Narasi Kedua belas
Saera Rachel Minanta
Aroma gurih yang berasal dari sup ayam yang sedang direbus oleh Jema menguar memenuhi dapur. Membuat lapar siapapun yang mencium aromanya.
“Tinggal nunggu lima menit lagi, abis itu beres deh.” Jema tersenyum puas sesaat setelah dia mencicipi masakannya sendiri.
Senyuman di bibir gue juga merekah, senang melihat Jema berekspresi seperti itu, “Main gih, Je, biar Kak Saera yang urus sisa lauknya.”
Jema mengangguk, “Oke, Kak. Aku main dulu, ya!” Lalu dengan semangat dia berlari keluar dari dapur dan hampir bertabrakan dengan Mikaelo yang hendak masuk ke dapur, “Hehehe sorry, Bang.” ucapnya sembari memberikan pelukan singkat untuk Mikaelo.
Suasana dapur yang tadinya hangat langsung berubah menjadi sedikit canggung saat Mikaelo memilih untuk tetap berada di sini setelah meneguk sebotol air dari kulkas.
“Butuh bantuan, gak?” tanyanya pelan sembari berjalan mendekat, “Motong-motong apa gitu misalnya?”
Gue menatapnya sekilas sebelum berkata, “Gak usah, El. Udah beres kok nih tinggal goreng lauknya aja.”
“Oh, oke.” Dia mengangguk kemudian duduk di kursi makan.
Suasana kembali hening sebelum terdengar sebuah teriakan yang mencairkan suasana, “SUMPAH YA, RAYHAN, KALAU LO CURANG LAGI, GUE BAKAL PATAHIN TANGAN LO!” Teriakan frustasi itu membuat gue dan Mikaelo tertawa terbahak-bahak. Mereka berada jauh di halaman belakang, tapi suara nyaring Reky bisa sampai ke telinga kami yang sedang berada di dapur.
“ABANG IH BANG! GAK BOLEH PAKE TANGAN IH ASTAGA ABANG IH YA TUHAN! PAKE. KAKI. BANG. JEMA!!!!” Suara lain menyusul, sama nyaringnya dengan teriakan Reky. Gue yakin itu adalah suara Azriel yang jengah karena kakak kandungnya itu tidak kunjung mengerti peraturan permainan.
“Untung vila sebelah itu punya eyang, kalau enggak, udah dilabrak tetangga sebelah nih kita, hahahaha.” Suara tawa Mikaelo yang renyah membuat suasana dapur menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi kecanggungan yang tadi sempat gue rasakan.
“Hubungan lo sama adik-adik lo udah membaik kan, El?”
“Hm?” Mikaelo berusaha menghentikan tawanya, “Iya, udah kok. Makasih ya, Ra. Aku sempet takut mereka gak mau maafin aku.”
Gue ikut duduk di sebelahnya setelah mematikan kompor, “Ya gak mungkin lah mereka begitu, mereka sayang banget kok sama lo.”
“Aku lega dengernya. Kalau kamu sendiri..... kamu gak ngerasa aneh temenan sama aku, Ra?” Mikaelo bertanya dengan ragu-ragu, bahkan ada jeda yang cukup lama sampai dia bisa melanjutkan kalimatnya.
“Hmm, sedikit?” jawab gue, membuatnya memasang wajah kecewa. “Wajar gak sih, El, kalau gue ngerasa canggung? Hahahaha. Tapi ya, yaudahlah, mau gimana lagi. Lagian gue juga gak bisa jauh dari adik-adik lo, dan itu artinya gue juga gak akan bisa jauh-jauh dari lo, kalian kan sepaket. Jadi supaya sama-sama enak, kita temenan aja. Tanpa harus mikirin apa yang udah kita lewatin, biar gak canggung. Iya, gak?”
Wajah kecewanya berubah menjadi senyuman tipis, “Iya, Ra. Yang penting kamu nyaman.”
Atensi kami teralih saat suara berisik yang berasal dari langkah kaki adik-adik Mikaelo mendekat ke arah dapur. Langkah kaki itu disusul suara yang saling bersahutan, “UDAH AH GAK MAU MAIN LAGI GUE!” ucap Rayhan menggerutu, melepas sepatu dan melemparkannya sembarangan.
“Dih, lo yang curang kok lo yang ngambek sih, Bang?” balas Chandra.
“Tau nih, aneh lo.” Jayden juga tidak tinggal diam, tangan kekarnya mendorong pelan kepala Rayhan yang membuat anak itu semakin menggerutu.
“Udah, udah, makan aja sini yuk.” Gue berusaha menengahi, kembali berdiri untuk mendekat ke kompor dimana sup buatan Jema berada.
“Mangkuknya ada di rak atas itu ya, Kak.” Jema mengingatkan dan hanya gue balas dengan anggukan.
Tangan gue terulur untuk membuka rak itu namun gue terkejut karena tiba-tiba sebuah tangan menyentuh kening gue dengan lembut, bermaksud melindungi kening gue dari pintu rak yang terbuka, “Awas kening kamu, Ra.” Gue bisa merasakan tubuh Mikaelo tepat berada di belakang gue, membuat gue bisa mencium aroma parfum yang dipakainya.
Gue terdiam, masih terkejut karena tindakan Mikaelo yang begitu tiba-tiba.
“Biar aku bantu.” ucapnya lagi sembari menurunkan beberapa mangkuk dari dalam rak.
“Hati-hati ya nuangin supnya, masih panas.” dia berkata sembari mengelus rambut gue pelan, lalu dia menjauh untuk bergabung ke meja makan bersama adik-adiknya.
Tiba-tiba gue ragu, apakah pilihan gue untuk berteman dengan Mikaelo adalah hal yang tepat.