Narasi Kesepuluh

Author's Pov

Hembusan angin malam menerbangkan rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai oleh Saera. Gadis itu mengeratkan sweater hijau pastel yang dikenakannya, udara malam ini cukup dingin, terlebih karena saat ini dia sedang duduk di ayunan besi yang berada di depan rumah Rheina.

Kepalanya menengadah, menatap awan hitam di atas sana. Tidak ada bulan atau bintang yang menerangi malamnya. Dia terkekeh pelan, menyadari bahwa awan hitam itu mirip dengan dirinya. Kelam, kesepian, tanpa ada Mikaelo dan keenam adiknya.

“Gue kangen sama kalian.” bisiknya begitu pelan, hingga hanya dia dan dirinya sendiri yang mampu mendengarnya.

Saera menghembuskan nafas panjang, berusaha mengusir gelombang pedih yang kembali datang. Dia tidak boleh kalah lagi, dia sudah berperang dengan kesedihannya selama beberapa hari ini.

“Kak Saera.”

Suara itu datang dari belakang, membuat Saera segera menolehkan kepalanya. Didapatinya Jema berdiri disana, menatapnya dengan wajah lelah yang kentara.

“Kak Saera.” Panggil Jema sekali lagi, membuat Saera berdiri dan berjalan ke arahnya, “Kamu kok di sini?”

Jema tidak langsung menjawab, membuat Saera melayangkan pertanyaan lain, “Kamu cari Kak Rheina, ya? Sebentar, Kak Saera panggilin dulu.”

Saera sudah hampir berjalan untuk masuk ke rumah saat tangan Jema menahan tubuhnya, “Aku cari Kak Saera.”

“Bang Kael jahat ya, Kak?” lanjut Jema.

“Jema, kita ngobrol di dalem ya. Kamu—–”

Tapi Jema tidak ingin repot-repot masuk ke dalam, dia ingin segera mengungkapkan perasaannya, “Kenapa Kak Saera gak cerita ke kita? Kenapa Kak Saera diem aja selama ini? Kenapa Kak Saera gak biarin kita nemuin Kakak? Kenapa, Kak?”

“Kak Saera butuh waktu, Je.” jawab Saera pada akhirnya, “Bahkan Kak Saera juga masih bingung harus gimana.”

Saera menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk mata, “Kak Saera sayang sama kalian, tapi Kak Saera juga belum sanggup buat ketemu kalian lagi.”

Jema menggertakan gigi, menahan rasa marah kepada kakaknya sendiri karena telah membuat Saera seperti ini, “Kalau Bang Kael bukan abang kita, mungkin sekarang dia udah masuk rumah sakit karena dikeroyok enam orang, Kak.”

Lalu Jema berjalan maju, menghapus jarak di antara tubuhnya dan tubuh Saera. Tangan Jema terulur, membawa tubuh Saera masuk ke dalam rengkuhannya. “Kak Saera jangan kemana-mana lagi, ya? Kak Saera punya kita.”

Tangisan Saera pecah. Tangisan yang sudah dia tahan berhari-hari. Tangisan yang bahkan tidak dia tunjukkan pada Rheina dan Tian.

Malam ini dia kalah, luka yang dia coba tutup itu ternyata masih menganga.