Sup Iga
Sergio Leenandar, putra pertama salah satu kawan baik ayahku, Om Raechan Leenandar. Sergio, atau aku harus memanggilnya Kak Gio, sebab dia terpaut usia lebih tua lima tahun dariku. Kak Gio tidak memiliki darah ayahku di tubuhnya, tapi kasih sayang yang ayahku berikan padanya bisa dibilang lebih besar dari yang ayah berikan padaku.
Sebentar, aku harus meluruskan sesuatu, aku berkata seperti ini bukan berarti aku merasa iri atas kenyataan itu. Sungguh, aku sama sekali tidak keberatan ayahku lebih menyanyangi Kak Gio. Aku tahu semua ceritanya, karena Ayah selalu menceritakannya sebagai dongeng penghantar tidur. Kata Ayah, Kak Gio lahir saat ayahku dan kawan-kawannya sedang berada di usia rentan— peralihan dari mahasiswa menjadi pekerja. Kata Ayah, pada masa itu, mereka lelah secara fisik dan mental. Mereka, maksudku ayahku dan kawan-kawannya, banyak sekali melewati hari buruk. Dan kehadiran Kak Gio adalah penghiburan paling mujarab untuk mereka.
Kata Ayah, dulu, pada masa itu, rumah Om Raechan sudah seperti rumah mereka sendiri. Sepulang kerja, saat istirahat makan siang, akhir pekan, atau kapanpun mereka sempat, mereka selalu datang ke rumah Om Raechan untuk menengok Kak Gio kecil. Menurut cerita ayahku lagi, Kak Gio kecil adalah sebetul-betulnya penggambaran seorang malaikat. Rupanya putih bersih, dengan ketampanan luar biasa, tidak heran sebab orang tua kandungnya juga punya rupa yang menawan. Selain itu, Kak Gio kecil adalah sosok yang periang dan mudah dekat dengan siapapun. Bagi ayahku, hanya dengan memandang Kak Gio saja, sudah membuat hati bahagia.
Sosok yang aku ceritakan dengan sepenuh hati ini, sekarang sedang bersandar di badan mobilnya. Tangannya bersidekap di depan dada. Kepalanya sibuk menengok ke kanan dan ke kiri— untuk mencari diriku. Angin yang lolos dari pepohonan di balik mobilnya, menerbangkan rambut depan Kak Gio, membuatnya sedikit acak-acakan. Sementara laki-laki itu tampak tidak perduli. Matanya masih sibuk memindai sekitar hingga akhirnya menangkap sosokku yang berjalan ke arahnya.
Mata dan bibir Kak Gio membentuk lengkung senyum. Tangannya yang kekar dan berurat melambai ke arahku, seolah aku tidak akan bisa menemukan sosoknya yang selalu terlihat menonjol itu. Padahal, entah dia menyadarinya atau tidak, Kak Gio selalu menjadi pusat perhatian bagiku bahkan ketika dia ada di antara ribuan orang. Tubuhnya yang tinggi dan wajahnya yang tampan itu... ah.... oke, aku mulai terndengar menggelikan.
Hal pertama yang selalu Kak Gio lakukan ketika aku mendekat ke arahnya, adalah mengambil barang apapun yang sedang aku bawa. Untuk hari ini, dia mengambil tas punggung dari gendonganku. Tangannya yang kekar itu dengan suka rela menggantikan tugas bahuku untuk memanggul beban berat. Sekarang tubuhku terasa lebih ringan, bibirku jadi makin mudah tersenyum untuknya.
“Langsung ke rumah ya, Mama Kayana udah nungguin anak perempuan kesayangannya.” Kak Gio membukakan pintu mobil untukku, telapak tangannya diletakkan tepat di sisi atas bingkai pintu agar kepalaku tidak mengenainya.
Ketika di dalam mobil, Kak Gio selalu bergumam mengikuti lagu apapun yang aku putar. Bukan karena selera musik kita sama, melainkan karena Kak Gio selalu berusaha menyukai lagu yang sedang aku sukai. Dan aku sangat berterimakasih kepadanya karena hal ini, sebab berkalipun aku mencoba menyukai lagu yang menjadi seleranya, aku selalu berakhir gagal. Lagu yang Kak Gio pilih sering kali terlalu keras bagi pendengar musik tenang seperti aku.
“How was your day, El?” tanya Kak Gio ketika ada jeda pergantian lagu.
“Seru, hari ini mata kuliahnya aku suka. Kak Gio gimana tadi di kantor?”
“Seru, hari ini kerjaan di kantor juga Kakak suka.”
Aku dan dia lalu tertawa bersama.
Ini rahasia kita saja ya, aku beritahukan padamu bahwa Kak Gio tidak pernah suka pekerjaannya yang sekarang. Dia mengatakan kalimatnya barusan, hanya mengikuti kalimatku untuk menghibur dirinya sendiri.
Sebagai informasi, Kak Gio bekerja di sebuah perusahaan jasa yang bergerak di bidang pariwisata. Posisinya cukup baik, di usianya yang baru genap seperempat abad, Kak Gio adalah seorang Senior Travel Consultant. Mungkin bagi sebagian orang, sangat disayangkan apabila Kak Gio tidak merasa bahagia ada di posisinya sekarang. Tapi bagiku, yang tahu persis apa mimpinya, aku bisa memahami mengapa dia tidak terlalu menyukai posisinya yang sekarang.
Mimpi Kak Gio yang sebenarnya adalah menjadi seorang pemandu wisata. Kak Gio suka sekali bertemu dengan berbagai karatker manusia yang menjadi tamunya. Dia senang melihat tamunya merasa antusias dengan paket wisata yang telah dia rancang. Dalam penjelasan sederhana, Kak Gio lebih suka turun langsung ke lapangan, menikmati indahnya alam, dari pada duduk di meja kerjanya yang menurutnya makin lama makin sesak.
Sebetulnya, mimpi Kak Gio itu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan, mengingat Kakek Andar— ayah Om Raechan sekaligus kakek Kak Gio, adalah pemilik sebuah agen perjalanan yang cukup punya nama. Kak Gio juga sebetulnya ingin langsung bekerja di agen perjalanan milik kakeknya itu, tepat setelah menyandang gelar sarjana. Sayangnya, Om Raechan menantang keras keinginan Kak Gio. Om Raechan mengharuskan Kak Gio untuk bekerja di perusahaan lain agar Kak Gio tidak merasa dimudahkan dan tahu caranya berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Kata Om Raechan, hal ini dilakukan agar Kak Gio tidak tumbuh menjadi anak yang ketergantungan pada fasilitas yang bisa diberikan oleh keluarganya.
**
Kami tiba di rumah keluarga Leenandar ketika matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Awan abu-abu bergelayut di atas kepala kami. Angin basah berhembus menggoyangkan pepohonan di depan rumah ini. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Kak Gio buru-buru membimbingku masuk ke dalam rumah setelah memarkir mobilnya.
Aku melepas sepatu, meletakkanya di rak sepatu yang terletak tepat di sebelah pintu masuk, dan mencuci tanganku di wastafel. Aroma masakan adalah hal pertama yang menyambutku dan Kak Gio ketika kami tiba di ruang tamu. Suara Tante Kayana, atau dia lebih suka kupanggil Mama Kayana, dan Om Raechan terdengar tengah bercakap-cakap di dapur.
“Ke dapur gih, Kakak mau mandi dulu,” pamit Kak Gio yang kujawab dengan anggukan.
Aku berjalan ke arah dapur. Suara Mama Kayana dan Om Raechan makin keras terdengar, mereka tengah membahas tentang apa yang kurang dari rasa makanan yang sedang mereka berdua siapkan.
Mama Kayana memekik senang saat akhirnya melihatku datang. “Yaampun, si cantik Elysia! Awas-awas, Pa, minggir dulu.” Respon Mama Kayana selalu menyenangkan. Aku senyum-senyum sendiri saat Mama Kayana merangkulku dan mengajakku mendekat ke panci yang sedang mengepulkan uap panas.
“Karena tau Elys mau dateng, Mama Kayana sengaja masak sup iga. Nanti makan yang banyak, ya, Sayang,” ucapnya seraya mengelus rambut panjangku.
Aku melingkarkan lengaku di pinggang Mama Kayana. Membisikkan rasa terimakasih karena mama kesayangan Kak Gio itu sudah mau repot-repot menyiapkan makanan kesukaanku.
“Gia mana, Ma?”
“Gia? Tuh diungsiin ke rumah neneknya sama Om kamu.”
Aku menoleh ke arah Om Raechan. “Diungsiin kenapa, Om?” tanyaku.
“Biasa, lagi bandel. Pusing deh, Om dengerin dia nangis berjam-jam. Ungsiin aja.”
“Om kamu itu mau bikinnya doang, ngurusinnya gak mau.” Mama Kayana mencibir Om Raechan sambil menatapnya jengkel.
Aku dan Om Raechan hanya tertawa saja. Kami lalu lanjut bercakap-cakap, membicarakan ini dan itu. Lalu beberapa saat kemudian, Mama Kayana memintaku menyusul Kak Gio ke kamar untuk memberitahunya bahwa makan makan sudah siap.
Kamar Kak Gio terletak di lantai dua, bersebelahan dengan kamar tamu. Saat aku sampai di sana, pintu kamarnya terbuka. Kulongokkan kepala melalu celah pintu dan tidak kudapati Kak Gio di dalam kamarnya. Nampaknya laki-laki itu masih berada di dalam kamar mandi.
“Kak Gio?” panggilku agak keras.
“Ya, Cantik? Sebentar, Kakak masih cukuran.” Kak Gio juga menjawab dengan menaikkan suaranya agar terdengar sampai luar.
“Oke.”
Sambil menunggu Kak Gio selesai, aku melihat-lihat kamarnya. Suasananya masih sama seperti terakhir kali aku masuk kesini. Kamar Kak Gio selalu rapi, sebab Mama Kayana selalu memeriksanya setiap hari dan mengomel apa bila kamar ini berantakan. Buku-buku milik Kak Gio tertata rapi di rak buku bercat putih. Di sisi kamar yang lain, meja rias sederhana menjadi tempat Kak Gio menyimpan beberapa kebutuhannya, seperti pomade, parfume, sisir, dan beberapa produk perawatan wajah dan badan. Di dekat kamar mandi, diletakkan sebuah keranjang plastik yang digunakan untuk wadah pakaian kotor.
Di kamar ini juga terdapat dua jendela besar yang mengarah ke taman. Kak Gio selalu membukanya setiap pagi sehingga sirkulasi udara di kamarnya sangat baik— sama sekali tidak ada bau apek dan kesan lembab. Tirai jendela itu bergerak-gerak saat angin bertiup cukup kencang. Rupanya hujan mulai turun, rintiknya menabrak kaca jendela. Aku buru-buru menutupnya agar tidak tempias ke dalam kamar.
Di luar sudah gelap sepenuhnya saat Kak Gio keluar dari kamar mandi. Dia lantas mendekatiku yang berdiri di dekat jendela. Lengannya melingkari pinggangku. Dagunya diletakkan di bahuku. Hembusan nafasnya bisa kudengar dari jarak sedekat ini.
“Malem ini nginep aja, ya? Gak usah pulang,” katanya pelan sementara aku hanya terkekeh.
Kalimat ini selalu dia ucapkan ketika aku berkunjung ke rumahnya.
“Nanti Kakak yang telfon ayah kamu.”
“Kakak mau bilang apa ke Ayah?”
Kak Gio diam sebentar sebelum menjawab dengan suara yang masih sama pelannya, “Om, Elys nginep di rumah aja, ya? Ujannya deres banget, nanti Elys jadi duyung lagi kalau kecipratan air.“
“Menurut Kak Gio, Ayah bakal jawab apa?”
“Gio, kamu pikir Om Pan sama Tante Kiya ini keturunan duyung, kah? Lagian ya, kamu nganterin dia kan pakai mobil, gak akan kecipratan air. Gak usah alasan, ayo anter dia pulang, besok dia kuliah” Kak Gio menirukan suara ayahku dengan fasih.
Lagi-lagi, aku terkekeh. Entahlah, saat bersama Kak Gio dan keluarganya, tawaku selalu saja tidak mau berhenti.
“Ah, iya, Kak...”
“Hm?”
“Tadi Alana tanya ke aku soal hubungan kita. Aku gak tau harus jawab apa.”
Alana adalah anak Om Juan dan Tante Kenari. Dia satu angkatan denganku, di jurusan yang sama. Kami juga mengambil mata kuliah dan jumlah SKS yang sama. Kami selalu bersama. Alana adalah seseorang yang paling dekat denganku, karena dia adalah wanita satu-satunya di antara anak-anak kawan ayahku yang lain. Ah.. Ada Sergia, tapi usianya baru tujuh tahun.
“Kamu gak tau mau jawab apa karena kamu gak tau hubungan kita ini apa atau karena kamu gak mau jujur ke Alana?”
“Karena aku gak tau sebenernya kita ini apa, Kak.” Aku mengutarakan perasaanku sesungguhnya tanpa rasa malu. Biarlah, biar Kak Gio tahu.
Aku dan Kak Gio terlalu jauh untuk dianggap sepasang kekasih tapi terlalu dekat untuk sekadar berteman. Aku lupa kapan pastinya aku dan Kak Gio berada di hubungan semacam ini. Dulu, Kak Gio hanya melihatku sama dengan dia melihat Alana dan Sergia. Aku hanya seorang adik perempuan bagi seorang Sergio Leenandar yang selalu tertarik pada gadis-gadis yang berusia lebih tua darinya. Aku lupa sejak kapan Kak Gio melihatku sebagai seorang perempuan dan memberi perhatian lebih dari yang dia berikan pada Alana dan Sergia.
Aku juga tidak ingat sejak kapan aku membuka hati padanya lebih lebar dan memperlakukannya berbeda dari caraku memperlakukan Aaron dan Gentala. Aaron adalah anak Om Markio dan Tante Jelena. Sementara Gentala adalah putra semata wayang keluarga Derovano, dengan kata lain dia adalah buah hati Om Jaenandra dan Tante Klarisa.
“Untuk sekarang, kamu bisa jawab kamu pacar Kak Gio, kamu bisa jawab kalau kamu adik Kak Gio, terserah kamu, Sayang. Apapun itu, Kakak suka. Bukannya Kakak gak mau memperjelas hubungan kita, tapi Kakak gak mau membebani kamu sama sebuah hubungan yang belum siap kamu jalani. Kak Gio tau kamu masih mau fokus kuliah, tanpa gangguan hubungan cinta.” Kak Gio membubuhkan kecupan kecil pada bahuku di akhir kalimatnya.
“Jangan terlalu dipikirin, kita jalani aja kayak gini. Kak Gio pake baju dulu, abis itu kita turun.”
Tubuhku langsung terasa dingin ketika lengan Kak Gio tidak lagi berada di pinggangku. Di luar hujan masih terus mengguyur dengan derasnya. Beberapa kali cahaya kilat menembus jendela kaca.
Aku membalikkan tubuh, hendak kembali ke ruang makan. Tapi pemandangan di depan mataku terlalu indah untuk dilewatkan. Kak Gio... laki-laki itu tengah berdiri di depan lemarinya yang terbuka. Sepertinya sedang memilih pakaian untuk dikenakan. Punggungnya yang kekar tepat berada di depan mataku. Berbeda dengan punggung ayahku yang memiliki bekas luka, punggung Kak Gio mulus tanpa cela. Bahunya kekar, tapi pinggangnya ramping.
“Mau makan malem di bawah, apa di sini aja? Kamu keliatannya lebih tergoda sama badan Kakak dari pada sup iga buatan Mama Kayana.”
Ups, aku tertangkap basah, sebaiknya aku segera keluar dari kamar ini sebelum aku tidak akan bisa keluar sama sekali.