Narasi Ketujuh
Saera Rachel Minanta
“Gue buka ya penutup matanya.”
Gue mengangguk mengiyakan dan sekarang gue dapat merasakan tangan Kak Tian membuka sapu tangan yang sejak beberapa menit lalu menutup mata gue, gue mengedip beberapa kali untuk menyesuaikan pandangan.
Ada senyum yang terulas saat pemandangan di bawah sana terlihat jelas tertangkap oleh indera penglihatan gue. Cantiknya lampu-lampu kota yang berpadu dengan cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung tinggi nampak begitu cantik dari atas sini.
“Nah teriak deh lo disini.”
Kak Tian membawa tubuhnya untuk berdiri di sebelah gue, menumpukan tangannya pada dinding pembatas yang hanya setinggi pinggang kami, “Teriak aja, kayak gini, AAAAAAAAAAAAAAAA.” Teriakannya menggema, membelah malam yang semakin larut.
“Ayo, Sae, teriak aja. Biar beban lo lepas.” Dia mengalihkan tatapannya ke arah gue, menunggu respon.
Tapi alih-alih memberinya respon atau berteriak sesuai kemauannya, gue justru membalas tatapannya. Kak Tian, seseorang yang baru gue temui beberapa minggu lalu. Bukan pertemuan yang bertujuan untuk sebuah pertemanan, karena gue tidak pernah membayangkan gue akan menjadi sedekat ini dengannya.
Tapi pada akhirnya, justru dialah yang menjadi seseorang yang akhirnya mendengar semua cerita gue tentang Mikaelo, tentang semua rasa sakit yang Mikaelo berikan pada gue.
Hingga dia memutuskan untuk membawa gue kesini, ke sebuah bukit kecil, untuk menghibur kesedihan gue.
“Malah liatin gue, teriak bego!” ucapnya sembari memberikan toyoran kecil di kepala gue.
“Iya-iya, sabar!” Gue kembali menatap ke arah lampu-lampu di bawah sana, menarik nafas panjang dan memejamkan mata lalu berteriak, “SIALAN LO MIKAELO, BANGSAT LO YA!”
Kak Tian tertawa puas, bahkan dia sampai menepuk-nepuk pahanya sendiri, “Buset anjir, kenceng juga teriakan lo. Sekarang duduk, yuk, Bu, duduk, emosi banget kayaknya.”
Kami beruda berakhir duduk di salah satu sisi bukit, Kak Tian melepaskan kemejanya untuk digunakan sebagai alas kami duduk.
“Kenapa lo gak bilang ke gue sih, Kak, soal kecelakaan itu? Kalau lo bilang kan gue bisa tau lebih cepet.”
Kak Tian menghembuskan nafasnya pelan sebelum menjawab, “Awalnya gue mau ngasih tau lo, tapi gue pikir-pikir lagi, kayaknya terlalu lancang kalau gue sampe ikut campur masalah Mikaelo. Gue kan bukan siapa-siapanya.”
Jawabannya membuat gue teringat tentang senyuman aneh Kak Tian saat gue bilang alasan kepulangan Mikaelo. Ternyata alasan di balik senyuman itu adalah karena Kak Tian mengetahui alasan Mikaelo sebenernya. Hanya saja, dia tidak bisa memberi tahu gue kebenarannya.
“Iya juga ya, Kak. Yaudah lah sekarang semuanya udah kebongkar.” putus gue akhirnya.
“Terus keputusan lo buat adik-adiknya Mikaelo gimana, Sae?” tanya Kak Tian lagi.
“Belum tau, gue sayang banget sama adik-adiknya Kael. Tapi kalau gue keep in contact sama mereka, gue takut gak bisa move on dari Mikaelo, karena to be honest gue sesayang itu sama dia, Kak.”
“Yaudah lo pikirin dulu aja mana yang baik buat lo, kalau butuh apa-apa cerita sama gue aja.”
Hanya anggukan yang bisa gue berikan pada Kak Tian, tapi gue gak berhenti mengucapkan terimakasih untuknya dari dalam hati gue.