petrichorslines

Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik gumpalan awan abu-abu yang bergelayutan di langit lepas. Cahayanya tak bisa mencapai bumi dengan sempurna. Hanya samar-samar saja. Sebuah pagi yang sempurna untuk kembali bergulung dalam selimut hangat, seorang diri atau lebih disempurnakn bersama dengan orang yang tersayang.

Di sebuah rumah, terdengar cekikikan dua insan manusia yang tengah sibuk berkejaran di dalam kamar mereka. Si laki-laki hanya mengandalkan handuk yang melilit di pinggangnya, untuk menutupi area yang tak boleh semabarang dijamah. Sementara si wanita membalut dirinya dalam bathrobe berbulu, sebab lebih banyak area yang harus dia jaga.

Adegan saling kejar itu berlangsung untuk beberapa saat, hingga akhirnya si wanita mengibarkan bendera putih. Menyerah. Tak mau lagi meladeni keisengan suaminya yang tak juga usai. Nafas wanita itu sedikit tersengal, untung tak banyak keringat yang bercucuran.

“Rae, udah ya, please, nanti kita telat,” ucap si wanita masih sambil berusaha menormalkan deru nafasnya.

Si laki-laki mengangguk. Tersenyum lebar. “Siap-siap, gih,” balasnya.

Si wanita—Kayana, menuju meja rias. Menatap dirinya dalam pantulan cermin. Lantas dengan gerakan terlatih, ia meraih sebuah botol kecil dan beberapa barang lain dari laci. Di belakangnya, sang suami sedang asyik memilah beberapa pakaian yang ingin dikenakan. Kayana bahkan tak pernah bisa memahami mengapa suaminya, Raechan, selalu berlama-lama di depan tumpukan pakaian yang dia punya. Padahal, mereka semua sejenis, kaus hitam dan putih. Itu saja.

“Aku hari ini pakai baju apa ya, Sayang, bagusnya?” tanya Raechan.

Kayana menatap Raechan dari pantulan cermin. “Baju kamu cuma ada tiga jenis, Rae. Kaus, kemeja dan jaket. Kaus juga warnanya cuma hitam sama putih. Jadi aku nggak tau mau kasih saran apa.”

Raechan terkekh. Tanpa menatap Kayana, laki-laki itu menjawab, “Iya juga, ya.” Raechan kemudian mengambil sehelai kaus berwarna putih dari tumpukan di lemari. “Kalau kausnya putih, kemejanya bagus warna apa, Sayang?”

Kayana diam sebentar. Tampak berfikir. Sekaligus mengingat-ingat kemeja warna apa saja yang suaminya punya. “Kemeja kamu yang navy aja, Rae.”

“Oke!” seru Raechan bersemangat. Tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada istrinya.

Kamar pengantin baru itu lengang sesaat. Raechan sibuk menata rambutnya di depan cermin lemari baju—tentu setelah mengenakan celana dan kemeja yang dipilih Kayana. Sementara Kayana tampak sedang menata riasannya. Wanita itu terlalu fokus sampai tidak menyadari sang suami sudah berpindah dari depan lemari baju ke belakang tubuhnya. Ikut menatap wajah ayu itu dari pantulan cermin.

“Aku selama ini selalu penasaran kenapa cewek dandannya lama banget. Nih liat, aku udah siap gini, kamunya masih pakai bathrobe.”

Ekspresi wajah Kayana berubah nyinyir. Hentakan tangan yang mengarah ke wajahnya dibuat sedikit keras. “Ya bagus, ngomong gitu terus aja. Cowok tuh suka liat cewek cakep tapi nggak mau tau proses buat jadi cakepnya gimana.”

Raechan gemas dibuatnya. Wajah nyinyir Kayana justru membuatnya terlihat menggemaskan. Tak bisa menahan diri, Raechan menangkup wajah Kayana dengan sebelah tangan, membuat sang istri memberontak kesal.

“Raechan ih!” keluh Kayana.

“Abisan kamu gemes.” Raechan berpindah lagi, kali ini bersandar pada meja nakas. Agar dapat menatap istrinya secara langsung, tak melalui pantulan cermin lagi. “Ya udah sekarang tolong coba jelasin apa fungsi semua alat yang kamu pakai sekarang.

“Ini namanya make up ya, bukan alat.”

Yes, Mom! Make up,” cicit Raechan mengikuti Kayana.

“Nih liat,” ujar Kayana. Tangannya membawa sebuah benda dengan kemasan berwarna keemasan ke depan wajah Raechan. “Ini namanya cushion, the function is to cover the imperfection in our face. Readness, pimples, pores, and whatever it is.”

“Berarti seharusnya kamu nggak usah pake dong?” komentar Raechan.

Kayana hanya menatap laki-laki di sampingnya itu dengan tatapan, “Maksudnya?”

As you said, the function is to cover the imperfection in our face. Menurut aku, wajah kamu udah sempurna, jadi seharusnya kamu nggak usah pakai itu lagi.”

Kayana sedikit bingung harus berekasi apa atas kalimat yang baru saja terlontar dari bibir suaminya. Ada perasaan tersanjung dan sedikit perasaan tak habis fikir atas pernyataan itu. Bisa-bisanya.... hhhh.... Raechan. Kayana mendesah pelan. Meninggalkan barang yang kata Raechan tak berguna untuknya itu, Kayana beralih pada sebuah benda dengan bentuk bulat. Kemasan luarnya berwarna hitam. “Ini namanya blush on, buat kasih efek kemerahan di pipi kita.”

“Kayak kalau kamu lagi salting gitu?” Raechan berkomentar lagi. Wajahnya betul-betul penasaran.

“Iya. Kayak gitu.” Kayaa menjawab malas.

“Ah berarti kamu juga nggak butuh itu, Sayang. Aku lebih jago untuk bikin pipi kamu merah.”

Alih-alih merasa tersanjung, kali ini Kayana hampir membanting benda yang sedang dipegangnya. Komentar Raechan benar-benar hampir menggeruk habis kesabarannya. Betul memang apa yang dikatakan laki-laki itu adalah hal yang manis, hanya saja tak tepat dikatakan di saat seperti ini.

“Sayang, kenapa? Aku ada salah ngomong?” Raechan bertanya takut-takut. Menyadari perubahan raut muka istrinya.

“Kamu nggak mau nunggu aku di bawah aja, Rae?” tanya Kayana pelan.

“Aku masih mau denegrin kamu jelasin alat-alat tempur kamu.” Raechan menjawab tanpa rasa berdosa. “Masih banyak, kan? Itu yang bentuknya kaya pensil itu apa? Terus yang bentuknya bogel itu juga apa? Sama itu tuh yang kotak-kotak warnanya beda-beda tuh apa?”

Kayana menggeram. Kepalanya mulai pusing sekarang.

“Ayo, Sayang, lanjutin, aku...”

“Rae, tunggu aku di bawah aja ya? Aku mohon. Dari pada kita nggak jadi berangkat ke kampus.” Kayana memaksakan senyum. “Kamu ngegame aja di bawah kayak biasanya, ya?”

“Oh... Oke... kalau gitu....” Raechan menyengir. Mulai menyadari radar bahaya dari tatapan Kayana. Laki-laki itu mengelus pelansurai Kayana lantas mencium sebelah pipi wanitanya itu. “Aku main game di bawah ya, Sayang, kamu santai aja, take your time. Yang lama aja siap-siapnya nggak apa-apa, dosennya aku larang masuk nanti.”

Secepat pergerakan angin, Raechan melesat meninggalkan kamar. Membuat Kayana mendesah pelan sekali lagi saat melihat punggung laki-laki itu ditelan pintu kamar.

Semenjak menikah dengan Raechan, pagi harinya selalu terasa ramai. Terlalu ramai bahkan. Membuat kepalanya sering kali terasa ingin meledak.

Namun di balik itu semua. Kayana bersyukur sebab hidupnya lebih berwarna sekarang. Kasurnya tak lagi kosong. Mobilnya tak lagi lengang. Perjalanannya ke kampus tak lagi membosankan. Raechan betu-betul membawa seluruh warna untuk hidup Kayana yang selama ini monokrom. Dan Kayana amat bersyukur untuk itu.

#

Ayu Laga. Ayu Laga. Selamat Datang di Ayu Laga.

Pernah merasa penasaran akan sebuah tempat yang selama ini hanya bisa dibayangkan lewat rangkaian kata yang terlahir dari kemahiran seorang penulis? Pernah menerka-nerka apakah benar ada sebuah tempat yang digambarkan keelokannya bak negeri dongeng? Pernah ingin mengunjungi sebuah tempat yang kemahsyurannya hanya diketahui oleh segelintir orang?

Jika pernah, aku, kamu dan kita semua, pasti lah bisa membayangkan perasaan seorang Gentala Harold Hastanta saat ini. Rasa penasarannya sudah sampai ke ubun-ubun. Menggelitik egonya untuk mendobrak saja sebuah tembok imajinasi seorang penulis yang karyanya berada di rak “Sepuluh Besar Buku Terlaris” di seluruh toko buku di negara ini.

Gentala selalu bertanya-tanya, bagaimana bisa hanya melalui rangkaian abjad yang dirajut menjadi kata, seorang penulis bisa membawa kita ke sebuah wilayah antah brantah melalui isi kepala kita sendiri? Bagimana bisa seorang penulis selalu berhasil membuat kita membayangkan sebuah lokasi dimana mata kita sendiri pun belum pernah menangkap rupanya?

Betapa ajaibnya serangkaian kata yang lahir dari lapangnya hati seorang penulis, sehingga kita, orang-orang yang menikmati karyanya, seakan bisa diajak masuk ke dalam skenario yang mereka tulis.

Memiliki pekerjaan sebagai seorang aktor, menjadikan Gentala seseorang yang harus merasuki setiap tokoh yang harus diperankan olehnya. Menjadikan dia seseorang yang harus piawai menata raut muka sesuai dengan perasaan tokoh yang dituliskan dalam naskah, agar pesan dalam cerita dapat sampai pada penikmatnya. Agar tokoh yang dimainkannya terasa hiduo. Ada kalanya, Gentala bahkan lupa mana dirinya yang asli. Perasaan tokoh-tokoh yang diperankannya sedikit banyak mempengaruhi emosinya di dunia nyata.

Karenanya, Gentala selalu merasa takjub pada setiap penulis yang berhasil menghidupkan seorang tokoh dan menggambarkan sebuah imajiner tanpa perlu membawa rupa pada selembar kertas putih tanpa dosa. Hanya lewat kata-kata, seseorang bisa dianggap hidup. Dicintai. Dicaci. Dimengerti. Dibenci. Hanya lewat kata-kata. Hanya lewat kata-kata.


Ayu Laga. Selama ini, Gentala hanya mampu membayangkannya di dalam salah satu ruang di kepalanya. Tidak pernah disangka olehnya, bahwa Ayu Laga, yang dalam angan-angannya, adalah sebuah tempat yang elok, memang benar begitu adanya. Ayu Laga, sebuah desa kecil di mana bukit menjadi pagarnya dari dunia luar. Sungai kecil menggeliat di bawah jembatan kayu yang cantik. Ribuan hektar kebun teh berbatasan langsung dengan birunya awan. Ayu Laga adalah sebenar-benarnya peradaban dimana keindahan alam dijunjung tinggi oleh warganya.

Tidak pernah sekali pun Gentala berani membayangkan bahwa suatu hari kedua kakinya akan benar-benar berpijak di atas tanah Ayu Laga. Hidungnya akan benar-benar menghirup udara Ayu Laga. Matanya akan benar-benar menyaksikan sendiri keelokan Ayu Laga.

Hari ini seperti mimpi. Dimana Gentala seakan tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Pria itu berani mengutuk siapa pun yang berani membangunkannya dari mimpi indah ini. Gentala ingin di Ayu Laga. Selama yang dia bisa. Selama-lamanya, jika boleh.

“Kamu mau berdiri disitu aja? Atau mau ikut saya jalan-jalan?”

Suara itu memecah kekaguman Gentala akan Ayu Laga. Diseretnya kedua bola matanya dengan sedikit enggan ke arah gadis yang membawanya datang ke tempat ini. Tatapan gadis itu teduh dan tenang. Begitu sabar menunggui Gentala yang belum juga habis rasa takjubnya akan desa kecil ini.

“Kalau kamu masih mau di sini, silakan. Nanti kamu bisa—”

“Saya ikut kamu, Sabitha. Kita kemana?”

“Kaki bukit. Mau lihat tempat favorite Garend dan Adzkiya, kan?”

Satu anggukan dari Gentala membuat Sabitha melangkahkan kakinya lebih dulu. Membelah jalanan Ayu Laga yang berbatu. Menyapa satu-dua warga desa yang sedang sibuk mengisi keranjang rotan di gendongan mereka masing-masing. Mengajari Gentala bagaimana caranya hidup di Ayu Laga, sebagai warga desa yang menjunjung tinggi ramah-tamah.

Gentala mengekori Sabitha. Ikut menunduk sopan saat melihat penulis itu menyapa warga. Ikut tersenyum lebar saat beberapa ibu-ibu membalas sapaan dengan lambaian tangan.

Lama mereka berjalan. Dari ujung selatan desa menuju ke barat. Gentala tidak menghitung detiknya, yang pasti, jarak itu cukup untuk membuat betisnya pegal— hampir kebas bahkan. Namun tampaknya, gadis yang dia ekori sama sekali tidak merasakan hal yang sama dengannya. Langkah kaki gadis itu masih seringan bulu. Memimpin jalan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

“Kalau capek, kita bisa istirahat dulu,” ucap Sabitha tanpa berbalik.

Gentala sedikit terperanjat. Menatap punggung Sabitha dengan ekspresi kok dia bisa tahu? tergambar jelas di wajah pria itu. “Enggak, kok. Saya baik-baik aja,” bohongnya. “Tempatnya masih jauh?”

“Katanya kamu pembaca buku saya, seharusnya kamu bisa mengira-ngira seberapa jauh jaraknya, Tuan Gentala.”

“Garend dan Adzkiya selalu mengendarai mobil Garend ketika mereka pergi ke sana, Sabitha. Tidak berjalan kaki seperti ini. Jadi saya tidak bisa mengira-ngira.”

“Benar juga,” jawab Sabitha pendek. Diiringi kekehan pelan. “Sebentar lagi kita sampai, saya sengaja lewat jalanan ini agar lebih cepat sampai dengan berjalan kaki,” lanjutnya.

Gentala tidak menjawab. Memilih untuk memperhatikan langkah kakinya saja. Jalan yang mereka lalui semakin berbatu. Cukup terjal bahkan. Dan menurun. Membuat siapa pun yang melewati jalanan ini harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir dan berakhir terkilir.

Setelah habis jalan berbatu terjal yang dilewati Gentala dengan susah payah, terpampang jelas di depan matanya, sebuah lahan menghijau yang sedap dipandang mata. Habis lelah yang Gentala rasakan. Digantikan euforia yang merambat naik dari dadanya hingga menimbulak lengkung senyum pada bibirnya. Seorang pujangga pernah berkata, akan ada pelangi setelah lebatnya hujan. Sebuah perumpamaan paling realistis untuk apa yang Gentala rayakan setelah memakasa kakinya untuk terus melangkah.

Persis. Semuanya persis yang digambarkan Sabitha. Ladang dandelion di kaki bukit Ayu Laga, sama persis seperti apa yang selama ini terbayang di dalam kepala Gentala melalui rangkaian kata yang Sabitha tuliskan dalam novelnya.

“Ini tempatnya. Nikmati sesuka kamu. Barang kali kamu bisa memanggil jiwa Garend untuk hidup di dalam diri kamu.” Entah sejak kapan, Gentala tidak menyadarinya, Sabitha sudah duduk di atas sebuah kain dengan corak kotak-kotak, yang dibentangkan di atas rerumputan. Gadis itu juga sudah mengeluarkan kotak bekal dan meletakkannya di atas pangkuannya. “Sebentar lagi matahari terbenam, Garend sangat suka duduk-duduk di sini menjelang petang. Coba saja kamu panggil jiwanya.”

“Kamu lebih terdengar seperti seorang sutradara dari pada seorang penulis novel, Sabitha.” Gentala kembali menolehkan kepalanya dan menatap semburat oranye di balik bukit.

“Bagus, karena sebentar lagi saya memang akan menjadi asisten sutradara.”

“Untuk film ini?”

“Kalau bukan untuk film yang diangkat dari novel saya sendiri, lalu film mana lagi, Tuan Gentala?” Raut wajah Sabitha tidak berubah, meskipun nada suaranya mulai tidak sabaran.

Gentala memilih untuk tidak menjawab. Kedua matanya masih menatap lurus ke arah hamparan dandelion yang bergoyang-goyang menikmati angin sore. Di kejauhan, dari balik pepohonan di lereng bukit, burung-burung terbang rendah. Hendak kembali ke sarang. Sayup-sayup pria itu mendengar suara penggembala yang menggiring ternaknya pulang. Desa ini tampaknya sedang bersiap untuk menyambut malam, beristirahat.

“Desa ini sepi kalau malam, yang ramai hanya di deretan pertokoan di pinggir jalan utama yang kita lewati tadi,” gumam Sabitha.

“Sesuai yang kamu tulis di novel kamu, ya?” Gentala merespon. Walaupun sebetulnya Sabitha lebih terdengar seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Gumamannya terlampau pelan, hampir tidak terdengar.

Satu anggukan samar Sabitha tertangkap melalui ekor mata Gentala. “Desa kecil ini adalah penggambaran jiwa Adzkiya yang sesungguhnya.”

“Sepi, tenang, tetapi membawa ketenangan. Begitu, kan, maksud kamu?”

Sabitha menolehkan wajahnya pada Gentala. Sedikit mendongak sebab pria itu berdiri beberapa langkah dari tempatnya duduk. “Setidaknya begitu yang coba saya gambarkan dalam novel. Saya berterimakasih kalau ternyata hal itu sampai kepada pembaca, termasuk kamu juga menyadarinya.”

Semburat oranye lenyap. Digantikan petang yang menaungi langit Ayu Laga. Bulan mengintip malu-malu dari balik segerombolan awan hitam. Tidak nampak satu pun bintang yang menjadi kawannya. Malam ini, sama seperti malam-malam biasanya, nampaknya hujan akan kembali memanjakan jiwa-jiwa yang ada di Ayu Laga. Rintik hujannya akan menjadi lagu pengantar tidur yang syahdu.

Kedua insan itu masih bertahan pada posisi masing-masing. Tidak memperdulikan keheningan yang membungkus kaki bukit. Penerangan hanya berasal dari rumah warga. Mereka hanya mampu samar-samar mengenali sekitar.

Mereka menghabiskan waktu sedikit lebih lama lagi, lantas Sabitha yang lebih dulu beranjak. Memasukkan barang-barangnya kembali ke dalam tas, tidak lupa melipat alas duduk. “Kalau kamu masih mau disini, silakan saja. Saya akan mengurus penginapan.”

“Terimakasih. Satu jam lagi saya kembali.” Gentala menjawab tanpa menatap Sabitha. Sejak tadi, pria itu sibuk dengan imajanisnya sendiri. Memanggil sosok Garend agar masuk ke dalam dirinya— sesuai yang Sabitha sarankan.

“Iya.”

Sabitha melangkahkan kakinya menjauh dari Gentala. Berbekal cahaya senter yang berasal dari ponselnya, gadis itu memilih jalan yang cukup aman untuk dilewati. Satu-dua ilalang yang tumbuh terlalu tinggi harus disibak dengan sebelah tangannya bebas. Sabitha tidak memilih jalanan yang sama dengan yang dilewati ketika sore tadi, terlalu berbahaya melewati jalanan berbatu itu di malam hari. Toh, penginapan yang dia tuju ada di bagian selatan Ayu Laga. Jadi tidak perlu lagi melewati jalan yang menuju arah barat.

Belum jauh langkah yang dia ambil, Sabitha teringat sesuatu— Gentala baru pertama kali datang ke desa kecil ini. Terlalu beresiko meninggalkan pria kota itu sendirian malam-malam begini. Bisa jadi Gentala akan jatuh terjerembab sebab memilih jalan yang salah. Lebih buruknya lagi, pria itu bisa saja salah mengambil jalan. Mengingat Sabitha belum memberi tahu penginapan mana yang akan menjadi tempat istirahat mereka malam ini. Mobil Gentala juga jauh terparkir di salah satu area restoran di pinggir jalan utama.

“Gentala!” panggilnya berusaha sekencang mungkin.

Yang dipanggilnya hanya menoleh tanpa menjawab apa-apa.

“Besok lagi saja saya antar ke sini lagi! Malam ini lebih baik kamu ikut saya ke penginapan!”

“Kenapa?” Gentala balas berteriak.

“Kamu belum tahu jalan! Nanti tersesat!”

“Ah!” Gentala menepuk dahi. Baru tersadar akan hal itu. Buru-buru pria itu melangkah ke arah Sabitha. Langkahnya lebar-lebar, meskipun beberapa kali hampir tergelincir karena tidak memperhatikan apa yang menjadi pijakannya. “Saya terlalu terbawa suasana, merasa menjadi Dokter Garend yang sudah hapal betul dengan desa ini,” ucapnya setelah tiba di hadapan Sabitha.

“Garend bahkan tidak akan mau di sana sendirian malam-malam.”

“Kenapa? Ada hantunya?” terka Gentala.

“Bukan. Menurutnya pasti akan lebih baik ada di rumah Adzkiya, tidur di pangkuannya, dari pada berdiri seorang diri di tempat segelap itu.”

“Ah.... Saya lupa sedang berbicara dengan seorang penulis novel romantis, bukan penulis kisah horor.”

Gentala dan Sabitha berjalan bersisihan di sepanjang jalan setapak yang menghubungkan kaki bukit dengan desa. Suara jangkrik dan katak terdengar dari semak-semak yang berada di kiri dan kanan jalan. Gemericik air terdengar samar dari kejauhan. Suasana yang amat jauh berbeda dengan yang biasanya mereka nikmati di kota besar. Di area gemerlap tengah kota itu, lebih mudah mendapati bisingnya suara klakson mobil dari pada suara hewan malam macam begini.

“Kamu kenapa memilih karir sebagai seorang penulis, Sabitha?” Gentala bertanya setelah lepas beberapa saat keduanya hanya diam.

“Untuk membantu orang-orang kabur.”

“Hah?” Gentala tidak terlalu mempercayai apa yang baru didengarnya dari gadis itu. “Maksudnya? Kabur bagaimana?”

“Kabur, kabur dari dunia nyata.” Suara Sabitha terdengar lirih, tetapi tetap berhasil ditangkap oleh rungu Gentala.

Entahlah, seharian ini nampaknya indera pendengaran Gentala mulai terbiasa dengan Sabitha yang sering kali berbicara dengannya dengan suara lirih. Seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Untuk beberapa orang, dunia ini jahat. Dunia ini terlalu dingin untuk dihuni. Jadi saya ingin menulis dan menciptakan sebuah ruang imajiner di kepala mereka, agar setidaknya, mereka memiliki tempat untuk lari. Kabur selama sementara waktu dari dunia nyata.”

Gentala mengangguk-angguk mengerti. Mencerna dengan baik setiap kata yang dituturkan gadis di sebelahnya itu. Sabitha benar, cerita fiksi sering kali menjadi obat untuk luka yang tercipta pada sebuah dunia yang berisi kita di dalamnya. Ruang imajiner yang diciptakan seorang penulis adalah sebuah ruang yang selalu berhasil menarik pembacanya untuk tinggal selama beberapa saat dan melupakan segala keluh dan kesah pada sebuah dunia yang harus dijalani, meskipun sambil tertatih.

“Kalau kamu, kenapa kamu ingin menjadi seorang aktor, Gentala?” Sabitha balik bertanya setelah pria di sebelahnya ini hanya diam dalam waktu yang cukup lama.

“Ah.... Kalau saya...” Gentala menyeret bola matanya ke bawah, mengamati tiap langkah yang dia ambil sambil berpikir. Dulu, jika ditanya hal seperti ini, maka dia akan menjawab, “Suka acting aja”, dengan entengnya. Kini, setelah mendengar jawaban dari seorang penulis berbakat macam Sabitha, Gentala berpikir dua kali untuk menjawab seenteng itu.

Detik terlewat, tanpa sedikitpun selaan dari Sabitha. Gadis itu membiarkan hening mengisi ruang sebelum jawaban Gentala terdengar. “Saya memilih menjadi aktor karena saya bisa terlahir berkali-kali. Menjalani hidup yang berbeda berkali-kali. Dan...”

“Leluasa memilih peran dan takdir yang kamu mau. Sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan di dunia nyata, Gentala. Itu keuntungan seorang aktor menurut saya,” potong Sabitha lirih.

Mereka berdua tiba di penginapan setelah satu-dua percakapan lagi. Seorang wanita muda menyambut keduanya dengan senyum ramah, buru-buru keluar dari meja resepsionis dan langsung menjabat tangan Sabitha sembari berucap, “Mbak Sabitha, homestaynya sudah siap. Di tempat yang biasa ya. Perapiannya juga sudah disiapkan Pak Abu.”

“Terimakasih, Rona. Sekarang Pak Abunya dimana?” Sabitha menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang dipanggil sebagai Pak Abu.

“Ada, Mbak, di beranda belakang. Kunci mobilnya dikasih ke saya aja, nanti biar saya bilang Pak Abu untuk bawa mobilnya kesini. Diparkir di tempat biasa?” Si wanita muda menjawab dengan tangkas. Terlihat mahir melayani.

“Iya, eh, sebentar,” Sabitha menoleh pada Gentala. Memberi kode pria itu agar memberikan kunci mobilnya pada Rona. “Mobil kamu plat nomornya berapa?”

Gentala menjawab usai memberikan kunci mobil. “NC 127 T.”

“Ah, baik, Mbak. Nanti saya sampaikan ke Pak Abu. Mbak Sabitha dan Masnya silakan langsung ke homestay saja.”

“Terima kasih, Rona.”

Wanita muda itu melenggang pergi. Menuju beranda belakang lewat pintu samping yang berada di dekat meja resepsionis.

“Merasa aneh dipanggil masnya padahal kamu aktor besar ibu kota?” Sabitha bertanya setelah Rona hilang ditelan pintu.

Gentala mengerjap, merasa tertangkap basah. Memang sejak tadi pria itu merasa aneh karena wanita muda yang menyambut mereka tidak bereaksi histeris padahal seorang Gentala Harold Hastanta berdiri di hadapannya. Juga warga desa yang ditemuinya tadi, mereka justru lebih antusias melihat kedatangan Sabitha dari pada dirinya.

“Warga di sini jarang menonton TV. Mereka lebih gemar mendengarkan radio.” Sabitha menjelaskan tanpa Gentala minta. “Itu, kamu bisa lihat di meja resepsionis hanya ada radio.”

“Tapi di novel kamu, Adzkiya dan Garend sering menghabiskan waktunya dengan menonton film?”

“Tidak semua yang saya tulis sesuai dengan apa yang terjadi di kenyataan, Tuan Gentala. Seperti yang saya bilang, saya menulis justru untuk memberi ruang pada jiwa-jiwa yang mencari pelarian.”

**

Penginapan yang Sabitha pilih adalah sebuah rumah yang dijadikan sebagai tempat peristirhatan bagi pelancong yang mengunjungi Ayu Laga. Terdapat dua kamar tidur dengan kamar mandi dalam. Sebuah ruang tamu sederhana dengan dua sofa tunggal dan satu sofa panjang. Juga sebuah ruang keluarga yang terhubung langsung dengan dapur.

Perapian yang memiliki cerobong panjang berada di salah satu dinding yang dekat dengan dapur. Menyebarkan kehangatan ke seluruh bangunan. Suara gemertak kayu yang dilahap api membuat suasana semakin terasa tenang. Hujan di luar mulai turun. Rintiknya membentur atap dan kaca jendela. Angin dingin berhembus ringan melalui ventilasi di atas pintu.

“Kamu bisa pakai kamar yang di sebelah kanan,” ucap Sabitha sembari menunjuk ke salah satu pintu kamar. “Kamar itu menghadap ke timur. Kalau kamu mau bangun lebih pagi, kamu bisa menikmati pertunjukan matahari pagi yang terbit dari jendela kamar. Lebih lengkap jika sambil menyesap kopi.”

Mata Gentala mengekor ke arah telunjuk Sabitha terarah. “Kenapa bukan kamu saja yang memakai kamar itu kalau keindahannya seperti yang kamu gambarkan?”

“Saya sudah berkali-kali melihatnya. Sekarang giliran kamu. Semoga dengan begitu, kamu bisa jatuh cinta dengan desa ini sama dalamnya dengan Garend mencintainya.”

“Kamu terdengar seperti Adzkiya, Sabitha. Adzkiya yang tumbuh besar di Ayu Laga dan mempersilakan Garend mencintai desa tempatnya tumbuh.”

Senyum samar tergambar di wajah Sabitha. Tanpa menjawab apa-apa, gadis itu masuk ke dalam kamar.

Studio Musik milik Jevander Novanda, pukul delapan malam.

Tiga jam setelah acara pertunangan Jevander Novanda dan Adzkiya Judith Hartoni.

Juan duduk seorang diri di studio Jevan, hanya berkawan sebotol minuman beralkohol yang sudah dia tenggak setengahnya. Ruangan itu gelap, sebab Juan dengan sengaja tidak menyalakan satupun lampu. Wajah tampan Juan hanya samar-samar diterangi lampu dari rumah lain yang menelisik masuk melalui jendela kaca yang tidak tertutupi tirai. Deru nafas Juan menjadi satu-satunya lantunan suara di sana. Bahkan suara dari mesin pendingin juga tidak ada.

Sudah sekitar satu jam Juan bertahan seperti itu. Hanya sibuk menuang kembali cairan kenikmatan setelah menenggak habis isi dalam gelasnya.

Siapapun yang melihat keadaan laki-laki itu saat ini akan merasa iba, atau paling tidak, mereka yang melihatnya akan merasa tersentuh. Juan terlihat seperti seseorang dengan seribu masalah di kepalanya. Padahal, perasaan hati Juan berbanding terbalik dengan segala kemurungan yang menyelimuti studio Jevan malam itu.

Hati Juan sedang bungah. Senyum tipis tidak meninggalkan wajahnya sejak tadi. Dadanya lega, beban di pundaknya sudah runtuh. Hidupnya terasa hampir sempurna sekarang ini.

Bagaimana tidak, hari ini, atau lebih tepatnya sore tadi, sudah dilangsungkan acara pertunangan dari sahabat karibnya bersama seorang gadis yang begitu cantik dibalut gaun berwarna biru tua. Dua orang itu, yang telah lama Juan nantikan kebersamaannya, telah merengkuh satu lagi tahap dalam hubungan mereka. Juan masih ingat sekali betapa mata Jevan berbinar kala laki-laki itu berhasil menyematkan cincin di jari manis Adzkiya, disaksikan oleh ayahnya sendiri yang dulu menentang hubungan keduanya.

Kebahagiaan macam apa lagi yang bisa Juan minta pada Tuhan setelah menyaksikan perayaan membahagiakan itu? Rasa-rasanya, segala tangis yang membentur bumi dan doa yang dia langitkan telah terbayar tuntas. Juan tidak pernah sebahagia dan selega ini sebelumnya.

Malam ini, seorang diri di studio yang menjadi saksi banyak hal dalam hidupnya, Juan merayakan segalanya. Dia memang duduk seorang diri, tapi dia tidak merasa kesepian. Dia tetap merasakan kehadiran sahabat-sahabatnya yang kini telah bersanding dengan pasangan hidup mereka masing-masing.

Markio bersama Jelena.

Raechan bersama Kayana.

Jaenandra bersama Klarisa

Dan Jevan, sahabat terdekatnya, sahabat yang dulu dia wakilkan tangisannya, telah berhasil bersanding dengan Adzkiya.

Juan bahagia, untuk mereka semua, dan untuk dirinya sendiri.

Suara dentingan yang terjadi akibat botol yang berbenturan pelan dengan bibir gelas kembali menggema, memecah keheningan dalam studio Jevan. Sekali lagi rasa pahit dan panas menjalari tenggorokan seorang Alexander Parajuan. Kepalanya makin ringan, tubuhnya seperti melayang. Laki-laki itu lantas menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan memejamkan mata.

Tidak lama berselang, terdengar suara pintu terbuka berbarengan dengan suara langkah kaki yang berjalan mendekat. Juan terlalu malas untuk membuka mata sebab dia tahu benar siapa yang datang.

“Calon pengantin harusnya di rumah nemenin calon bini, ngapain malah kesini, sih?” tanya Juan sambil tepat memejamkan kedua matanya.

Sosok yang ditanyai tidak menjawab apapun. Juan merasakan kehadiran sosok itu semakin dekat dan duduk di sebelahnya.

“Kak Kiya dipatok ayam baru tau rasa lo, Jep. Jangan ditinggal-tinggal gitu ah,” ucap Juan lagi.

“Kamu kenapa sendirian di sini, Juan?”

Suara itu...

Berbeda sekali dengan suara seorang Jevander Novanda.

Suara itu...

Suara itu...

“Saya kira kamu pulang ke rumah, ternyata kamu disini. Teman-teman kamu masih bersenang-senang di rumah Jevan.”

Ya, suara itu. Suara yang bak lantunan nada menenangkan. Suara yang akhir-akhir ini Juan jadikan sebagai suara paling dia gemari di seluruh dunia.

“Kenari....” Juan berucap lirih, kedua mata laki-laki itu akhirnya terbuka sempurna. Menyambut tatapan mata Kenari yang lebih dulu tertaut pada sosoknya. “Kamu kok kesini?”

“Tadi saya heran kenapa kamu tiba-tiba menghilang setelah acaranya selesai, jadi saya tanya teman-teman kamu apakah kamu pulang lebih dulu karena ada sesuatu yang mendesak. Tapi Jevan bilang bahwa kamu pasti ke studio ini, jadi saya berfikiran untuk menyusul kamu. Maaf kalau saya lancang datang kesini.”

“Oh enggak...” Juan menggeleng cepat, dia juga menyentuh kedua tangan Kenari dan mengelusnya pelan. “Saya yang harusnya minta maaf karena sudah meninggalkan kamu di sana. Seharusnya saya antar kamu pulang, maafkan saya, Kenari. Tadi saya terlalu terbawa suasana dan...”

“Sssttt.” Satu tangan Kenari lolos dari genggaman Juan dan salah satu jarinya mendarat di atas bibir Juan. Memberhentikan segala apapun penjelasan yang coba diberikan.

Kenari mengerti, tanpa perlu penjelasan lebih lanjut lagi. Memang belum lama baginya mengenal Juan, tapi intensitas pertemuan dan berbobotnya obrolan mereka membuat Kenari begitu cepat memahami apa yang tengah Juan rasakan. Kenari faham, bahwa laki-laki yang sedang ada di hadapannya ini tengah terbawa euforia dan rasa syukur yang mendalam hingga dia sendiripun bingung bagaimana cara melampiaskannya selain duduk seorang diri di ruangan gelap ini, sementara kawan-kawannya yang lain tengah berpesta.

Hati Juan begitu lembut dan hangat. Menjadikan dia laki-laki yang perasaannya lebih dalam. Maka, tidak mengherankan kalau kebahagian Juan menyaksikan Jevan bertunangan dengan kekasihnya justru lebih besar dari kebahagiaan Jevan sendiri.

“Saya boleh lihat-lihat studio ini, Juan?” Kenari bertanya untuk mencairkan suasana.

Satu anggukan Juan membuat senyum Kenari mengembang. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan ke saklar lampu. Saat bunyi tik terdengar, ruangan seketika terang benderang. Kenari bisa melihat keseluruhan studio Jevan secara keseluruhan.

Ruangan itu luas dan terbagi menjadi dua sisi. Sisi yang sedang diisi olehnya dan Juan ini mirip dengan ruang keluarga yang nyaman, sementara sisi yang satu lagi adalah sebuah ruangan berisi berbagai perlatan musik. Kenari mendekat ke arah sebuah meja panjang yang berisi berbagai souvenir. Mengambil salah satu miniatur mainan di sana dan memainkannya di telapak tangannya yang cantik.

“Itu oleh-oleh yang dibawa Jepan saat dia solo traveling ke Korea dua tahun lalu.” Juan menjelaskan tanpa diminta, ikut mendekat ke tempat Kenari berdiri.

“Saya selalu penasaran dengan isi studio yang selalu kamu ceritakan ini, Juan.”

“Tidak ada yang istimewa,” jawab Juan pelan. Menyembunyikan degub jantungnya sendiri. Kesadarannya tinggal delapan puluh persen, dan berada di ruangan tertutup seperti ini berdua saja dengan Kenari membuatnya sedikit gugup.

“Ada,” balas Kenari dengan lugasnya.

Juan menyerngit, “Apa?”

Kenari tidak langsung menjawab, gadis itu terkekeh ringan sembari meletakkan kembali miniatur mainan yang diambilnya tadi. Gadis itu lalu berbalik, menghadap Juan dan menyandarkan bagian belakang tubuhnya pada sisi meja. “Kamu, Juan, kamu yang istimewa.”

Mendengar apa yang dikatakan Kenari, Juan hampir tersedak air liurnya sendiri. Wajahnya memerah, perpaduan alkohol yang menyerang kesadarannya dan rasa tersipu atas perkataan Kenari. Sementara gadis itu terlihat tenang-tenang saja.

“Saya?” tanya Juan berlagak bingung. Tangan kanannya menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebetulnya sama sekali tidak gatal.

“Kamu gak merasa diri kamu istimewa, ya?”

“Saya...”

“Padahal orang-orang di sekitar kamu merasa kamu sangat istimewa.” Senyuman menghiasi tiap kata yang keluar dari bibir Kenari. “

“Di rumah Jevan tadi, teman-teman kamu gak berhenti memuji bagaimana kamu selalu ada untuk mereka. Mereka membicarakan kamu yang menggantikan tangis Jevan, kamu yang berlutut untuk memohon ke ayahnya Jevan, kamu yang hampir dipecat sebab mengambil cuti terlalu lama untuk menjaga Jevan di rumah saki. Tentang kamu yang menenangkan Kak Markio saat dia merasa bersalah soal Jevan dan Jelena, kamu yang bilang pada Jelena bahwa keputusan yang dia ambil adalah benar, dan kamu... yang selalu ada di antara Jaenandra dan Klarisa tiap kali mereka bertengkar. Kamu istimewa Juan, lebih dari siapapun untuk teman-teman kamu, terutama untuk Jevan.”

“Saya melakukannya karena saya menyayangi mereka dan saya ingin mereka bahagia.”

“Bagaimana dengan kebahagiaan kamu sendiri?” potong Kenari cepat.

“Saya bahagia melihat mereka bahagia, Kenari.”

Sebelah tangan Kenari terangkat, menyentuh sisi wajah Juan yang tepat berada di hadapannya. “Kamu bisa menambah kebahagiaan kamu itu dengan mencari kebahagiaan kamu sendiri, Juan.”

“Kamu boleh bahagia dengan melihat mereka bahagia, tapi jangan lupakan kebahagiaan kamu sendiri.” Ibu jari Kenari mengelus pelan pipi Juan. “Kamu juga sangat berhak bahagia.”

Mata Juan terpejam, menikmati bagaimana sentuhan Kenari membawa kehangatan dalam dirinya. Bagaimana halusnya telapak tangan Kenari bersentuhan dengan sisi wajahnya. Tanpa sadar, Juan memajukan tubuhnya, mengikis jarak yang ada di antara mereka.

Sentuhan itu semakin terasa. Dalam ingatannya, Juan memutar memori kebersamaannya dengan gadis yang ada di hadapannya ini. Momen mereka bertemu, momen mereka bercanda, momen ketika mereka tertawa bersama dalam perjalanan pulang... Momen-momen itu, kebersamaan itu, Juan ternyata sudah menemukan kebahagiaan lain selain kebahagiannya karena sahabat-sahabatnya.

“Aneh... Sekarang saya bahagia, saya bahagia untuk diri saya sendiri.” Juan berucap masih dengan mata tertutup, tapi sebelah tangannya sudah menangkup telapak tangan Kenari yang masih setia berada di sisi wajahnya.

“Juan, lihat saya.”

Sekali lagi, mata mereka bertautan.

“Kamu bilang apa tadi?”

“Saya bahagia, Kenari. Saya bahagia untuk diri saya sendiri, saat bersama kamu.”

Juan membawa jemari Kenari turun dari sisi wajahnya sementara satu tangannya yang lain menyentuh sisi belakang kepala Kenari. Laki-laki itu mendaratkan satu kecupan di kening Kenari, menahannya cukup lama hingga tanpa sadar sebutir air matanya turun. Juan bahagia, untuk dirinya sendiri malam ini.

Kecupan itu turun, menelusuri tiap inci wajah Kenari dan mendarat pada bibirnya yang ranum. Bibir Kenari yang terbuka perlahan menjadi jawaban dari pernyataan Juan. Tidak perlu kata-kata, mereka telah saling memahami lewat gerak tubuh masing-masing.

Juan mengangkat tubuh Kenari untuk duduk di meja, membuat beberapa souvenir berjatuhan ke atas karpet di bawah kaki Juan. Tidak mengapa, itu urusan nanti. Ada kebutuhan lain yang saat ini sedang mendesak.

Suhu ruangan tiba-tiba meningkat saat kecupan itu berubah menjadi lumatan panjang. Jas yang dikenakan Juan telah menyusul souvenir yang berjatuhan. Dasinya juga sudah entah terlepas kemana. Sementara Kenari, rambutnya yang ditata rapi, kini telah rusak.

Entah berapa lama mereka saling mencecap hingga akhirnya melepaskan ciuman itu dan tersenyum sambil saling pandang. Nafas mereka beradu, bibir mereka sedikit bengkak kemerahan, sementara mata mereka dipenuhi hasrat saling mendamba.

“Ingin mencoba sofa di studio ini?” Juan bertanya dengan sebelah alis terangkat.

“Ranjang di ujung sana sepertinya akan membuat kita lebih leluasa,” jawab Kenari sembari melingkarkan lengannya pada leher Juan.

Tawa Juan menggema dan dalam sekali hentakan, laki-laki itu membawa tubuh Kenari dengan kedua lengannya dan membawa gadis itu ke tempat yang diinginkan.

Hari itu, ada perayaan kecil di studio Jevander Novanda.

Lobi apartemen itu luas, luas sekali. Lengkap dengan penerangan maha dahsyat, membuat segala hal yang ada di sana tampak berkilauan. Lantai marmer memantulkan bayangan chandelier megah yang menggantung di tengah ruangan. Ruangan itu lengang, tidak ada siapapun selain mereka berdua.

Pintu kaca setinggi dua kali tubuhku menjadi penghalang aku dan mereka. Dari tempatku berdiri, aku hanya bisa secara samar mendengar lantunan suara mereka yang saling bersahutan. Sosokku yang tersembunyi di balik tiang penyangga di dekat pintu kaca memungkinkan mereka untuk sama sekali tidak menyadari kebedaraanku. Belum lagi, percakapan mereka yang terlampau penting, menggerus sepenuhnya eksistensiku di sini.

“Jangan pergi, Jev, kita masuk ke unit lo aja, ya?” Suara itu rendah dan lembut, makin sulit terdengar oleh runguku.

Aku menajamkan pandangan, berusaha menangkap ekspresi sosok pria yang dipanggil “Jev” oleh gadis cantik dalam balutan gaun hitam selutut itu.

“Gue mau aja masuk ke unit gue sama lo, tapi cewek gue nungguin gue, El.”

Salah satu sudut bibirku terangkat. Entah karena merasa geli atau tersinggung. Yang pasti, aku sama sekali tidak merasa senang meskipun bibirku menyunggingkan senyum.

“Lo bisa telfon Kak Kiya dan bilang tiba-tiba lo ada meeting.” Jelena, gadis bergaun hitam itu meraih sebelah tangan Jevan— yang tidak lain adalah kekasihku.

Jevan sama sekali tidak berekasi, yang artinya tidak juga berusaha menepis sentuhan itu.

“Nanti kalau Kak Kiyo cari lo gimana, El?”

Negosiasi itu masih berlanjut. Mata mereka masih saling bertaut. Dan eksistensiku masih belum dirasa.

Aku mulai berfikir, apakah sebaiknya aku masuk saja ke dalam sana? Menyadarkan mereka bahwa sejak tadi aku ada? Tapi untuk apa? Untuk menunjukkan pada Jelena bahwa laki-laki yang sedang diajak bicara olehnya, sebetulnya sedang dalam perjalanan untuk menemuiku? Atau untuk menyadarkan gadis itu bahwa laki-laki yang ada di hadapannya ini bukanlah lagi laki-laki yang dulu bertekuk lutut padanya?

Tapi aku rasa tidak ada gunanya aku melakukan itu semua. Bukan aku, bukan aku yang punya kuasa untuk itu. Jevan lah yang seharusnya menegaskan semua hal itu pada gadis yang dulu, atau bahkan hingga sekarang, ada di hatinya itu... bahwa sekarang dia adalah milikku.

Seharusnya Jevan menepis genggaman itu dan bilang bahwa dia harus buru-buru, sebab aku, kekasihnya, tengah menunggunya di terminal bus.

“Gue gak perduli, malem ini gue butuh lo, Jev.” Getaran dalam suara Jelena mengiris hatiku.

Tidak, aku tidak sedang menaruh empati pada gadis itu. Hatiku seakan terisis sebab aku tahu, getaran dalam suara itu hanya akan membuat Jevan lupa pada keterburu-buruannya. Tatapan mata yang sendu itu juga hanya akan membuat kaki-kaki Jevan seakan dibubuhi magnet hingga dia sulit beranjak.

Eksistensiku yang tadi tak terlihat, kini hangus sepenuhnya. Hilang. Terlupakan. Tergerus tatapan memohon dan haus pelukan yang Jelena tampakkan.

Aku memaki diriku sendiri. Seharusnya aku diam saja di kursi tunggu terminal bus seperti beberapa saat lalu. Setidaknya, jika aku tetap ada di sana, aku tidak akan menyaksikan ini semua. Setidaknya, jika aku tetap ada di sana, aku hanya akan membaca pesan dari Jevan yang berisi informasi bahwa dia tidak bisa menjemputku sebab dia ada keperluan yang jauh lebih penting.

“Gue mohon, Jev, jangan pergi. Gue butuh lo, gue butuh lo malam ini.”

Jevan menghapus jarak antara dirinya dan Jelena. Membawa gadis cantik itu masuk dalam dekapannya yang hangat. Sedetik kemudian, lengan putih Jelena juga merambat naik. Mengunci tubuh Jevan agar tidak menjauh.

Setetes air mata mengalir dari sudut mataku, bergulir menuruni pipi lalu jatuh membentur lantai. Bunyinya jauh lebih nyaring dari pada bisikan Jevan untuk Jelena malam itu.

“Yaudah, kita masuk ke apartemen gue, ya? Jangan nangis lagi.”

Tubuhku kaku. Udara malam itu berhembus melewati juntaian rambutku dan terasa menggelitik kuduk. Bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Bulir air mata pertama yang jatuh dengan segera mengundang kawan-kawannya yang lain. Pandangaku kabur. Kepalaku nyeri.

Rasanya tidak ada lagi tulang yang menopang kedua kakiku. Lututku keropos. Aku jatuh terduduk di lantai dingin. Menggigil sendirian.

Sementara di sana, kekasihku, yang dengan bibirnya sendiri berkata bahwa dia mencintaiku, justru membimbing gadis lain untuk masuk ke dalam unit apartemennya. Melupakan janjinya kepadaku, sepenuhnya.

Bodoh, aku memaki diriku sekali lagi.

Hanya orang bodoh macam aku yang mau mempercayai ucapan cinta dari seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, macam Jevander Novanda.

Dungu.

Aku terlalu dungu untuk mengerti peringatan dari sahabatku yang bilang bahwa laki-laki hanya bisa jatuh cinta satu kali semasa hidupnya dan cintanya akan habis di sana.

Jevan hanya mencintai Jelena. Hanya Jelena. Sampai kapanpun.

Tidak perduli bahwa aku telah memberikan diriku sepenuhnya untuknya. Tidak perlu bahwa aku juga mati-matian menaklukan semua ketakutanku untuk memulai hal yang baru lagi dengannya.

Jevan tidak akan perduli. Yang dia perdulikan hanyalah Jelena Ayunanda Iskandar.

Seperti malam ini.

Jevan tidak akan perduli bahwa aku menunggunya di terminal bus. Yang dia perdulikan hanya Jelena membutuhkan pelukannya malam ini.

#

Salah satu ruangan di gedung bertingkat pusat Kota Jakarta tampak sibuk. Lebih dari lima belas pasang kaki hilir mudik kesana-kemari— melakukan tugas mereka yang seperti tidak ada habisnya. Mempersiapkan properti foto, mempersiapkan perhiasan mana yang akan dikenakan sang model, memastikan hasil foto sesuai yang mereka ingin, dan banyak hal lainnya. Kilatan lampu dan suara jepretan kamera membersamai suara seorang pengarah gaya yang tidak henti memberi arahan pada gadis yang menjadi pusat perhatian.

Di sisi ruangan yang lain, tepatnya di sebuah sofa berwarna abu-abu tua, duduk seorang laki-laki— Jevander Novanda— yang tampak risau. Kedua tangannya saling bertautan, kakinya tidak henti menghentak-hentak lantai marmer di bawah sepatunya. Menciptakan irama acak yang terabaikan. Mata laki-laki itu lurus menatap gadisnya, yang masih saja menjadi pusat perhatian bahkan setelah sekian jam terlewat. Gemuruh dalam hati laki-laki itu terdengar ramai. Diam-diam dia juga mengutuk sahabatnya, Jaenandra Derovano, yang tidak memberitahunya bahwa dalam sesi pemotretan hari ini, terdapat seorang pengarah gaya yang tidak henti menyentuh jemari Adzkiya sejak tadi.

“Woy, tajem amat ngeliatinnya.” Jaenandra duduk di sebelah Jevan setelah selesai memberi arahan pada fotografer beberapa saat lalu. “Kak Kiyanya gak akan kemana-kemana, Jev. Tenang aja, relax.”

“Lo masih butuh foto berapa banyak lagi sih, Jaen? Ini kapan kelarnya?” Jevan bertanya tanpa memandang Jaenandra, kedua mata itu masih tertaut pada gadisnya di depan sana.

“Abis ini tinggal foto model cincin yang terakhir kok, cincin couple.”

“MAKSUD LO? BAKAL ADA HAND MODEL COWOKNYA, DONG? KEMARIN LO GAK ADA BILANG INI YA, JAENANDRA!” Tanpa sadar Jevan menaikkan suaranya, membuat beberapa staff menoleh. “SIAPA ORANGNYA? SIAPA YANG BAKAL JADI PARTNER ADZKIYA?”

“Jev, jev, kalem, kenapa sih malu-maluin banget?” Jaenandra berbisik pelan, merasa tidak enak dengan kegaduhan yang dibuat sahabatnya itu. “Itu cuma foto, oke? Kalem, tenang, itu tuh cowok yang dari tadi jadi pengarah gaya buat Kak Kiya tuh yang bakal jadi partnernya.”

“Bercanda lo ya? Gue aja dari tadi udah nahan diri pas dia pegang-pegang tangannya Kiya.”

“Jev.” Jaenandra menggeram, emosinya mulai tersulut oleh sikap menggemaskan yang ditunjukkam Jevan. “He doesn't touch your girl carelessly. They just doing their job, professionally, okey? Calm down, it's not like he wanna steal your girl.

What if he does? What if he slides into Kiya's dm after this photoshoot?

You are just being dramatic right now, Jevander Novanda. We just need to take a couple photos and then we are done. You can bring your girl home after that. But for now, I need your comprimize. Okey? Please?

Jevan mengacuhkan pertanyaan yang lebih terdengar seperti paksaan itu. Sementara Jaenandra mengartikan diamnya Jevan sebagai persetujuan.

**

Apartemen pribadi Jevander Novanda, pukul sembilan malam.

Aroma sabun dan sampo menguar saat tubuh Jevan keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Rambut laki-laki itu basah, beberapa tetes airnya turun dan menabrak bahunya yang bidang. Lantas, Jevan meraih sehelai handuk lain untuk mengeringkan rambutnya. Gumaman tidak jelas terdengar dari bibirnya yang masih saja komat-kamit, entah sedang melantunkan lagu apa.

Di tengah kesibukannya itu, tanpa sengaja Jevan menangkap pemandangan janggal yang membuatnya menghentikan seluruh aktivitas yang sedang dia kerjakan.

“Sayang, kok pake hoodie sih tidurnya?” tanya Jevan dengan nada sedikit memprotes.

Yang ditanyai tampak acuh, tetap menautkan seluruh perhatiannya pada buku yang sedang dibaca. Dan mengabaikan Jevan secara penuh.

“Sayang, nanti aku meluknya gak enak kalau kamu pake hoodie gitu ah,” protes Jevan lagi, masih belum mendapat atensi Adzkiya.

“Kamu masih marah sama aku, ya?” tanya Jevan pada akhirnya, merasa putus asa sebab terus diabaikan.

Jevan mendekat, lalu duduk di atas ranjang bersebelahan dengan kekasihnya. “Sayang, maafin aku, jangan marah lagi, ya?”

“Aku gak marah.”

“Tapi kamu diem aja.”

“Aku lagi baca buku.”

“Tapi kamu pake hoodie.”

“Kamar kamu dingin.”

“Kita bisa matiin aja ACnya kalau kamu kedinginan.”

Adzkiya tidak menjawab. Jevan mendesah pelan.

“Tuh kan, diem lagi. Bener sih ini mah kamu marah sama aku.”

Adzkiya meletakkan bukunya sebelum mejawab, “Aku gak marah sama kamu, aku cuma gak ngerti aja sama kelakuan kamu di kantor Jaenan tadi.”

I was just marking my teritorry, aku salah ya untuk itu?”

“Tapi kamu keterlaluan.”

“Apanya yang keterlaluan, Sayang?”

“Orang-orang tadi itu pertama kali kenal dan kerja bareng sama aku, Jevander. Aku mau bikin kesan yang baik. Tapi sekarang.... aku bahkan gak tau apa yang mereka pikirin tentang aku.” Adzkiya tidak lagi menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, gadis itu sudah sepenuhnya menghadap Jevan. “Gak mau lagi ah kerja sama dia, cowoknya posesif. Mungkin itu kali ya mereka pikirin.”

He fucking touch you, Adzkiya.”

“Tangan aku, Jevander! Dia cuma pegang tangan aku! Udah lah aku gak paham lagi sama kamu.”

Adzkiya turun dari ranjang dan berlalu ke ruang tamu. Perasaan kesalnya akan makin bertambah jika terus menatap wajah Jevan yang telrihat polos tanpa dosa itu. Adzkiya sebenarnya tahu bahwa setiap tindakan yang Jevan lakukan di kantor Jaenandra adalah bentuk kasih sayangnya. Tapi cara kekasihnya itu menunjukkan perasaan cintanya cukup mengganggu.

Meninggalkan Jevan yang menatap punggung gadisnya itu perlahan hilang dari pandangannya.

Aroma amis terbawa oleh angin malam yang bertiup dari laut menuju halaman belakang sebuah vila megah di pulau pribadi milik keluarga Derovano. Bunyi debur ombak terdengar keras menabrak batu karang. Cahaya bulan jatuh menerangi bumi tanpa dihalangi awan gelap. Bintang-bintang bertaburan, pemandangan apik yang jarang disuguhkan langit pusat kota.

Di halaman belakang itu, Jaenandra tampak sibuk bergelut dengan asap dari bara api, di atasnya tertara rapi beberapa potong daging yang masih setengah matang. Di sampingnya, dengan telaten Klarisa mendampingi. Membantu menyiapkan beberapa bumbu yang Jaenandra perlukan.

Tidak jauh dari sana, keriuhan lain dapat terlihat. Raechan dan istrinya, Kayana, tengah sibuk menata meja. Beberapa piring kecil ditumpuk di tengah meja, berdampingan dengan gelas kaca berukuran kecil. Ada sepanci mie instan yang telah diseduh, mengepulkan asap ke udara, menarik perhatian lewat sedap aromanya.

Di tempat lain, Markio dan Jevan sibuk berdebat tentang bagaimana cara membawa sofa berukuran paling besar ke halaman belakang. Tadi, mereka berdua sudah berhasil memindahkan tiga sofa berukuran single. Sekarang, tugas mereka sedikit lebih berat hingga harus berdebat.

“Lo duluan, Kak! Kalau lo gak keluar, mana bisa gue lewat!” Jevan berbicara sambil menggertakan gigi, menahan sofa yang membebani tangannya. Urat-urat menonjol dari bawah kulit lengannya.

“Ya lo pegang dulu ini sofanya yang bener, Jevander! Lo kira gampang apa jalan mundur!” Markio juga ikut menggertakan gigi. Beberapa tetes keringat telah membasahi kaus yang dikenakannya.

Adzkiya melirik dari ruang tengah. Gadis itu tengah menjaga Sergio bersama dengan Jelena. Si kecil itu juga ikut dalam pesta kecil malam ini. Sebetulnya, Adzkiya dan Jelena berusaha membuat Sergio tidur, tapi malaikat kecil itu masih enggan. Matanya masih terbuka lebar, tidak ada rasa kantuk sama sekali di sana.

Sementara di dapur, sepasang muda-mudi yang baru saja memulai pendekatan mereka tengah asik mencuci buah-buahan. Keduanya mengabaikan kesibukan lain di luar dapur. Bagi mereka, di vila sebesar ini hanya ada mereka berdua.

**

Segala persiapan baru selesai pukul delapan malam. Tiga piring besar daging panggang tersaji di atas meja. Buah-buahan yang telah dicuci bersih menjadi pendampingnya. Si kecil Sergio telah berhasil terlelap, ditidurkan di ruang tengah, dengan membiarkan pintu terbuka lebar agar Sergio tetap dalam pengawasan.

Sekarang, di halaman belakang vila pribadi milik keluarga Derovano, tersisa lima pasangan dewasa yang siap berpesta.

“Biar seru, mending kita main truth or drink.” Raechan mengusulkan.

Jevan mendengus. “Norak ah, kayak anak kuliahan aja main gituan,” cibirnya.

“Kenapa? Lo takut ya, Jep? Punya banyak rahasia yang Kak Kiya gak tau ya?” Juan bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya, “Gue sih setuju sama usul Raechan, ayok aja kalau mau main.”

“Cih,” Jevan menatap Juan dengan senyum miring, “Oke, gue gabung. Siapa takut.”

“Ohoooo, belum apa-apa udah seru aja.” Klarisa menimpali seraya menuang cairan bening ke sepuluh gelas yang ada di atas meja.

Biasanya, para kaum lelaki melarang wanitanya untuk minum-minum. Tapi khusus malam ini, adalah sebuah pengecualian.

“Kak Kiyo, truth or drink.” Jaenandra memulai.

Permainan itu disepakati tanpa harus memutar botol untuk menentukan siapa target pertama. Mereka menyepakati siapa saja boleh dan bisa menjadi target pertama.

“Lo selalu bilang kalau lo gak pernah keberatan Jevan masih punya perasaan ke Elen, tapi pernah gak, sekali aja.... Sekali aja, lo ngerasa gak percaya diri karena lo ngerasa cintanya Jevan buat Elen jauh lebih besar?”

“Wow, such a intense question,” komentar Juan.

Detik berlalu, Markio menatap gelasnya yang terisi setengah, selama beberapa saat. Menimbang-nimbang pertanyaan Jaenandra yang cukup membuatnya berfikir untuk memilih menenggak saja isi gelasnya dari pada harus menjawab pertanyaan itu.

“Kak Kiyo bisa minum aja kalau emang gak mau jawab,” ujar Klarisa.

Markio menggeleng, laki-laki itu lantas meletakkan gelasnya di atas meja. “Pernah, gue pernah ngerasa gitu.”

“Kapan, Kak?” tanya Jelena pelan. Gadis yang menjadi objek pembicaraan itu ikut penasaran, sebab tidak sekalipun Markio pernah membahas hal ini.

“Waktu ada bajingan yang kurang ajar ke Elen, kalian inget, kan? Waktu itu, waktu dapet kabar dari Ica, yang bisa gue pikirin cuma gue pengen cepet-cepet ada buat Elen. Gue pengen nenagin dia, gue pengen bikin Elen ngerasa aman. Sementara Jevan... waktu itu dia langsung datengin cowok itu dan kasih pelajaran, Jevan bahkan bawa si bajingan itu buat sujud di kaki Elen dan minta maaf langsung.”

Markio menghela nafas panjang, permainan iseng itu berubah menjadi pernyataan kejujuran yang lama terpendam. “Waktu itu gue langsung kayak sadar... Di saat gue cuma mikir gimana caranya nenangin Elen... Di tempat lain Jevan lagi ngotorin tangannya sendiri buat mukulin orang. Jevan bahkan gak perduli kalau waktu itu dia bisa aja dikeluarin karena bikin keributan di kampus.”

Suasana tiba-tiba hening, bahkan Raechan yang mengusulkan permainan itu pun menundukkan kepalanya. Ada suasana aneh yang menguar di tengah mereka.

“Eeeyyy, itu kan dulu, udah bertahun-tahun lalu, sekarang kan semuanya udah oke... Jangan sepi gini, dong, gue kan jadi kikuk.” Markio berusaha mencairkan suasana, dibantu tawa Juan yang canggung.

“Oke deh, sekarang gue yang tanya.” Markio menatap Raechan yang masih menunduk. “Rae, ada gak rahasia yang sampe sekarang Kayana gak tau?”

“Banyak gak, sih?” Kayana menjawab sambil terkekeh. Disenggolnya lengan sang suami dengan sikunya. “Coba satu aja, Mas, yang pengen kamu buka rahasianya. Aku pengen tau.”

Di balik kepalanya yang masih menunduk, Raechan mengumpati Markio yang menjadikannya target selanjutnya. Tapi apa daya, dia adalah sumber permainan ini digelar. Maka laki-laki itu akhirnya mengangkat wajah, lalu menatap istrinya dengan senyum semanis mungkin. “Aku.... aku dulu pernah naksir Elen.”

“Apa?” Klarisa hampir memuntahkan makanan yang baru saja masuk ke mulutnya. “Lo... bilang apa, Rae?”

“Aku juga kalau jadi cowok, bakal naksir Elen sih.” Kayana justru menjawab begitu santai.

“Aku juga,” Adzkiya menimpali.

“Aku juga,” Kenari ikut bersuara.

“Wah, bini lo emang menarik buat semua gender ya, Kak,” kata juan.

And I'm the winner here.” Markio menutup sesi itu dengan ucapan penuh rasa bangga.

Sebuah bantal sofa melayang ke wajah Markio untuk menghentikan ekspresi kemenangan itu.

“Oke, next.” Kali ini Jevan yang bertanya. “Ica... Waktu lo tau gue sama Kiya deket, perasaan lo gimana?”

“Loh, Ica pernah naksir Jevan juga?” Kenari bertanya sambil memandang yang lain, ekspresi wajahnya benar-benar kebingungan tapi juga tertarik dengan semua topik yang diangkat dalam permainan hari ini.

Sebagai anggota paling akhir, masih banyak hal yang belum Kenari ketahui tentang masa lalu perkumpulan kawan-kawan barunya ini. Semenjak mengenal mereka semua, Kenari baru merasa bahwa dunia begitu menarik. Dan gadis itu menyukainya.

“Enggak,” Juan menjawab sembari mengelus bagian belakang kepala Kenari, “dulu Kak Adzkiya tuh hampir jadi kakak iparnya Ica,” jelasnya.

“Oh ya? Terus kenapa gak jadi?”

Jevan terkekeh, calon kekasih Juan itu benar-benar punya seribu tanda tanya di kepalanya.

“Karena Tuhan maunya aku sama Jevan, Nar.” Adzkiya menjawab diiringi senyum. Jawaban paling baik untuk menyudahi keingintahuan Kenari.

“Ah... iya juga...” Kenari manggut-manggut.

“Jadi gimana, Ca?” Jevan meluruskan pertanyaannya lagi pada Klarisa.

“Gue... takut.” Klarisa memulai, sebelah tangannya meraih tangan Adzkiya. “Gue tau sebesar apa perasaan yang Kak Kiya punya buat kakak gue, gue juga tau sedalam apa Jevan mencintai Elen. Terus tiba-tiba... kalian, dua orang yang lukanya belum sembuh, mau memulai hubungan yang baru. Waktu itu gue takut, takut kalau luka yang kalian bawa bakal nambahin luka untuk satu sama lain, tapi ternyata kalian di sini sekarang... Justru saling nyembuhin satu sama lain.”

“Tapi kalau kamu boleh milih, sebenernya kamu maunya Kak Kiya sama Jevan atau sama kakak kamu, Ca?” Satu tanda tanya meluncur lewat mulut Kenari.

Klarisa tidak menjawab pertanyaan itu dan memilih untuk menenggak habis cairan di gelasnya. Jauh di dalam hatinya, sebaik apapun Jevan dan istri kakaknya sekarang, kisah cinta Adzkiya dan kakaknya tidak akan pernah hilang dari benaknya. Apa yang dipendamnya selama ini tidak akan menjadi baik untuk dikeluarkan, maka dia memilih untuk tetap mengubur perasaan itu dalam-dalam.

“Wah Jep, Jep, Ica gak mau jawab, Jep.”

“Sinting emang bininya Jaenan, dia sampek sekarang aja masih bilang nama belakang Kiya lebih bagusan pake Adetama dari pada Novanda.”

“Itu gue setuju sih,” Raechan menambahi.

“Sialan.” Jevan hanya bisa bergumam pelan.

Permainan berlanjut ketika cahaya bulan meredup terhalang awan gelap. Angin berbau asin berganti menjadi angin yang membawa udara dingin. Para laki-laki sibuk menghangatkan tubuh masing-masing pasangannya. Ada yang memberikan jaketnya, merangkul bahu, dan ada juga yang masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan selimut.

Pertanyaan selanjutnya dilontarkan oleh Juan kepada Jaenandra.

“Katanya, hubungan kalau terlalu lama kan bisa bikin bosen, ya. Lo pernah gak ngerasa bosen sama Ica?”

“Anehnya enggak loh, bertahun-tahun gue pacaran dan sekarang jalan dua tahun nikah, gak pernah tuh ngerasa bosen sama Ica.”

Klarisa puas dengan jawaban Jaenandra, kawan-kawannya yang lain juga sebetulnya sudah menduga jawaban seperti itu yang akan keluar dari mulut Jaenandra. Mereka tahu, selain Juan dan Markio, hidup Jaenandra adalah yang paling lurus. Kenari satu-satunya yang merasa tersipu mendengar jawaban Jaenandra. Hari ini, dia melihat satu lagi sebuah hubungan yang berhasil membuatnya kagum.

“Jev, sekarang giliran lo.” Klarisa menarget Jevan. “Name something that you want to change about Kak Kiya?”

Her attitude on bed.” Jevan menjawab lugas.

Sebuah pukulan mengenai lengannya. Jevan hanya terkekeh pelan, sekeras apapun pukulan yang diberikan oleh Adzkiya, tidak akan pernah terasa sakit baginya.

“Lo bayangin, selama gue pacaran sama dia ni, hampir dua tahun lamanya, bisa diitung kali gue dibolehin tidur sambil meluk dia.”

Yang lainnya ikut terkekeh, terlebih kawan laki-laki Jevan yang tahu benar isi otak seorang Jevander Novanda.

“Makanya gue bilang gue pengen ubah attitudenya Kiya di ranjang, tapi kayaknya nanti kalau udah nikah mah bakal berubah sendiri. Ya kali tidur ama lakinya gak mau dipeluk, iya gak, Sayang?”

Yang ditanyai hanya mengangguk malu-malu.

Malam makin larut. Pintu geser kaca yang membatasi ruang tengah dan halaman belakang sudah ditutup, sebab angin malam semakin kencang berhembus— khawatir akan berakibat buruk untuk si kecil Sergio.

Permainan juga mulai menemui akhir, satu persatu pertanyaan dilontarkan. Ada yang terjawab, ada juga yang tidak. Beberapa botol kaca yang tadinya terisi cairan beralkohol kini mulai tandas, hanya tersisa di gelas masing-masing peserta permainan.

“Oke, pertanyaan terakhir, Kenari....” Raechan melirik gadis yang berada dalam rangkulan Juan itu, “Do you ever fall for Jevan?”

Ada hening yang panjang. Kenari nampak ragu-ragu. Gelas di tangannya tidak berhenti digerak-gerakkan. Debur ombak jauh di sana sama ramainya dengan degup jantung Kenari saat ini. Ingin rasanya gadis itu menyumpal telinga siapa saja yang ada di sini agar tidak mendengarnya.

Ya, dia pernah jatuh hati pada anak tunggal keluarga Novanda itu. Dia ingin mengakui saja perasaannya. Toh, perasaan itu sudah tidak ada lagi. Namun, tatapan mata Adzkiya yang sabar menunggu jawaban bergulir dari bibirnya, membuat Kenari ragu.

Setelah lama menimbang-nimbang, Kenari akhirnya memutuskan. Kanan tangannya mengangkat gelas, hendak menenggak saja minuman di gelasnya.

Tapi... tangan Juan jauh lebih cepat bergerak. Laki-laki itu merebut gelas dari tangan Kenari dan menenggak isinya hingga tandas.

“Bukan Kenari yang gak mau jawab, tapi gue. Gue gak mau tau jawabannya.” Juan berucap setelahnya.

Juan sebenarnya tahu Kenari pernah jatuh hati pada sahabatnya. Juan juga tahu pengakuan Kenari hanya akan membuat gadis itu canggung. Maka dia mengambil inisiatif itu, mewakili Kenari untuk menjawab pertanyaan Raechan. Dengan begitu, Juan bisa melindungi Kenari, juga melindungi perasaan Adzkiya.

“Kayak nonton drama deh gue,” komentar Klarisa.

“Iya, romantis banget Juan.” Jelena menambahkan.

“Ckckck, ternyata jago juga lo ya soal cewek,” ucapan Jaenandra menutup sesi terakhir itu.

Permainan malam itu ditutup tanpa ada satu hatipun yang terluka.

Celana jeans panjang berwarna hitam, kaus lengan pendek putih bergambar mawar hitam di bagian depan, serta jaket hitam yang lengannya ditarik hingga siku. Aku tidak tahu apa tujuan seorang Sergio Leenandar tampil setampan ini untuk bergabung di acara House Party di rumah seorang kawanku.

Apakah dia tahu bahwa di sana akan banyak gadis yang jelas akan melirik penampilannya?

Atau... dia sengaja berpenampilan semenarik ini, agar tidak kalah saing dengan kawan laki-lakiku yang akan datang ke acara itu?

Entahlah, aku tidak ingin lagi memikirkan apa alasannya. Yang terpenting, Kak Gio saat ini ada di sebelahku, tengah sibuk di balik kemudi. Sementara Alana duduk di kursi belakang. Perbincangan ringan mengisi ruang di antara kami, beriringan dengan lagu pilihan yang Kak Gio susun sebagai teman mengemudinya setiap hari.

Kami tiba di rumah kawanku, Andrea namanya, saat waktu menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Aku menyapa si pemilik rumah dan beberapa kawanku yang lain sambil mengenalkan Kak Gio kepada mereka. Setelahnya, aku, Alana dan kawan-kawanku yang lain berkumpul di ruang tengah untuk pembukaan pesta. Sedang Kak Gio meminta izin untuk langsung saja menuju gazebo di belakang rumah, dekat dengan kolam renang— katanya, dia bukan bagian dari kami, maka dia merasa harus memberi ruang untuk aku dan kawan-kawanku.

Pembukaan pesta itu tidak berlangsung lama, hanya berupa ucapan terimakasih dari Andrea, karena kami, kawan-kawannya, sudah menyempatkan diri untuk datang. Pesta kemudian dimulai, lagu mulai terdengar dari pengeras yang ditelakkan di salah satu sudut ruangan. Botol-botol minuman dibuka, makanan mulai disajikan. Suara denting gelas serta sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar berirama dengan suara obrolan dan tawa.

Aku berpisah dengan Alana, sahabat baikku itu diajak oleh seorang kawan untuk duduk di sofa yang agak jauh dariku. Aku dengar dari Alana, kawan sekelas kami pada salah satu mata kuliah itu, sedang berupaya mendekatinya. Aku tertawa saat mendengar cerita Alana, sebab aku tahu, laki-laki itu hanya akan berakhir patah hati. Karena Alana sudah jatuh hati sejatuh-jatuhnya untuk seorang Gentala Derovano Utama.

Berupaya untuk mengabaikan Alana dan mainan barunya, aku mengambil minuman bersoda dari atas meja dan berjalan ke arah teras belakang. Bermaksud menemui Kak Gio yang mungkin saja sedang duduk seorang diri di gazebo belakang sana. Tapi setibanya di pintu pembatas dapur dan halaman belakang, ternyata aku mendapati kenyataan lain— Kak Gio tidak duduk seorang diri, laki-laki yang mulai mengisi hatiku itu ternyata sudah bercengkrama dengan dua orang kawanku.

Hatiku sedikit mencelos, tidak suka dengan apa yang sedang tertangkap oleh mataku saat ini. Aku memutuskan untuk mendekat, berdiri tidak jauh dari gazebo, berusaha mencuri dengar apa yang sedang mereka bertiga bicarakan.

“Ah, jadi Kak Gio dulu kuliah di kampus kita juga? Jurusan apa?” tanya kawanku yang berambut panjang, namanya Kiara.

“Dulu saya ambil Jurusan Pariwisata.”

Kiara memekik girang, tampak makin tertarik setelah mendengar jawaban dari Kak Gio. “Berarti sekarang kerjanya jalan-jalan terus dong, Kak?”

Kak Gio terkekeh pelan lalu menghisap rokoknya sebentar, sebelum kemudian menjawab, “Pengennya sih jalan-jalan terus ya, tapi dapet kerjanya harus selalu stand by di kantor. Jadi belum kesampean kerja sambil jalan-jalannya.”

“Yaudah jalan-jalan sama kita aja, Kak.” Kawanku yang satu lagi menyahut cepat, sambil mengibaskan rambutnya ke belakang, kawanku itu berkata lirih. “Kalau ada libur, Kak Gio contact kita aja. Nanti bisa diatur deh kita mau liburan kemana.”

Kiara mengangguk dengan semangat, dia bahkan meletakkan tangannya di atas paha Kak Gio. “Kak Gio sukanya jalan-jalan kemana emangnya? Pantai? Gunung? Atau jangan-jangan malah sukanya stay di hotel aja?”

Tanpa sadar aku mendecih. Merasa jijik dengan sikap kawanku itu. Kami sama-sama perempuan, dan aku tidak suka caranya merendahkan diri. Apa katanya tadi? Stay di hotel? Apakah itu caranya untuk mengajak laki-laki yang ada di hadapannya untuk bercinta?

Sungguh menjijikkan.

Dan aku lebih kesal lagi karena Kak Gio tidak mengatakan apa-apa untuk menolaknya. Laki-laki itu hanya menggeleng pelan sambil menyingkirkan lengan Kiara dari pahanya dengan begitu lembut. Aku tahu itu adalah bentuk penolakan, tapi seharusnya Kak Gio melakukan yang lebih dari itu.

Rasanya aku sangat ingin meremukkan kaleng minuman bersoda di tanganku ini. Atau paling tidak, aku ingin sekali menuangkan isinya di atas kepala Kiara. Tapi apa hakku untuk bisa melakukan itu? Aku bahkan bukan kekasih dari seorang Sergio Leenandar. Aku tidak berhak melakukan hal buruk pada siapapun yang mencoba mendapatkan hati laki-laki itu. Dan jelas aku juga tidak akan melakukan sesuatu hal sebodoh itu yang hanya akan merusak nama baikku sendiri.

“Pulang dari sini, Kak Gio kemana? Anter Elys sama Alana pulang ya?” Nampaknya Kiara belum juga menyerah, bahkan setelah menerima penolakan.

Aku makin geram. Rasa-rasanya, aku bisa merasakan darahku berdesir begitu cepat naik ke kepalaku.

“Abis anter mereka pulang, mau lanjut ke apartemen aku aja gak, Kak? Apartemen pribadi kok, bebas mau ngapain aja.”

“Ah, maaf, saya besok harus kerja, jadi makasih atas tawarannya tapi saya gak bisa.”

“Kalau besok malem, Kak? Aku...”

“Kak Gio!”

Seruanku keluar lebih cepat dari pada otakku yang terlalu lambat memproses kemarahanku sendiri. Sepertinya saraf-saraf ditubuhku memutuskan untuk mengikuti perasaanku saja dari pada menunggu perintah dari otakku yang selalu saja mengutamakan logika di atas segalanya.

Kak Gio menoleh, senyumnya mengembang saat matanya bersirobok dengan milikku. “Hei, sini Cantik,” sapanya dengan riang.

Dua orang kawanku itu ikut menoleh setelahnya.

Karena sudah terlanjur seperti ini, aku berjalan mendekat dan duduk tepat di sebelah Kak Gio— rokok yang tadi dihisapnya langsung dimatikan. Kak Gio tidak pernah mau aku terkena asap rokok.

Aku menawarkan minuman bersoda yang sejak tadi aku pegang, kepada Kak Gio. Laki-laki itu mengambilnya tanpa canggung dan langsung meminumnya hingga habis. Lewat Kak Gio yang meminum minuman bersoda sisa milikku tanpa rasa jijik, rasanya aku seperti sedang menandai wilayah teritorialku. Menunjukkan kepada kedua kawanku bahwa kami sudah sedekat ini.

“Ayah tadi telfon, katanya pulangnya jangan terlalu malem,” bohongku, hanya agar kami ada pembicaraan karena dua kawanku sekarang tampak kikuk. Cih, kemana perginya mereka yang beringas tadi?

“Pulang ke rumah atau nginep di rumah Kakak aja? Nginep aja lah, ya? Kan besok minggu, nanti siangnya kita jalan dulu sama Papa, Mama, terus sama Gia juga.”

“Tapi Kakak yang izin ke Ayah, ya?”

“Gampang,” jawab Kak Gio seraya merangkulkan lengannya di bahuku. “Di dalem ada makanan, kan? Kakak laper.”

“Ada, yuk aku anter.”

Kak Gio mengangguk berpamitan kepada kedua kawanku sementara aku hanya melirik mereka dengan malas. Dari sudut mataku, aku bisa melihat wajah mereka berubah masam. Mungkin setelah ini, mereka akan mengumpatiku. Biar saja, aku tidak perduli. Yang aku perdulikan sekarang adalah, perbincanganku dengan Kak Gio tadi seharusnya cukup untuk memukul mundur mereka berdua.

Setibanya di dalam, Kak Gio mengambil sepotong kue keju untukku dan sepotong kue cokelat untuk dirinya sendiri. Lantas kami berdua duduk di salah satu sofa yang kosong, sedikit menyingkir dari yang lainnya.

“Hebat banget sebentar aja udah dapet dua cewek baru.”

“Cemburu, nih, ya?”

“Dih enggak,” jawabku sewot.

“Bener, nih, gak cemburu? Yaudah Kak Gio ke belakang lagi ya?”

“Terserah! Aku pulang aja!” Aku meletakkan piring kecil berisi kue keju yang bahkan belum tersentuh itu ke atas sofa. Kemudian berlalu ke luar dari rumah Andrea.

Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu. Aku hanya merasa kesal saja dengan jawaban Kak Gio. Langkahku terus terayun sampai akhirnya aku tiba di teras depan. Suara Kak Gio yang memanggil-manggil namaku dan suara derap langkah kakinya beradu dengan suara musik yang masih terdengar sampai tempat di mana aku berdiri.

“Elys, mau kemana?” Kak Gio berhasil meraih tanganku. “Jangan pulang, dong, kan acaranya belum selesai.”

“Udah sana Kak Gio masuk deh, ditungguin tuh sama Kiara.”

“Kiara?”

“Itu tadi cewek yang mau ngajak Kak Gio ke apartemennya.”

Sial, aku ingin sekali menutup wajah dengan kedua tangan sebab aku yakin sekali sekarang wajahku sudah memerah karena marah dan malu yang tercampur sekaligus. Tapi kedua tanganku masih digenggam oleh Kak Gio hingga aku tidak bisa melakukannya.

“Kakak bahkan gak tau nama temen kamu tadi Kiara.”

“Sekarang Kak Gio tau,” balasku masih sambil bersungut-sungut.

“Tadi pas di depan dia, kamu keliatan baik-baik aja, gak marah, gak sensi kayak gini. Kenapa sekarang tiba-tiba ngambek?”

“Gak tau ah!”

“Hei,” Kak Gio menyentuh sebelah wajahku dengan jemarinya, “Kakak tadi sengaja loh bahas soal kamu nginep di rumah, tujuannya biar temen kamu tadi tau kita sedeket apa.”

Aku akhirnya memberanikan diri menatap matanya.

“Elys, Kakak gak nerima tawaran mereka kok, gak tertarik sama sekali malahan. Kamu masih mau marah sama Kakak?”

Bibirku terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ego dan perasaanku terus berkecamuk.

“Yaudah, kalau perasaan kamu masih belum enak, gak papa marah dulu aja. Tapi izinin Kakak anter kamu pulang, ya?”

“Alana gimana?”

“Nanti Kakak telfon Gentala untuk jemput Alana dan anter dia pulang. Alana pasti lebih seneng kalau Tala yang anter pulang, kan?”

Aku mengangguk mengiyakan. Perasaanku sudah lumayan membaik.

Kak Gio membimbingku untuk masuk ke mobilnya. Anak Om Raechan itu bahkan berbaik hati mengenakan sabuk pengaman ke tubuhku. Ah, sekarang aku yakin sekali bahwa aku telah sepenuhnya mengizinkan Kak Gio mengisi rongga-rongga yang ada di hatiku dan memenuhinya dengan perasaan berbunga.

“Kakak sebenernya seneng kamu ngambek begini, karena itu mungkin artinya, kamu udah mulai ada rasa ke Kakak. Gak tau sih itu bener apa enggak, Kakak cuma pengen kegeeran aja. Gak papa, kan?”

Aku masih diam.

“Kamu ada nomor temen kamu tadi, kan? Kakak minta dong, Kakak harus makasih nih sama dia, karena ulah dia tadi, Kakak bisa liat sisi kamu yang ini.”

Kak Gio masih terus berceloteh sambil memasangkan sabuk pengaman ke tubuhnya sendiri. Setelah selesai dengan kesibukannya, Kak Gio mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mengarahkan layarnya ke arahku. “Ayo mana nomornya? Kakak mau telfon dia nih.”

“Kak, don't you dare to call her....”

“Kenapa emangnya? Kakak kan cuma mau bilang makasih.”

“Gak usah.”

“Kenapa? Kamu bikin Kakak tambah geer aja deh, El, kamu beneran udah suka sama....”

Aku mendekatkan wajahku ke arah Kak Gio, bermaksud menutup bibirnya dengan bibirku— agar dia tidak terus bicara tentang Kiara. Sayang, tepat saat bibir kami hampir bersentuhan, Kak Gio malah memalingkan wajahnya.

“El...” lirihnya pelan.

Aku malu setengah mati. Buru-buru menarik tubuhku kembali ke posisi semula, duduk tegap di kursi penumpang.

“Maaf, Kak, aku kebawa suasana. Aku gak....”

Kali ini, Kak Gio yang justru menempelkan bibirnya dengan bibirku. Melarang aku mengatakan apapun yang ingin aku katakan. Kak Gio tidak menolak ciumanku, dia hanya tidak ingin aku yang memulai ciuman ini, karena dia takut aku merasa rendah nantinya. Lewat ciumannya yang dalam, Kak Gio seperti memberitahuku bahwa dia yang lebih menginginkanku, dia yang lebih mendambakanku, dan dia yang lebih menginginkanku.

Ciuman Kak Gio berubah menjadi lumatan panjang. Tangannya dengan terampil membuka pengait sabuk pengaman dari tubuhku dan menuntunku untuk duduk di pangkuannya. Keadaannya sedikit kacau, mobil ini tidak membuat kami leluasa untuk menggila. Tempat Kak Gio memakirkan mobilnya juga membuat tempat ini terlalu gelap, bahkan ketika aku membuka mataku, aku tidak bisa menikmati wajah Kak Gio yang sedang menciumku. Aku hanya bisa sedikit saja melihat wajahnya lewat cahaya dari lampu taman nun jauh di sana.

Ciuman kami bertahan cukup lama, sesekali Kak Gio berhenti dan tersenyum di sela ciuman kami. Ada kalanya juga dia juga membisikkan kata cinta. Ciuman Kak Gio memabukkan, membuat aku hampir hilang akal.

Ciuman kami baru terlepas saat aku mendorong sedikit tubuhnya karena merasakan sedikit tekanan di pahaku.

“Kak?” tanyaku bingung dengan sesuatu yang mengeras di bawah sana.

“Kamu turun dulu ya, Kakak perlu ke kamar mandi sebentar.”

Masih dengan bantuan cahaya dari lampu taman, aku bisa melihat wajah Kak Gio memerah— entah karena malu atau karena sesuatu hal yang lain.

Jevander “Cursing” Novanda.

Cursing is my middle name.

Terima kasih kepada Alexander Parajuan yang telah memberi julukan itu kepadaku bertahun silam.

Ya, mungkin separuh hidupku hanya habis aku gunakan untuk mengumpat. Mengumpati apa saja. Mengumpati jalanan macet, mengumpati antrian panjang di kasir, mengumpati lampu merah yang detiknya terlalu lama, dan banyak hal lain yang memancing kata-kata kotor untuk keluar dari mulutku. Aku tahu mengumpat bukan lah sebuah hal yang baik, tapi ketika aku mengumpati sesuatu yang membuatku kesal, aku bisa merasa lebih baik.

Tidak berbeda dengan hari ini, entah sudah berapa nama binatang dan berapa kata kotor, aku layangkan dalam bahasa ibu dan bahasa lain. Aku mengumpati setumpuk pekerjaan yang menahanku duduk di ruang tamu rumah Adzkiya sejak pukul lima sore tadi. Sial, padahal tujuanku datang ke rumah ini bukan untuk terbelenggu mengkaji bertumpuk kertas menyebalkan dan memusingkan ini. Aku rela mengendarai mobilku sejauh puluhan meter untuk bercinta dengan Adzkiya, bukan untuk kertas-kertas bodoh ini.

Shit.

Seharusnya saat ini aku sedang berada dalam dekapan Adzkiya yang selalu tampak lezat dalam balutan gaun malamnya. Harusnya pada waktu-waktu ini, aku sedang menikmati ciuman Adzkiya yang memabukkan. Sungguh indahnya malam ini jika yang aku dengar sekarang adalah desahan Adzkiya yang menggumamkan namaku dan bukannya suara pena yang menari di atas kertas. Sial, akan lebih baik menatap Adzkiya yang telanjang dari pada menatap jajaran angka yang entah apa gunanya ini.

Anjing.

Udara malam Ayu Laga yang biasanya dingin saja tidak mampu meneduhkan kepalaku yang memanas sebab rasa-rasanya darahku tengah mendidih saat ini. Aku meremat sebuah kertas kosong dan membuangnya ke lantai, dengan sebal tentu saja. Kausku sudah teronggok di bawah meja, rambutku sudah berantakan karena aku berkali-kali menjambak rambutku sendiri, dan kopi yang disajikan Adzkiya sudah tandas sejak tadi.

“Belum selesai juga, Van?” Suara lembut Adzkiya terdengar dari belakang punggungku, beriringan dengan pelukan yang dia berikan dari belakang.

Kulit tangannya yang selembut sutra mengelus pelan dadaku yang telanjang. Aku juga bisa merasakan kedua putingnya yang tegang di punggungku. Dagu Adzkiya diletakkan di salah satu bahuku hingga aku bisa merasakan nafasnya menerpa leherku yang sedikit meremang.

“Belum nih, tau gini gak aku iyain deh tawarannya Juan,” keluhku padanya.

Adzkiya mengecup daun telingaku, lidahnya menyusul setelah itu. Gadis itu menggelitik salah satu titik paling sensitif di tubuhku dengan sengaja. “Udah, istirahat dulu aja,” ujarnya.

“Ki, don't tease me please.”

Tawa renyah Adzkiya terdengar, dia berhenti melakukan kejahilannya dan pelukannya terlepas, membuat tubuhku tiba-tiba kedinginan. Saat dia berjalan melewatiku, aku baru bisa melihat pakaiannya malam itu. Adzkiya mengenakan one set berwarna hitam, pakaian atasnya hanya berupa tank top dengan belahan dada rendah. Sementara pakaian bawahnya hanya berupa celana pendek berenda yang bahkan tidak sepenuhnya menutupi paha Adzkiya.

“Yaudah gih beresin dulu, aku tunggu di sofa,” katanya kepadaku sebelum gadis kesayangku itu lenyap ditelan pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarganya.

Ruangan itu kembali senyap, aku bahkan bisa mendengar suara katak dan jangkring bersahutan di luar rumah. Selain itu, aku juga mulai mendengar obrolan beberapa orang yang sepertinya berasal dari film yang sedang Adzkiya tonton. Fokusku pecah, aku seutuhnya mengabaikan pekerjaan di hadapanaku. Aku akhirnya menyerah, kuletakkan pena di atas meja. Sekalipun aku memaksa, otakku tidak akan bisa mencerna deretan angka ini karena yang sekarang ada di sana hanya.... Adzkiya dan puting payudaranya yang menegang di balik pakaian tipis yang dia kenakan.

“Loh, udah selesai?” Tatapan bingung Adzkiya menyambutku saat melewati pintu. Gadis kecintaanku itu langsung menyingkirkan bantal sofa yang sebelumnya dia peluk.

Kedua tangannya terbuka, seolah tahu bahwa aku memang ingin masuk ke dalam dekapannya yang selalu hangat. “Sini, capek ya pasti.”

Aku mengangguk, sementara tanganku sibuk melepaskan ikat pinggang dan melemparnya asal. Lantas aku menjatuhkan tubuhku ke dalam dekapan Adzkiya, aroma tubuhnya langsung memenuhi indra penciumanku. Kedua lengan Adzkiya melingkari leher dan bahuku. Kepalaku bersandar di dadanya yang kenyal.

“Tidur aja, ya, kalau gitu? Besok pagi aja kita...”

“Gak, aku butuh recharge energi,” sergahku cepat. Kepalaku saat ini penuh sekali dan hanya ada satu cara untuk melepaskan semuanya. Toh, tujuanku kesini memang untuk bercinta dengan Adzkiya.

“Coba sini liat aku.” Tangan Adzkiya menyentuh daguku dan membuatku mendongak untuk menatapnya. Mata kita bertautan, mungkin saja dia bisa melihat kilat birahi di kedua mataku ini. “Ah... ini sih kayaknya emang perlu dilepasin beban kamunya.”

Aku tersenyum senang, kudekatkan wajahku hingga aku bisa meraih bibirnya yang ranum. Adzkiya memiringkan kepalanya, membuat pergerakanku makin leluasa. Tangannya yang tadi memeluk bahuku kini sudah sepenuhnya bersemayam di belakang leherku— dan memberi sedikit tarikan pelan di rambutku saat aku tidak sengaja menggigit bibirnya.

Ciuman itu berlangsung lama, lidah kami saling membelai satu sama lain. Mengirimkan gelenyar panas guna memuaskan keinginan masing-masing. Sesekali kami berciuman sambil saling bertatapan, memeriksa apakah kami sudah benar-benar saling memuaskan.

Ciumanku turun ke leher dan dada Adzkiya setelah beberap saat. Tank top yang tadi dikenakannya kini sudah aku hempas entah kemana. Kedua payudara sintal Adzkiya menjadi fokus utamaku sekarang. Aku bermain di sana dengan lidah dan kedua tanganku. Jari-jariku memainkan puting Adzkiya bergantian dengan lidahku yang membelainya. Gadis yang sudah sepenuhnya berada di bawah kendaliku ini sesekali membusungkan dadanya sebagai balasan.

Aku tidak yakin berapa lama aku memanjakan tubuh bagian atas Adzkiya, tapi aku menyudahinya saat aku tahu Adzkiya hampir mencapai puncak. Adzkiya hendak protes, tapi aku membungkamnya dengan kecupan ringan di bibir.

Aku bangun dari atas Adzkiya, kemudian berpindah untuk duduk di lantai. Kepalaku bersandar pada sofa dan sedikit mendongak.

“Kamu... ngapain?”

Sit on me, Ki.”

“Hah?”

Sit on my face, Adzkiya.”

Tubuh Adzkiya mendadak kaku, aku bisa melihatnya dari ujung mataku.

“Sini,” kataku pelan sembari sebelah tanganku menggapai tangannya. “Katanya weekend mau duduk di muka aku, sini.”

Adzkiya masih diam.

Aku menegakkan tubuhku lagi dan menatapnya dalam. “Kamu masih ngerasa hal ini gak sopan, ya? Ayo cobain dulu deh, kalau nanti kamu nggak nyaman, kamu bisa bilang ke aku dan aku akan berhenti. Ya?”

Gadis paling cantik bagiku itu, akhirnya mengangguk. Aku mengecup kedua tangannya dengan lembut dan membantunya melepaskan celana. Setelah itu, aku kembali ke posisiku yang semula. Kedua tanganku membimbing Adzkiya untuk naik ke atas sofa dengan hati-hati. Gadis kesayanganku itu dengan kikuk mengikuti arahanku, dia meletakkan satu lututnya di sebelah kepalaku dan perlahan-perlahan meletakkan sebelah lututnya yang lain.

Aku tersenyum puas saat akhirnya kewanitaan Adzkiya tepat berada di atas wajahku. Dari posisi ini, aku bisa melihat keindahan inti tubuh Adzkiya dengan lebih leluasa.

“Kamu pegangan ke sandaran sofa ya, soalnya aku gak nopang tubuh kamu. Kayaknya kamu juga bakal lebih capek dari biasanya. Kalau nanti kamu udah gak kuat, bilang ke aku ya.”

Adzkiya menjawab dengan malu-malu dan aku menjawab jawabannya itu dengan menyentuh pinggulnya agar dia sedikit menurunkan tubuhnya. Kewanitaan Adzkiya bersih, sebab dia rajin mencukur bulu kewanitaannya. Lidahku bisa dengan mudah menelusup masuk untuk memuaskan Adzkiya. Butuh beberapa waktu sampai Adzkiya terbiasa, ada kalanya gadis ini juga mengangkat pinggulnya karena terkejut, tapi lambat laut akhirnya dia terbiasa. Dia bahkan mengikuti irama jilatan yang aku berikan dengan menggerakkan pinggulnya ke depan dan ke belakang.

Shit, now I know why Doja Cat likes guy with big noses.”

Aku tersenyum di sela jilatanku saat mendengarnya.

Malam itu, entah berapa lama waktu yang kami habsikan untuk bercinta. Setidaknya kami melakukan dua sesi di sofa ruang keluarga dan satu sesi di dapur saat Adzkiya sedang menyiapkan minuman untukku.

Tunggu, jangan salahkan aku. Salahkan saja tubuh Adzkiya yang tetap tampak menggoda bahkan ketika dia hanya mengenakan kausku yang begitu kebesaran di tubuhnya.

**

Bunyi nyaring dari telepon genggam menganggu pagiku di Ayu Laga yang damai. Aku masih butuh banyak waktu untuk tidur dan memanjakan tubuhku yang kelelahan setelah percintaan panjang. Tapi bunyi sialan itu tidak akan berhenti jika si penelepon di sebrang sana tidak mendapat jawaban.

Masih dengan mata yang tertutup, aku meraba meja kecil di sebelah ranjang Adzkiya. Dan tanpa repot-repot mengecek siapa nama yang tertera di sana, aku menjawab panggilan itu.

“Halo? Siapa sih anjir pagi-pagi?”

Ini udah jam sebelas, Jev!” Seseorang di sebrang sana menjawab dengan garang.

“Kenapa sih, Jaen?”

Kak Adzkiya mana?

“Ada nih, di sebelah gue, kenapa?”

Kasih hp lo ke Kak Kiya, ada yang mau gue omongin, penting.”

Aku mengucek mata pelan, berusaha bangun dari posisi berbaringku dan bersandar di kepala ranjang. Tangan Adzkiya masih melingkari pinggangku dengan posesif.

“Ada apaan? Cewek gue masih tidur.”

Penting, kasih aja hp lo ah! Banyak nanya.

“Matiin dulu deh, nanti gue telfon balik.”

Tanpa menunggu jawaban Jaenandra, aku mematikan panggilan itu sepihak. Ponselku kembali aku letakkan di meja.

Adzkiya masih terlelap dengan begitu damai di sampingku. Nafasnya beranturan, dengkuran halusnya juga terdengar. Sebetulnya aku tidak tega untuk membangunkannya, tapi sepertinya keadaan Jaenandra mendesak.

Aku menyingkap selimut, tubuh Adzkiya masih telanjang di baliknya. Kukecup pelan keningnya, kemudian turun ke hidung dan bibirnya. Kalaupun harus membangunkan kesayanganku ini, aku akan melakukannya dengan pelan.

Contohnya... dengan cara ini.

Memanjakan tubuhnya sekali lagi.

Satu jam kemudian, aku baru kembali menghubungi Jaenandra dan mendengar seribu makian darinya.

——————– end ————————

Selain ruang konseling sekolah, aku juga sangat tidak menyukai studio milik Om Jevan. Ruangan yang sudah menjadi markas bagi papaku dan kawan-kawannya selama bertahun-tahun itu, hanya boleh dimasuki oleh orang lain, selain mereka, pada keadaan mendesak. Di saat mereka butuh ruangan untuk menyidangku, contohnya.

Terhitung hingga hari ini, sudah empat kali aku masuk ke dalam studio ini. Tiga kali sebelumnya untuk menjalani sidang, well, hari ini pun alasannya masih sama, untuk menjalani sidang. Kali ini, kasusku bermula karena Mama menemukan sebungkus rokok dan satu pemantik di laci kamarku.

“Jadi, sejak kapan kamu merokok? Om Wan gak suka ya kamu ngerokok!”

“Om Kiyo udah bilang, ngerokok itu gak bagus buat kesehatan, Gio.”

“Siapa yang ngajarin kamu ngerokok? Biar Papa labrak anaknya.”

“Om Jaenan sama Om Pan ngerokok di depan kamu bukan buat kamu ikutin ya, Sergio.”

“Dengerin tuh apa kata Om Jaenan!”

Ah, mungkin itu ya yang dibayangkan orang-orang ketika aku bilang bahwa hari ini aku akan menjalani sidang di studio Om Jevan bersama kelima papaku?

Maaf, tapi suasana yang terjadi sekarang ini sangat jauh dari yang tergambar di bayangan kalian. Saat ini, papa bilogisku, Raechan Leenandar, tengah sibuk mengatur meja— meletakkan enam gelas kaca di samping sebotol minuman beralkohol. Satu papaku yang lain, Om Jaenandra, sedang sibuk mengeluarkan snacks dari kantung plastik, sepertinya dia menyempatkan diri untuk membelinya dalam perjalanan kesini.

Om Jevan bertugas mengatur lagu apa saja yang akan menjadi latar musik untuk suasana malam ini. Jemarinya sibuk bergulir di atas ponsel. Sementara Om Markio dan Om Juan sedang sibuk mengobrol di sofa paling ujung. Samar-samar aku dengar mereka sedang membicarakan istri mereka masing-masing.

Ah, aku juga harus memberi tahu kalian sesuatu yang cukup penting... tidak ada raut marah di wajah mereka semua. Semuanya tampak rileks, bahkan aku bisa dengan percaya diri bilang bahwa mereka senang-senang saja.

“Kenapa pilih rokok sih, Gio? Bukannya anak sekarang lebih milih ngevape ya?” Om Jevan duduk di sebelahku setelah selesai melaksanakan tugasnya. Lagu Circles milik Post Malone mengalun lembut dari pengeras suara.

Papaku melirik ke arah kami seraya berucap dengan nada penasaran yang kental, “Kamu ngerokok tapi kok kalau pulang ke rumah gak pernah bau rokok sih, Bang?”

Aku tersenyum tipis, lantas menunjuk tas sekolahku yang teronggok di atas karpet. “Gio kalau ngerokok ganti kaos dulu, Pa, kemejanya dilepas.”

“Persis bapaknya dulu.” Om Juan menyahut. “Tapi Gio masih mending, mulai ngerokok pas udah umur dua puluh. Lah lo-lo pada, bar

Di bawah sana, berjarak puluhan meter, kendaraan berlalu lalang di jalanan empat ruas. Berbaris-baris entah menuju kemana. Berdesakan dipermainkan keadaan jalan yang selalu saja pepak. Keadaan di bawah sana membuat seorang laki-laki yang menatap kericuhan itu dari atas berdecak kasihan. Dia menjadi bersyukur bisa lebih dulu tiba di ruangan seluas setengah lapangan bola ini sebelum keadaan jalanan seburuk itu.

Setelah bosan mengamati jalanan, laki-laki itu berjalan ke arah ranjang, duduk ditepinya, melepaskan jaket hitam hingga menyisakan kaus berwarna putih menempel di tubuhnya. Laki-laki itu masih bisa mendengar gemericik air dari kamar mandi yang berada di seberang ranjang. Suara itu membuatnya gugup dan memutuskan untuk bermain ponsel guna mengusir perasaan menyebalkan itu.

Sekian menit terlewat, pintu kamar mandi terbuka. Menampakkan gadis cantik yang dibalut dengan gaun malam hitam yang terlihat begitu....terbuka. Belahan dadanya rendah, hanya ada bagian tali kecil yang membuatnya tetap menempel membungkus tubuh ramping si gadis. Panjang gaun itu hanya sanggup menutupi setengah paha.

Si laki-laki menelan ludah, terlebih ketika gadis itu melenggang santai menuju meja rias. Mengambil botol lotion kemudian mengoleskan ke area lengannya yang begitu putih dan mulus. Laki-laki itu, Rigen Handaru namanya, sedikit menelan ludah. Detak jantungnya berpacu lebih cepat membuta rasa gugupnya semakin menggila. Terutama ketika gadis itu memanggil namanya lembut dan memintanya mendekat. Rigen berjalan ragu-ragu hingga tubuhnya hanya berjarak beberapa jengkal dari si gadis. Seketika itu, si gadis membuat Rigen duduk di atas kursi rias. Lalu dengan lancang, si gadis mengangkat kakinya ke atas paha Rigen. Membuat Rigen kembali menelah ludah karena keintiman posisi mereka.

“Tolong olesin dong Gen,” pinta Azalea-si gadis itu-penuh kelembutan.

Rigen menurut, dia menuangkan lotion ke tangannya dan bergerak kikuk mengoles lotion itu mulai dari betis hingga perlahan-lahan naik ke paha Azalea. Ketika tangannya menyentuh kulit putih itu, Rigen bisa merasakan kelembutan yang terasa menyenangkan di telapak tangannya.

Setelah selesai dengan satu kaki, Azalea bergantian mengangkat kakinya yang satu lagi dan Rigen mengulangi prosesnya. Kali ini dengan lebih perlahan karena dia ingin merasakan kelembutan itu lebih lama. Bahkan diam-diam, Rigen mengutuk Tuhan yang hanya memberikan dua kaki pada hambanya hingga perasaan menyenangkan itu hanya bisa dia rasakan sebentar.

Setelah merasa puas dengan bantuan yang diberikan Rigen, Azalea menurunkan kakinya dan menatap laki-laki di hadapannya yang kembali menunduk.

Nervous banget kayaknya, santai aja lagi, Gen.” Azalea terkekeh melihat tingkah juniornya itu, “ngerjain tugasnya di kasur aja yuk, biar gak capek. Di kamar gue gak ada sofa soalnya.”

Setelah mengatakan itu, Azalea berjalan santai ke arah ranjang, mendudukkan dirinya di sana dan bersandar pada kepala ranjang. Gaun malamnya semakin terangkat naik, semakin membuatnya minim. Namun tampaknya gadis itu tidak perduli. Dalam hati, Rigen mengutuk dirinya sendiri karena mengiyakan ajakan seniornya yang memintanya untuk membantu mengerjakan tugas di apartemennya ini. Seharusnya dia mendengarkan nasihat Arnold, sahabat karibnya, untuk tidak dekat-dekat dengan gadis yang memiliki tubuh paling indah di muka bumi itu.

“Rigen, ayo sini,” panggil Azalea lagi, membuat Ranu buru-buru memindahkan tubuhnya dari kursi rias ke atas ranjang.

“Nih, bagian ini nih gue gak ngerti. Tolong ajarin, ya?”

“Iya, Kak,” patuh Rigen seperti tersihir tiap kali suara Azalea terdengar. Dengan patuh dia mengajari gadis cantik itu sembari sesekali menunjuk pada layar laptop. Mereka berdiskusi hingga tugas itu selesai, setidaknya butuh lebih dari dua jam.

Punggung Rigen terasa kebas. Sejak tadi tubuhnya kaku hingga seluruh otot dalam dirinya terasa tegang. Rigen berusaha menjaga pandangannya agar tidak melirik ke arah yang seharusnya tidak dia lihat, sebab itu lehernya juga terasa sakit karena terus menerus melihat ke satu arah. Matanya juga terasa perih, cahaya yang dipantulkan oleh layar laptop cukup membuat matanya kering.

“Aduh, gini nih malesnya nugas, capek. Lo capek gak, Nu?” tanya Azalea sesaat setelah gadis itu meletakkan laptopnya ke meja kecil di samping ranjang.

“Nggak kok, Kak,” bohong Ranu, dia melirik ke arah Azalea dengan takut-takut. Sementara Azalea sedang merenggangkan tubuhnya ke depan hingga gundukan sintal yang menghiasi tubuh depan Azalea terlihat begitu menonjol.

“Gak heran sih, di perpus berjam-jam aja lo betah,” sambar Reinatha cepat. Rigen hanya tertawa canggung, buru-buru mengalihkan pandangannya lagi.

“Mau makan? Gue pesenin ya,” tawar Azalea.

“Nggak usah, Kak. Masih kenyang.”

“Yaudah kalau gak mau makan, minum aja deh, ya. Please banget kali ini jangan nolak.”

Kali ini Rigen mengangguk samar.

Azalea turun dari ranjang dan berjalan ke cooler kecil yang terletak di samping meja rias. Dua kaleng beer dia keluarkan dari sana dan dibawa kembali ke ranjang. Lalu diberikannya satu kaleng pada Rigen yang menerimanya dengan enggan.

“Sambil dengerin musik kali ya, refreshing. Harusnya sih malem ini gue party tapi jadi mager gara-gara jam segini baru selesai nugas. Eh, lo belum mau balik, kan? Temenin gue dulu lah, ya.” Azalea berkata riang, dia menarik Ranu untuk berdiri berhadap-hadapan dengannya. “Lo jangan kaku-kaku, lemes dikit Gen.”

Suara musik yang memancing tubuh untuk bergoyang, nyaring terdengar memenuhi kamar. Suasana kamar juga sudah berubah gelap, mirip seperti di club-club besar. Tubuh Azalea bergerak-gerak lincah, minuman di tangannya sisa setengah. Sementara Rigen masih diam saja di tempat, minuman kalengan yang digenggamnya masih tertutup rapat. Dia belum pernah menyentuh minuman beralkohol, apalagi pergi ke club. Dia tidak tahu cara mengimbangi gadis di hadapannya yang sudah bergoyang-goyang tak terkontrol.

“Gen, goyang dong,” titah Azalea saat menyadari kikuknya Ranu.

“Saya.... gak tau gimana caranya Kak,” aku Rigen jujur.

“Ish astaga, tinggal goyang aja,” gemas Azalea, tangan gadis itu langsung mengambil lengan Rigen untuk kemudian dia lingkarkan di pinganggnya. Sementara kedua lengannya dilingkarkan di leher Rigen— meskipun sedikit kesulitan karena tinggi Rigen lebih dari 180cm. “Goyangin badan lo, ikutin hentakan musiknya. Santai aja.”

Atas penuturan Azalea, Rigen mencoba melemaskan tubuh kakunya, mencoba menyerap alunan musik hingga tanpa sadar tubuhnya sudah mulai bergerak-gerak.

“Nah gitu dong, enjoy the party, Rigen Handaru,” bisik Azalea sehalus hembusan angin yang menyelinap lewat pintu balkon yang terbuka. Namun suara itu sampai ke telinga Ranu lebih keras dari pada alunan musik dari alat pengeras suara. Tubuhnya kembali kaku, gerakan Azalea semakin tidak terkendali. Gadis itu bahkan mulai mebalikkan tubuh dan menggerakkan bagian belakang tubuhnya tepat di depan Rigen.

Genggaman Rigen pada kaleng beer di tangannya semakin kencang. Pun sepertinya, minuman kalengan itu tidak lagi dingin karena tubuh si penggenggamnya mulai panas.

Alunan musik kencang perlahan berganti menjadi alunan musik pelan yang bisa lebih Rigen nikmati. Tubuh Azalea melemas seketika hentakan lagu dengan ritme cepat itu terhenti, menabrak tubuh Rigen yang berdiri di belakangnya. Sigap, Rigen merengkuh tubuh Azalea agar tidak ambruk. Tangannya kembali melingakari tubuh Rigen. Gadis itu terengah-engah, nafasnya beradu dengan suara Bruno Mars yang sedang menyakikan bait-bait lagu Leave The Door Open.

Beberapa detik terlewat, Azalea menyadari bahwa kaleng minuman Rigen masih saja tertutup rapat. Dengan penasaran, gadis itu membalikkan tubuh untuk menatap Rigen lagi.

“Kok minumannya belum dibuka? Gak haus?”

“Saya...gak pernah minum beer, Kak.”

“Ya makanya coba,” jawab Azalea santai, gadis itu mengambil kaleng dari tangan Rigen dan membukanya, “Rasanya enak, kok. Cobain deh,” titah Azalea lagi.

Rigen masih ragu, dia hanya menatap minuman kaleng itu dengan bingung.

“Gak akan keracunan kok, tenang aja. Gue jamin,” Azalea meyakinkan, tapi belum juga berhasil membuat Rigen meraih kaleng dari tangannya.

Merasa gemas, Azalea menenggak minuman itu sendiri dan dengan cekatan dia menyentuh dagu laki-laki di hadapannya itu untuk membuat bibirnya sedikit terbuka. Lalu dengan gerakan sangat sensual, Azalea menempelkan bibir ranumnya kepada milik Rigen, mengalirkan cairan berwarna bening itu ke mulut Ranu. Setelahnya, Azalea melepaskan bibir Rigen seolah tidak terjadi apa-apa.

“Ternyata rasanya manis,” Rigen berucap pelan.

“Apanya?”

“Bibir.”

Azalea termangu sesaat, matanya memincing heran. “Lo... baru pertama kali ciuman?”

Rigen menghindari tatapan mata Azalea, dia berdehem pelan berusaha mengendalikan dirinya lagi.

Such a stupid ass,” geram Azalea. “Lo bego banget deh, Gen. You have everything to get at least five girls around you. Look at your face and your body. Use them to attract girls, kiss them, sleep with them.”

Rigen masih diam, sementara Azalea semakin geram.

“Ahhhh, lo gak pernah minum beer, gak tau caranya joget-joget happy, baru pertama kali ngerasain bibir cewek, jangan-jangan lo emang gak kenal hal-hal kayak gitu, ya?” cecar Azalea menuntun jawaban dari laki-laki yang masih enggan membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara.

Rigen semakin menghindari Reinatha yang kini telah menatapnya jahil. Rigen telah tertangkap basah. Belum pernah seumur hidupnya dia bergaul dengan perempuan lebih dari teman kelompok. Belum pernah menyentuh mereka dengan tangan, apa lagi dengan bibir. Belum pernah setetespun cairan alkohol mengaliri tubuhnya. Belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di kelab malam. Namun hari ini, dia lakukan semuanya dalam semalam. Karena Azalea, bersama Azalea, seniornya.

Azalea membutanya menyentuh kulit wanita yang ternyata selembut sutra, Azalea membuatnya menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik di gelapnya malam, Azalea juga membuatnya merasakan dua sensasi sekaligus saat memberinya minuman beralkohol melalui ciuman singkat.

“Rigen, mau belajar sama gue gak? Gantian sekarang gue yang ajarin lo, mau gak?”

“Be...bela...jar apa, Kak?” gugup Rigen terpatah-patah.

“Segala hal, tentang cewek. Tentang hal-hal menyenangkan, yang gak lo tau sebelumnya.”

Belum lagi Rigen menjawab, Azalea sudah mendorongnya jatuh ke ranjang. Belum sempat Rigen menguasai dirinya, Azalea sudah lebih dulu memposisikan tubuhnya duduk di atas paha laki-laki itu.

“Lo....” Azalea mendekatkan wajahnya pada Rigen, “ganteng, idung lo mancung, bibir lo bagus, dan ini... Dada lo, bahu lo, bidang. Pasti enak kalau dipake buat bersandar.” Tangan Azalea tidak tinggal diam, menelusuri tiap inci wajah Rigen yang menatapnya kikuk. Lalu tangan itu meraba semakin ke bawah, ke bahu, dada lalu turun ke perut Ranu.

“Wow, lo bahkan punya abs. Rajin olahraga?” Tanpa meminta izin, Azalea menyibakkan kaus hitam yang dikenakan Rigen. “1...2...3...4...5...6.” Gadis itu menghitung jumlah kotak yang tercetak jelas di perut Rigen, menatapnya lama, hingga si empunya merinding dibuatnya.

“Kak Lea,”

“Ssssttt,” potong Azalea cepat, “jangan sekarang sebut nama guenya, nanti aja.”

Saat mendengar itu, Rigen tidak mengerti kapan “nanti saja” yang dimaksudkan oleh Azalea.

“Lo belum jawab gue, Rigen Handaru, lo suka olahraga?”

Rigen mengangguk samar. Azalea hanya tersenyum menatapnya.

“Bagus, sekarang kita mulai belajar.”

Sungguh, Rigen tidak mengerti segala ucapan yang keluar dari mulut Azalea sejak tadi tiap kali gadis itu menyebut kata belajar.

“Pelajaran pertama, how to touch a girl.” Azalea mengedipkan sebelah matanya, lalu dia menurunkan tali yang menggantung di bahunya hingga membuat gaun malamnya melorot. Azalea menuntun sebelah tangan Rigen ke dadanya yang telanjang. “Pegang, Gen,” titahnya lembut, menyihir Rigen yang langsung menangkup dada kirinya dengan gugup.

“Mainin putingnya, Rigen.”

Rigen menurut lagi, jarinya menyentuh sesuatu berwarna kecoklatan di tengah gundukan daging yang seputih susu dan selembut sutra. Dia menyentuhnya beberapa kali, masih dengan jari-jarinya yang gemetar.

“Bagus, Rigen,” bisik Azalea pelan.

Mendengar respon baik dari Azalea, Rigen memberanikan diri untuk menangkupkan sebelah tangannya ke dada Azalea yang lain. Sekarang, kedua tangannya sedang menangkup payudara gadis cantik, memainkan putingnya dengan gemas. Rigen seperti bermimpi, namun sialnya ini nyata. Dia takut, gugup, namun di dalam hatinya dia girang. Pengalaman yang luar biasa.

Azalea diam-diam tersenyum puas. Dia membiarkan Rigen bermain-main dengan payudaranya selama yang juniornya inginkan. Dia membiarkan Rigen menjepit putingnya dengan jari, dia membiarkan Rigen meremas kedua payudaranya dengan gemas, dia bahkan membusungkan dadanya agar Rigen semakin bebas memainkan salah satu bagian tubuh yang dia banggakan itu. Lalu saat dirasa cukup, Azalea menyentuh lengan kekar Rigen dan menahannya.

“Cukup, Sayang.”

Rigen hendak protes namun Azalea menyambar lebih dulu. “Pelajaran selanjutnya lebih menarik.”

Akhirnya Rigen pasrah, dia kembali berbaring. Dengan setengah tubuh yang telah telanjang, Azalea mendekatkan dirinya pada Rigen. Wajahnya hanya berjarak beberapa cm saja dari Rigen. Gadis itu berbisik lirih agar Rigen mengikuti apa yang dia lakukan sebelum akhirnya mengulum bibir Rigen.

Pelajaran kedua.

Ruangan yang luas itu akhirnya berisi suara kecupan dan lenguhan pendek. Bibir Azalea yang sudah lebih ahli menuntun Rigen untuk membalas ciuamnnya. Dia juga memberi kesempatan pada Rigen untuk belajar cara mencecap dan mengulum yang baik. Bukan hanya dengan bibir, namun juga dengan lidah. Tubuh mereka sudah saling menempel, meskipun Rigen masih saja mengenakan kaus hitam sialannya. Mata keduanya terpejam, terlalu menikmati. Rigen adalah pencium yang baik, meskipun belum begitu handal. Namun Rigen belum mengerti bahwa ketika berciuman dia boleh saja menggerayangi tubuh lawan mainnya. Hal itu membuat Azalea kembali menuntun tangan Rigen ke dadanya.

Ciuman itu semakin gila saat Rigen mulai menguasai permainan. Sembari memanjakan Azalea dengan bibirnya, dia juga memanjakan dada Azalea dengan gerakan lebih ahli.

Sekian menit terlewat, mereka saling melepaskan pagutan. Menarik nafas panjang-panjang karena tadi mereka sempat lupa caranya bernafas. Bibir keduanya memerah, bahkan ada luka kecil di bibir bawah Azalea.

“Gimana? Sejauh ini suka sama pelajarannya?”

Rigen mengangguk, terengah-engah.

“Oke sekarang...” Ocehan Azalea terinterupsi oleh getarang ponsel di atas meja kecil. Dia meraihnya dan membuat Rigen menggeram. Ketika tubuh Azalea bergerak untuk meraih ponsel, bokong gadis itu menggesek kejantanan Rigen. Meskipun laki-laki itu masih mengenakan celana panjangnya, namun tetap saja untuk ukuran pria baik-baik sepertinya, hal sekecil itu bisa berakibat besar.

“Halo?” sapa Azalea pada si penelepon, “ya ampun iya gue lupa, yaudah tunggu bentar ya, gue kesana.”

Lalu setelah itu Azalea turun dari ranjang, membuka lemari dan meraih gaun dari gantungan. Tanpa rasa malu, gadis itu melepaskan gaun malamnya dan menggantinya dengan gaun yang lebih sopan. Gadis itu melakukan semuanya di depan Rigen.

Selesai berganti pakaian, Azalea bergegas ke meja rias seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Meninggalkan Rigen di atas ranjang yang masih harus menenangkan dirinya.

“Gue lupa kalau malem ini harus nemenin sahabat gue balapan, gue harus kesana sekarang. Lo rapih-rapih, gih. Sekalian gue anter pulang,” titah Azalea acuh, gadis itu masuh sibuk menatap dirinya dari pantulan cermin, memeriksa apakahn riasannya telah siap.

“Kak, saya....”

“Besok kita lanjutin lagi pelajaran lo, itu juga kalau lo masih mau.”

Azalea menatap Rigen dari pantulan cermin, sementara Rigen sibuk memikirkan bagaimana caranya dia bisa menenangkan sesuatu yang sudah menyembul di dalam celana dalamnya.