Study With Me.

Di bawah sana, berjarak puluhan meter, kendaraan berlalu lalang di jalanan empat ruas. Berbaris-baris entah menuju kemana. Berdesakan dipermainkan keadaan jalan yang selalu saja pepak. Keadaan di bawah sana membuat seorang laki-laki yang menatap kericuhan itu dari atas berdecak kasihan. Dia menjadi bersyukur bisa lebih dulu tiba di ruangan seluas setengah lapangan bola ini sebelum keadaan jalanan seburuk itu.

Setelah bosan mengamati jalanan, laki-laki itu berjalan ke arah ranjang, duduk ditepinya, melepaskan jaket hitam hingga menyisakan kaus berwarna putih menempel di tubuhnya. Laki-laki itu masih bisa mendengar gemericik air dari kamar mandi yang berada di seberang ranjang. Suara itu membuatnya gugup dan memutuskan untuk bermain ponsel guna mengusir perasaan menyebalkan itu.

Sekian menit terlewat, pintu kamar mandi terbuka. Menampakkan gadis cantik yang dibalut dengan gaun malam hitam yang terlihat begitu....terbuka. Belahan dadanya rendah, hanya ada bagian tali kecil yang membuatnya tetap menempel membungkus tubuh ramping si gadis. Panjang gaun itu hanya sanggup menutupi setengah paha.

Si laki-laki menelan ludah, terlebih ketika gadis itu melenggang santai menuju meja rias. Mengambil botol lotion kemudian mengoleskan ke area lengannya yang begitu putih dan mulus. Laki-laki itu, Rigen Handaru namanya, sedikit menelan ludah. Detak jantungnya berpacu lebih cepat membuta rasa gugupnya semakin menggila. Terutama ketika gadis itu memanggil namanya lembut dan memintanya mendekat. Rigen berjalan ragu-ragu hingga tubuhnya hanya berjarak beberapa jengkal dari si gadis. Seketika itu, si gadis membuat Rigen duduk di atas kursi rias. Lalu dengan lancang, si gadis mengangkat kakinya ke atas paha Rigen. Membuat Rigen kembali menelah ludah karena keintiman posisi mereka.

“Tolong olesin dong Gen,” pinta Azalea-si gadis itu-penuh kelembutan.

Rigen menurut, dia menuangkan lotion ke tangannya dan bergerak kikuk mengoles lotion itu mulai dari betis hingga perlahan-lahan naik ke paha Azalea. Ketika tangannya menyentuh kulit putih itu, Rigen bisa merasakan kelembutan yang terasa menyenangkan di telapak tangannya.

Setelah selesai dengan satu kaki, Azalea bergantian mengangkat kakinya yang satu lagi dan Rigen mengulangi prosesnya. Kali ini dengan lebih perlahan karena dia ingin merasakan kelembutan itu lebih lama. Bahkan diam-diam, Rigen mengutuk Tuhan yang hanya memberikan dua kaki pada hambanya hingga perasaan menyenangkan itu hanya bisa dia rasakan sebentar.

Setelah merasa puas dengan bantuan yang diberikan Rigen, Azalea menurunkan kakinya dan menatap laki-laki di hadapannya yang kembali menunduk.

Nervous banget kayaknya, santai aja lagi, Gen.” Azalea terkekeh melihat tingkah juniornya itu, “ngerjain tugasnya di kasur aja yuk, biar gak capek. Di kamar gue gak ada sofa soalnya.”

Setelah mengatakan itu, Azalea berjalan santai ke arah ranjang, mendudukkan dirinya di sana dan bersandar pada kepala ranjang. Gaun malamnya semakin terangkat naik, semakin membuatnya minim. Namun tampaknya gadis itu tidak perduli. Dalam hati, Rigen mengutuk dirinya sendiri karena mengiyakan ajakan seniornya yang memintanya untuk membantu mengerjakan tugas di apartemennya ini. Seharusnya dia mendengarkan nasihat Arnold, sahabat karibnya, untuk tidak dekat-dekat dengan gadis yang memiliki tubuh paling indah di muka bumi itu.

“Rigen, ayo sini,” panggil Azalea lagi, membuat Ranu buru-buru memindahkan tubuhnya dari kursi rias ke atas ranjang.

“Nih, bagian ini nih gue gak ngerti. Tolong ajarin, ya?”

“Iya, Kak,” patuh Rigen seperti tersihir tiap kali suara Azalea terdengar. Dengan patuh dia mengajari gadis cantik itu sembari sesekali menunjuk pada layar laptop. Mereka berdiskusi hingga tugas itu selesai, setidaknya butuh lebih dari dua jam.

Punggung Rigen terasa kebas. Sejak tadi tubuhnya kaku hingga seluruh otot dalam dirinya terasa tegang. Rigen berusaha menjaga pandangannya agar tidak melirik ke arah yang seharusnya tidak dia lihat, sebab itu lehernya juga terasa sakit karena terus menerus melihat ke satu arah. Matanya juga terasa perih, cahaya yang dipantulkan oleh layar laptop cukup membuat matanya kering.

“Aduh, gini nih malesnya nugas, capek. Lo capek gak, Nu?” tanya Azalea sesaat setelah gadis itu meletakkan laptopnya ke meja kecil di samping ranjang.

“Nggak kok, Kak,” bohong Ranu, dia melirik ke arah Azalea dengan takut-takut. Sementara Azalea sedang merenggangkan tubuhnya ke depan hingga gundukan sintal yang menghiasi tubuh depan Azalea terlihat begitu menonjol.

“Gak heran sih, di perpus berjam-jam aja lo betah,” sambar Reinatha cepat. Rigen hanya tertawa canggung, buru-buru mengalihkan pandangannya lagi.

“Mau makan? Gue pesenin ya,” tawar Azalea.

“Nggak usah, Kak. Masih kenyang.”

“Yaudah kalau gak mau makan, minum aja deh, ya. Please banget kali ini jangan nolak.”

Kali ini Rigen mengangguk samar.

Azalea turun dari ranjang dan berjalan ke cooler kecil yang terletak di samping meja rias. Dua kaleng beer dia keluarkan dari sana dan dibawa kembali ke ranjang. Lalu diberikannya satu kaleng pada Rigen yang menerimanya dengan enggan.

“Sambil dengerin musik kali ya, refreshing. Harusnya sih malem ini gue party tapi jadi mager gara-gara jam segini baru selesai nugas. Eh, lo belum mau balik, kan? Temenin gue dulu lah, ya.” Azalea berkata riang, dia menarik Ranu untuk berdiri berhadap-hadapan dengannya. “Lo jangan kaku-kaku, lemes dikit Gen.”

Suara musik yang memancing tubuh untuk bergoyang, nyaring terdengar memenuhi kamar. Suasana kamar juga sudah berubah gelap, mirip seperti di club-club besar. Tubuh Azalea bergerak-gerak lincah, minuman di tangannya sisa setengah. Sementara Rigen masih diam saja di tempat, minuman kalengan yang digenggamnya masih tertutup rapat. Dia belum pernah menyentuh minuman beralkohol, apalagi pergi ke club. Dia tidak tahu cara mengimbangi gadis di hadapannya yang sudah bergoyang-goyang tak terkontrol.

“Gen, goyang dong,” titah Azalea saat menyadari kikuknya Ranu.

“Saya.... gak tau gimana caranya Kak,” aku Rigen jujur.

“Ish astaga, tinggal goyang aja,” gemas Azalea, tangan gadis itu langsung mengambil lengan Rigen untuk kemudian dia lingkarkan di pinganggnya. Sementara kedua lengannya dilingkarkan di leher Rigen— meskipun sedikit kesulitan karena tinggi Rigen lebih dari 180cm. “Goyangin badan lo, ikutin hentakan musiknya. Santai aja.”

Atas penuturan Azalea, Rigen mencoba melemaskan tubuh kakunya, mencoba menyerap alunan musik hingga tanpa sadar tubuhnya sudah mulai bergerak-gerak.

“Nah gitu dong, enjoy the party, Rigen Handaru,” bisik Azalea sehalus hembusan angin yang menyelinap lewat pintu balkon yang terbuka. Namun suara itu sampai ke telinga Ranu lebih keras dari pada alunan musik dari alat pengeras suara. Tubuhnya kembali kaku, gerakan Azalea semakin tidak terkendali. Gadis itu bahkan mulai mebalikkan tubuh dan menggerakkan bagian belakang tubuhnya tepat di depan Rigen.

Genggaman Rigen pada kaleng beer di tangannya semakin kencang. Pun sepertinya, minuman kalengan itu tidak lagi dingin karena tubuh si penggenggamnya mulai panas.

Alunan musik kencang perlahan berganti menjadi alunan musik pelan yang bisa lebih Rigen nikmati. Tubuh Azalea melemas seketika hentakan lagu dengan ritme cepat itu terhenti, menabrak tubuh Rigen yang berdiri di belakangnya. Sigap, Rigen merengkuh tubuh Azalea agar tidak ambruk. Tangannya kembali melingakari tubuh Rigen. Gadis itu terengah-engah, nafasnya beradu dengan suara Bruno Mars yang sedang menyakikan bait-bait lagu Leave The Door Open.

Beberapa detik terlewat, Azalea menyadari bahwa kaleng minuman Rigen masih saja tertutup rapat. Dengan penasaran, gadis itu membalikkan tubuh untuk menatap Rigen lagi.

“Kok minumannya belum dibuka? Gak haus?”

“Saya...gak pernah minum beer, Kak.”

“Ya makanya coba,” jawab Azalea santai, gadis itu mengambil kaleng dari tangan Rigen dan membukanya, “Rasanya enak, kok. Cobain deh,” titah Azalea lagi.

Rigen masih ragu, dia hanya menatap minuman kaleng itu dengan bingung.

“Gak akan keracunan kok, tenang aja. Gue jamin,” Azalea meyakinkan, tapi belum juga berhasil membuat Rigen meraih kaleng dari tangannya.

Merasa gemas, Azalea menenggak minuman itu sendiri dan dengan cekatan dia menyentuh dagu laki-laki di hadapannya itu untuk membuat bibirnya sedikit terbuka. Lalu dengan gerakan sangat sensual, Azalea menempelkan bibir ranumnya kepada milik Rigen, mengalirkan cairan berwarna bening itu ke mulut Ranu. Setelahnya, Azalea melepaskan bibir Rigen seolah tidak terjadi apa-apa.

“Ternyata rasanya manis,” Rigen berucap pelan.

“Apanya?”

“Bibir.”

Azalea termangu sesaat, matanya memincing heran. “Lo... baru pertama kali ciuman?”

Rigen menghindari tatapan mata Azalea, dia berdehem pelan berusaha mengendalikan dirinya lagi.

Such a stupid ass,” geram Azalea. “Lo bego banget deh, Gen. You have everything to get at least five girls around you. Look at your face and your body. Use them to attract girls, kiss them, sleep with them.”

Rigen masih diam, sementara Azalea semakin geram.

“Ahhhh, lo gak pernah minum beer, gak tau caranya joget-joget happy, baru pertama kali ngerasain bibir cewek, jangan-jangan lo emang gak kenal hal-hal kayak gitu, ya?” cecar Azalea menuntun jawaban dari laki-laki yang masih enggan membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara.

Rigen semakin menghindari Reinatha yang kini telah menatapnya jahil. Rigen telah tertangkap basah. Belum pernah seumur hidupnya dia bergaul dengan perempuan lebih dari teman kelompok. Belum pernah menyentuh mereka dengan tangan, apa lagi dengan bibir. Belum pernah setetespun cairan alkohol mengaliri tubuhnya. Belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di kelab malam. Namun hari ini, dia lakukan semuanya dalam semalam. Karena Azalea, bersama Azalea, seniornya.

Azalea membutanya menyentuh kulit wanita yang ternyata selembut sutra, Azalea membuatnya menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik di gelapnya malam, Azalea juga membuatnya merasakan dua sensasi sekaligus saat memberinya minuman beralkohol melalui ciuman singkat.

“Rigen, mau belajar sama gue gak? Gantian sekarang gue yang ajarin lo, mau gak?”

“Be...bela...jar apa, Kak?” gugup Rigen terpatah-patah.

“Segala hal, tentang cewek. Tentang hal-hal menyenangkan, yang gak lo tau sebelumnya.”

Belum lagi Rigen menjawab, Azalea sudah mendorongnya jatuh ke ranjang. Belum sempat Rigen menguasai dirinya, Azalea sudah lebih dulu memposisikan tubuhnya duduk di atas paha laki-laki itu.

“Lo....” Azalea mendekatkan wajahnya pada Rigen, “ganteng, idung lo mancung, bibir lo bagus, dan ini... Dada lo, bahu lo, bidang. Pasti enak kalau dipake buat bersandar.” Tangan Azalea tidak tinggal diam, menelusuri tiap inci wajah Rigen yang menatapnya kikuk. Lalu tangan itu meraba semakin ke bawah, ke bahu, dada lalu turun ke perut Ranu.

“Wow, lo bahkan punya abs. Rajin olahraga?” Tanpa meminta izin, Azalea menyibakkan kaus hitam yang dikenakan Rigen. “1...2...3...4...5...6.” Gadis itu menghitung jumlah kotak yang tercetak jelas di perut Rigen, menatapnya lama, hingga si empunya merinding dibuatnya.

“Kak Lea,”

“Ssssttt,” potong Azalea cepat, “jangan sekarang sebut nama guenya, nanti aja.”

Saat mendengar itu, Rigen tidak mengerti kapan “nanti saja” yang dimaksudkan oleh Azalea.

“Lo belum jawab gue, Rigen Handaru, lo suka olahraga?”

Rigen mengangguk samar. Azalea hanya tersenyum menatapnya.

“Bagus, sekarang kita mulai belajar.”

Sungguh, Rigen tidak mengerti segala ucapan yang keluar dari mulut Azalea sejak tadi tiap kali gadis itu menyebut kata belajar.

“Pelajaran pertama, how to touch a girl.” Azalea mengedipkan sebelah matanya, lalu dia menurunkan tali yang menggantung di bahunya hingga membuat gaun malamnya melorot. Azalea menuntun sebelah tangan Rigen ke dadanya yang telanjang. “Pegang, Gen,” titahnya lembut, menyihir Rigen yang langsung menangkup dada kirinya dengan gugup.

“Mainin putingnya, Rigen.”

Rigen menurut lagi, jarinya menyentuh sesuatu berwarna kecoklatan di tengah gundukan daging yang seputih susu dan selembut sutra. Dia menyentuhnya beberapa kali, masih dengan jari-jarinya yang gemetar.

“Bagus, Rigen,” bisik Azalea pelan.

Mendengar respon baik dari Azalea, Rigen memberanikan diri untuk menangkupkan sebelah tangannya ke dada Azalea yang lain. Sekarang, kedua tangannya sedang menangkup payudara gadis cantik, memainkan putingnya dengan gemas. Rigen seperti bermimpi, namun sialnya ini nyata. Dia takut, gugup, namun di dalam hatinya dia girang. Pengalaman yang luar biasa.

Azalea diam-diam tersenyum puas. Dia membiarkan Rigen bermain-main dengan payudaranya selama yang juniornya inginkan. Dia membiarkan Rigen menjepit putingnya dengan jari, dia membiarkan Rigen meremas kedua payudaranya dengan gemas, dia bahkan membusungkan dadanya agar Rigen semakin bebas memainkan salah satu bagian tubuh yang dia banggakan itu. Lalu saat dirasa cukup, Azalea menyentuh lengan kekar Rigen dan menahannya.

“Cukup, Sayang.”

Rigen hendak protes namun Azalea menyambar lebih dulu. “Pelajaran selanjutnya lebih menarik.”

Akhirnya Rigen pasrah, dia kembali berbaring. Dengan setengah tubuh yang telah telanjang, Azalea mendekatkan dirinya pada Rigen. Wajahnya hanya berjarak beberapa cm saja dari Rigen. Gadis itu berbisik lirih agar Rigen mengikuti apa yang dia lakukan sebelum akhirnya mengulum bibir Rigen.

Pelajaran kedua.

Ruangan yang luas itu akhirnya berisi suara kecupan dan lenguhan pendek. Bibir Azalea yang sudah lebih ahli menuntun Rigen untuk membalas ciuamnnya. Dia juga memberi kesempatan pada Rigen untuk belajar cara mencecap dan mengulum yang baik. Bukan hanya dengan bibir, namun juga dengan lidah. Tubuh mereka sudah saling menempel, meskipun Rigen masih saja mengenakan kaus hitam sialannya. Mata keduanya terpejam, terlalu menikmati. Rigen adalah pencium yang baik, meskipun belum begitu handal. Namun Rigen belum mengerti bahwa ketika berciuman dia boleh saja menggerayangi tubuh lawan mainnya. Hal itu membuat Azalea kembali menuntun tangan Rigen ke dadanya.

Ciuman itu semakin gila saat Rigen mulai menguasai permainan. Sembari memanjakan Azalea dengan bibirnya, dia juga memanjakan dada Azalea dengan gerakan lebih ahli.

Sekian menit terlewat, mereka saling melepaskan pagutan. Menarik nafas panjang-panjang karena tadi mereka sempat lupa caranya bernafas. Bibir keduanya memerah, bahkan ada luka kecil di bibir bawah Azalea.

“Gimana? Sejauh ini suka sama pelajarannya?”

Rigen mengangguk, terengah-engah.

“Oke sekarang...” Ocehan Azalea terinterupsi oleh getarang ponsel di atas meja kecil. Dia meraihnya dan membuat Rigen menggeram. Ketika tubuh Azalea bergerak untuk meraih ponsel, bokong gadis itu menggesek kejantanan Rigen. Meskipun laki-laki itu masih mengenakan celana panjangnya, namun tetap saja untuk ukuran pria baik-baik sepertinya, hal sekecil itu bisa berakibat besar.

“Halo?” sapa Azalea pada si penelepon, “ya ampun iya gue lupa, yaudah tunggu bentar ya, gue kesana.”

Lalu setelah itu Azalea turun dari ranjang, membuka lemari dan meraih gaun dari gantungan. Tanpa rasa malu, gadis itu melepaskan gaun malamnya dan menggantinya dengan gaun yang lebih sopan. Gadis itu melakukan semuanya di depan Rigen.

Selesai berganti pakaian, Azalea bergegas ke meja rias seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Meninggalkan Rigen di atas ranjang yang masih harus menenangkan dirinya.

“Gue lupa kalau malem ini harus nemenin sahabat gue balapan, gue harus kesana sekarang. Lo rapih-rapih, gih. Sekalian gue anter pulang,” titah Azalea acuh, gadis itu masuh sibuk menatap dirinya dari pantulan cermin, memeriksa apakahn riasannya telah siap.

“Kak, saya....”

“Besok kita lanjutin lagi pelajaran lo, itu juga kalau lo masih mau.”

Azalea menatap Rigen dari pantulan cermin, sementara Rigen sibuk memikirkan bagaimana caranya dia bisa menenangkan sesuatu yang sudah menyembul di dalam celana dalamnya.