Sendang Biru
Rest Area, pukul enam pagi.
Laki-laki yang mengenakan kaus putih polos tengah menatap kekasihnya yang tertidur di bangku penumpang. Laki-laki itu bahkan melepas sabuk pengamannya agar bisa menjangkau si gadis secara lebih dekat. Sementara si gadis cantik yang terlelap dalam dekapan selimut lembut itu, sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi kecantikannya sedang dikagumi. Mata hitam si laki-laki bergulir menelusuri tiap inci wajah gadisnya yang polos tanpa polesan riasan. Bibirnya membentuk lengkung senyum, sebuah rasa syukur sebab wajah cantik ini bisa dinikmati sedekat ini, setiap hari.
Kenari Ruth Elega, kekasih Alexander Parajuan, terlihat begitu tenang ketika tidur, tarikan nafasnya beraturan, dan dengkuran halusnya terdengar. Juan begitu menikmati apa yang ada dihadapannya saat ini hingga tanpa sadar wajahnya semakin maju untuk menggapai sesuatu yang tampak begitu ranum. Gerakan kecil itu membuat si gadis menggeliat, lantas membuka matanya perlahan sembari berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos kaca depan.
“Udah sampe, ya, Ju?” tanya Kenari.
Juan menggeleng, menandakan bahwa mereka belum tiba di tujuan. Tangannya bergerak untuk merapikan anak rambut Kenari yang jatuh menutupi dahi. “Belum, Sayang, abis ini kita keluar gerbang TOL. Nanti tiga atau empat jam lagi baru sampe. Kamu jadi mau bersih-bersih dulu gak? Mumpung di rest area, katanya gak mau keliatan kucel di depan calon mertua.”
Usai kesadarannya sepenuhnya kembali, Kenari merenggangkan badan, melenturkan otot punggungnya yang sedikit kaku sebab tertidur dengan posisi duduk selama berjam-jam lamanya. Tubuhnya terasa lebih segar setelah melakukan hal itu. Rasa kantuk yang tadi menggelayuti matanya berangsur-angsur menghilang. Di sampingnya, sang kekasih hati, dengan sabar menunggu.
“Iya, aku gosok gigi sama cuci muka dulu, ya. Nanti abis itu biar aku gantian yang nyetir.”
Juan menggeleng tegas. Penolakan yang tidak bisa dibantah lagi oleh Kenari. “Gak usah, Sayang, kamu istirahat aja. Badannya sakit gak?” tanya Juan khawatir. Sebab dia yang memaksa untuk menggunakan jalur darat dalam perjalanan kali ini. Padahal seorang tuan putri macam Kenari, selama ini diberi segala fasilitas yang memudahkan.
“Enggak, kok, kamu nyetirnya halus banget. Aku bisa tidur nyenyak, badan aku juga sama sekali gak sakit.”
“Glad to know that, my love. Yaudah yuk kita bersih-bersih dulu. Setelah itu kita cari sarapan dan morning coffee. Sounds good?”
Anggukan semangat Kenari berikan pada Juan yang menatap puas setelah mengetahui respon kekasihnya. Mereka berdua lantas pergi ke kamar mandi umum yang disediakan oleh area peristirahatan. Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit, Juan dan Kenari telah kembali bersama untuk mencari menu sarapan yang terlihat paling menggiurkan.
Pada pukul tujuh lebih dua puluh lima menit, mobil Juan keluar dari gerbang tol. Mobil hitam itu melaju sedang di jalanan kota sebelum akhirnya berbelok untuk menyusuri jalanan yang lebih sempit. Rumah-rumah sederhana mulai menjadi pemandangan yang bisa mereka nikmati, Kenari bahkan bisa melihat hewan-hewan seperti sapi, kerbau dan kambing dibiarkan berkeliaran di lahan terbuka. Anak-anak kecil nampak bermain di depan rumah yang berupa lahan tanah yang cukup luas. Sebagain besar rumah yang mereka lewati tidak memiliki gerbang, hingga bisa terlihat aktivitas apapun yang ada di sekitar rumah-rumah itu.
Beberapa kilometer setelah menikmati pemandangan asing itu, mobil Juan berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil lagi. Tugu selamat datang bercat putih menyambut mereka. Jalanan berbatu yang mereka lewati diapit sawah yang membentang di kiri dan kanannya.
Ini lah kampung halaman Juan.
Selamat Datang di Desa Sendang Biru
Begitu tertulis di tugu selamat datang yang tadi mereka lewati.
**
Desa dimana seorang Alexander Parajuan menghabiskan masa kanak-kanaknya adalah sebuah desa kecil bernama Sendang Biru. Sendang memiliki arti sumber air yang tidak pernah kekeringan, dan Biru menambahkan kesan bahwa sumber air yang dimaksudkan itu berwarna jernih. Seperti namanya, Sendang Biru merupakan area kecil di salah satu kaki gunung yang berada di Pulau Jawa, memiliki sumber air langsung dari pegunungan. Airnya jernih, segar dan selalu mengalir tanpa mengenal musim.
Mata pencaharian masyarakat di desa tersebut didominasi oleh petani. Beberapa dari mereka menanam padi dan sebagiannya lagi memilih untuk menanam berbagai jenis sayuran. Di sela-sela menunggu musim panen, biasanya para petani juga mencari penghasilan lain dari menyadap pohon nira yang kemudian diolah menjadi gula atau pun minuman tradisional.
Beberapa dari mereka, yang tidak tertarik atau pun tidak memiliki keterampilan dalam bidang pertanian, memilih untuk menjadi pengarajin rotan. Hasil kerajinannya akan dijual ke luar desa hingga ke luar kota.
Orang tua Juan termasuk dalam kelompok ini. Mereka pernah mencoba untuk bercocok tanam, tetapi selalu gagal panen, hingga akhirnya menyerah dan menekuni kerajinan rotan. Awalnya, bisnis ini juga tidak berjalan baik. Tidak banyak yang bisa mereka jual dalam satu bulan, bahkan untuk kehidupan sehari-hari saja tidak cukup. Kemudian pada suatu hari, paman Juan yang tinggal di pulau Bali memberi masukan bahwa ada baiknya keluarga Juan mengirimkan beberapa produk kerajinan rotan kepadanya, yang kemudian akan dia bantu penjualannya. Sebab di Pulau Bali sendiri banyak turis luar negeri yang tertarik dengan kerajian tradisional macam ini.
Bisnis itu akhirnya berjalan baik, pemasukan yang didapat oleh orang tua Juan naik secara signifikan. Pada bulan ke enam, orang tua Juan bahkan mulai memperkerjakan beberapa penduduk desa untuk membantu produksi. Hasil dari penjualan kerajinan rotan itu digunakan oleh orang tua Juan untuk mengirimnya sekolah ke Kota Jakarta. Orang tua Juan merasa perlu melakukan itu sebab pendidikan di desa mereka masih minim sekali.
Bermula dari perjalanan panjang itu, di sinilah Alexander Parajuan sekarang. Menyandang gelar sarjana di belakang namanya. Sudah mampu berdiri di atas kakinya sendiri dan bahkan menaikkan taraf hidup kedua orang tuanya— yang secara tidak langsung juga membantu perekonomian Sendang Biru, sebab bisnis kedua orang tuanya makin besar setelah Juan berhasil mengekspor kerajinan rotan milih keluarganya ke beberapa negara di Asia dan Eropa.
“Kalau dingin, sweaternya dipake lagi aja, Sayang.” Juan berbisik pada gadis yang setia berada di rangkulannya sejak mereka turun dari mobil.
Si gadis, yang hari ini memilih pakaian kasual, hanya tersenyum lembut sebagai jawaban. Matanya masih sibuk mengitari sebuah lahan luas tempat dimana kediaman kekasihnya itu didirikan. Kediaman Juan berdiri kokoh di tengah-tengah dua gedung lainnya. Menurut penjelasan Juan, gedung di sebelah kiri rumahnya adalah pabrik produksi kerajinan rotan, sementara bangunan di sebelah kanan adalah ruang istirahat serta ruang makan bagi seluruh pengrajin.
Di belakang rumah keluarga Juan, sebuah gunung nampak menjulang dengan gagahnya. Berselimut hijaunya pepohonan yang memanjakan mata. Berkat pohon-pohon itu, udara yang bisa dihirup di desa ini juga berbeda sekali dengan yang selama ini gadis itu, Kenari, biasa nikmati sebagai seorang gadis kota. Udaranya bersih dan segar, jauh dari polusi udara akibat aktivitas pabrik-pabrik besar dan asap kendaraan.
“Mas Juan! Loh, sudah sampai! Kok ndak masuk, Mas?” Seorang ibu tua yang mengenakan kain batik dan atasan kebaya sederhana, berjalan dengan hati-hati ke arah dua muda-mudi yang masih saja berdiri di halaman itu. Gerakannya halus dan tertata, bahkan ketika beliau sedang berjalan seperti itu. Tiap langkah yang diambil tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Ketika sudah begitu dekat, Kenari bisa melihat kerutan di wajah ibu itu. Matanya juga sudah menua, ditambah kantung mata yang cukup besar menggelayut di bawah matanya. Aroma yang menguar dari tubuh ibu itu adalah bau melati yang lembut. Rambutnya yang didominasi uban disanggul dengan asal. Seorang ibu yang menyambut mereka ini adalah seorang ibu khas perempuan jawa yang santun dan bermartabat meskipun tampil dalam segala kesederhanaan.
“Si cantik ini belum mau diajak masuk, Bude, masih mau lihat-lihat.” Juan mengelus pelan bahu Kenari, sementara tangan kanannya menyalami si ibu yang dipanggilnya dengan sebutan bude. “Bude Retno sehat?”
“Sehat, Mas. Bapak sama Ibu sekedap meleh wangsol. Mbaknya diajak makan dulu saja, monggo.”
Bude Retno juga mendekat pada Kenari kemudian berkata perlan sembari tersenyum, “Makan dulu ayo, Mbak, Bude tunggu di dalam ya.” Dan berlalu pergi.
“Makan dulu, ya? Nanti dilanjutin lagi liat-liatnya.” Juan ikut membujuk.
Alih-alih mengindahkan ucapan kekasihnya, Kenari malah melontarkan pertanyaan lain ketika Bude Retno telah kembali masuk ke dalam rumah. “Tadi... Bude Rento bilang apa, Ju?”
“Makan, Bude suruh kita makan.”
“Bukan, bukan yang itu, yang bukan pakai bahasa Indonesia tadi itu loh.”
Kenari, yang dikencani Juan sejak enam bulan lalu itu memang lah seorang gadis yang penuh rasa ingin tahu. Bahkan kedekatan mereka juga awalnya bermula karena Kenari melontarkan begitu banyak pertanyaan kepada Juan hingga membuat Juan tertarik untuk terus berbicara padanya. Dalam enam bulan, Juan sudah terbiasa dengan sifat Kenari yang seperti itu, maka dia hanya akan tersenyum dan menjelaskan dengan sabar.
“Yang Bude Retno bilang Bapak sama Ibu sekedap meleh wangsol?”
“Nah iya-iya itu,” jawab Kenari dengan antusiasme yang tinggi.
“Itu artinya, Ibu sama Bapak sebentar lagi pulang. Itu tadi bahasa jawa, yang halus.”
“Emang bahasa jawa ada yang kasar sama yang halusnya gitu, Ju?”
Lihat, kan? Bahkan setelah mendapatkan jawaban pun, rasa penasaran Kenari bukannya berkurang, tapi malah makin bertambah. Mata gadis itu berkilat penuh semangat. Kedua telinganya terbuka lebar siap mendengarkan penjelasan Juan. Gadis itu juga berpindah posisi menjadi berhadapan dengan Juan, tidak lagi berada dalam rangkulannya.
Juan membetulkan posisi tali tas punggung yang mulai menyakiti bahunya sebelum kembali berkosentrasi pada Kenari. Juan berusaha mengabaikan rasa tidak nyaman akibat beban berat tas yang digendongnya. Dia harus menyuapi hasrat penasaran Kenari lebih dulu agar gadis kesayangannya ini mau diajak masuk ke dalam rumah dan makan siang.
“Iya, bahasa jawa yang kasar biasanya dipakai untuk orang yang lebih muda, orang yang seumuran atau orang yang udah akrab banget. Nah, bahasa jawa halus dipakai untuk yang sebaliknya, untuk orang yang lebih tua dan untuk orang yang dihormati.”
“Berarti tadi Bude Retno pakai bahasa jawa halus karena kamu orang yang beliau hormati?”
“Bisa dibilang begitu, Sayang. Tapi sebetulnya karena Bude Retno segan aja untuk ngomong pakai bahasa jawa yang kasar ke aku, soalnya Bude Retno udah ngabdi sama Bapak sama Ibu dari lima tahun lalu.”
“Ah... Kayak Pak Rudi yang selalu manggil aku Non gitu ya, Ju?”
Juan tersenyum, juga membelai rambut Kenari yang ditiup angin. “Iya, Sayang, kayak gitu. Sekarang makan dulu, yuk? Sambil nungguin Bapak sama Ibu pulang.”
Sang tuan rumah membimbing tamunya untuk masuk ke dalam rumahnya yang kental sekali dengan adat jawa. Seluruh furnitur yang digunakan di rumah utama terbuat dari kayu jati yang diukir. Dinding ruang tamu dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang misterius, juga beberapa wayang kulit yang disusun apik. Pada salah satu sudut, terdapat satu set gamelan yang diletakkan berdekatan dengan sebuah keranjang rotan. Lampu ruangan merupakan lampu gantung terbuat dari perak, berisi lima lampu yang disusun melingkar.
Bersebelahan dengan ruang tamu, hanya dipisahkan oleh pembatas yang lagi-lagi terbuat dari ukiran kayu jati, merupakan ruang perjamuan. Meja makan berbentuk oval berada di tengah-tengah ruangan, lengkap dengan delapan kursi kayu. Ada sebuah almari besar berisi kerajinan keramik, yang sengaja dipajang, bukan untuk digunakan sehari-hari.
Juan menarik salah satu kursi dan mempersilakan Kenari untuk duduk. Juan meletakkan tas ranselnya di sudut ruangan, bersebelahan dengan koper kekasihnya, kemudian menyusul Kenari untuk duduk di salah satu kursi yang lain. Makanan rumahan yang sederhana tersaji di atas meja. Sop ayam hangat, tempe goreng tepung serta cabai potong segar yang dicampur dengan kecap manis. Ketika Kenari masih sibuk menatap sekeliling, Bude Retno muncul dari dapur, membawa minuman dua buah kelapa muda yang sudah dilubangi bagian atasnya.
“Niki enten degan, Mas Juan. Monggo diminum, seger.”
“Nggih, Bude, matur nuwun.”
“Sami-sami, kalau butuh apa-apa panggil Bude saja, ya.”
Bude Retno pamit kembali ke dapur. Menyisakan rasa penasaran yang lagi-lagi menguasai kepala Kenari. Gadis itu meraih lengan Juan, hendak menayakan apa arti ucapan Bude Retno barusan. Dan karena hal itu sudah Juan hafal di luar kepala, dia menjelaskan lebih dulu bahkan sebelum pertanyaan Kenari terlontar.
“Tadi Bude Retno bilang, ini ada es kelapa muda, silakan diminum katanya, seger.”
“Ahh... gitu.” Kenari manggut-manggut. “Bude Retno manggil kamu Mas gitu lucu ya.”
“Kamu mau panggil aku Mas juga?”
“Boleh?”
“Boleh. Coba gih.”
“Mas Juan.”
Senyum Juan merekah.
“Mas Juan mau makan? Aku ambilin, ya?”