Casting.

Bulan Juni datang lebih cepat dari yang aku perkirakan. Rasanya, baru beberapa hari lalu aku menyambut tahun baru. Larut dalam euphoria apik yang diagungkan seluruh manusia di muka bumi. Dan dalam sekejap mata, bulan Juni menyapa. Membawa anginnya yang terasa basah.

Aku terduduk di suatu ruangan seorang diri. Berkawan sebuah buku naskah dengan judul Bittersweet pada halaman depan. Naskah film yang akan segera dimulai proses produksinya. Naskah film yang diambil dari buku karanganku yang sempat nangkring di rak best seller nomor satu di seluruh toko buku. Naskah yang berisi mimpiku, angan-anganku, kebangaanku. Naskah yang kelak akan aku ceritakan pada para penerusku.

“Mbak Sabitha, Mas Kylo sudah pulang. Dan barusan manajer Mas Gentala bilang lima menit lagi mereka akan sampai. Sementara Mbak Penny lagi istirahat di mobilnya sambil nunggu dipanggil lagi untuk casting sama Mas Gentala.”

Aku mengangguk seraya tersenyum kala Mbak Tari-Casting Manager rumah produksi tempat aku mempercayakan karyaku- membawa kabar mengenai aktor dan aktris yang akan menjadi pemeran dari karakter dalam karyaku itu.

Salah seorang dari mereka yang bernama Kylo Noah Salim telah melakukan uji coba untuk peran Garend, tokoh utama dalam novel Bittersweet, seorang dokter residen berusia 26 tahun. Namun sayang sekali, dia masih tampak terlalu muda untuk karakter itu. Lalu setelah ini, seorang aktor lain bernama Gentala Harold Hastanta akan melakukan uji coba untuk karakter yang sama. Aku menaruh harapan besar pada Gentala karena dia memiliki aura Garend pada dirinya.

“Selamat siang.”

Lamunanku lenyap kala seorang pria dengan tubuh tegap yang aku perkirakan tingginya 177cm masuk ke dalam ruangan. Dari wajahnya, aku melihat keramahan dan ketenangan sekaligus. Laki-laki bernama Gentala itu juga tampak percaya diri, mungkin karena didukung pakaian yang membuatnya terlihat baik.

Tipikal laki-laki yang akan menjadi pusat perhatian seklipun dia tidak mencoba untuk menarik perhatian.

“Saya Gentala Harold.”

Dia mengulurkan tangan, menungguku menyambutnya. Namun si bodoh ini justru tak kunjung menjabat uluran tangan itu.

“Hei, melamun?” tanyanya seraya melambaikan tangan tepat di depan wajahku, membuatku mengerjap beberapa kali.

“Eh, hai, maaf hehehe, saya Sabitha, Sabitha Karen.”

“Saya tahu, saya juga pembaca Bittersweet makanya saya sangat tertarik ketika manajemen menawarkan project ini.”

“Oh? Terimakasih,” ucapku gugup. Aneh rasanya mendengar bahwa dia adalah pembaca karyaku. Aku meraba-raba, seharusnya dia sudah tahu karakter macam apa Garend itu.

“Jadi... bisa kita mulai castingnya? Mungkin ada request tertentu saya harus mencoba scene yang mana?”

Aku diam sebentar, menimbang-nimbang. Dari seluruh bagian cerita, aku paling menyukai scene dimana Garend dan Adzkiya sedang berdiri berhadap-hadapan di kaki bukit dan sunset menjadi latar waktu mereka. Aku sangat ingin melihat bagaimana Gentala akan merealisasikan tatapan penuh cinta yang diberikan Garend pada Adzkiya sore itu.

“Boleh yang scene di kaki bukit aja kali ya? Tapi itu harus sama Adzkiyanya... ah sebentar, biar saya panggil Mbak....”

“Boleh saya coba sama kamu dulu aja gak?” Gentala menyela, “kamu kan penulisnya, kamu yang paling tau nantinya saya cocok atau enggak untuk karakter Garend.”

“Boleh.”

Tidak ada alasan untuk tidak menyetujui usulan Gentala.

Kami berdiri berhadap-hadapan, aku mencoba memanggil karakter Adzkiya untuk masuk ke dalam diriku. Adzkiya yang begitu mencintai Garend. Adzkiya yang hanya memiliki Garend dalam hati dan otaknya.

Sementara laki-laki di hadapanku nampak memejamkan mata. Entah untuk apa. Mungkin melakukan pemanggilan karakter seperti yang aku lakukan. Lalu saat aba-aba action terdengar, Gentala membuka mata. Menatapku dengan penuh cinta. Mengunci kornea mataku agar hanya menatapnya. Aku benar-benar merasa dicintai. Diterima. Dipuja. Tatapannya membuatku merasakan seluruh perasaan indah yang bisa diberikan oleh hamba Tuhan.

“Jangan nangis, aku sabar kok.” Gentala mengucapkan dialognya dengan fasih, penuh perasaan dan pengucapan yang lugas tanpa terbata. Lalu dia maju selangkah, mengikis jarak di antara kami. Tangannya terangkat sebelah dan mendarat di sisi pipi kananku. “Adzkiya, aku gak akan kemana-kemana.”

Setelah itu, yang aku ingat hanyalah dekapannya yang hangat.

Sebagai seseorang yang telah lama tidak mengenal cinta kecuali dari karakter fiksi, aku seperti tersadarkan bahwa sebuah sentuhan dari sosok nyata bisa memberikan efek senyaman ini. Membuatmu mendambakan sesuatu yang lebih.

Namun....

Cut

Tepat saat aba-aba itu, Gentala menarik diri. Membuat kulitku terasa digerayangi angin dingin bulan Juni karena tidak lagi berada dalam dekapannya.

“Sekarang boleh panggil yang jadi Adzkiyanya ya, biar saya coba sama dia.”

Salah seorang dari tim casting mengangguk dengan semangat dan keluar ruangan untuk menemui Penny Kimberly, aktris yang dipilih untuk membawakan karakter Adzkiya.

“Semoga acting saya sesuai gambaran Garend yang kamu ciptakan ya, Sabitha.” Gentala tersenyum ramah, meninggalkan diriku yang diam tidak merespon.

Mataku mengikuti dirinya yang berjalan ke arah pintu masuk, menyambut seorang gadis cantik yang tengah sibuk membuka ikatan rambutnya. Gadis itu tampak anggun dengan gaun berwarna putih tulang selutut dan flat shoes berwarna cream. Visualisasi sempurna untuk Adzkiya.

“Mbak Sab, sekarang Mbak Sab liat Mas Gentala sama Mba Kimberlynya acting ya.”

“Oke Mbak.”

“Mau adegan yang mana?” Gentala bertanya pada Kimberly, sementara si gadis yang ditanya langsung membuka salah satu halaman dalam naskah.

“Yang ini aja kali ya Tal? Yang dokter Garend ngeliat Adzkiya untuk pertama kali?”

Gentala menyetujui, lalu dia bersiap-siap di posisinya.

Scene yang dimaksudkan Kimberly adalah scene dimana Adzkiya tengah meletakkan bunga di salah satu kamar rawat dan Garend menatapnya dari jauh.

Action.”

Kimberly memulai actingnya, meletakkan setangkai bunga mawar di atas nakas lalu menatap sofa seolah itu adalah ranjang pasien. Sementara dari tempatnya duduk, mata Gentala mengawasi tiap gerakan Kimberly. Dengan sabar. Dengan kekaguman. Selayaknya Garend yang jatuh cinta pada Adzkiya sejak pandangan pertama.

Pada detik itu aku menyadari bahwa Gentala Harold Hastanta adalah seorang aktor yang baik. Actingnya bahkan sempat membuatku lupa daratan karena terasa begitu nyata. Membuatku merasa bahwa dia benar-benar mencintai aku. Membuatku hampir lupa bahwa saat itu kami adalah Garend dan Adzkiya.

Lalu akhirnya, saat kata cut kembali terdengar, aku berbisik pada Mbak Tari,

“Mbak, mereka adalah Garend dan Adzkiya yang aku mau.”