You have me under your control, my lady.

Dua insan tengah saling menghangatkan tubuh masing-masing di atas ranjang. Tubuh keduanya telanjang di bawah selimut tebal. Masih ada bulir keringat sisa-sisa percintaan mereka yang bergairah. Si istri menyandarkan kepalanya di dada bidang si suami— dalam keadaan sedekat dan seintim itu, dia bisa mendengar irama degup jantung suaminya. Malam makin larut, jam digital di atas nakas menunjukkan bahwa saat itu sudah pukul satu pagi.

“Tapi dari semua hal itu, ada gak satu hal aja yang kamu syukuri soal papa kamu?”

Si suami, yang ditanyai begitu tiba-tiba, merasa terkejut. Tangannya yang tadi tengah membelai lembut rambut istrinya seketika terhenti. Fikirannya mengawang, berusaha mencari jawaban paling baik untuk menjawab pertanyaan istrinya. Laki-laki itu menatap langit-langit kamar, sementara bibirnya masih terkatup rapat. Butuh beberapa waktu lagi sampai akhirnya jawaban itu didapatkan.

“Satu hal yang aku syukurin dari Papa ya, hmmm, mungkin... Papa yang gak pernah menikah lagi setelah Mama meninggal.”

“Kenapa hal itu jadi hal yang kamu syukuri, Van? Apa karena itu artinya papa kamu gak bisa lupain mama kamu?”

Laki-laki yang dipanggil Van itu menggeleng pelan. Dia mengecup bahu telanjang istrinya sebelum kemudian menjawab, “Bukan karena itu artinya Papa gak bisa lupain Mama, Ki. Tapi aku bersyukur Papa gak menikah lagi karena itu artinya aku gak harus manggil perempuan lain dengan sebutan mama. Itu artinya aku gak harus punya mama baru. Itu artinya gak ada yang gantiin posisi mama di tatanan keluarga Novanda.”

Sang istri, Adzkiya, sedikit mendongakkan kepala untuk menatap suaminya. Tangannya terulur untuk bergantian mengelus rambut Jevan. Rambut suaminya itu sedikit basah, nampaknya percintaan mereka tadi cukup gila. Tangan itu kemudian turun, mengelus bahu Jevan yang menjadi sandarannya selama ini. Mata mereka bertautan, diiringi senyum mereka yang mengembang.

“Walaupun Papa dekat sama banyak perempuan, Papa gak pernah meresmikan hubungannya sama wanita manapun. Cuma ada satu istri selama dia hidup, dan itu adalah Mama. Mamaku, Ki. Karena hal itu, sampai kapanpun, perempuan yang akan dunia tau sebagai pendamping seorang Alexander Novanda tuh ya cuma Mama. Aku bersyukur untuk itu.”

“Apa kamu juga bakal ngelakuin hal yang sama kalau aku pergi duluan?”

“Aku jawab pertanyaan ini bukan berarti aku mau kamu pergi duluan ya, Sayang. Aku mau jawab karena kamu pasti maunya aku gak lari dari pertanyaan ini.”

Adzkiya terkekeh pelan.

“Seandainya kamu pergi duluan nanti, aku akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Papa lakukan. Aku gak akan bikin anak kita manggil perempuan lain dengan sebutan Bunda, selain itu...”

“Tapi kamu juga bakal kayak papa kamu yang deket sama banyak perempuan gitu dong?”

“Aku belum selesai ngomong ya, Adzkiya!” Jevan memberengut. “Dengerin dulu dong makanya.”

Adzkiya terkekeh lagi, kali ini sedikit lebih keras.

“Selain itu... Aku juga gak bakal dekat sama perempuan manapun. Bukan karena aku gak mau, tapi karena aku gak bisa. Gak ada perempuan manapun yang bisa bikin aku semenggila ini, Adzkiya.”

Setelah ucapannya selesai, Jevan membimbing tubuh Adzkiya untuk duduk di atas pahanya. Selimut yang tadi menjaga tubuh telanjang Adzkiya, melorot hingga ke batas perutnya. Menyisakan pemandangan apik yang membuat sebelah bibir Jevan terangkat. Kedua payudara Adzkiya menggantung bebas tanpa penghalang apapun.

Round two?”

Alih-alih menjawabnya dengan suara, Adzkiya memilih untuk memberi jawaban lewat gerakan. Bak profesional, perempuan cantik itu menyibak rambut panjangnya, lalu kemudian mendekatkan wajahnya pada sang suami. Kecupan pertama didaratkan di kening, kemudian turun mengecup ujung hidung Jevan yang tinggi, lalu kecupannya turun ke bibir, dan berkahir menjadi lumatan panjang kala bibir mereka berdua saling bertaut.

Suara lenguhan kecil di sela-sela ciuman mereka menciptakan irama yang memanjakan serta memuaskan pendengaran keduanya. Permainan bibir dan lidah itu berlangsung beberapa lama, sebelum akhirnya terlepas sebentar, untuk sekadar meraup udara. Adzkiya bisa merasakan nafas Jevan menabrak lembut wajahnya.

You have me under your control, my lady.”

Sebelah bibir Adzkiya terangkat— senyuman penuh kemenangan. Malam ini, ah atau lebih tepatnya dini hari ini, permainan yang sebenarnya akan segera dimulai.

Adzkiya akan membuktikan ucapan Jevan tentang tidak akan ada perempuan manapun yang bisa membuat Jevan semenggila saat bersama dirinya.

Dada telanjang Jevan menjadi target kecupan Adzkiya yang selanjutnya. Kedua puting Jevan yang mengeras juga tak luput dari permain bibir dan lidahnya. Puas bermain di sana, kecupan Adzkiya turun, memanjakan perut Jevan yang otot-ototnya langsung mengencang pada detik pertama bibir Adzkiya mendarat di sana.

Selimut yang tadi menutupi tubuh keduanya telah teronggok tidak berdaya, terjatuh ke lantai. Bibir Adzkiya akhirnya mendarat di titik paling fatal yang bisa membuat Jevan menahan nafasnya mati-matian. Kecupan itu bergeriliya dari paha luar, bergulir ke paha dalam, dan berakhir pada inti Jevan yang tegang sempurna.

Tidak puas hanya dengan bibirnya, tangan Adzkiya menggantikan setelahnya. Sesuatu yang tampak begitu keras namun terasa begitu lembut di telapak tangan Adzkiya itu, dipijatnya beberapa kali. Gerakannya terukur, naik dan turun. Sesekali bibir Adzkiya kembali mencecap ujung kejantanan Jevan.

Di bawah kendali Adzkiya itu, Jevan bergerak-gerak gelisah. Kepalanya mendongak menekan bantal yang menjadi alas kepalanya. Matanya terpejam sempurna, meresapi setiap sentuhan Adzkiya yang membuatnya gila.

“Jangan tutup mata kamu, Sayang, liat aku,” bisik Adzkiya pelan sebelum akhirnya bibirnya dia gunakan untuk mengulum kejantanan Jevan sepenuhnya.

Jevan membuka mata, kemudian sedikit menegakkan tubuh untuk menatap Adzkiya. Di bawah sana, perempuan yang digilainya itu tampak asik menaik turunkan kepala sementara sesuatu tengah menjejali mulutnya. Gerakannya ahli, mengirim sinyal kenikmatan tiada tara bagi tubuh Jevan.

Jemari Jevan mencengkram seprei di bawah tubuhnya saat dia merasakan sesuatu dalam dirinya hendak meledak. Hanya butuh beberapa detik saja. Dan sepertinya Adzkiya paham betul akan hal itu, gerakannya makin menggila. Kejantanan Jevan terasa makin besar dan akhirnya meledak di mulut Adzkiya. Cairannya yang tidak sempat tertelan, lumer menuruni dagu dan meleleh melewati leher jenjang Adzkiya.

Jevan jatuh terlentang, tubuhnya terasa ringan. Pandangannya sempat kabur sebentar saat kenikmatan itu mencapai puncak kepalanya.

“Jadi, ronde duanya cuma sampai pakai bibir ya, Tuan Jevander?”

Adzkiya kembali duduk di atas pangkuan Jevan, sementara laki-laki itu masih berusaha kembali menguasai dirinya.

Jevan bisa merasakan tubuhnya kembali menegang saat kedua pantat sintal Adzkiya duduk tepat di atas pusat dirinya. Rambut istrinya itu semakin berantakan. Bekas cairan kenikmatan yang tadi dia keluarkan membentuk bercak di sudut bibir, leher, hingga dada Adzkiya.

Ini bukan pertama kali baginya melihat pemandangan seperti ini. Tapi hanya dengan Adziya, Jevan merasakan sebuah percintaan yang melibatkan perasaan.

Sisanya, Jevan hanya mendapat kebutuhan biologis. Tanpa cinta.

“Kalau digesekin gini, masih kuat nggak?” tanya Adzkiya, tangannya menuntun kejantanan Jevan dan menggesekkan sesuatu yang kembali tegang itu, ke bibir kewanitaannya.

“Kayaknya... ahhh... kamu yang gak akan tahan untuk gak masukin dia sepenuhnya, Adzkiya.” Jevan mencibir.

“Tahan aku mah.”

“Oh ya?”

Adzkiya tidak menanggapi, perempuan itu terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Bibir kemaluannya terasa gatal, dan kejantanan Jevan justru membuat semuanya semakin buruk. Dia kira, dengan gerakan ini, dia akan bisa menyiksa Jevan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, gerakan ini justru membuat nafsunya tidak terkendali.

Kejantanan Jevan yang sedang dia cengkram sesekali menggesek pusat dirinya yang paling sensitif. Tapi gerakan itu hanya sambil lalu, seperti mengejek. Adzkiya ingin lebih dari ini.

“Ahhh...”

Persetan dengan senyuman kemenangan yang Jevan tampakkan pada wajahnya, Adzkiya tidak tahan lagi. Tangannya mendorong kejantanan Jevan untuk masuk lebih dalam. Gerakan pinggangnya menyusul setelahnya. Adzkiya berada di atas tubuh Jevan, memimpin permainan dengan bantuan tangan Jevan yang membimbing pinggulnya.

“Katanya tahan... ahhh... Cantikku, do it, right.”

Akhirnya, yang memenuhi ruangan itu hanyalah desahan dan erangan dari dua insan yang tengah berusaha memenuhi nafsu diri dan pasangannya. Percintaan mereka berlangsung lama, dengan berbagai posisi dan gaya.

Entah pukul berapa, akhirnya tubuh Jevan ambruk menimpa Adzkiya. Nafas mereka bertabrakan. Detak jantung mereka berlomba. Lutut keduanya lemas. Tapi senyum keduanya merekah.

Mereka puas.

Malam ini mereka benar-benar bercinta.

Jevan membetulkan posisi Adzkiya agar berbaring dengan nyaman. Laki-laki itu lantas mengambil tisu untuk membersihkan kewanitaan Adzkiya dari bekas-bekas cairan percintaan mereka.

“Di sini, sakit gak, Sayang? Aku takut terlalu keras sama kamu.”

Adzkiya menggeleng sebagai jawaban.

Jevan tersenyum, dikecupnya kewanitaan Adzkiya dengan penuh sayang.

“Kita bersih-bersih dulu ya, abis itu baru kita tidur.”