Narasi Kesebelas
Mikaelo Rian Davis
Satu-satunya hal yang paling gue takutkan ketika bertemu kembali dengan Saera adalah perasaan untuk menarik tangannya dan membawa dia ke dalam dekapan gue. Susah payah gue menahan diri, hingga gue harus menginjak sebelah kaki gue dengan sebelah kaki yang lain agar kaki-kaki bodoh ini tidak berjalan mendekat ke arahnya.
Saera duduk di hadapan gue, kami hanya terhalang sebuah meja berwarna cokelat muda yang berukuran kecil, tapi rasanya dia berada jauh sekali. Mulutnya yang terkunci rapat hingga matanya yang terus menghindari tatapan gue membuat dia tampak jauh untuk gue gapai.
Bahkan dia tidak mengatakan apapun ketika gue meletakkan dua choco pie kesukaannya di atas meja.
Gue berdehem pelan, mencoba menarik perhatiannya yang tidak kunjung bersuara. Tapi Saera tetap diam, seolah dia memaksa gue untuk berkata lebih dulu.
Lalu gue mengalah, meletakkan kedua tangan gue di atas meja dan menatap lurus ke arahnya, “Katanya ngajak ketemu, tapi kok sekarang kamu diem aja, Ra?”
“Kemarin Jema nemuin gue, dia cerita semuanya.” Akhirnya Saera menatap gue, meskipun tanpa ekspresi apapun di wajahnya, “Dari cerita Jema, adik-adik lo cuma tau masalah kita dari sisi gue karena Rayhan dapet ceritanya dari Kak Rheina, kenapa lo sendiri gak jelasin apapun ke mereka, El?”
Gue tersenyum simpul sebelum menjawab, “Penjelasan apapun dari aku gak akan membenarkan kelakuanku, Ra.”
Saera berdiri, mengambil tasnya dari kursi lalu menatap gue lagi, “Yaudah kalau gitu, gue balik, lo juga gak keliatan tertarik untuk ngejelasin apapun ke gue.”
Gue terperanjat mendengar perkatannya lalu buru-buru menahan tangan Saera, “Maaf, Ra, maaf, jangan pergi dulu. Aku bakal jelasin semuanya, tolong duduk dulu, ya?”
Dia mengindahkan permintaan gue dan kembali duduk.
Gue menghela nafas lega karena berhasil menahan Saera untuk tinggal lebih lama. Tadi, gue begitu ketakutan jika dia benar-benar pergi dari sini, karena sepertinya dia akan langsung menghilang dan sulit untuk ditemui seperti kemarin.
“Di sini, pertama kali kita ketemu kan?” Gue membuka penjelasan, membuatnya menaruh atensi pada gue, “Hari itu aku ngerasa deja vu, Ra. Ada seorang perempuan yang pesan choco pie di jam satu pagi, aku seperti melihat Keith hidup lagi, karena selama ini, cuma Keith yang ngelakuin hal itu.”
Saera diam, seakan memberi waktu untuk gue terus bicara.
“Saat itu, yang aku pikirkan cuma, ah kalau aja Keith hidup lagi, I will treat her better. Aku gak akan biarin dia nyetir sendiri, aku gak akan biarin dia lupa pakai seat belt, aku akan selalu nyetir hati-hati kalau lagi sama dia, aku akan—”
Gue terdiam mendapati ada setetes air mata yang turun ke pipi Saera. “Ra, kamu gak papa?” Tangan gue terulur bermaksud menghapus air mata itu namun dia menepisnya, “Go on, El. Lanjutin.” perintahnya.
Hati gue terasa perih melihat Saera yang menghapus air mata dengan tangannya sendiri. Gue membenci diri gue sendiri karena gue menjadi alasan jatuhnya air mata itu.
“Lanjutin, El.”
Dengan berat hati gue kembali berbicara, “Tanpa sadar, semua hal yang ingin aku lakukan ke Keith justru aku lakukan ke kamu. Aku minta maaf, Ra, aku emang sebajingan itu. Tapi hidup dengan rasa bersalah itu gak enak, aku hanya ingin setidaknya beban rasa bersalahku itu berkurang. Maaf udah bikin kamu yang gak tau apa-apa soal aku dan Keith jadi korbannya. Aku bener-bener nyesel, Ra.”
Ketika menyelesaikan penjelasan, gue sudah bersiap kalau-kalau Saera akan menampar gue lagi, atau setidaknya menyiram gue dengan air mineral yang ada di hadapannya. Tapi kenyataan yang gue dapati justru Saera tidak banyak bereaksi, dia hanya mengangguk dan berkata, “Makasih udah jujur dan gak berusaha terlihat baik, El.”
“Selama tiga tahun, gue ngerasain semua kasih sayang yang lo kasih ke gue dan gue nikmatin itu semua. Jadi mungkin rasa sakit yang gue rasain sekarang adalah harga yang harus gue bayar untuk semua kebahagiaan yang udah gue dapet.” Dia melanjutkan, “Dan semoga rasa bersalah lo ke Keith berangsur menghilang ya, El. Supaya gak ada lagi perempuan yang akan bernasib sama seperti gue.”
Ada hening yang panjang setelah itu. Hanya terdengar suara kendaraan yang mengaung di jalanan.
“Ah iya, nanti gue bantu jelasin ke adik-adik lo soal ini, supaya mereka juga ngerti posisi lo gimana.”
Dia beranjak berdiri dan mengambil tasnya lagi, “We had some good times, didn't we?“
Gue tersenyum menatapnya, mengerti apa arti kalimatnya itu.
“Be happy, Saera.“
“Hm, be happy, Mikaelo.“
Lalu langkahnya menjauh, menyisakan penyesalan yang begitu menumpuk di dada gue.
Tapi gue tidak bisa berbuat banyak, menahannya disini hanya akan membuatnya semakin terluka.
Saat punggungnya tidak lagi nampak di pandangan gue, gue mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang,
“Halo. Iya, dia udah keluar ya, Pak. Tolong dianter ke rumah dengan selamat, ya? Makasih, Pak.”
Gue menghubungi seorang supir taxi yang sudah gue pesan sejak tadi. Karena gue tahu benar, kalaupun gue menawarkan diri untuk mengantarkan Saera pulang, dia tidak akan menerimanya.
Jadi lebih baik seperti ini, membiarkan dia pulang dengan taxi dan gue akan mengikutinya dari belakang untuk memastikan dia sampai di rumah dengan selamat.