Elysia Judith Novanda
Tiga tahun lalu, patah hati membawaku menemuinya yang menyambutku dengan kelembutan. Tiga tahun lalu, sentuhan pertamanya pada rambutku dapat kurasakan. Tiga tahun lalu, sebuah senyuman menyadarkan aku bahwa hidupku yang kuanggap rusak ini masih layak untuk dijalani.
Sudah tiga tahun berlalu ternyata. Sudah tiga tahun sejak hari itu.
Malam ini, di penerbanganku dari Singapura menuju Melbourne, aku mengulas kembali apa-apa saja yang sudah aku alami bersama kekasihku, Adzkiya, pada hari-hari itu. Kami melewati banyak sekali babak yang tidak hanya melibatkan kami, tapi juga orang-orang yang kami sayangi. Ada luka, ada bahagia, ada pula perpaduan dari keduanya. Hari-hari yang kami lewati itu membuat aku lebih mengilhami hari ini, sebaik-baiknya, sebijak-bijaknya. Hari ini, hari yang dulu hanya berani aku bayangkan, akhirnya datang. Hari yang dulu hanya berani aku andai-andaikan akhirnya bisa kurengkuh dengan senang.
Hanya butuh kurang dari tiga jam, pesawat yang aku tumpangi akan mendarat di Bandar Udara Melbourne. Kekasihku akan menemuiku disana, sebab dia bilang dia akan menjemputku. Padahal biasanya, aku tidak pernah mengizinkannya. Aku lebih suka dia menyambutku di muka pintu apartemennya. Tapi khusus hari ini, hari yang menurutnya juga sangat membahagiakan, dia bersikeras ingin menjumpaiku langsung di Bandara. Tidak sabar baginya untuk duduk diam menungguku datang.
Besok, usai mengemas barang-barangnya, aku akan membawa kekasihku kembali. Kembali ke negeri tempat dia dilahirkan. Aku akan membawanya pulang. Pulang ke tempat seharusnya dia tinggal. Akan aku bunuh jarak yang membentang di antara kami. Sebagaimana aku berhasil merobohkan dinding tinggi yang papaku sengaja bangun di antara aku dan Adzkiya.
Sudah cukup, tidak akan ada lagi air mata. Akan kuganti dengan senyum bahagia. Menunggu tidak lagi akan menjadi nama tengah Adzkiya. Sebagai gantinya, akan kuberi nama belakangku untuk melengkapi nama indahnya.
Adzkiya Judith Novanda.
Istri dari seorang Jevander Novanda.
Lalu nanti, nama belakangku juga akan digunakan oleh buah hati kami.
Pada harinya nanti, ketika janji itu aku ikrarkan, akan kubuai gadis kesayangku itu dalam mahligai indah bernama pernikahan. Tidak akan kubuat dia menyesal telah memilihku dan bertahan untuk laki-laki seperti aku. Di saat sebetulnya, banyak yang rela memberikan nama belakangnya untuk dipakai Adzkiya.
Ah, aku baru saja berangan-angan lagi, ya? Maaf, kekasihku itu memang selalu membuatku ingin merancang masa depan yang indah bersamanya.
Suara kapten pesawat yang aku tumpangi menarikku kembali pada kenyataan. Saat aku mengalihkan tatapan ke jendela pesawat, bisa kulihat semburat matahari menembus gumpalan awan. Pagi hari di Melbourne, pesawat yang aku tumpangi siap mendarat. Itu artinya, setelah ini aku hanya perlu mengantre di bagian Imigrasi, sebelum akhirnya menemui kekasihku yang mungkin saja sudah menungguku di terminal kedatangan. Jangan bertanya-tanya kenapa aku tidak perlu mengambil bagasi, sebab aku memang hanya membawa ransel yang bisa kugendong. Aku tidak membawa banyak barang, karena aku bisa membelinya di kota ini. Toh, aku juga tidak akan berlama-lama. Keperluanku disini hanya untuk membawa kekasihku pulang.
Langkah kakiku berderap di lantai bandara yang dingin. Tubuhku meliuk-liuk di antara ramainya orang untuk segera keluar. Aku tidak sabar lagi, aku harus segera menangkap sosok kekasihku itu dengan mata kepalaku sendiri.
Dan ya....
Dia ada di sana.
Berdiri tenang di antara beberapa orang lain yang juga sedang menunggu.
Matanya langsung menatap sosokku saat kami hanya terhalang pintu kaca yang terbuka otomatis. Senyum teduhnya masih sama seperti tiga tahun lalu. Seolah selama tiga tahun itu tidak ada air mata yang membasahi pipinya. Seolah tiga tahun yang kami lewati susah payah itu tidak meremukkan hatinya. Adzkiya, kekasihku, dia berdiri dengan tegapnya menungguku. Seolah dia tidak pernah kubuat terduduk menangis di lorong John Medical beberapa bulan lalu. Kekasihku, Adzkiyaku, dia masih sama seperti tiga tahun lalu.
Adzkiya masih seperti rumah yang daun pintunya selalu terbuka untuk menyambutku datang. Selaras dengan lengannya yang juga langsung terbuka saat kakiku melangkah mendekat padanya.
Akhirnya, akhirnya, hari ini bisa kurengkuh tubuhnya tanpa rasa bersalah. Akhirnya bisa kuhirup aroma tubuhnya tanpa ketakutan.
War is over.
Tanpa kata-kata, tanpa suara, kami rayakan berakhirnya perang ini.
Aku telah pulang ke pelukan Adzkiya, membawa kemenangan. Akan kurayakan kemenangan ini bersamanya. Semewah-mewahnya, seramai-ramianya. Bisa lewat pelukan yang enggan kulepas. Atau dengan ciuman yang harus dia balas. Terserahlah, dengan apapun caranya, asal dengan Adzkiya, aku suka.
**
“Berarti abis itu, Ayah bawa Bunda pulang?”
Aku mengangguk sembari mengelus surai gadis berusia sepuluh tahun yang berbaring beralaskan lenganku. Lampu kamarnya telah kubuat temaram, selimut telah menutupi kami berdua, dia telah siap untuk tidur. Tapi gadis kecil ini justru memaksaku untuk kembali menceritakan bagaimana kisahku dengan Bundanya bertahun silam itu.
“Iya, setelah itu Ayah bawa Bunda pulang, ke Ayu Laga.”
“Berarti Tante Cia sendirian di Melbourne dong, Yah, waktu itu?”
Lagi-lagi aku mengangguk. “Iya, Tante Cia baru pulang setahun setelahnya.”
Gadis kecil itu melingkarkan lengannya ke leherku. Dia diam selama beberapa saat lantas kemudian kembali berkata pelan, “Makasih ya, Yah, udah jemput Bunda. Makasih udah bawa Bunda pulang. Dan makasih juga udah menikah sama Bunda.”
Usianya baru sepuluh tahun, tapi entah dari mana darah dagingku ini mendapatkan kata-kata seindah itu. Aku sampai tidak bisa membalas kalimat indahnya, sebab bukan aku yang harus dia ucapi terimakasih. Justru bundanya lah yang lebih pantas mendengar kalimat indah itu.
“Elys harusnya ucapin makasih itu ke Bunda. Karena Bunda yang udah sabar nunggu Ayah selesai sama semua masalah Ayah dulu sebelum akhirnya bisa jemput Bunda.”
“Iya, besok Elys bilang makasih ke Bunda ya, Yah.”
Malam makin larut, pelukan Elysia, anakku, juga semakin erat. Aku menepuk-nepuk pelan punggungnya agar gadis cilik yang menuruni mata indah Adzkiya ini cepat tertidur. Walaupun tampaknya dia belum mau pergi ke alam mimpi.
“Yah...”
“Ya, Sayang?”
“Ayah udah pernah cerita tentang Om Jaenan dan Tante Ica, pernah juga tentang Om Raechan dan Tante Aya... Soal Om Kiyo dan Tante El juga pernah... Hari ini, Ayah cerita lagi soal Ayah dan Bunda... Tapi Ayah belum pernah cerita soal Om Wan...”
“Elys mau denger soal cerita Om Wan?”
Samar-samar aku bisa merasakan anggukan Elysia.
“Yaudah, besok kita cerita tentang Om Wan, ya. Sekarang Elys tidur dulu, udah malem.”
“Iya.”
Malam ini, baru pukul sepuluh aku bisa kembali ke kamar. Mendapati istriku sedang mengeringkan rambutnya usai mandi. Gaun tidurnya terasa lembut saat bersentuhan dengan lenganku yang melingkari pinggangnya.
Malam ini, sebelas tahun sejak aku menjemputnya kembali ke Ayu Laga, seluruh tubuhku tetap menginginkannya sebesar hari itu. Adzkiya tetap mendiami rongga dadaku yang terasa penuh olehnya.
Rasanya, bahkan seribu tahun setelah hari ini, aku akan mencintainya sebesar ini. Selalu, selamanya. Ya, selamanya....
Sebab bersama Adzkiya, kata seumur hidup tidak terasa lama.