Minggu Pagi yang Damai
Hari minggu itu masih pukul sepuluh, pagi yang cukup sendu sebab matahari memilih untuk bersembunyi di balik awan gelap. Angin dingin berhembus melewati jendela yang dibiarkan terbuka. Gemuruh terdengar di kejauhan, membawa sedikit rasa takut untuk seorang gadis cilik yang meringkuk di sebalah sang ayah. Sedang ibu si gadis kecil itu masih sibuk berdebat dengan anak sulungnya.
“Kalau Mama bilang enggak, artinya tetep enggak, ya, Sergio!”
Si anak sulung yang dipanggil Sergio itu langsung mengatupkan kedua tangan kala mata sang ibu melotot menyeramkan. Wajahnya ia buat sememelas mungkin, bibirnya mengerucut sedih, wajah memohon yang sulit sekali ditolak. Sementara sang ibu bercakak pinggang dengan aura penolakan yang tegas. Tidak dapat diganggu gugat. Tidak, berarti tidak. Sampai kapanpun akan tetap tidak.
“Elys itu baru ulang tahun yang ke dua puluh ya, Gio! Kamu mau digorok Om Pan emangnya?”
“Ma, aku kan cuma ajak Elys main ke pantai, berdua, masa iya cuma gara-gara itu Om Pan gorok aku, sih?”
Sang ibu memutar mata dengan malas. Sudah lebih dari tiga puluh menit perdebatan itu belum juga usai. Darah sang ibu mulai mengalir deras ke atas kepala, hanya tinggal hitungan waktu sampai amarahnya benar-benar meledak.
“Masalahnya, pantai yang mau kamu datengin itu ada di Bali, Sergio Leenandar! Om Pan tau banget ada darah mantan playboy mengalir deras di tubuh kamu. Gak mungkin lah Om Pan izinin anaknya yang super-duper cantik itu ke Bali sama keturunan buaya kayak kamu. Lagian, ya, kamu juga selama ini curhat soal cewek ke Om Pan, jelas aja dia tau kamu ini cowok macam apa.”
Wajah memelas Sergio berubah menjadi helaan putus asa. Kedua tangannya tidak lagi terkatup memohon— kini sudah terkulai lemah di sisi tubuh. Angan-angannya untuk merayakan ulang tahun gadis cantik anak dari sahabat Papa dan Mamanya itu kandas sudah. Bahu Sergio makin merunduk. Dia sudah kalah, dia menyadarinya sekarang. Ucapan ibunya barusan seperti tamparan bertubi-tubi yang menyadarkannya dari mimpi indah.
“Papa sih! Kenapa coba ngewarisin darah playboy ke aku! Sekarang repot kan, gak ada yang percaya sekalinya aku mau serius.”
Sang ayah, Raechan Leenandar, hanya tersenyum malu-malu. Ujung bibirnya bergetar menahan tawa. “Dulu juga gak ada yang percaya waktu Papa mau serius tobat.”
Di luar, rintik hujan mulai turun. Butirnya menabrak genting, menciptakan suara ramai namun menenangkan. Bau tanah yang terguyur hujan menimbulkan nostalgia masa kanak-kanak, ketika hujan masih menjadi sesuatu yang harus dirayakan dengan bermain di bawah rintiknya yang datang bersamaan. Dedaunan dan bunga-bunga di halaman depan ikut basah.
Sementara di dalam rumah, Kayana Aburima Leenandar, ibu dari dua anak, buah cintanya dengan seorang Raechan Leenandar, tengah sibuk mengeluarkan kue coklat dari dalam oven. Kue-kue kering itu lantas diletakkan di atas piring putih dan dibawa ke ruang keluarga. Di sana sudah menunggu suami dan kedua anaknya.
Sergio melirik ke arah ibunya yang kembali ke dapur untuk mengambil kopi dan susu segar. Laki-laki berusia 25 tahun itu segera memanfaatkan suasana. Sergio menggeser posisi duduknya untuk semakin dekat dengan sang ayah. Suaranya berbisik lirih hampir tidak terdengar, “Pa, tolong bantuin aku yakinin Mama, dong. Serius deh, Pa, aku gak bakal macem-macemin Elys. Gak berani juga aku, udah jiper duluan sama ototnya Om Pan.”
Raechan ikut-ikutan melirik Kayana, lalu setelah yakin suasana masih aman, dia membalas bisikan Sergio dengan sama lirihnya. Bibirnya hanya berjarak beberapa milimeter saja dari telinga Sergio. “Gini aja deh, kamu langsung minta izin aja sama Om Pan. Kalau Om Pan kasih izin, nanti Papa yang bakal yakinin Mama untuk biarin kamu pergi liburan sama Elys.”
Binar mata Sergio kembali cerah, berbanding terbalik dengan keadaan di luar sana yang makin menggelap. Ada pekikan senang yang meluncur begitu saja dari bibirnya. Sebelah tangannya bahkan tanpa sadar mengepal penuh semangat. Jiwa muda dalam dirinya sedang berkobar.
Sergio sudah lama menyimpan rasa pada gadis cantik bernama Elysia itu. Di antara anak Om dan Tantenya yang lain, Elysia adalah yang paling bisa menarik perhatiannya. Gadis itu memiliki perawakan tinggi dengan proporsi tubuh yang baik. Rambutnya panjang sampai ke pinggang, berwarna hitam legam dan lurus alami. Saat berada pada jarak tertentu, Sergio bisa mencium aroma sampo yang menggiurkan dari rambut gadis itu. Wajah Elysia adalah perpaduan sempurna dari ayahnya, Jevander Novanda dan ibunya, Adzkiya Judith Novanda. Mata sayu yang cantik dan bibir ranum merah alami menuruni milik Adzkiya. Sementara hidung tinggi dan rahang sempurna menuruni milik Jevander.
Elysia juga menuruni hobi ibunya, merangkai bunga, dan hobi ayahnya dalam bermusik. Menjadikan hidup anak tunggal keluarga Novanda itu terlihat begitu berestetika. Saat ini Elysia duduk di tahun ketiganya di Universitas. Karena itu, gadis ranum dengan hidup aesthetic macam Elysia Judith Novanda, tidak mungkin tidak menggetarkan jiwa seorang Sergio Leenandar yang menuruni sifat pemuja wanita dari ayahnya.
“Gio, ujan-ujan gini kamu mau kemana?”
Kayana memekik kencang saat menyadari tubuh tinggi Sergio menyelinap melewati pintu depan, ketika dia baru saja kembali dari dapur. Tidak lama kemudian, suara mobil anak sulungnya itu berderu menjauh dari rumah dan hilang tergerus suara hujan. Lagi-lagi, Kayana hanya bisa memutar bola matanya dengan kesal. Sergio betul-betul versi muda dari suaminya.
Ngeyel, punya kemauan besar, tidak bisa dicegah.
“Mas, kamu tau Gio mau kemana?”
“Gak tau, Sayang. Udah biarin aja,” jawab Raechan cengengesan.
**
Kediaman keluarga Novanda sedikit berbeda dengan kediaman keluarga Leenandar, jika dinilai dari jenis bangunannya.
Raechan dan Kayana memilih rumah sederhana dengan dua lantai, memiliki halaman depan dan belakang yang luas, serta kolam renang. Mereka berdua mengusung tema homey yang tenang dan temaram.
Sementara Jevan dan Adzkiya mendiami hunian mewah dengan tiga lantai. Halaman depannya adalah sebuah halaman luas dengan gaya modern, dihiasi air mancur dan dua buah taman berbentuk melingkar di kanan dan kirinya. Area parkir yang luas berada di selatan gerbang masuk, sementara di sebelah timur dihiasi area hijau yang memanjang hingga area belakang. Beberapa jenis tanaman buah-buahan ditanam di sana. Di area belakang, dekat dengan kolam renang, disisakan sepetak tanah yang khusus digunakan untuk Adzkiya menanam tanaman hias yang cantik.
Gerbang masuk kediaman itu dibangun begitu tinggi, berwarna hitam dan keemasan. Menambah kesan megah dan misterius. Jika boleh digambarkan, kediaman keluarga Novanda mirip dengan kastil-kastil di negeri dongeng. Dan Elys adalah putri yang hidup di kastil itu.
Mobil Sergio meluncur dengan lancar melewati pintu gerbang yang terbuka otomatis. Ada mesin pendeteksi dipasang di gerbang megah itu, jika nomor dan jenis kendaraannya dikenali, maka gerbang akan dibuka melalui alat yang dikelola oleh dua satpam yang selalu siap sedia di pos depan. Sergio membunyikan klakson sebagai pengganti ucapan terima kasih. Dua satpam yang mengenalinya melambaikan tangan sembari tersenyum. Setelah memakirkan mobil pada tempatnya, Sergio berlari dengan semangat memasuki area rumah.
“Eh, bau nasi goreng Tante Kiya, nih.”
Derap langkah Sergio memecah ruang tamu utama dan ruang keluarga yang lengang. Atas frekuensi kedatangannya yang terhitung sering, bisa lima kali dalam sepekan, Sergio tidak lagi perlu menekan bel ketika masuk. Dia sudah mengantongi izin itu dari sang tuan rumah. Langkahnya langsung saja menuju dapur, tempat dimana aroma sedap itu berasal.
Benar saja, ketika tubuh Sergio tiba di dapur, matanya menangkap sosok tantenya, Adzkiya, tengah sibuk menata nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas, ke piring. Ibu kandung Elysia itu tersenyum girang kala menyadari kehadiran Sergio.
“Nak, hujan-hujan begini kamu nyetir kesini? Gak dimarahin Mama?”
“Aku kabur sebelum Mama sadar, Tante,” gurau Sergio.
“Sudah sarapan?”
Sergio mengangguk seraya menambahkan, “Udah sih, Tan, tapi perut aku kayaknya gak bakal nolak nasi goreng buatan Tante, deh.”
Adzkiya terkekeh pelan. Tangannya dengan cekatan meraih satu piring kosong lagi dan mengisinya dengan nasi goreng keju yang dibuatnya dengan penuh cinta.
“Om Pan mana, Tante?”
“Om Pan? Di teras belakang, Nak. Lagi ngerokok, makanya Tante usir ke sana. Susulin aja.”
Setelah pamit kepada Adzkiya, Sergio melanjutkan langkahnya ke teras belakang. Jevander benar ada di sana, sedang merokok seorang diri.
“Om Pan,” panggil Sergio.
Senyum yang Jevander tunjukkan sama lebarnya dengan yang tadi Adzkiya tunjukkan. Semua Om dan Tantenya memang seperti itu ketika berjumpa dengan Sergio. Laki-laki yang kini telah tumbuh dewasa dan bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan besar itu dulunya adalah keponakan pertama mereka. Tak ayal, semua Om dan Tantenya seperti memiliki soft spot tersendiri untuk Sergio.
“Halo, Nak, sendiri?”
“Iya, Om, sendiri.”
“Sudah sarapan? Tadi kayaknya Tante Kiya bikin nasi goreng keju.”
Sergio duduk di sebelah Jevan, ikut mengeluarkan rokok dari saku celananya. “Iya, Om, tadi aku udah ketemu Tante Kiya di dapur.”
Asap yang berasal dari dua rokok yang menyala, mengepul ke udara. Mengghantarkan kehangatan bagi si penikmat. Rintik hujan masih satu-dua turun membasahi bumi. Awan gelap juga masih bergelayut di langit, menutup jalannya cahaya matahari untuk sampai ke bumi. Daun-daun berembun, bunga-bunga basah, dan tanah becek berlumpur.
Jevander duduk tenang di sebelah Sergio, sahabat baik Raechan itu tampak santai dengan pakaian rumahan.
“Om.”
“Hm?”
“Aku boleh ajak Elys liburan gak?”
“Kemana? Dufan?”
“Bali.”
“Hah?”
“Bali, Om.”
Plak
Suara nyaring itu berasal dari telapak tangan Jevander yang mendarat dengan mulus di tengkuk Sergio. Ya, jangan salah faham, hubungan mereka memang sedekat itu.
“Gio, Om memang sayang sama kamu, bahkan mungkin lebih dari sayangnya Om ke Elys. Tapi, Gio... Kamu ini miniatur Papamu, dan kamu juga pasti udah tau kalau dulu Papa kamu dan Om ini brengseknya sama... Jadi apa yang ada di otak kamu sekarang, Om tau sekali.”
“Masa iya? Emang apa coba yang ada di otak aku sekarang, kalau Om Pan beneran tau?”
Jevander mendesah pelan, melonggarkan sedikit keterkejutannya. “Liburan berdua, di Bali, booking satu kamar terus...”
“Kotor ih,” Sergio memotong sambil bergidik geli, “jadi dulu pikiran Om sama Papa kalau liburan berdua sama cewek tuh sekedar urusan ranjang, ya?”
Mulut Jevander terbuka, hendak protes. Tapi karena ucapan Sergio bak anak panah yang menusuk tepat di kerongkongannya, yang keluar dari rongga mulutnya hanyalah udara kosong tanpa arti. Jevander buru-buru mengibaskan tangan sebagai bentuk penyangkalan. Sementara Sergio menggeser duduknya sedikit menjauh agar bisa menatap omnya itu dengan lebih intens.
“Ckckck, gak heran sih dulu Mama sama Tante Kiya susah percaya sama Papa dan Om Pan. Pikirannya aja begini.”
“Gio...”
“Om,” ucap Sergio lugas. “Aku tuh mau ajak Elys ke Bali buat rayain ulang tahunnya. Dia sekarang udah legal, Om. She deserves something bigger than just a cake, mumpung aku bisa cuti dan Elys lagi libur semester, aku mau ajak dia liburan ke Bali sebagai hadiah ulang tahunnya.”
Jevander masih belum berbicara sebab tiap kali suara akan keluar dari rongga mulutnya, Sergio menyambar lebih cepat. Anak Raechan Leenandar itu bahkan memegang kedua tangan Jevander dengan lembut. Menyalurkan keyakinan dari dalam lubuk hatinya. “Om, percaya sama aku. Aku cuma mau ajak Elys liburan, jalan-jalan, healing. There is nothing dirty like you imagining it in your head, Om.”
“Oke, berapa hari?”
“Tiga hari, gak lama kok. Cuma main-main aja.”
Jevander menatap lurus ke arah mata Sergio. Mencari-cari keseriusan, ketulusan, kebohongan, akal bulus, atau apapun yang bisa dia temukan disana. Mata Sergio jernih dan jujur. Ketika membalas tatapan mata Jevander, mata itu juga tidak goyah. Tidak ada kebohongan disana, tidak ada sama sekali.
Jevander akhirnya membalas genggaman tangan Sergio dengan sama lembutnya. Ayah Elysia itu juga menepuk-nepuknya pelan. “Ya udah, Om izinkan. Om percaya sama kamu, tolong jangan kecewakan Om Pan, ya.”
“YES! Aku gak akan ngeceain Om Pan, janji.”
Ujung bibir Jevander naik, membentuk lengkung senyum yang cantik. Senyum itu juga berkawan dengan milik Sergio. Om dan keponakan itu saling pandang dengan senyum merekah di wajah masing-masing. Darah pemain seorang Raechan Leenandar memang benar mengalir deras di tubuh seorang Sergio Leenandar. Dan hal paling membahayakan dari seorang pemain adalah rayuannya yang sulit ditolak. Sergio baru saja mempraktekkannya.
Hujan sudah reda sepenuhnya, tapi mendung masih menaungi kota. Jevander mengajak Sergio untuk ke meja makan, menyantap nasi goreng yang sudah mendingin sebab mereka terlalu larut dalam percakapan. Elysia bergabung di meja makan beberapa menit kemudian. Gadis itu tampil ayu dalam gaun rumahan yang sederhana. Rambutnya diikat satu, menyisakan poni depan yang menutupi dahi. Aroma vanilla menguar dari tubuh Elysia dan mampu diterima dengan baik oleh indra penciuman Sergio. Mereka duduk bersebalahan tanpa rasa canggung.
Obrolan di meja makan didominasi oleh hal-hal yang santai. Ini hari minggu, waktunya rehat, tidak diperbolehkan untuk percakapan yang terlalu berat.
“Seumur kamu ini, dulu Papa kamu sudah punya istri loh, Gio.”
“Dulu, seumur Om Pan, Opa Alex juga udah punya cucu loh, Om.”
Adzkiya terkekeh melihat respon suaminya yang langsung merengut mendengar balasan sindiran dari Sergio.
“Gini aja deh, untuk dapet win-win solution, gimana kalau minggu depan aku nikahin Elys aja? Di umur segini aku bakal punya istri seperti yang Om bilang, dan di umur Om Pan yang segitu, Om bakal punya cucu seperti yang aku bilang. Deal?”
Adzkiya menghentikan tawanya, Elysia tersedak hingga terbatuk-batuk, sementara Jevander.... dia hampir membalik meja makan.