untuk menarik perhatian.

“Saya Gentala Harold.”

Dia mengulurkan tangan, menungguku menyambutnya. Namun si bodoh ini justru tak kunjung menjabat uluran tangan itu.

“Hei, melamun?” tanyanya seraya melambaikan tangan tepat di depan wajahku, membuatku mengerjap beberapa kali.

“Eh, hai, maaf hehehe, saya Sabitha, Sabitha Karen.”

“Saya tahu, saya juga pembaca Bittersweet makanya saya sangat tertarik ketika manajemen menawarkan project ini.”

“Oh? Terimakasih,” ucapku gugup. Aneh rasanya mendengar bahwa dia adalah pembaca karyaku. Aku meraba-raba, seharusnya dia sudah tahu karakter macam apa Garend itu.

“Jadi... bisa kita mulai castingnya? Mungkin ada request tertentu saya harus mencoba scene yang mana?”

Aku diam sebentar, menimbang-nimbang. Dari seluruh bagian cerita, aku paling menyukai scene dimana Garend dan Adzkiya sedang berdiri berhadap-hadapan di kaki bukit dan sunset menjadi latar waktu mereka. Aku sangat ingin melihat bagaimana Gentala akan merealisasikan tatapan penuh cinta yang diberikan Garend pada Adzkiya sore itu.

“Boleh yang scene di kaki bukit aja kali ya? Tapi itu harus sama Adzkiyanya... ah sebentar, biar saya panggil Mbak....”

“Boleh saya coba sama kamu dulu aja gak?” Gentala menyela, “kamu kan penulisnya, kamu yang paling tau nantinya saya cocok atau enggak untuk karakter Garend.”

“Boleh.”

Tidak ada alasan untuk tidak menyetujui usulan Gentala.

Kami berdiri berhadap-hadapan, aku mencoba memanggil karakter Adzkiya untuk masuk ke dalam diriku. Adzkiya yang begitu mencintai Garend. Adzkiya yang hanya memiliki Garend dalam hati dan otaknya.

Sementara laki-laki di hadapanku nampak memejamkan mata. Entah untuk apa. Mungkin melakukan pemanggilan karakter seperti yang aku lakukan. Lalu saat aba-aba action terdengar, Gentala membuka mata. Menatapku dengan penuh cinta. Mengunci kornea mataku agar hanya menatapnya. Aku benar-benar merasa dicintai. Diterima. Dipuja. Tatapannya membuatku merasakan seluruh perasaan indah yang bisa diberikan oleh hamba Tuhan.

“Jangan nangis, aku sabar kok.” Gentala mengucapkan dialognya dengan fasih, penuh perasaan dan pengucapan yang lugas tanpa terbata. Lalu dia maju selangkah, mengikis jarak di antara kami. Tangannya terangkat sebelah dan mendarat di sisi pipi kananku. “Adzkiya, aku gak akan kemana-kemana.”

Setelah itu, yang aku ingat hanyalah dekapannya yang hangat.

Sebagai seseorang yang telah lama tidak mengenal cinta kecuali dari karakter fiksi aku seperti tersadarkan bahwa sebuah sentuhan dari sosok nyata bisa memberikan efek senyaman ini. Membuatmu mendambakan sesuatu yang lebih.

Namun....

Cut

Tepat saat aba-aba itu, Gentala menarik diri. Membuat kulitku terasa digerayangi angin dingin bulan Juni karena tidak lagi berada dalam dekapannya.

“Sekarang boleh panggil yang jadi Adzkiyanya ya, biar saya coba sama dia.”

Salah seorang dari tim casting mengangguk dengan semangat dan keluar ruangan untuk menemui Penny Kimberly, aktris yang dipilih untuk membawakan karakter Adzkiya.

“Semoga acting saya sesuai gambaran Garend yang kamu ciptakan ya, Sabitha.” Gentala tersenyum ramah, meninggalkan diriku yang diam tidak merespon.

Mataku mengikuti dirinya yang berjalan ke arah pintu masuk, menyambut seorang gadis cantik yang tengah sibuk membuka ikatan rambutnya. Gadis itu tampak anggun dengan gaun berwarna putih tulang selutut dan flat shoes berwarna cream. Visualisasi sempurna untuk Adzkiya.

“Mbak Sab, sekarang Mbak Sab liat Mas Gentala sama Mba Kimberlynya acting ya.”

“Oke Mbak.”

“Mau adegan yang mana?” Gentala bertanya pada Kimberly, sementara si gadis yang ditanya langsung membuka salah satu halaman dalam naskah.

“Yang ini aja kali ya Tal? Yang dokter Garend ngeliat Adzkiya untuk pertama kali?”

Gentala menyetujui, lalu dia bersiap-siap di posisinya.

Scene yang dimaksudkan Kimberly adalah scene dimana Adzkiya tengah meletakkan bunga di salah satu kamar rawat dan Garend menatapnya dari jauh.

Action.”

Kimberly memulai actingnya, meletakkan setangkai bunga mawar di atas nakas lalu menatap sofa seolah itu adalah ranjang pasien. Sementara dari tempatnya duduk, mata Gentala mengawasi tiap gerakan Kimberly. Dengan sabar. Dengan kekaguman. Selayaknya Garend yang jatuh cinta pada Adzkiya sejak pandangan pertama.

Pada detik itu aku menyadari bahwa Gentala Harold Hastanta adalah seorang aktor yang baik. Actingnya bahkan sempat membuatku lupa daratan karena terasa begitu nyata. Membuatku merasa bahwa dia benar-benar mencintai aku. Membuatku hampir lupa bahwa saat itu kami adalah Garend dan Adzkiya.

Lalu akhirnya, saat kata cut kembali terdengar, aku berbisik pada Mbak Tari,

“Mbak, mereka adalah Garend dan Adzkiya yang aku mau.”

Dentingan gelas menjadi penanda pesta malam itu dimulai. Beberapa botol berjajar rapih di atas meja, lengkap dengan cemilan dan kotak rokok yang tersisa beberapa batang di dalamnya. Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan, beradu dengan suara musik kencang di lantai dansa.

Ruangan kelas atas yang dipesan Jevan cukup memuaskan kawan-kawannya. Tak perlu lagi mereka berbagi meja dengan orang asing yang tidak dikenal. Juga wanita-wanita malam yang bisa saja mengguncang kesetiaan. Disana hanya ada mereka dan tentu saja persahabatan mereka.

“Jaen, lo gak usah banyak-banyak minumnya. Ntar kalau mabuk repot,” komentar Juan terhadap Jaenandra yang kembali menuangkan cairan bening ke dalam gelas yang telah kosong.

Si pria yang dikomentari hanya menyeringai geli. “Iye Wan. Kaya Papap gue aja lo.”

“Dia lebih kaya Mommy lo gak sih Jaen? Ngomel-ngomelnya itu loh emak-emak banget.”

Gurauan Raechan dihadiahi toyoran keras pada kepalanya.

“Gue ngomel juga buat kebaikan lo-lo pada, kalian tuh ya kadang kalau otaknya lagi gesrek tingkahnya di luar nalar. Untung aja sekarang udah pada punya cewek, jadi beban gue berkurang.” Juan memberi pembelaan panjang lebar tidak terima atas tuduhan Raechan yang menganggap seperti ibu-ibu.

Jika sudah begitu, Raechan hanya akan tertawa sebagai jawaban. Tidak bisa disanggahnya lagi perkataan sahabatnya itu. Semuanya memang benar.

Sejak awal, Juan memang selalu berperan sebagai pelurus jalan semua sahabat-sahabatnya. Dia selalu menjadi orang dengan pemikiran paling logis dan tidak neko-neko.

“Lo sendiri kenapa sih Wan gak mau pacaran? Atau seenggaknya deket sama cewek deh.”

Juan mengisi gelasnya sebelum menjawab. Bunyi musik di lantai dansa semakin menggedor-gedor dinding yang memisahkan ruangan ini dengan kehidupan gemerlap di luar sana. Menenggelamkan Juan pada pikirannya sendiri.

“Kalau lo gak mau jawab gak usah dijawab Wan,” sela Markio menengahi. “kita cuma penasaran aja, selama bertahun-tahun kita temenan, lo gak pernah sekalipun deket sama cewek. Padahal yang naksir lo banyak.”

“Tujuan gue ngerantau buat sekolah, cari ilmu, cari pengalaman, gue masih ngerasa kalau pacaran cuma bakal ganggu konsentrasi gue aja.”

Jevan manggut-manggut. “Tapi lo pernah naksir cewek gak Wan? Atau tipe cewek lo yang gimanasih emang? Yang kaya Elen? Kak Kayana? Atau Ica? Atau cewek-cewek gue?”

Juan terkekeh atas pertanyaan tiba-tiba Jevan. Opsi yang terakhir benar-benar jauh dari tipikal perempuan yang dia idam-idamkan. Namun kalau harus memilih dari ketiga pacar sahabatnya itu, maka....

“Gabungan Elen, Ica dan Kak Kayana.”

plak

Untuk pertama kalinya Juan yang menjadi korban dari suara itu.

Dan pelakunya adalah Jaenandra yang sejak tadi sibuk dengan minumannya.

“Sempurna banget dong itu anjing. Gue juga mau kalau ada mah.”

“Ya makanya kan hahahahha,”

“tapi kalau harus milih satu, tipe gue yang kaya Elen sih. Dia tuh ya... ada di sebelah dia aja udah bikin kita tenang. Kayak gak usah khawatirin apa-apa lagi. Dan itu yang gue cari dari cewek yang pengen gue pacarin,” tambah Juan

“Setuju.” Raechan angkat bicara. “Makanya dulu gue gak heran Jevan sama Kak Kiyo bisa diem-diem ngerebutin Elen.”

Tiba-tiba suara Jaenandra terdengar, membuat keempat sahabatnya menatapnya dengan tanya.

“Sialan, gue kira gue doang yang mikir gitu. Kalau dulu Elen mau sama gue, gue gak akan nolak sih,” ujar Jaenandra pelan. Alkohol mulai mengambil alih kesadarannya.

“Jadi ternyata, cewek gue bikin satu geng naksir sama dia ya.”

Malam itu, dengan sedikit pengaruh alkohol, fakta baru muncul ke permukaan. Fakta yang membuat mereka terkekeh geli pada pertemanan mereka sendiri. Namun justru mengeratkan pertemanan mereka yang memang sudah kuat.

Gema tawa kembali menguasai ruangan seiring malam semakin pekat. Botol-botol mulai kosong. Suara musik di lantai dansa telah berpacu dengan teriakan euphoria. Nampaknya di luar sana pesta juga makin menggila.

“Tapi gue bersyukur sih Elen sama Kak Kiyo dan gue lebih bersyukur sekarang Ica sama gue.”

Ucapan itu adalah yang terakhir Jaenandra ucapkan sebelum di memejamkan mata. Tertidur di bahu Juan yang duduk di sebelahnya.

“Yeeee si Jaenan, udah KO aja,” komentar Juan yang juga sudah mulai tidak sadar.

“Mau tambah lagi gak?” tawar Jevan sebagai sang penanggung jawab acara malam ini. Meskipun dengan pandangan kabur, dilihatnya sahabat-sahabatnya sudah mulai teler dengan mata setengah terbuka.

Ternyata kondisi mereka sama.

Namun diujung sana, Raechan, sebagai manusia dengan tingkat toleransi kadar alkohol paling tinggi masih terlihat sadar dibandingkan yang lainnya.

“Rae, mambah gak?”

“Gak usah,” tolak Raechan. “abi..sin ini aja.”

“Oke.”


“Ini kita gimana cara bawa pulangnya nih Kak?”

Dama menatap miris pada lima orang yang sudah saling tindih terkapar tidak berdaya di atas sofa.

Lalu tatapannya teralih pada tiga orang wanita yang selama ini dekat dengan kakak kandungnya itu. Ketiga wanita itu juga nampak tidak habis pikir dengan apa yang mereka sedang lihat.

“Dama bisa nyetir kan?” tanya Kayana.

“Bisa Kak.”

“Gini aja... Dama bawa mobil Bang Jevan, nanti anter Bang Jevan sama Bang Juan ke studionya. Biar mereka tidur di sana.”

“Terus Bang Raechan gimana Kak?”

“Nanti Kak Kayana yang bawa mobil Abang, ngikutin di belakang kamu. Abis itu baru kita ke rumah. Gimana?”

Dama mengangguk menyetujui. Lalu dia kembali menatap dua teman kakaknya yang lain. “Kalau Bang Kiyo sama Bang Jaenan gimana?”

“Gue gak mau pulang!” Tiba-tiba Jaenandra bersuara nyaring, bangun dari posisi berbaringnya dengan mata yang masih terpejam. “Gue mau ke apartemen cewek gue aja! Namanya Ica! Lo tau gak Ica? Anaknya Om Tama!”

Klarisa memutar bola matanya malas, namun tetap saja dia membantu kekasihnya itu untuk bangun. “Iya, kita pulang ke apartemen cewek lo yuk yuk.”

“EMANG LO KENAL CEWEK GUE? DIH SOK KENAL!” ucap Jaenandra lagi, kali ini sambil berusaha melepaskan diri dari rangkulan Klarisa.

“Lo jangan gangguin temen gue gitu dong! Ceweknya galak tau!” Kali ini Markio yang meracau. “Ica tuh bisa nyakar! Kukunya panjang-panjang!”

“Kak Kiyo, jangan gitu ah. Ayo kita pulang juga.” Dengan sabar Jelena membantu Markio duduk, membenahi pakaian laki-laki itu bahkan mengusap wajah Markio yang basah oleh alkohol dengan tisu.

“Untung cowok lo mabuk ya El, kalau enggak, dia yang gue cakar,” ucap Klarisa gemas.

Jelena hanya terkekeh, dia membimbing Markio untuk berdiri. “Gue duluan ya. Pak Abdul udah di depan. Dama nanti hati-hati ya nyetirnya, terus nanti minta tolong pak satpam aja sekalian ambil kunci. Kamu gak akan kuat bawa mereka masuk sendirian ke dalem studio.”

“Iya Kak, siap.”

Jelena berlalu, disusul Klarisa dan Jaenandra.

Sekarang tersisa Dama, Kayana dan tiga laki-laki dengan tubuh berbau alkohol pekat.

“Rae, pulang yuk...”

“Ih jangan pegang gue! Gue udah punya cewek!”

“Rae, ini aku Kayana. Kita pulang ya?”

Raechan membuka matanya perlahan dan tersenyum senang. “Kayana? Kayana pacar aku? Cium dulu dong kalau gi...”

plak

Telapak tangan Kayana mendarat mulus di bibir Raechan. Membuat laki-laki itu meringis kesakitan.

“Dama maaf ya abang kamu jadi kena pukul.”

“Hahahah gak papa Kak. Biar gak kurang ajar.”

Lalu dengan susah payah mereka membawa ketiga pria mabuk itu untuk pulang.

Mereka bersyukur, setidaknya, sebelum benar-benar tidak sadar, Raechan sempat menghubungi Dama dan memberitahukan lokasi dan kondisinya.

Jika tidak, mereka akan membuat bingung delapan keluarga malam ini.

Apa yang diharapkan dari jalanan Kota Bandung ketika akhir pekan selain kemacetan mengular dan bunyi klakson yang memekakkan telinga?

Namun anehnya, kota ini seakan memiliki kekuatan magnet tersendiri dimana orang-orang bahkan mengabaikan hal menyebalkan tersebut demi menghabiskan hari libur mereka di sini.

Tak berbeda dengan Baeron dan Ziena yang juga menjadi satu dari banyaknya orang yang rela berdesak-desakan di antara puluhan bahkan ratusan mobil yang berjejal di jalanan.

Mereka telah selesai membeli semua buku yang ingin Ziena beli. Gadis itu menghabiskan waktu selama hampir dua jam di toko buku bernama Togamas kemudian menghabiskan hampir tiga jam di sebuah pameran buku yang diadakan oleh Patjarmerah.

“Abis ini gantian kamu yang nemenin aku ya?”

Ziena mengangguk antusias atas perkataan Baeron. Dia melirik tumpukan buku yang diletakkan di bangku belakang sebelum kembali menatap kekasihnya.

“Makasih ya udah sabar nemenin aku milih buku hehehe. Sekarang aku ikut kemanapun kamu pergi!” ujarnya bersemangat.

Baeron hanya tersenyum tipis. Dari jalan Supratman dia kembali menembus kemacetan hingga tiba di jalan Ir. H. Juanda. Dibelokkannya mobil putih yang baru dibelinya itu ke salah satu gedung yang tampak begitu klasik.

Mereka berdua turun, Ziena mengikuti Baeron tanpa banyak bertanya. Gadis itu terlalu takjub dengan dekorasi gedung yang terlihat klasik namun memiliki kesan mewah yang kentara.

Awalnya, Ziena kira gedung ini adalah sebuah restoran yang mengusung gaya klasik modern. Namun ketika akhirnya kakinya menapaki bagian dalam gedung, dia baru mengetahui kalau gedung ini hanya dihiasi empat lukisan cantik di dindingnya. Tanpa satupun kursi dan meja selayaknya restoran pada umumnya.

“Ini tempat apa Ron? Itu lukisan siapa?”

“Liat aja,” jawab Baeron pelan.

Ziena menurut. Dia berjalan mendekat pada lukisan yang paling dekat dengannya.

Lukisan itu berukuran 60 x 90 cm. Goresan warnanya tampak abstrak, namun Ziena bisa melihat potret seorang gadis yang tengah duduk sambil membaca buku. Lalu jauh di belakang gadis itu nampak seorang pria yang sedang mengamati sang gadis dari jauh.

Di sisi lukisan, terdapat pigura kecil berisi kata-kata yang tampaknya menjelaskan arti lukisan.

Dari jauh aku tatap Dari jauh aku ratap

Inginku juga duduk disana Membahas buku yang sedang kau baca

Namun aku takut Aku takut kau takut padaku

Maka disinilah aku Mengagumi dari jauh Hingga luruh

Lalu Ziena beralih pada lukisan di sebelahnya. Lukisan itu terlihat lebih jelas dari yang sebelumnya. Namun masih dengan potret yang sama. Bedanya, pria tadi berjarak lebih dekat pada sang gadis.

Kumaki takutku Kukatai pecundangku Kupacu langkahku Mendekat Mendekat Dan mendekat

Dari lukisan itu, Ziena kembali melanjutkan pada lukisan berikutnya. Kali ini sang pria telah duduk di samping sang gadis.

Aku disini Menanti Hingga nanti Kau membuka hati Hanya untuk diri ini

Ziena mendekat pada lukisan terakhir. Sebuah lukisan yang paling besar. Terletak di tengah ruangan.

Berisi potret sang pria yang sedang berlutut di depan gadisnya.

Di sisi lukisan itu tidak lagi ada kata-kata.

Ziena berbalik, hendak bertanya pada Baeron kenapa tidak ada puisi yang menemani lukisan itu. Namun yang dilihatnya justru Baeron tengah berlutut di depannya. Dengan sebuah cincin yang mengkilap ditimpa cahaya lampu.

“Di kota ini, di kota yang menyimpan banyak kenangan tentang kita, aku ingin mengukir lebih banyak lagi kenangan dengan kamu,”

“di kota ini, di kota yang menjadikan kita satu, aku ingin memintamu untuk selamanya dengan aku,”

“di kota ini, di kota tempat pertama kali bibir kita bertemu, aku ingin memintamu menjadi pendamping hidupku.”

Ada jeda yang cukup lama sampai Baeron kembali membuka bibirnya.

“Ziena Raquel Adiguna, will you marry me?”

Ziena kehabisan kata-kata. Semuanya berjalan terlalu cepat. Potongan-potongan ingatannya tentang Baeron selama tiga tahun terkahir berputar di kepalanya seperti sebuah film romansa yang menyenangkan.

Semua potret lukisan dan kata-kata yang baru dilihatnya juga ikut berputar di sana. Semua itu... Semua itu adalah proses Baeron memasuki kehidupannya.

Ziena sudah punya jawaban di kepalanya. Namun bibirnya bergetar karena menahan air mata. Ziena tidak bisa mengucapkannya.

Maka gadis itu hanya mengangguk. Membuat perasaan cemas Baeron luruh seketika. Mengusir segala gundah dari pundaknya.

Ziena mengulurkan tangan, meminta Baeron memasukkan cincin cantik itu di jari manisnya.

Dan laki-laki itu mengerti. Diturutinya gadisnya hingga cincin itu bersemayam di jari manis gadis kecintaannya.

Mereka berpelukan. Melepaskan kebahagiaan yang meluap-luap.

Penantian panjang itu akhirnya berakhir. Dengan akhir paling bahagia yang bisa diberikan oleh semesta.

Ayu Laga tidak pernah berubah, sedikitpun. Bahkan ketika tahun terlewat, dunia berkembang, gedung-gedung mencakar langit, Ayu Laga tetap sama. Pinggiran kota itu tetap pada keasrian dan kesantunannya. Berkiblat pada dinginnya bukit-bukit yang juga tetap berdiri kokoh tak terusik.

Lalu bagaimana mungkin Adzkiya berubah ketika kota kecil yang ditinggalinya itu tidak juga berbenah? Bagaimana mungkin Adzkiya berubah ketika kota yang menyimpan segalanya tetap secara utuh memeluk segala hal itu?

Maka disinilah Adzkiya, di sisi Ayu Laga yang paling dia cintai. Beratap awan, beralas rerumputan, dihibur kicau burung dan ditemani ribuan dandelion. Bahkan untuk seribu tahunpun, Adzkiya ingin tetap berada di sini.

“Maaf gue telat, operasinya lebih lama dari yang gue kira.”

Suara itu datang bersamaan dengan sosok yang terlihat segar usai mandi. Pakaian dinasnya telah laki-laki itu ganti dengan kemeja berwarna biru tua dan celana jeans berwarna lebih terang. Dari tempatnya duduk, Adzkiya bisa mencium aroma familiar yang sangat dikenali indera penciumannya.

“Makasih udah mau dateng kesini Rend,” ucapnya lirih.

Garend mengangguk seraya tersenyum. Kemudian ikut duduk di samping Adzkiya. Matanya menatap lurus ke arah ladang dandelion yang tidak ternilai luasnya.

“Sesuai janji gue, untuk hari ini lo boleh nanya apapun yang pengen lo tau Ki. Segala hal, gue akan jawab sejujur yang gue bisa. Tanpa nyembunyiin apapun lagi.”

Ada jeda yang cukup panjang. Adzkiya menimbang-nimbang pertanyaan apa yang harus pertama kali dia tanyakan. Gadis itu tidak ingin salah langkah dalam kesempatan baik ini. Gadis itu tidak ingin mengacaukan kesempatan yang didapatnya dengan susah payah ini.

“Kalau yang lo temuin di tempat volunteer bukan Vivian, apa lo juga bakal jatuh cinta sama perempuan itu?”

Angin berhembus melewati keduanya. Menerbangkan beberapa biji dandelion dengan sayap tipisnya. Menari bersama helai rambut Adzkiya dan Garend. Membawa aroma basah dari perbukitan.

Memberi Garend waktu untuk berpikir.

“Enggak, kalau perempuan itu bukan Vivian, gue gak akan jatuh cinta sama dia. Meskipun gue ketemu dia di tempat yang sama, waktu yang sama dan keadaan hati yang sama.”

Adzkiya tersenyum.

Garend menepati janjinya.

Garend menjawab sejujur yang dia bisa.

Tanpa menutupi apapun lagi.

Meskipun itu menyakiti hati Adzkiya.

“Lo nyesel gak, pernah ketemu gue?”

Ada tawa yang terdengar samar kala pertanyaan itu terlempar dari Adzkiya.

“Gue nyesel karena waktu pertemuan kita gak tepat Ki.”

Garend menjatuhkan pandangannya pada manik mata Adzkiya.

“Gue gak nyesel ketemu lo, tapi gue nyesel ketemu sama lo di saat semuanya terlalu berantakan buat kita.”

Adzkiya diam. Matanya menjelajah wajah yang kini berada di hadapannya.

Kening.

Hidung.

Bibir.

Dagu.

Dulu, semua itu miliknya.

Dulu, dia bisa dengan berani menyentuh mereka dengan tangannya. Bahkan bibirnya.

Tapi kini, menatapnya saja membuat Adzkiya merasa berdosa.

Maka dia memalingkan wajah. Kemabali menatap dandelion yang bergoyang-goyang seirama.

“Lo hancur banget ya Rend waktu pergi dari Ayu Laga? Apa itu artinya saat itu lo sayang banget sama gue?”

Garend mengangguk meskipun Adzkiya tidak melihatnya.

“Waktu itu, lo satu-satunya perempuan yang ada di hati dan otak gue Ki. Waktu itu, gue udah punya berbagai rencana yang gue susun untuk masa depan kita. Ayah, Bunda, Ica bahkan Uwu ada di pihak kita. Rasanya saat itu, dunia bener-bener kasih tunjuk kalau lo emang satu-satunya wanita yang Tuhan takdirkan untuk gue. Perasaan yang gue punya untuk lo jauh dari kata sayang...”

“dan ya, gue hancur Ki. Jelas aja gue hancur waktu lo lebih memilih buat pergi sama Sagara tanpa bilang apa-apa sama gue. Gue juga ngerasa hancur karena ternyata Sagara gak seperti yang kita pikir. Segalanya terjadi terlalu cepat sampai gue gak bisa mikirin hal lain selain hati gue yang hancur.”

Adzkiya membiarkan jawaban-jawaban Garend memenuhi telinga dan otaknya.

“Saat itu yang gue mau cuma pergi dari Ayu Laga secepatnya. Sebelum lo kembali. Karena gue tau, ketika lo ada di depan gue lagi, gue gak akan bisa nahan diri untuk berusaha bikin lo jadi milik gue lagi. Gue sekacau dan sesayang itu sama lo saat itu Ki.”

Garend mengakhiri kalimatnya dengan hembusan nafas panjang.

“Saat lo kasih gue waktu tiga bulan untuk bikin lo jatuh cinta sama gue lagi, apa saat itu lo juga berharap kalau perasaan itu masih bisa ada lagi?”

“Iya,” jawab Garend cepat. “saat itu gue juga berharap kalau gue bisa cinta sama lo lagi Ki. Seperti dulu. Karena sejujurnya lo juga masih ada di salah satu sudut hati gue. Bahkan Vivian tau itu, makanya dia juga kasih kita waktu.”

“Tapi ternyata gagal ya Rend? Perasaan itu ternyata cuma perasaan bersalah karena ternyata gue nungguin lo ya selama ini?”

Garend diam. Karena jawabannya adalah ya. Dan dia terlalu takut untuk menjawab. Dia tau jawaban itu akan melukai Adzkiya, lagi.

Namun Adzkiya juga tidak bodoh. Diamnya Garend adalah jawaban. Dia tau itu.

“Menurut lo, kalau waktu itu gue gak pergi nemenin Sagara, apa kita bakal masih sama-sama?”

Garend menggeleng cepat.

“Enggak, gue rasa hasil akhirnya akan tetap sama Ki. Meskipun saat itu lo gak nemenin Sagara, meskipun saat itu gue gak pergi dari Ayu Laga, gue yakin Tuhan punya cara lain untuk nunjukin kalau kita emang bukan untuk satu sama lain.”

Semburat oranye mulai menyapa. Menghantarkan burung-burung ke peraduan. Mengundang bulan untuk datang.

“Apa lo ngomong ini supaya gue lebih mudah nerima keadaan Rend?”

“Enggak, Vivian pernah bilang kalau penerimaan itu gak bisa dari luar, harus dari dalam. Jadi itu semua tergantung sama lo Ki.”

Matahari makin tergelincir dari tahtanya. Semburat oranye perlahan memudar, terganti temaramnya cahaya bulan. Adzkiya bangkit lebih dulu, merasa diusir waktu.

Thanks for today, makasih udah jawab semua pertanyaan, sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya.”

Are we good now?

Garend ikut bangkit, membersihkan bagian belakang tubuhnya dari rumput yang menempel.

Yes we are.

Mereka saling melempar senyum sebelum akhirnya berpisah di tepi jalan. Garend berjalan ke arah mobilnya dan Adzkiya berjalan ke arah sepedanya.

Petang itu, mereka yang sempat menjadi rumah bagi masing-masing kini menuju rumah mereka masing-masing.

Garend pulang ke pelukan Vivian.

Dan Adzkiya pulang ke pelukan kesepian.

Sebuah kertas tebal terpelanting membentur lantai setelah sesosok laki-laki besar membantingnya ke atas meja. Jevan menatap kertas tebal itu tanpa reaksi, lebih tepatnya tidak tahu harus berekasi seperti apa.

Alexander-ayah Jevan-duduk bersidekap di depan Jevan. Matanya menatap garang, seakan siap menghabisi anak semata wayangnya yang terlihat sangat bodoh di matanya itu.

“Kalau sudah begini kamu mau bagaimana?”

Suara Alexander terdengar dingin, membuat tubuh Jevan kaku. Rasanya seperti baru saja disiram setangki air es langsung dari kepalanya.

“Papa sering kali bilang, Papa hanya ingin Elena yang masuk ke keluarga kita. Papa gak ingin wanita lain, Novanda.”

Novanda. Jevan benci sekali tiap kali ayahnya memanggilnya dengan nama belakang itu. Rasanya seperti diingatkan kembali bahwa ada darah kental ayahnya yang mengalir kuat di dalam tiap inti tubuhnya.

“Elena, anak itu... Kurang baik apa lagi dia untuk kamu? Kurang cantik apa lagi dia untuk mendampingi kamu?”

Belum ada jawaban, Jevan masih diam.

“Papa sayang sekali dengan anak itu. Dia baik, dia bisa menenangkan kamu dan Papa sekaligus. Keluarganya juga baik. Baru kali ini Papa gak berfikir tentang bisnis meskipun keluarga Elena itu sangat kaya. Papa hanya mau Elena mendampingi kamu, karena Papa tahu, Elena bisa menjaga kamu sebaik Mama.”

Jevan masih enggan bersuara.

“Tapi sekarang apa? Kenapa justru nama Markio yang ada dalam surat undangan itu? Dan kenapa kamu diam saja?”

Suara detik jarum jam masih lebih lantang dari pada suara Jevan. Laki-laki yang selalu tampak kecil di depan ayahnya itu masih mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Jawab Papa, Novanda!”

Teriakan itu beriringan dengan suara gebrakan pada meja. Alexander tidak tahan lagi.

“Papa tahu kenapa Elen lebih pilih Kak Kiyo dari pada anak Papa ini?”

Suara itu, suara yang akhirnya keluar dari mulut Jevan tidak sekeras ayahnya. Bahkan terkesan lirih dan mendesis, tapi amarah yang terbalut di dalamnya begitu kentara. Bahkan Alexander menyadarinya.

“Karena anak Papa ini rusak. Karena anak Papa ini memilih untuk meniduri banyak perempuan-perempuan murahan untuk mengobati luka hatinya! Papa pikir perempuan baik-baik seperti Elen mau sama laki-laki rusak seperti Jevan Pa?”

Hening, kali ini Alexander yang tidak sanggup memnggerakan bibirnya untuk memberi jawaban.

“Tiap kali Papa marah dan jadiin Jevan samsak, Jevan gak punya tempat ngadu Pa. Jevan cuma tau satu cara untuk ngelupain semua rasa perih di tubuh dan hati Jevan itu. Dan cara itu Jevan tau dari Papa.” Ada jeda sebelum Jevan melanjutkan. “Meniduri perempuan-perempuan murahan seperti yang Papa selalu lakukan.”

“Novanda...”

“Setakut-takutnya Jevan liat Elen bahagia sama laki-laki lain, Jevan lebih takut Elen gak bahagia hidup sama Jevan Pa. Jevan ini rusak, keluarga ini jauh lebih rusak, Jevan gak ingin bawa wanita semulia Elen masuk ke kehidupan kita yang rusak.”

Biasanya, separah apapun Alexander menghajarnya, Jevan tidak pernah sudi mengeluarkan air mata. Namun hari ini, saat tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terluka, air matanya justru meleleh.

“Kak Kiyo itu baik Pa, keluarganya juga hangat. Ayah Kak Kiyo gak pernah mukulin anaknya, Ibu Kak Kiyo masih ada untuk jagain anaknya. Apa Papa merasa keluarga kita lebih pantas untuk menerima Elena dari pada keluarga Kak Kiyo? Enggak kan, Pa?”

Jevan mengangkat kepala, menatap ayahnya yang juga masih menatap dia.

“Jevan juga ingin Elena sama Jevan. Tapi Jevan tau diri.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya Jevan bangkit lebih dulu meninggalkan ayahnya. Ayahnya yang membeku. Ayahnya yang merasakan bibirnya kelu.

Sementara Alexander hanya bisa menatap punggung anaknya yang hilang ditelan pintu. Tanpa berani menahannya. Tanpa berani meneriakinya untuk tinggal.

Anaknya benar. Gadis seperti Jelena lebih pantas berapa di keluarga Baratama dari pada keluarga Novanda. Dan keluarga Baratama lebih pantas menjadi besan bagi keluarga Iskandar.


“Oy Jep, kita di rumah Kak Kiyo nih, nemenin calon pengantin. Lo dimana?”

“Gue....”

“Sini lah nyusul,” Jaenandra menyahut dari sambungan telepon.

“Gue... ada urusan. Besok aja gue kesananya ya. Bye.”

Bip

Sambungan telepon itu terputus. Jevan menatap layar ponselnya yang dihiasi dengan foto dirinya dan sahabat-sahabatnya.

Raechan sudah bersama Kayana.

Jaenandra sudah bersama Klarisa.

Dan dua hari lagi, gadisnya, gadis yang begitu dia cintai akan menjadi milik laki-laki lain.

Laki-laki yang lebih pantas,

Jauh lebih pantas.

Jevan menghembuskan nafasnya sekali lagi. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Dia tidak lagi memiliki tempat pulang.

Studio adalah pilihan yang buruk untuk bermalam. Semua kenangannya bersama Jelena ada di sana.

Tadinya, dia ingin menginap di rumah salah satu sahabatnya, tapi mereka semua sedang bermalam di rumah Markio.

Lalu dia harus kemana? Ke makam ibunya?

Pilihan buruk.

Pikirannya kosong hingga akhirnya Jevan memutuskan untuk kembali menginjak gas. Membiarkan kemana perasaannya membawanya.

Memasuki tol,

Keluar pintu tol yang berada di pinggiran kota,

Memasuki daerah pinggiran kota,

Hingga berhenti di depan sebuah toko bunga.

Seoarang gadis tengah sibuk berbenah. Membuang beberapa sampah batang bunga ke tempatnya kemudian melepas apron dari tubuh kecilnya. Lalu tangan-tangan mungil itu sibuk mengikat rambut panjang si gadis bertubuh kecil.

Jevan bisa melihat semuanya dari dalam mobil. Matanya menerobos jendela kaca yang terpasang di samping pintu masuk toko.

Sekian menit terlewat hingga si gadis bertubuh kecil keluar dari toko. Membuat Jevan juga keluar dari mobilnya.

“Kok jam segini baru mau pulang Kak?”

Si gadis bertubuh kecil sedikit tersentak. Kunci yang sedang dia pegang jatuh ke lantai. “Loh Jevan...”

Jevan hanya tersenyum dan memungut kunci itu. Dia juga menggantikan si gadis untuk mengunci tokonya.

“Saya anter Kak Kiya pulang ya. Soalnya saya juga butuh tempat pulang...”

Angin malam Ayu Laga berhembus melewati mereka berdua. Meskipun diabaikan. Karena keduanya sedang sibuk bertatap-tatapan.

Sebuah kertas tebal terpelanting membentur lantai setelah sesosok laki-laki besar membantingnya ke atas meja. Jevan menatap kertas tebal itu tanpa reaksi, lebih tepatnya tidak tahu harus berekasi seperti apa.

Alexander-ayah Jevan-duduk bersidekap di depan Jevan. Matanya menatap garang, seakan siap menghabisi anak semata wayangnya yang terlihat sangat bodoh di matanya itu.

“Kalau sudah begini kamu mau bagaimana?”

Suara Alexander terdengar dingin, membuat tubuh Jevan kaku. Rasanya seperti baru saja disiram setangki air es langsung dari kepalanya.

“Papa sering kali bilang, Papa hanya ingin Elena yang masuk ke keluarga kita. Papa gak ingin wanita lain, Novanda.”

Novanda. Jevan benci sekali tiap kali ayahnya memanggilnya dengan nama belakang itu. Rasanya seperti diingatkan kembali bahwa ada darah kental ayahnya yang mengalir kuat di dalam tiap inti tubuhnya.

“Elena, anak itu... Kurang baik apa lagi dia untuk kamu? Kurang cantik apa lagi dia untuk mendampingi kamu?”

Belum ada jawaban, Jevan masih diam.

“Papa sayang sekali dengan anak itu. Dia baik, dia bisa menenangkan kamu dan Papa sekaligus. Keluarganya juga baik. Baru kali ini Papa gak berfikir tentang bisnis meskipun keluarga Elena itu sangat kaya. Papa hanya mau Elena mendampingi kamu, karena Papa tahu, Elena bisa menjaga kamu sebaik Mama.”

Jevan masih enggan bersuara.

“Tapi sekarang apa? Kenapa justru nama Markio yang ada dalam surat undangan itu? Dan kenapa kamu diam saja?”

Suara detik jarum jam masih lebih lantang dari pada suara Jevan. Laki-laki yang selalu tampak kecil di depan ayahnya itu masih mengunci bibirnya rapat-rapat.

“Jawab Papa, Novanda!”

Teriakan itu beriringan dengan suara gebrakan pada meja. Alexander tidak tahan lagi.

“Papa tahu kenapa Elen lebih pilih Kak Kiyo dari pada anak Papa ini?”

Suara itu, suara yang akhirnya keluar dari mulut Jevan tidak sekeras ayahnya. Bahkan terkesan lirih dan mendesis, tapi amarah yang terbalut di dalamnya begitu kentara. Bahkan Alexander menyadarinya.

“Karena anak Papa ini rusak. Karena anak Papa ini memilih untuk meniduri banyak perempuan-perempuan murahan untuk mengobati luka hatinya! Papa pikir perempuan baik-baik seperti Elen mau sama laki-laki rusak seperti Jevan Pa?”

Hening, kali ini Alexander yang tidak sanggup memnggerakan bibirnya untuk memberi jawaban.

“Tiap kali Papa marah dan jadiin Jevan samsak, Jevan gak punya tempat ngadu Pa. Jevan cuma tau satu cara untuk ngelupain semua rasa perih di tubuh dan hati Jevan itu. Dan cara itu Jevan tau dari Papa.” Ada jeda sebelum Jevan melanjutkan. “Meniduri perempuan-perempuan murahan seperti yang Papa selalu lakukan.”

“Novanda...”

“Setakut-takutnya Jevan liat Elen bahagia sama laki-laki lain, Jevan lebih takut Elen gak bahagia hidup sama Jevan Pa. Jevan ini rusak, keluarga ini jauh lebih rusak, Jevan gak ingin bawa wanita semulia Elen masuk ke kehidupan kita yang rusak.”

Biasanya, separah apapun Alexander menghajarnya, Jevan tidak pernah sudi mengeluarkan air mata. Namun hari ini, saat tidak ada satupun bagian tubuhnya yang terluka, air matanya justru meleleh.

“Kak Kiyo itu baik Pa, keluarganya juga hangat. Ayah Kak Kiyo gak pernah mukulin anaknya, Ibu Kak Kiyo masih ada untuk jagain anaknya. Apa Papa merasa keluarga kita lebih pantas untuk menerima Elena dari pada keluarga Kak Kiyo? Enggak kan, Pa?”

Jevan mengangkat kepala, menatap ayahnya yang juga masih menatap dia.

“Jevan juga ingin Elena sama Jevan. Tapi Jevan tau diri.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya Jevan bangkit lebih dulu meninggalkan ayahnya. Ayahnya yang membeku. Ayahnya yang merasakan bibirnya kelu.

Sementara Alexander hanya bisa menatap punggung anaknya yang hilang ditelan pintu. Tanpa berani menahannya. Tanpa berani meneriakinya untuk tinggal.

Anaknya benar. Gadis seperti Jelena lebih pantas berapa di keluarga Baratama dari pada keluarga Novanda. Dan keluarga Baratama lebih pantas menjadi besan bagi keluarga Iskandar.


“Oy Jep, kita di rumah Kak Kiyo nih, nemenin calon pengantin. Lo dimana?”

“Gue....”

“Sini lah nyusul,” Jaenandra menyahut dari sambungan telepon.

“Gue... ada urusan. Besok aja gue kesananya ya. Bye.”

Bip

Sambungan telepon itu terputus. Jevan menatap layar ponselnya yang dihiasi dengan foto dirinya dan sahabat-sahabatnya.

Raechan sudah bersama Kayana.

Jaenandra sudah bersama Klarisa.

Dan dua hari lagi, gadisnya, gadis yang begitu dia cintai akan menjadi milik laki-laki lain.

Laki-laki yang lebih pantas,

Jauh lebih pantas.

Jevan menghembuskan nafasnya sekali lagi. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Dia tidak lagi memiliki tempat pulang.

Studio adalah pilihan yang buruk untuk bermalam. Semua kenangannya bersama Jelena ada di sana.

Tadinya, dia ingin menginap di rumah salah satu sahabatnya, tapi mereka semua sedang bermalam di rumah Markio.

Lalu dia harus kemana? Ke makam ibunya?

Pilihan buruk.

Pikirannya kosong hingga akhirnya Jevan memutuskan untuk kembali menginjak gas. Membiarkan kemana perasaannya membawanya.

Memasuki tol,

Keluar pintu tol yang berada di pinggiran kota,

Memasuki daerah pinggiran kota,

Hingga berhenti di depan sebuah toko bunga.

Seoarang gadis tengah sibuk berbenah. Membuang beberapa sampah batang bunga ke tempatnya kemudian melepas apron dari tubuh kecilnya. Lalu tangan-tangan mungil itu sibuk mengikat rambut panjang si gadis bertubuh kecil.

Jevan bisa melihat semuanya dari dalam mobil. Matanya menerobos jendela kaca yang terpasang di samping pintu masuk toko.

Sekian menit terlewat hingga si gadis bertubuh kecil keluar dari toko. Membuat Jevan juga keluar dari mobilnya.

“Kok jam segini baru mau pulang Kak?”

Si gadis bertubuh kecil sedikit tersentak. Kunci yang sedang dia pegang jatuh ke lantai. “Loh Jevan...”

Jevan hanya tersenyum dan memungut kunci itu. Dia juga menggantikan si gadis untuk mengunci tokonya.

“Saya anter Kak Kiya pulang ya. Soalnya saya juga butuh tempat pulang...”

Angin malam Ayu Laga berhembus melewati mereka berdua. Meskipun diabaikan. Karena keduanya sedang sibuk bertatap-tatapan.

Hembusan nafas terdengar sekali lagi sebelum Juan mematikan mesin mobilnya. Matanya lurus menatap ke arah studio Jevan dengan gugup. Seorang gadis di sebelahnya mencoba untuk meraih tangannya guna membuat tenang laki-laki itu.

“Kalau kamu belum siap kenalin aku ke mereka gak papa kok Ju. Lain kali aja aku ikut nongkrongnya, waktu kamu udah yakin kalau mereka bisa nerima aku.” Wanita itu berkata lirih, tanpa rasa kesal sama sekali. Wanita itu paham bahwa laki-laki yang kini menjabat sebagai kekasih hatinya itu telah bertahun-tahun hidup seorang diri. Dia paham bahwa pasti sulit bagi Juan untuk tiba-tiba mengenalkannya kepada para sahabat laki-laki itu.

“Bukan mereka gak bisa nerima kamu yang aku takutin Na, justru aku lebih takut kamu yang gak bisa nerima mereka.”

“Kenapa emangnya?” tanya Sienna heran.

“Kita masuk aja, nanti kamu liat sendiri.”

Sienna menurut, tanpa banyak bertanya lagi wanita itu mengikuti langkah Juan yang berjalan di sampingnya. Sayup-sayup telinganya menangkap suara ribut yang berasal dari dalam studio.

Semakin dekat langkahnya dengan pintu masuk, makin keras pula suara-suara itu bisa Sienna dengar.

“LO CURANG GUE TABOK YA RAE! LO TUH UDAH JADI BAPAK! JANGAN CURANG BEGINI DONG!”

“NGOMEL MULU LO YA GUE DENGER-DENGER DARI TADI! BUKAN GUENYA YANG CURANG, LONYA AJA YANG GAK TAU CARA MAINNYA.”

Suara-suara itu membuat Juan menggigit bibir, perasaan gugupnya makin menggila. Perlahan dia membuka pintu masuk, membimbing Sienna untuk berjalan lebih dulu.

“JEVAN IH TOLOL ITU HARUSNYA LO LOMPAT! KENAPA DIEM AJA SIH! BENER KATA RAECHAN YA, LO EMANG TOLOL!”

Sahabat-sahabat Juan sama sekali belum menyadari kehadiran mereka berdua. Mata mereka masih terpatri pada layar berukuran besar di depan mereka.

Guys...” Juan memanggil, belum memdapat sahutan.

“JEV SINI DEH GUE YANG MAIN, GAK GUNA TAU GAK LO!”

Guys,” panggil Juan sekali lagi, masih diabaikan.

“Awas ya lo sampe mati juga Jaen, lo yang gue tabok.”

“Iye, kalau gue bisa ampe finish, lo yang isi kulkas bulan ini ya?”

“Gampang, kalau lo mati...”

Juan kehabisan kesabaran, dia menarik lepas kabel yang terhubung pada layar TV hingga layar lebar itu mati seketika. Kebetulan, stop kontak tersebut tepat berada di sebelahnya berdiri.

“Anj....” Ucapan Jaenandra tidak selesai, dia mendapati Juan dan seorang wanita cantik tengah berdiri menatap mereka semua. “U....udah dari tadi Wan?” sambungnya kikuk.

“Kok gak kedengeran ya ada orang dateng hehehehe.” Jevan terkekeh canggung.

“Mukanya serem amat Wan... kaya Pak Wishnu waktu marahin anak LPP.” Raechan ikut berkomentar.

“Du...duk Wan. Berdiri aja kayak lagi dihukum gak ngerjain PR.” Markio menggeser duduknya dan memberi ruang pada Juan.

Sekali lagi, Juan menarik nafas. Lebih dalam dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak habis fikir bahwa pemandangan pertama yang Sienna lihat ketika masuk ke studio Jevan adalah empat orang laki-laki menjelang akhir usia dua puluhan sedang saling memaki karena suatu permainan anak-anak, Mario Bros.

Dia sudah siap dengan kemungkinan terburuk, tapi ini tetap terasa buruk. Memang, rasa gugupnya beralasan.

“Firasat gue udah gak enak waktu mau turun tadi, taunya bener” Juan geleng-geleng, “duduk Na, aku ambilin minum.”

“AKU??!” Jevan memekik, membuat Sienna yang hendak duduk kembali berdiri tegap. Terkejut.

“Eh lo denger gak Kak, Rae, Jaen, tadi si Wawan bilang AKU? Bener gak sih? Apa kuping gue yang congek?!”

“Iya dia bilang gitu, jangan norak dong Jeeeevvv.” Jaenandra mencubit paha Jevan pelan.

“Eh duduk aja Na, Na.. Siapa ya ngomong-ngomong namanya? Nabila? Nayla? Atau... Nada dan dakwah?”

Pertanyaan Raechan membuat Sienna menyengir canggung. Matanya sibuk mengikuti Juan yang sedang sibuk mengambil minuman. Sungguh, Sienna butuh pertolongan sekarang.

“Namanya Sienna. Jangan lo jahilin anak orang, nanti kapok dibawa kesini gimana?” Dan untungnya pertolongan itu datang tepat waktu. Juan kembali dengan dua botol minum dingin di tangannya.

“Hehehe maaf, jangan kapok ya Sienna. Nanti kalau lo kapok kesini Juannya sedih, kalau sedih dia suka gigitin jempol kaki temennya soalnya. Kan kita yang repot hehehe.”

Coba tebak siapa yang berkata seperti itu?

Ya benar.

Raechan.

Sienna benar-benar tidak tahu harus berekasi seperti apa.

“Tuh yang ngomongnya ngaco banget itu yang namanya Raechan, sesuai kan sama yang aku ceritain?” Juan memilih mengabaikan celotehan Raechan dan mulai mengenalkan sahabatnya pada wanitanya.

“Kalau yang tadi dimaki-maki waktu main game itu yang namanya Jevander,” jelas Juan merujuk pada Jevan.

“Nah yang dua duduk di karpet itu namanya Markio sama Jaenandra, panggil aja Kak Kiyo sama Kak Jaenan. Kak Kiyo tuh yang dokter, inget kan aku pernah cerita kalau temen aku ada yang dokter?”

“Iya, inget.”

Sienna mendengarkan dengan baik dan berusaha mengingat.

“Salam kenal ya Kak, saya Sienna.”

“Ceilah sayaaa.... Kayak mau pidato aja, santai aja Sienna. Mau lo-gue juga boleh,” sahut Raechan asal.

“Sienna kok mau sih sama Juan? Emang gak takut?”

“Emangnya takut kenapa Kak Kiyo?”

“Ya Juan kan... galak. Mulutnya pedes, mie gacoan level delapan juga kalah.” Bukan Markio yang menjawab, tapi Jaenandra.

“Eh... Enggak kok Kak, selama ini dia manis.”

“Pantes stok gula di studio gue abis mulu, dicemilin si Wawan sebelum ketemu sama Sienna ternyata.”

Sungguh, Juan ingin mengeplak kepala sahabat-sahabatnya saat ini juga.

Sementara Sienna menahan tawanya mati-matian. Sejak tadi, hampir semua yang keluar dari mulut sahabat kekasihnya itu benar-benar perkataan ngawur.

“Yang lain pada kemana, Nyet? Kayanya cewek gue bakal lebih aman kalau ada mereka.”

“Ceilah cewek gue... Iya sih yang punya cewek... Sebut teroooossss...” Bukannya menjawab, Raechan justru meledek.

PLAK

Dan tentu saja, ledekan itu ada konsekuensinya.

“Ih sakit anjing!”

“Jawab yang bener makanya,” jawab Juan santai.

“Bini gue lagi jemput Gio les, bininya Kak Kiyo sama Jaenan ngikut. Tau deh ngapain juga ikut, heraaan, cewek demen bener pergi gerombolan.”

PLAK

Kali ini suara itu datang dari tangan Jaenandra.

Namun korbannya tetaplah Raechan.

“Sakiiittt tolollll.”

“Bini gue nemenin Kak Kayana karena lakinya malah lebih milih ngegame dari pada jemput anaknya ya, Njing.”

“Hehehe, bener juga.”

Tawa Sienna tak terbendung lagi, tawanya menggema memenuhi studio Jevan. Pertengkaran kekanak-kanakan yang ada di hadapannya sekarang sungguh menghibur.

Juan sering kali bilang bahwa sahabat-sahabatnya gila. Namun melihat kegilaan itu secara langsung seperti ini terasa lebih menyenangkan.

Sienna jadi tahu dari mana sikap menyenangkan Juan berasal.

“Sekarang udah tau kan kenapa aku lebih takut kamu yang gak bisa nerima mereka?”

Masih dalam sisa-sisa tawanya, Sienna mengangguk. “Tapi mereka menyenangkan kok Ju, aku seneng ada disini.”

“Yakin? Gak mau pulang aja?”

“Iya yakin, kita tunggu sahabat-sahabat kamu yang lain pulang ya. Aku juga mau kenalan sama Sergio.”

“Oke kalau gitu.”

“Yeee bisik-bisik aja kayak lagi di perpus.” Raechan kembali bersuara. “Cewek lo sukanya makan apa Wan? Biar kita pesenin makan. Pesta penyambutan.”

Di sudut ruangan, Juan bisa melihat Markio tengah menghubungi seseorang melalui sambungan telepon.

“Iya kamu langsung ke studio Jevan aja lagi ya Sayang. Juan mau ngenalin seseorang yang spesial nih, bilangin ke yang lain ya.”

Senyum Juan melebar. Dia senang.

Dia senang Sienna memahami sahabat-sahabatnya dengan cepat.

Dan dia senang, sahabat-sahabatnya menerima Sienna dengan riang.

“Kayak yang biasa kita pesen aja, Rae.”

“Oke.”


Seorang pria menyentuh dadanya guna menenangkan sesuatu yang memberontak di dalam sana. Degupannya terlalu kencang, dia takut orang lain bisa mendengar. Tanda panah pada layar kecil di dalam lift yang ditumpanginya seakan menambah intensitas degupan itu. Perlahan-lahan, satu demi satu lantai terlewati, membawanya semakin dekat pada hunian yang sedang dituju.

Ini kali keduanya datang dengan keadaan secemas ini. Kali pertamanya adalah ketika dulu dia datang seorang diri untuk menemui gadis si pemilik hunian. Lalu alasan kecemasannya kali ini adalah karena di dalam sana, bukan hanya gadis si pemilik hunian yang akan dia temui, namun juga kedua orang tuanya.

Dia cemas, meskipun tidak datang sendirian. Dia cemas, meskipun para sahabatnya memintanya untuk tenang.

Markio, pria itu menghembuskan nafas untuk melonggarkan dadanya yang penuh. Dia telah tiba di lantai lima belas, lebih tepatnya di depan kamar bernomor 15`7. Seorang dari sahabatnya mengetuk pintu dan langsung mendapat sahutan dari dalam. Dalam waktu sepersekian detik, gadis cantik dengan gaun berwarna putih gading membuka pintu.

“Siapa, Na? Gio ya?” Belum sampai mereka masuk, suara lembut terdengar dari dalam, diiringi langkah kaki pelan menyusul ke pintu masuk. Seorang wanita tengah baya yang sangat mirip dengan Jelena muncul dari balik punggung gadis itu sambil tersenyum ramah. “Gio yaampun sudah besar sekali sekarang, gendong Oma ya?”

Markio bisa sedikit bernafas lega, keberadaan Sergio-anak Raechan dan Kayana- memberi sedikit angin segar. Dia bisa berjalan dengan ringan mengekori sahabatnya yang lain. Namun, langkah ringan itu perlahan memberat. Seolah ada batu yang menggantung di kedua kaki Markio saat dia mendapati papa Jelena tengah duduk di meja makan. Dan pada akhirnya mereka berkumpul di sana.

Jantungnya kembali berdegup kencang. Kepalanya kosong. Markio duduk dengan canggung.

“Eh udah pada dateng. ayo duduk silakan. Aduhhhh si Gio udah besar sekarang, berapa tahun dia Rae?”

“Dua setengah tahun Om. Ganteng ya kayak papanya?”

Markio tersenyum kecut. Andai saja, andai saja papa Jelena menyambutnya seramah itu.

“Eeyyy Jaenandra! Kapan kasih adik buat Gio ini ha?”

“Tahun depan ya Om!”

Andai saja, andai saja dia bisa bergurau seperti itu dengan Papa Jelena.

“Ayah sehat Ca? Masih suka sedih mikirin Bundamu?”

“Puji Tuhan udah gak terlalu Om. Sekarang Kak Garend sama istrinya lebih sering pulang, jadi Ayah gak begitu kesepian.”

“Bagus,” Papa Jelena tersenyum lembut. “Juwan apa kabar? Belum mau menikah dia?”

“Belum Om. Dia malah mau tinggal sama Ayah aja katanya, mau ngurus Ayah.”

Pembicaraan mengalir sangat baik, meninggalkan Markio bersama kepalanya yang kosong.

“Kayana, ini Gio buat Om sama Tante aja ya? Kamu bikin lagi aja sama Raechan!”

“Waduh Om, takutnya gak sebagus itu lagi jadinya.”

Lihatlah, bahkan Kayana bisa sesantai itu dengan papa Jelena.

Markio sudah tertinggal jauh, jauh sekali. Bahkan keberadannya saja seperti tidak terlihat.

“Santai aja, ada aku.” Suara halus itu muncul dari sisinya, disusul sentuhan lembut pada telapak tangannya yang saling mengait di bawah meja. Jelena duduk di kursi sebelahnya yang kosong. “You look good tonight, baju baru ya?”

Markio mengangguk sebagai jawaban.

“Wangi banget lagi, tumben pake parfum?”

“Minta Raechan tadi.”

Mereka berdua terkekeh atas jawaban spontan Markio. Jelena tahu benar bahwa kekasihnya itu tidak pernah suka mengenakan parfum, karena aroma tubuhnya saja sudah sedap untuk dicium. Jadi, dapat mencium aroma parfum dari tubuh Markio seperti ini terasa spesial. Dan sepertinya Markio juga menganggap malam ini spesial maka dia melakukannya.

Kekehan keduanya menarik perhatian papa Jelena, belaiu berdehem pelan, mengalihkan tatapannya dari Sergio. “Jevan dimana? Coba telfon dia, Elena.”

“Biar saya yang telfon Om, sekalian mau nitip sesuatu,” potong Jaenandra cepat. Paham dengan situasi yang terjadi.

Pembicaraan kembali mengalir, orang tua Jelena tampak akrab dengan semuanya kecuali Markio. Pria itu hanya diam mendengarkan, mengamati dan mencoba memahami segalanya. Meskipun otaknya terasa tetap kosong. Sulit baginya mengerti kenapa papa Jelena selalu tampak ingin menjauhinya. Terlebih ketika hubungannya bersama Jelena semakin baik.

Markio paham jika papa Jelena begitu menyukai Jevan. Karena Markio paham bahwa memang sejak awal Jevanlah yang berjuang untuk Jelena. Jevan yang meyakinkan orang tua Jelena untuk membawa pulang supir pribadi Jelena dan siap bertanggung jawab untuk hidup Jelena di perantauan. Jevan yang selalu datang bersama Jelena ketika jadwal gadis itu untuk pulang ke daerah asal. Jevan juga yang selalu menyambut kedatangan kedua orang tua Jelena ketika mereka berkunjung.

Tapi sungguh, Markio tidak mengerti apakah semua hal itu bisa menjadi alasan bagi papa Jelena untuk membencinya? Apakah sesulit itu untuk merestui hubungan Markio dengan anaknya?

Karena selalu tidak menemukan jawaban, Markio mrmilih untuk mencoba mengerti saja. Sekaligus berharap, seiring rasa pengertian yang dia bangun membesar maka perasaan ikhlasnya akan keadaan ini juga ikut membesar.

Ketukan pada pintu menarik atensi Markio, dia bisa melihat papa Jelena bangkit berdiri dengan terburu-buru untuk membukakan pintu. Bahkan langsung memindahkan Sergio ke pangkuan istrinya.

“Ini dia yang ditunggu-tunggu, kemana aja kamu Jevander?!”

Suara itu begitu lantang terdengar, seolah mengejek Markio. Memamerkan keakraban papa Jelena dan Jevan.

“Ayo-ayo masuk, kita langsung makan malam. Om sama Tante udah nunggu kamu, tadi siang kan kita gak sempat makan bareng karena kamu sibuk. Juan juga ayo masuk, Nak!”

Saat mereka bertiga kembali memasuki area ruang makan, Markio bisa melihat bagaimana papa Jelena merangkul Jevan dengan akrab. Mereka bahkan duduk bersebelahan, mengobrol dan tertawa bersama.

Saat hatinya kembali mencelos, sentuhan hangat kembali Markio rasakan. Jelena, gadisnya itu kembali menggenggam tangannya di balik meja makan.

Saat itu, Markio menjadi bingung, manakah yang lebih buruk? Mendapatkan gadis yang dicintainya namun tidak mendapatkan restu kedua orang tuanya atau memenangkan hati kedua orang tuanya namun kalah dalam pertempuran mendapatkan hati gadis yang diinginkannya?

Jalanan Ayu Laga selalu sepi di sore hari. Sebagain besar kegiatan warganya hanyalah minum teh di beranda rumah usai lelah bekerja seharian. Beberapa dari mereka yang memiliki pemasukan lebih dari cukup, memilih mengeluarkan sedikit ungnya untuk memesan satu gelas kopi atau cokelat panas di kafe-kafe yang berjajar memenuhi jalanan utama ayu laga.

Tak ayal, sore itu Garend harus berdiri dalam antrian cukup panjang untuk memesan kopi yang Vivian titipkan. Masih ada enam atau tujuh antrian lagi di depannya. Dia memilih untuk menikmati keadaan kafe dari pada menggerutu tentang antrian itu.

Tatapan matanya jatuh pada seorang anak laki-laki yang duduk di high chair, berhadap-hadapan dengan seorang wanita yang sibuk menyuapi anak itu. Mata bulat si anak laki-laki tidak lepas menatap Garend meskipun dia sedang sibuk dengan potongan kue keju yang disuapkan ke mulutnya.

Antrian mulai menipis, tersisa dua orang di depan Garend. Namun kontak mata mereka masih tertaut. Bahkan semakin dalam. Garend seperti melihat potret masa kecilnya dalam diri anak itu. Dengan mata yang sama, bentuk bibir yang sama dan hidung tinggi yang sama.

“Silahkan,”

Garend sedikit terperanjat saat tanpa dia sadari, sudah tiba gilirannya untuk memesan. Laki-laki itu memotong kontak matanya dengan si anak dan fokus pada seorang kasir di hadapannya yang sedang menunggunya memesan.

“Tiga ice americano sama satu ice cafe latte less sugar ya Mbak.”

“Ada lagi Pak?”

“Hmm... Strawberry crumble muffinnya boleh satu deh Mbak.”

“Baik Pak, totalnya Rp. 250.000, pembayaran dengan apa? Dan maaf, atas anam siapa?” tanya kasir itu sopan.

“Ini, cash aja,” ucap Garend sembari mengulurkan uang senilai yang harus dia bayarkan. “Atas nama Garend ya Mbak.” Lalu setelah mendapatkan struk bukti transaksi, dia duduk di salah satu kursi untuk menunggu pesanannya.

Kali ini, Garend tidak lagi menjatuhkan tatapannya pada si anak laki-laki. Dia sibuk memeriksa ponsel karena baru saja mendapatkan informasi tentang keadaan beberapa pasien yang baru saja dikirimkan pihak rumah tempatnya bekerja.

“Tiga ice americano, satu ice cafe latte dan strawberry crumble muffin atas nama Garend.”

Suara panggilan itu terdengar ke penjuru cafe, membuat si empunya nama langsung berdiri dari duduknya. Tanpa dia sadari, seorang wanita juga menoleh atas panggilan itu.

“Garend,” lirih wanita itu, selirih mungkin, namun hebatnya Garend masih bisa mendengar.

Manik mereka bertemu, saling mengait. Ada senyum di wajah Garend, namun jauh berbeda dengan wanita itu. Wajahnya pucat pasi, dia terlihat gugup. Buru-buru membereskan beberapa barang di atas meja, memasukkanya sekaligus ke dalam tas. Namun ada hal yang membuat senyum Garend perlahan turun, wanita itu menggendong si anak laki-laki yang tadi menjadi pusat perhatiannya. Mereka berdua berlalu secepat angin, bahkan sebelum sempat Garend memanggil namanya.


Lorong John Medical sebetulnya tidak terlalu panjang, namun entah kenapa rasanya sore itu langkah kaki yang sudah Garend ambil lebar-lebar belum juga mampu membawanya cepat sampai ke ruang istirahat dokter. Rasanya lorong itu tak berujung.

Kepalanya penuh. Memikirkan kepergian wanita yang ditemuinya tadi. Memikirkan kepergian wanita itu yang terburu-buru. Memikirkan anak laki-laki yang wanita itu bawa pergi bersamanya.

“Rend, kenapa lo?” Tendra menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran Garend sesaat setelah laki-laki itu masuk ke ruang istirahat.

“Adzkiya...”

“Adzkiya?” tanya Tendra bingung.

“Gue ketemu Adzkiya Ndra...” Garend berucap lirih, “Adzkiya... Udah nikah? Itu anaknya sama Sagara? Kenapa dia kabur pas liat gue?”

Tendra terkesiap. Kedatangan Garend kembali ke Ayu Laga memang sepaket dengan akan bertemunya dia kembali dengan wanita itu. Tapi Tendra tidak menyangka akan secepat ini.

“Adzkiya...”

“Anaknya lucu Ndra. Tapi kenapa mirip gue, ya?”

“Rend, duduk dulu.”

Ruangan menjadi lengang selama beberapa saat. Tendra berusaha mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan pada Garend tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sementara Garend setia menunggu tiap kata yang akan keluar dari bibir Tendra. Bahkan dia tidak menyadari bahwa di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Tanpa Vivian dan Juwan.

“Adzkiya gak pernah balik ke Sagara, Rend.” Tendra memulai, “setelah Sagara sembuh, mereka hidup sendiri-sendiri. Adzkiya nunggu lo pulang.”

Belum ada tanggapan apapun dari Garend, laki-laki itu masih terdiam. Tubuhnya kaku, bibirnya kelu.

“Anak itu... anak lo, Rend.”

Jelas sudah. Terlampau jelas. Sudah jelas kenapa dia melihat potret masa kecilnya dalam diri anak kecil tadi.

Telinga Garend berdengung nyaring. Kepalanya pusing. Dia merasa seperti dihantam bebatuan besar. Kebenaran yang baru diterimanya benar-benar membuatnya linglung.

“Lo ngerasa dia mirip lo kan?” tanya Tendra, “ya karena itu memang anak lo, Garend.”

“Terus kenapa Adzkiya pergi pas liat gue Ndra?”

Hanya itu, hanya itu yang mampu Garend tanyakan.

Dari banyaknya pertanyaan yang menggelayut di bibirnya, hanya itu yang lolos keluar.

“Adzkiya tau lo dateng kesini sama Vivian, dia gak mau ganggu hubungan kalian.”

Sekarang, kepala Garend bukan hanya pusing, namun juga terasa mau pecah.

Selama dia pergi, Adzkiya mengandung anaknya seorang diri. Setelah anak itu lahir, Adzkiya membesarkannya seorang diri. Anak itu tumbuh dengan begitu baik, dengan artian lain, Adzkiya membesarkannya dengan baik pula. Sebagai ibu tunggal.

Sementara dirinya justru pergi ke tempat yang tak terjamah. Menjauh dari semua tanggung jawab yang seharusnya dia pikul.

Garend mengutuk dirinya sendiri karena merasa paling terluka hingga berhak melarikan diri. Tanpa dia tahu, Adzkiya terluka lebih dalam dari pada dirinya.

Namun di sisi lain, dia juga benar-benar tidak tahu bahwa saat dia pergi, Adzkiya tengah mengandung anaknya. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa.

Semua pikiran itu hanya mampu membuatnya terdiam. Menatap lantai marmer di bawah kakinya.

Sementara itu, di balik pintu ruang istirahat yang tertutup rapat, Vivian menyandarkan punggungnya dengan lemas. Kedua lengannya terkulai di sisi tubuh. Dia runtuh. Perasannya ikut hancur.

Lonceng yang terpasang di pintu masuk mengeluarkan bunyi saat bersentuhan dengan pintu yang dibuka dari luar toko. Adzkiya menatap ke arah sana, mendapati seorang pemuda yang berusia empat tahun lebih muda darinya. Pemuda itu datang sendirian, terlihat sayu dengan sebuah kertas lusuh dalam genggaman.

“Loh Jevan, kamu kapan sampe di Ayu Laga?” tanya Adzkiya, merasa terkejut akan kehadiran pemuda itu yang secara tiba-tiba masuk ke toko bunganya.

“Tadi malem Kak,” jawab Jevan pelan.

Lonceng di pintu masuk kembali bergerincing saat pintu kembali ditutup. Jevan melangkah mendekat ke arah counter, berhadap-dapan dengan Adzkiya.

“Kak Adzkiya, saya mau beli satu buket bunga Lily putih, ada?”

“A...da,” jawab Adzkiya canggung. Perasaan heran masih bergelayut di hatinya.

“Tunggu sebentar ya, kamu duduk dulu aja di kursi kayu situ.” Meskipun begitu, Adzkiya tetap mencoba melayani pembelinya dengan profesional. Meskipun ingin sekali dia menanyakan alasan Jevan tiba-tiba datang ke Ayu Laga. Karena setahunya, pemuda itu dan sahabat-sahabatnya yang lain lebih senang untuk datang ke rumah Klarisa di perkebunan teh.

Selama beberapa saat, tidak ads pembicaraan di antara mereka berdua. Adzkiya sibuk dengan bunga-bunganya, sementara Jevan sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali Adzkiya melirik Jevan yang sejak tadi menatap sebuah kertas lusuh di tangannya. Dari jarak ini, Adzkiya tidak bisa melihat isi kertas itu. Dia hanya bisa melihat bahwa kertas itu berwarna biru tua dengan tulisan berwarna emas, di sisi kanan bawah kertas terdapat foto yang sepertinya seorang laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian serba putih.

“Waktu Kak Garend ngasih undangan pernikahan ke Kak Adzkiya, perasaan Kak Adzkiya gimana?”

Bunga Lily putih yang tengah Adzkiya rangkai tergelincir dari tangannya. Seakan tersambar petir di siang yang cerah, Adzkiya begitu terkejut mendengar pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Jevan.

“Kak Adzkiya nangis gak waktu itu?” tanya Jevan lagi, meskipun pertanyaannya yang sebelumnya belum terjawab.

Adzkiya masih diam, belum berani menatap ke arah Jevan.

“Kak Adzkiya ngerasa benci gak sama Kak Garend waktu itu?”

“Jev...”

“Elen mau nikah, Kak.”

Lagi, Adzkiya kembali merasa tersambar petir. Saat masih bersama Garend, mantan kekasihnya dulu, Garend pernah bercerita bahwa Jevan, Jelena dan Markio terlibat cinta segitiga yang pelik. Sedikit banyak dia tahu bahwa kabar pernikahan Jelena adalah kabar buruk bagi Jevan.

Dan akhirnya dia jadi tahu, kertas lusuh itu adalah undangan pernikahan.

“Saya kesini sebenernya untuk nyembuhin diri. Kak Garend nyaranin saya untuk ke kaki bukit, waktu saya duduk-duduk disana, tiba-tiba saya inget kalau kaki bukit itu tempat spesialnya Kak Adzkiya sama Kak Garend dulu. Terus saya juga jadi inget kalau Kak Garend ninggalin Kak Adzkiya untuk menikah sama Kak Vivian.”

“Kamu ngerasa kalau takdir kita sama jahatnya makanya kamu dateng ke Kiya Florist?”

“Iya,” aku Jevan jujur, “saya sekalian mau tanya gimana caranya Kak Adziya berdamai sama keadaaan,” tambah Jevan lirih, selirih angin dingin yang menelisik di antara dedauan.

Adzkiya tidak langsung menjawab, dia memungut bunganya yang jatuh lalu membuangnya ke kotak sampah. Setelah itu dia lanjutkan lagi kegiatan merangkai bunganya hingga selesai.

“Gak akan pernah ada cara untuk berdamai sama keadaan kalau kamunya belum ikhlas, Jev.”

Jevan menegakkan kepalanya, menatap Adzkiya yang berdiri di balik counter.

“Jangan maksa diri kamu untuk langsung bisa berdamai sama keadaan. Terima aja takdirnya, jalanin, semuanya bakal baik-baik aja seiring berjalannya waktu. Bukan karena waktu sembuhin kamu, tapi karena waktu ngajarin kamu untuk terbiasa sama luka yang terlanjur ada di hati kamu.”

“Kalau saya tetep gak bisa lupain Elen, saya harus gimana Kak?”

“Ikhlas Jevan. Bilang ke diri kamu sendiri kalau dari awal kamu emang gak pernah ditakdirin buat dia. Dan bilang ke diri kamu sendiri kalau kamu juga harus bahagia, walaupun gak sama dia.”

“Susah Kak...”

Adzkiya tertawa kecil. Mentertawakan jawaban Jevan. Mentertawakan dirinya yang juga pernah berada di posisi Jevan.

“Kalau ikhlas ngelepasin seseorang itu gampang, gak akan ada namanya patah hati Jevan.” Ada sisa tawa dalam suara Adzkiya. “Ini bunganya udah selesai.”

Jevan menghembuskan nafas lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah counter.

“Berapa Kak?”

“Gak usah, bawa aja.”

Adzkiya mengulurkan bunga itu yang diterima secara ragu-ragu oleh Jevan.

“Nikmatin aja prosesnya. Kalau kata Vivian, nikmati rasa sakitnya sampai kamu sendiri muak sama rasa sakit itu. Dengan begitu, pelan-pelan, bahkan tanpa kamu sadari, kamu akan sembuh.”

Aroma bunga Lily tercium, membawa ketenangan yang aneh pada diri Jevan. Ketenangan yang mungkin juga dihasilkan oleh tiap kata yang keluar dari bibir ranum Adzkiya.

“Makasih ya, Kak. Untuk bunganya, juga untuk semua nasehatnya.”

“Kamu gak keliatan kayak Jevan yang selama ini Kak Adzkiya kenal,” gurau Adzkiya berusaha mengusir atmosfer sedih yang sejak tadi menaungi Kiya Florist.

“Tiap kali kita ketemu, kamu selalu banyak senyum, your eye smile looks so pretty. Kak Adzkiya mau liat senyumnya dong.”

Jevan tersipu, mata dan bibirnya membentuk lengkung senyum yang mendamaikan. Menarik jiwa Adzkiya untuk ikut tersenyum bersamanya.

“Nah, ini baru Jevan.” Tangan Adzkiya mengacak lembut surai Jevan. “Kamu nginep di rumah dinas Garend?”

“Enggak, saya nginep di Laga homestay.

“Oh yaudah, gih balik ke homestay, istirahat.”

Jevan mengangguk kemudian mengangguk sopan sebagai tanda berpamitan.

Namun sesaat sebelum tangan Jevan meraih pintu, Adzkiya kembali bersuara. Memanggil namanya. Disusul langkah kaki cepat menyusul Jevan.

“Kak Adzkiya gak tau bunga Lily itu buat siapa. Tapi Kak Adzkiya mau kasih bunga buat kamu.”

“Bunga apa Kak?”

Adzkiya membuka telapak tangan Jevan dan meletakkan setangkai bunga disana.

“Ini bunga Hyacinth. Maknanya I'll pray for you. Kak Adzkiya berdoa semoga keadaan hati kamu cepet membaik.”

Senyum Adzkiya malam itu menjadi penyebab nyenyaknya tidur Jevan pada malam keduanya di Ayu Laga.