Sit on Me
Jevander “Cursing” Novanda.
Cursing is my middle name.
Terima kasih kepada Alexander Parajuan yang telah memberi julukan itu kepadaku bertahun silam.
Ya, mungkin separuh hidupku hanya habis aku gunakan untuk mengumpat. Mengumpati apa saja. Mengumpati jalanan macet, mengumpati antrian panjang di kasir, mengumpati lampu merah yang detiknya terlalu lama, dan banyak hal lain yang memancing kata-kata kotor untuk keluar dari mulutku. Aku tahu mengumpat bukan lah sebuah hal yang baik, tapi ketika aku mengumpati sesuatu yang membuatku kesal, aku bisa merasa lebih baik.
Tidak berbeda dengan hari ini, entah sudah berapa nama binatang dan berapa kata kotor, aku layangkan dalam bahasa ibu dan bahasa lain. Aku mengumpati setumpuk pekerjaan yang menahanku duduk di ruang tamu rumah Adzkiya sejak pukul lima sore tadi. Sial, padahal tujuanku datang ke rumah ini bukan untuk terbelenggu mengkaji bertumpuk kertas menyebalkan dan memusingkan ini. Aku rela mengendarai mobilku sejauh puluhan meter untuk bercinta dengan Adzkiya, bukan untuk kertas-kertas bodoh ini.
Shit.
Seharusnya saat ini aku sedang berada dalam dekapan Adzkiya yang selalu tampak lezat dalam balutan gaun malamnya. Harusnya pada waktu-waktu ini, aku sedang menikmati ciuman Adzkiya yang memabukkan. Sungguh indahnya malam ini jika yang aku dengar sekarang adalah desahan Adzkiya yang menggumamkan namaku dan bukannya suara pena yang menari di atas kertas. Sial, akan lebih baik menatap Adzkiya yang telanjang dari pada menatap jajaran angka yang entah apa gunanya ini.
Anjing.
Udara malam Ayu Laga yang biasanya dingin saja tidak mampu meneduhkan kepalaku yang memanas sebab rasa-rasanya darahku tengah mendidih saat ini. Aku meremat sebuah kertas kosong dan membuangnya ke lantai, dengan sebal tentu saja. Kausku sudah teronggok di bawah meja, rambutku sudah berantakan karena aku berkali-kali menjambak rambutku sendiri, dan kopi yang disajikan Adzkiya sudah tandas sejak tadi.
“Belum selesai juga, Van?” Suara lembut Adzkiya terdengar dari belakang punggungku, beriringan dengan pelukan yang dia berikan dari belakang.
Kulit tangannya yang selembut sutra mengelus pelan dadaku yang telanjang. Aku juga bisa merasakan kedua putingnya yang tegang di punggungku. Dagu Adzkiya diletakkan di salah satu bahuku hingga aku bisa merasakan nafasnya menerpa leherku yang sedikit meremang.
“Belum nih, tau gini gak aku iyain deh tawarannya Juan,” keluhku padanya.
Adzkiya mengecup daun telingaku, lidahnya menyusul setelah itu. Gadis itu menggelitik salah satu titik paling sensitif di tubuhku dengan sengaja. “Udah, istirahat dulu aja,” ujarnya.
“Ki, don't tease me please.”
Tawa renyah Adzkiya terdengar, dia berhenti melakukan kejahilannya dan pelukannya terlepas, membuat tubuhku tiba-tiba kedinginan. Saat dia berjalan melewatiku, aku baru bisa melihat pakaiannya malam itu. Adzkiya mengenakan one set berwarna hitam, pakaian atasnya hanya berupa tank top dengan belahan dada rendah. Sementara pakaian bawahnya hanya berupa celana pendek berenda yang bahkan tidak sepenuhnya menutupi paha Adzkiya.
“Yaudah gih beresin dulu, aku tunggu di sofa,” katanya kepadaku sebelum gadis kesayangku itu lenyap ditelan pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarganya.
Ruangan itu kembali senyap, aku bahkan bisa mendengar suara katak dan jangkring bersahutan di luar rumah. Selain itu, aku juga mulai mendengar obrolan beberapa orang yang sepertinya berasal dari film yang sedang Adzkiya tonton. Fokusku pecah, aku seutuhnya mengabaikan pekerjaan di hadapanaku. Aku akhirnya menyerah, kuletakkan pena di atas meja. Sekalipun aku memaksa, otakku tidak akan bisa mencerna deretan angka ini karena yang sekarang ada di sana hanya.... Adzkiya dan puting payudaranya yang menegang di balik pakaian tipis yang dia kenakan.
“Loh, udah selesai?” Tatapan bingung Adzkiya menyambutku saat melewati pintu. Gadis kecintaanku itu langsung menyingkirkan bantal sofa yang sebelumnya dia peluk.
Kedua tangannya terbuka, seolah tahu bahwa aku memang ingin masuk ke dalam dekapannya yang selalu hangat. “Sini, capek ya pasti.”
Aku mengangguk, sementara tanganku sibuk melepaskan ikat pinggang dan melemparnya asal. Lantas aku menjatuhkan tubuhku ke dalam dekapan Adzkiya, aroma tubuhnya langsung memenuhi indra penciumanku. Kedua lengan Adzkiya melingkari leher dan bahuku. Kepalaku bersandar di dadanya yang kenyal.
“Tidur aja, ya, kalau gitu? Besok pagi aja kita...”
“Gak, aku butuh recharge energi,” sergahku cepat. Kepalaku saat ini penuh sekali dan hanya ada satu cara untuk melepaskan semuanya. Toh, tujuanku kesini memang untuk bercinta dengan Adzkiya.
“Coba sini liat aku.” Tangan Adzkiya menyentuh daguku dan membuatku mendongak untuk menatapnya. Mata kita bertautan, mungkin saja dia bisa melihat kilat birahi di kedua mataku ini. “Ah... ini sih kayaknya emang perlu dilepasin beban kamunya.”
Aku tersenyum senang, kudekatkan wajahku hingga aku bisa meraih bibirnya yang ranum. Adzkiya memiringkan kepalanya, membuat pergerakanku makin leluasa. Tangannya yang tadi memeluk bahuku kini sudah sepenuhnya bersemayam di belakang leherku— dan memberi sedikit tarikan pelan di rambutku saat aku tidak sengaja menggigit bibirnya.
Ciuman itu berlangsung lama, lidah kami saling membelai satu sama lain. Mengirimkan gelenyar panas guna memuaskan keinginan masing-masing. Sesekali kami berciuman sambil saling bertatapan, memeriksa apakah kami sudah benar-benar saling memuaskan.
Ciumanku turun ke leher dan dada Adzkiya setelah beberap saat. Tank top yang tadi dikenakannya kini sudah aku hempas entah kemana. Kedua payudara sintal Adzkiya menjadi fokus utamaku sekarang. Aku bermain di sana dengan lidah dan kedua tanganku. Jari-jariku memainkan puting Adzkiya bergantian dengan lidahku yang membelainya. Gadis yang sudah sepenuhnya berada di bawah kendaliku ini sesekali membusungkan dadanya sebagai balasan.
Aku tidak yakin berapa lama aku memanjakan tubuh bagian atas Adzkiya, tapi aku menyudahinya saat aku tahu Adzkiya hampir mencapai puncak. Adzkiya hendak protes, tapi aku membungkamnya dengan kecupan ringan di bibir.
Aku bangun dari atas Adzkiya, kemudian berpindah untuk duduk di lantai. Kepalaku bersandar pada sofa dan sedikit mendongak.
“Kamu... ngapain?”
“Sit on me, Ki.”
“Hah?”
“Sit on my face, Adzkiya.”
Tubuh Adzkiya mendadak kaku, aku bisa melihatnya dari ujung mataku.
“Sini,” kataku pelan sembari sebelah tanganku menggapai tangannya. “Katanya weekend mau duduk di muka aku, sini.”
Adzkiya masih diam.
Aku menegakkan tubuhku lagi dan menatapnya dalam. “Kamu masih ngerasa hal ini gak sopan, ya? Ayo cobain dulu deh, kalau nanti kamu nggak nyaman, kamu bisa bilang ke aku dan aku akan berhenti. Ya?”
Gadis paling cantik bagiku itu, akhirnya mengangguk. Aku mengecup kedua tangannya dengan lembut dan membantunya melepaskan celana. Setelah itu, aku kembali ke posisiku yang semula. Kedua tanganku membimbing Adzkiya untuk naik ke atas sofa dengan hati-hati. Gadis kesayanganku itu dengan kikuk mengikuti arahanku, dia meletakkan satu lututnya di sebelah kepalaku dan perlahan-perlahan meletakkan sebelah lututnya yang lain.
Aku tersenyum puas saat akhirnya kewanitaan Adzkiya tepat berada di atas wajahku. Dari posisi ini, aku bisa melihat keindahan inti tubuh Adzkiya dengan lebih leluasa.
“Kamu pegangan ke sandaran sofa ya, soalnya aku gak nopang tubuh kamu. Kayaknya kamu juga bakal lebih capek dari biasanya. Kalau nanti kamu udah gak kuat, bilang ke aku ya.”
Adzkiya menjawab dengan malu-malu dan aku menjawab jawabannya itu dengan menyentuh pinggulnya agar dia sedikit menurunkan tubuhnya. Kewanitaan Adzkiya bersih, sebab dia rajin mencukur bulu kewanitaannya. Lidahku bisa dengan mudah menelusup masuk untuk memuaskan Adzkiya. Butuh beberapa waktu sampai Adzkiya terbiasa, ada kalanya gadis ini juga mengangkat pinggulnya karena terkejut, tapi lambat laut akhirnya dia terbiasa. Dia bahkan mengikuti irama jilatan yang aku berikan dengan menggerakkan pinggulnya ke depan dan ke belakang.
“Shit, now I know why Doja Cat likes guy with big noses.”
Aku tersenyum di sela jilatanku saat mendengarnya.
Malam itu, entah berapa lama waktu yang kami habsikan untuk bercinta. Setidaknya kami melakukan dua sesi di sofa ruang keluarga dan satu sesi di dapur saat Adzkiya sedang menyiapkan minuman untukku.
Tunggu, jangan salahkan aku. Salahkan saja tubuh Adzkiya yang tetap tampak menggoda bahkan ketika dia hanya mengenakan kausku yang begitu kebesaran di tubuhnya.
**
Bunyi nyaring dari telepon genggam menganggu pagiku di Ayu Laga yang damai. Aku masih butuh banyak waktu untuk tidur dan memanjakan tubuhku yang kelelahan setelah percintaan panjang. Tapi bunyi sialan itu tidak akan berhenti jika si penelepon di sebrang sana tidak mendapat jawaban.
Masih dengan mata yang tertutup, aku meraba meja kecil di sebelah ranjang Adzkiya. Dan tanpa repot-repot mengecek siapa nama yang tertera di sana, aku menjawab panggilan itu.
“Halo? Siapa sih anjir pagi-pagi?”
“Ini udah jam sebelas, Jev!” Seseorang di sebrang sana menjawab dengan garang.
“Kenapa sih, Jaen?”
“Kak Adzkiya mana?“
“Ada nih, di sebelah gue, kenapa?”
“Kasih hp lo ke Kak Kiya, ada yang mau gue omongin, penting.”
Aku mengucek mata pelan, berusaha bangun dari posisi berbaringku dan bersandar di kepala ranjang. Tangan Adzkiya masih melingkari pinggangku dengan posesif.
“Ada apaan? Cewek gue masih tidur.”
“Penting, kasih aja hp lo ah! Banyak nanya.“
“Matiin dulu deh, nanti gue telfon balik.”
Tanpa menunggu jawaban Jaenandra, aku mematikan panggilan itu sepihak. Ponselku kembali aku letakkan di meja.
Adzkiya masih terlelap dengan begitu damai di sampingku. Nafasnya beranturan, dengkuran halusnya juga terdengar. Sebetulnya aku tidak tega untuk membangunkannya, tapi sepertinya keadaan Jaenandra mendesak.
Aku menyingkap selimut, tubuh Adzkiya masih telanjang di baliknya. Kukecup pelan keningnya, kemudian turun ke hidung dan bibirnya. Kalaupun harus membangunkan kesayanganku ini, aku akan melakukannya dengan pelan.
Contohnya... dengan cara ini.
Memanjakan tubuhnya sekali lagi.
Satu jam kemudian, aku baru kembali menghubungi Jaenandra dan mendengar seribu makian darinya.
——————– end ————————