Sidang

Selain ruang konseling sekolah, aku juga sangat tidak menyukai studio milik Om Jevan. Ruangan yang sudah menjadi markas bagi papaku dan kawan-kawannya selama bertahun-tahun itu, hanya boleh dimasuki oleh orang lain, selain mereka, pada keadaan mendesak. Di saat mereka butuh ruangan untuk menyidangku, contohnya.

Terhitung hingga hari ini, sudah empat kali aku masuk ke dalam studio ini. Tiga kali sebelumnya untuk menjalani sidang, well, hari ini pun alasannya masih sama, untuk menjalani sidang. Kali ini, kasusku bermula karena Mama menemukan sebungkus rokok dan satu pemantik di laci kamarku.

“Jadi, sejak kapan kamu merokok? Om Wan gak suka ya kamu ngerokok!”

“Om Kiyo udah bilang, ngerokok itu gak bagus buat kesehatan, Gio.”

“Siapa yang ngajarin kamu ngerokok? Biar Papa labrak anaknya.”

“Om Jaenan sama Om Pan ngerokok di depan kamu bukan buat kamu ikutin ya, Sergio.”

“Dengerin tuh apa kata Om Jaenan!”

Ah, mungkin itu ya yang dibayangkan orang-orang ketika aku bilang bahwa hari ini aku akan menjalani sidang di studio Om Jevan bersama kelima papaku?

Maaf, tapi suasana yang terjadi sekarang ini sangat jauh dari yang tergambar di bayangan kalian. Saat ini, papa bilogisku, Raechan Leenandar, tengah sibuk mengatur meja— meletakkan enam gelas kaca di samping sebotol minuman beralkohol. Satu papaku yang lain, Om Jaenandra, sedang sibuk mengeluarkan snacks dari kantung plastik, sepertinya dia menyempatkan diri untuk membelinya dalam perjalanan kesini.

Om Jevan bertugas mengatur lagu apa saja yang akan menjadi latar musik untuk suasana malam ini. Jemarinya sibuk bergulir di atas ponsel. Sementara Om Markio dan Om Juan sedang sibuk mengobrol di sofa paling ujung. Samar-samar aku dengar mereka sedang membicarakan istri mereka masing-masing.

Ah, aku juga harus memberi tahu kalian sesuatu yang cukup penting... tidak ada raut marah di wajah mereka semua. Semuanya tampak rileks, bahkan aku bisa dengan percaya diri bilang bahwa mereka senang-senang saja.

“Kenapa pilih rokok sih, Gio? Bukannya anak sekarang lebih milih ngevape ya?” Om Jevan duduk di sebelahku setelah selesai melaksanakan tugasnya. Lagu Circles milik Post Malone mengalun lembut dari pengeras suara.

Papaku melirik ke arah kami seraya berucap dengan nada penasaran yang kental, “Kamu ngerokok tapi kok kalau pulang ke rumah gak pernah bau rokok sih, Bang?”

Aku tersenyum tipis, lantas menunjuk tas sekolahku yang teronggok di atas karpet. “Gio kalau ngerokok ganti kaos dulu, Pa, kemejanya dilepas.”

“Persis bapaknya dulu.” Om Juan menyahut. “Tapi Gio masih mending, mulai ngerokok pas udah umur dua puluh. Lah lo-lo pada, bar