Narasi Kesembilan
Author's Pov
Derap langkah Rayhan menggema di ruang tamu yang kosong, hentakan kakinya menandakan kemarahan yang sudah dia tahan sejak tadi.
“Mikaelo! Keluar lo!”
Teriakan itu menggema ke seisi rumah, membuat semua saudara laki-laki Rayhan keluar dari kamar mereka masing-masing. Termasuk Mikaelo, orang yang paling Rayhan cari keberadannya.
Tanpa basa-basi, Rayhan berjalan mendekat ke arah Mikaelo. Tangannya dia kepalkan dengan kuat, lalu dengan kekuatan penuh dia hantamkan ke arah pipi kanan kakak kandungnya itu. Tidak hanya sekali, hantaman itu mengenai wajah Mikaelo berkali-kali hingga membuatnya tersungkur ke lantai.
“Rayhan!” Semua orang menjerit, berlari ke arah keduanya dan berusaha menahan Rayhan agar tidak melayangkan pukulannya lagi.
“PENGECUT LO! MENTAL BOCAH! KAK SAERA GAK TAU APA-APA, ANJING.”, maki Rayhan kepada Mikaelo yang membuat saudaranya yang lain menatap mereka bingung. “KALAU MAU NEBUS KESALAHAN, LAKUIN SENDIRI! JANGAN LIBATIN ORANG LAIN YANG GAK TAU APA-APA!”
Rayhan belum selesai, dia masih terus berusaha melepaskan diri dari rengkuhan tubuh Jayden yang lebih kuat darinya, “LEPASIN GUE, JAY! ABANG LO ITU PANTES BUAT DIPUKUL SAMPE BABAK BELUR!”
“Ray, tenang, gak gini caranya.” jawab Jayden sambil terus menahan tubuh saudara kembarnya itu.
“Lepasin aja Rayhan, bener kata dia, gue emang pantes dipukul.” Mikaelo berbicara pelan sambil mengusap sudut bibirnya yang robek.
“Gak, bang. Kita ngobrol baik-baik. Jay, bawa Rayhan duduk, tapi jangan biarin dia berulah lagi.” tutur Reky, berusaha menjadi penengah perkelahian dua saudaranya.
Suasana ruang tamu menjadi sedikit tegang saat tidak ada seorang pun dari mereka yang mulai bicara. Azriel hanya berani melirik kakak-kakaknya dengan takut. Chandra juga diam. Dan Jema, dia hanya duduk diam, dia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Karena tidak kunjung ada yang berbicara bahkan seteleh sekian menit terlewat, Reky berdeham pelan kemudian berkata, “Ray, jelasin ada apa, kenapa lo tiba-tiba mukul Bang Kael kayak tadi?”
“Abang lo itu, dia manfaatin Kak Saera untuk nebus kesalahan yang dia buat waktu dia sekolah di Marinist. Semua perhatian yang dia kasih ke Kak Saera, semua rasa sayang yang selalu dia tunjukin ke Kak Saera, semua hal yang selalu buat kita kagum sama cara dia memperlakukan Kak Saera, semuanya itu palsu. Dia cuma pura-pura. Dia cuma lagi berusaha nebus rasa bersalahnya.” Rayhan berbicara dengan marah, memberi tekanan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya. Dan matanya tidak pernah berhenti menatap Mikaelo dengan tatapan kebencian.
Semua tatapan kini terarah kepada Rayhan dan Mikaelo bergantian. Kening mereka semua berkerut, menandakan ketidakmengertian, “Kesalahan waktu di Marinist? Kesalahan apa?” tanya Jayden mewakili yang lainnya.
“Dia pernah suka sama cewek di sana, dan sangking sukanya sama cewek itu, dia bahkan ngebiarin cewek itu nyetir mobil di saat mereka sama-sama belum legal. Dan lo tau, cewek itu nabrakin mobilnya ke pembatas jalan yang akhirnya bikin cewek itu meninggal.”
“Yatuhan.” Helaan nafas kaget terdengar di sana-sini ketika mereka mendengar penjelasaan Rayhan. Reky dan Jema bahkan harus memijit pelipis mereka karena merasakan denyutan yang kuat di kepala mereka.
“Gue tau itu bukan kesalahan Bang Kael sepenuhnya, itu murni kelalaian dari anak di bawah umur yang pemikirannya belum dewasa. Gue juga tau Bang Kael udah melakukan tanggung jawabnya sebelum balik ke Indonesia. Tapi yang gak pernah bisa gue ngertiin adalah, kenapa lo harus pake Kak Saera untuk nebus semua kesalahan lo, Bang?” Kali ini suara Rayhan tidak sekeras dan selantang sebelumnya, sekarang suaranya terdengar lirih dan frustasi. “Kak Saera gak tau apa-apa. Bahkan sekarang gue ngebenci diri gue sendiri karena sempet punya pikiran busuk kalau kalian putus karena dia selingkuh.”
“Bang, itu semua salah, kan? Bang Kael gak mungkin kayak gitu ke Kak Saera, kan, Bang?” Azriel akhirnya bersuara, dia berlutut di depan kakak tertuanya yang sejak tadi hanya duduk diam. “Bang Kael, Bang Rayhan bohong, kan, Bang?” tanyanya sekali lagi karena tidak kunjung menerima jawaban.
“Liat, kan? Abang lo itu pengecut, dia bahkan gak bisa jawab pertanyaan lo, Jiel.” Rayhan berdiri, beranjak ke kamarnya. Namun sebelum itu dia menatap Mikaelo sekali lagi dan berkata, “Malu gue punya abang kayak lo.”
Chandra mengikuti jejak Rayhan, dia juga ikut bangkit dari duduknya, “Rapih banget ya lo nyembunyiin ini semua dari kita selama ini.” Kakinya melangkah menuju kamar, namun sebelum dia menginjak anak tangga pertama, dia menolehkan wajah untuk menatap Kakaknya, “Ah....sekarang gue tau, malem itu lo gak khawatir sama Kak Saera waktu tau kita kecelakaan, lo cuma takut rasa bersalah lo bertambah besar. Iya, kan, Bang? Cih, bahkan lo gak pantes buat nonjok gue malam itu.”
Berselang beberapa detik, Reky, Jayden dan Azriel juga ikut meinggalkan Mikaelo yang masih terdiam di ruang tamu. Mereka pergi tanpa mengatakan apapun.
Yang tersisa hanyalah Jema, yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah katapun.
Mikaelo mendongak, menyadari masih ada satu orang adiknya yang masih berada di sisinya. “Lo gak mau maki gue juga, Je?” tanyanya.
“Gue mau cari Kak Saera aja, gue gak punya waktu buat ngehakimin lo, Bang.”
Dan akhirnya Jema juga pergi dari sana, keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya.
“Kak Saera, aku harus cari kakak kemana?” lirihnya pelan sembari menghentak-hentakkan bagian belakang kepalanya ke sandaran kursi pengemudi.
Sedangkan di sisi lain, Mikaelo semakin menundukkan kepalanya. Ucapan Jema menusuk hatinya jauh lebih dalam dari pada ucapan saudaranya yang lain.
“Mencari Saera.”
Seharusnya dia yang melakukan itu.