Narasi Ketigabelas
Author's Pov
Mikaelo tersenyum puas sesaat setelah dia selesai mempersiapkan mobilnya untuk menyambut Saera. Suhu yang diatur tidak terlalu dingin, sandaran kursi yang sudah disesuaikan dengan kemiringan yang akan membuat Saera nyaman, hingga tidak lupa untuk menyemprotkan sedikit parfum miliknya yang menjadi kesukaan Saera.
Mikaelo merespon dengan begitu cepat ketika sosok yang ditunggu-tunggu keluar dari pintu lobby apartemen. Dia segera keluar dari mobil dan berlari ke sisi penumpang, melambaikan tangannya ke arah Saera.
“Gue deg-degan, takut nabrak.” keluh Saera sambil memperlihatkan wajahnya yang tampak seperti seseorang yang akan mengikuti ujian nasional.
Mikaelo terkekeh, merasa gemas. Lalu dia mencubit sebelah pipi Saera dengan pelan, “Gak usah takut, ada aku.”
“Yuk, berangkat.“ Mikaelo membuka pintu mobil, mempersilahkan Saera untuk masuk. “Awas kepala kamu, hati-hati.” Tidak lupa, dia meletakkan tangannya di atas kepala Saera, memastikan bahwa kepala gadisnya itu tidak akan mengenai bagian pintu mobil.
Diperjalanan Saera tidak banyak bicara, begitu pun dengan Mikaelo. Mereka hanya diam menikmati alunan lagu yang mengisi keheningan di antara mereka.
Lalu Saera tersadar akan sesuatu, lagu yang sejak tadi dia dengarkan bukanlah lagu-lagu kesukaan Mikaelo, “Loh, El, sejak kapan lo suka K-pop?”
Mikaelo menolehkan wajahnya sekilas lalu kembali fokus pada jalanan, “Semenjak kita putus.”
“Hah?”
“Iya, mobil ini kerasa kosong semenjak kita putus. Gak ada suara kamu, gak ada barang-barang kamu, gak ada bau parfum kamu. Jadi aku mulai dengerin lagu-lagu kesukaan kamu untuk ngisi kekosongan itu.”
Jawaban Mikaelo terlalu lugas, membuat Saera kebingungan untuk menimpali. Dan Mikaelo mengerti, dia mengalihkan topik itu dengan pertanyaan lain, “Kata Jema, direct message kamu penuh ya sekarang? Cie, balik lagi jadi primadona kampus.”
“Hahaha enggak kok, Jema berlebihan aja itu.”
“Halah, dari kamu jadi maba juga banyak kan yang deketin. Ada tuh dulu saingan aku, kak siapa tuh, Ra? Yang suka datengin kamu ke kelas buat ngasih nasi uduk.”
“Hahahaha inget aja lo, El. Gue aja udah lupa namanya.”
Mereka tertawa bersama, melupakan keheningan yang sekali lagi sempat menyapa mereka. Tapi kepekaan Mikaelo terhadap orang lain sangat bisa diandalkan, karena sekarang, Saera sudah terlihat jauh lebih nyaman dan tenang.
Tawa mereka baru berhenti saat ada sebuah telfon masuk ke ponsel Mikaelo, “Telfon tuh.”
“Ambilin dong tolong.” Mikaelo membuka kakinya lebih lebar, membuat kaki kirinya lebih dekat kepada Saera. “Ini, di saku celana.” katanya lagi.
Saera diam sebentar, menimbang-nimbang apakah dia harus menolong Mikaelo. Dia memang sudah sering melakukannya, saat dulu masih bersama dengan Mikaelo sebagai kekasihnya, tapi sekarang status mereka sudah berbeda. Ada keraguan yang kentara dalam gerakan tangan Saera yang begitu lambat.
Mikaelo melirik tingkah malu-malu Saera dari unjung mata. Bibirnya melengkung, tersenyum penuh kemenangan. Lalu sedetik kemudian dia tertawa lagi, “Hahahah bercanda, gemes banget sih, Ra.”
Mikaelo melepaskan sebelah tangannya dari setir mobil dan mengambil ponsel itu dari sakunya. Namun bukannya mengangkat panggilan dari si penelepon, Mikaelo justru meletakkan ponsel miliknya di atas paha Saera, “Tolong liatin itu telfon dari siapa. Aku lagi nyetir, takut bahaya.”
Saera mengangguk, melihat ke layar dan mendapati nama Alina di sana. “Alina.” bisiknya pelan.
“Oh, angkat aja, Ra. Loudspeaker.”
Sekali lagi Saera menurut, mengangkat panggilan itu dan menekan mode loudspeaker.
“Halo, Mike?” sapa seorang gadis di seberang sana, suaranya begitu ceria dan bersemangat.
“Hai, Al? Ada apa?” jawab Mikaelo santai, masih fokus pada ramainya jalanan di depan sana.
“Lo hari ini dateng kan?” tanya gadis itu.
“Ah gue gak bisa dateng deh, Lin, kayaknya. Gue mau pergi sama Saera.”
“Oh, yaudah hehehe, kirain lo bakal dateng. Oke deh, see you kapan-kapan ya, Mike!”
Mikaelo tidak memberi jawaban apa-apa, hingga telefon itu ditutup dengan sendirinya.
“Itu tadi Alin, anak temen bisnisnya Papa. Hari ini orang tuanya ngadain makan malam, ulang tahun pernikahan. Papa sama Mama diundang.” Mikaelo menjelaskan bahkan sebelum Saera bertanya.
“Lo dateng aja gak enak sama—” Belum sampai Saera menyelesaikan kalimatnya, Mikaelo sudah mengerti akan kemana arah pembicaraannya, “Gak enak sama siapa? Dari awal Papa emang mau ngajak Chandra sama Jiel, kok.”
Saera bernafas lega, dia paling tidak mau mengganggu urusan bisnis Om Davis, “Oh hehehe, ya udah.”
“Kayaknya lo juga balik jadi primadona di antara anak-anaknya rekan bisnis Om Davis, ya?” goda Saera membuat Mikaelo tersenyum miring, “Tapi mereka gak punya kesempatan.” jawab Mikaelo.
“Gak ada ruang buat mereka, Ra.” tegas Mikaelo sekali lagi sembari memberi elusan lembut pada rambut Saera.