petrichorslines

tes

Saera Rachel Minanta

Sinar matahari mencorong menembus jendela kaca, menerpa mata yang baru saja gue buka dengan susah payah. Gue berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.

Gue diam sebentar, merasakan perih dari beberapa sisi di wajah gue. Gue merabanya pelan, mendapati sebuah perban menempel di kening gue.

Ah, gue teringat tentang kecelakaan kemarin. Sebenarnya bukan kecelakaan besar, hanya Chandra yang terlalu bersemangat menginjak gas mobilnya hingga menabrak dinding tinggi yang menjadi pembatas lapangan parkir.

Gue hendak meraih ponsel di meja nakas saat menyadari ada sebuah tangan kekar yang mengenggam telapak tangan kanan gue.

Mikaelo, dia tertidur dengan posisi terduduk. Terlihat sangat tidak nyaman. Punggungnya terbungkuk karena dia harus meletakkan kepalanya di sisi kasur. Lalu sebelah tangannya dia gunakan untuk penyangga kepala, sedangkan sebelah tangannya yang lain dia gunakan untuk mengenggam tangan gue.

Gue melepaskan genggaman itu untuk bergerak mengelus rambutnya. Memberikan pijatan kecil di area belakang lehernya dengan sangat pelan. Sayangnya, Mikaelo masih saja terbangun karena gerakan itu.

“Saera.” Suaranya terderak begitu berat dan serak, suara yang hanya dia miliki ketika baru saja bangun. Dia langsung menegakkan posisi tubuhnya, meraih tangan gue lagi untuk dia genggam.

Matanya menatap gue khawatir, sebelah tangannya menangkup sisi wajah gue, memberikan usapan beberapa kali di sana, “Apa yang sakit, Sayang? Kepala kamu masih sakit?” tanyanya dengan nada khawatir yang begitu kentara.

“Enggak, cuma perih aja lukanya.” Gue menambahkan senyuman di akhir kalimat, berusaha menghapus raut wajah khawatir yang masih terlukis jelas di wajahnya.

“Chandra sama Reky dimana? Mereka baik-baik aja, kan?”

Mikaelo tampak diam sebentar sebelum menjawab, “Mereka di rumah, gak luka sama sekali.”

Glad to know that, jangan terlalu kasar waktu negur mereka, ya? Itu juga salah aku, aku yang paling dewasa di antara mereka waktu itu, seharusnya aku bisa larang mereka buat gak coba-coba.”

Mikaelo hanya mengangguk sebagai jawabannya, “Kamu mau makan apa? Aku beliin ke depan, ya? Atau mau order aja?”

“Enggak.” Gue tersenyum lagi, menatap matanya dalam-dalam. “Sini naik, aku mau dipeluk aja.”

Mikaelo tidak langsung bergerak, dia masih saja menatap gue dalam diam. Entah apa yang dia pikirkan, tatapannya terlalu sulit untuk gue artikan.

Lalu gue menepuk-nepuk sisi kasur yang kosong, “Hei, sini, kok malah bengong.”

Dan akhirnya dia tersenyum dan mengangguk, melepas sepatunya kemudian naik ke atas kasur. Membawa gue ke dalam pelukannya yang selalu hangat.

Cukup seperti ini, gue hanya butuh ini.

Untuk mengabaikan luka perih dan rasa pusing yang gue sembunyikan,

untuk menyingkirkan banyaknya pertanyaan tentang dia dan makan malam dengan keluarga Redirgo,

dan untuk menghapus rasa penasaran kenapa dia tidak mau mengemudi di jalanan Singapore.

Saera Rachel Minanta

Sinar hangat, kicauan burung-burung hingga hembusan angin yang menabrak rambut gue lembut, menyapa gue yang baru saja keluar dari sebuah taxi. Berjalan dengan riang memasuki pekarangan sebuah rumah yang didominasi oleh warna cream dan putih.

Aroma roti panggang langsung tercium dari arah dapur, mengikuti aromnya, gue masuk lebih dalam ke area rumah, hingga menemukan Tante Sasi yang sedang sibuk menuangkan susu cokelat ke dalam beberapa gelas. Senyumnya langung merekah saat menyadari kehadiran gue. Dia berjalan mendekat hingga tubuh gue masuk ke dalam dekapannya, “Tante senang sekali kamu sudah kembali sehat, Nak.” ucapnya lembut.

Setelah sedikit berbasa-basi, gue langsung naik ke lantai dua. Masih dengan perasaan riang, gue membuka sebuah pintu dengan ukiran nama Mikaelo Rian Davis di sisi atasnya.

Berbeda dengan aroma di lantai satu tadi, aroma di ruangan ini didominasi oleh bau parfum khas seoarang anak laki-laki. Kamar ini juga dipenuhi oleh suara dengkurang yang berasal dari pemilik kamar.

Gue tersenyum simpul, menatap kamar yang pernah beberapa kali gue masuki. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali gue datang. Lalu gue berjalan ke arah jendela, bermaksud membuka tirai, namun perhatian gue justru jatuh pada sebuah buku yang tergeletak di lantai.

Gue mengambil buku itu dan hendak meletakkannya di meja, namun sebuah foto terjatuh dari sana. Foto seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan yang Mikaelo miliki saat dia bersekolah di Marinist dulu.

“Cantik.” bisik gue pelan, masih menatap foto itu dengan perasaan kagum.

Selang beberapa detik, gue langsung tersadar kalau tindakan gue ini sudah cukup lancang. Dengan buru-buru gue membuka buku itu untuk mengembalikan fotonya ke tempat semula.

Namun sayang, yang gue temukan justru foto lain dari gadis itu.

Rasa penasaran menguasai diri gue, hingga akhirnya tangan lancang gue membuka buku itu dari lembar pertama.

I met a girl who likes to eat choco pie at 1 am, like you.

She doesn't has your face, but her smile as pretty as yours.

I talked to her until 4 am, talking about life, and it felt like i'm talking to you.

Do you send her to me, Keith?.”

Kalimat itu ditulis oleh tangan Mikaelo sendiri, gue meyakini itu.

Tangan gue gemetar, memberanikan diri untuk membuka lembar berikutnya. Terus-menerus, hingga sampai pada lembar terakhir yang sepertinya Mikaelo tulis semalam.

Tahun baru nanti akan jadi tahun ke-3 untuk aku dan Saera.

Tapi aku masih belum bisa menebus rasa bersalahku terhadap kamu. Butuh berapa lama, Keith? Butuh berapa lama lagi?

Aku ingin mencintainya tanpa bayang-bayang kamu lagi.

Tolong aku, Keith. Aku takut. Ada seseorang dari Marinist yang sepertinya tahu masa lalu aku, aku takut dia menceritakannya pada Saera. Aku takut dia bilang pada Saera soal aku dan kamu.

Aku takut Saera tahu tentang kecelakaan yang merenggut nyawa kamu. Aku takut Saera tahu kalau aku pulang ke Indonesia karena lari dari trauma. Aku takut. Tolong aku.

Buku sialan itu terjatuh dari tangan gue, menimbulkan suara yang cukup keras untuk sekedar membangunkan Mikaelo.

Namun yang tertangkap oleh pendengaran gue hanyalah dengungan yang panjang, dengungan yang menyiksa, dengungan yang menyakiti hingga rasanya gue ingin berteriak.

Pandangan gue membaur, tertutup air mata yang menumpuk di pelupuk mata.

Kenangan tentang Mikaelo terputar seperti sebuah film di kepala gue. Pertemuan pertama kami, pelukan pertama kami, ciuman pertama kami, semua hal-hal menyenangkan yang kami lakukan.

Lalu kumpulan cerita indah itu tergantikan dengan beberapa keping cerita kabur yang nampak jelas sekarang.

Tentang alasan Mikaelo melarang gue belajar mengemudi, tentang dia yang begitu panik saat mendengar gue kecelakaan, tentang dia yang selalu melarang Chandra mengemudi, tentang dia yang tiba-tiba kembali ke Indonesia, tentang senyuman Kak Tian saat mendengar gue menceritakan alasan kepulangan Mikaelo.

Semua adegan itu terputar hingga membuat kepala gue pusing.

“Saera! Saera!” Goncangan pada tubuh gue menyadarkan gue yang hampir jatuh terduduk karena rasa pusing yang menyerang. Samar-samar gue dapat melihat Mikaelo yang menahan tubuh gue dengan kedua tangannya.

“Aku gak punya tenaga untuk nampar kamu sekarang.” bisik gue begitu pelan, namun gue yakin dia masih bisa mendengarnya. “Biarin aku pulang, kita ngobrol nanti. Aku gak mau bikin gaduh di rumah kamu sepagi ini.”

Namun, meskipun mendengarnya, Mikaelo tidak kunjung melepaskan pegangannya. Dia justru memaksa gue untuk menatap matanya dan berkata, “Gak, Ra. Aku gak akan biarin kamu pulang dalam keadaan kayak gini. Liat aku.“ 

Dan gue memutuskan untuk menatap matanya, mata yang selama ini gue yakini selalu menatap gue dengan penuh cinta. Tapi sekarang, mata itu tampak begitu menjijikkan untuk gue tatap.

“Aku bisa jelasin, Ra. Buku itu—–” Ucapan Mikaelo tidak selesai, karena tamparan keras mendarat lebih dulu di pipi kanannya.

“Buku itu udah jelasin semuanya, El. Setiap detailnya udah kamu tulis disana.”

Dia diam, membiarkan gue terus bicara.

“Seharusnya dari awal aku tau, El. Cinta yang kamu kasih ke aku itu gak wajar. Cinta yang kamu kasih itu terlalu sempurna.” Kalimat yang gue ucapkan gue barusan membuat pegangan tangannya mengendur. “Tapi alasan dibaliknya ngebuat semuanya cacat, cinta yang kamu kasih ke aku ternyata cuma cinta yang cacat.”

Seperti orang bodoh, gue menampar pipi gue sendiri, “Seharusnya aku sadar lebih cepat, seharusnya aku sadar kalau rasa panik kamu liat aku kecelakaan itu bukan karena kamu takut kehilangan aku sebagai pacar kamu, tapi kamu takut kehilangan OBJEK PENEBUSAN DOSA KAMU!”

Mikaelo terus diam, sekarang pegangan tangannya pada tubuh gue sudah terlepas sepenuhnya.

“Tiga tahun, El! Nyaris tiga tahun! Selama itu kamu buat aku jadi boneka kamu! Aku harap kamu puas. Dan makasih buat semuanya.”

Mikaelo tetap diam, bahkan ketika gue keluar dari kamarnya.

Saera Rachel Minanta

Sinar hangat, kicauan burung-burung hingga hembusan angin yang menabrak rambut gue lembut, menyapa gue yang baru saja keluar dari sebuah taxi. Berjalan dengan riang memasuki pekarangan sebuah rumah yang didominasi oleh warna cream dan putih.

Aroma roti panggang langsung tercium dari arah dapur, mengikuti aromnya, gue masuk lebih dalam ke area rumah, hingga menemukan Tante Sasi yang sedang sibuk menuangkan susu cokelat ke dalam beberapa gelas. Senyumnya langung merekah saat menyadari kehadiran gue. Dia berjalan mendekat hingga tubuh gue masuk ke dalam dekapannya, “Tante senang sekali kamu sudah kembali sehat, Nak.” ucapnya lembut.

Setelah sedikit berbasa-basi, gue langsung naik ke lantai dua. Masih dengan perasaan riang, gue membuka sebuah pintu dengan ukiran nama Mikaelo Rian Davis di sisi atasnya.

Berbeda dengan aroma di lantai satu tadi, aroma di ruangan ini didominasi oleh bau parfum khas seoarang anak laki-laki. Kamar ini juga dipenuhi oleh suara dengkurang yang berasal dari pemilik kamar.

Gue tersenyum simpul, menatap kamar yang pernah beberapa kali gue masuki. Tidak banyak yang berubah sejak terakhir kali gue datang. Lalu gue berjalan ke arah jendela, bermaksud membuka tirai, namun perhatian gue justru jatuh pada sebuah buku yang tergeletak di lantai.

Gue mengambil buku itu dan hendak meletakkannya di meja, namun sebuah foto terjatuh dari sana. Foto seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan yang Mikaelo miliki saat dia bersekolah di Marinist dulu.

“Cantik.” bisik gue pelan, masih menatap foto itu dengan perasaan kagum.

Selang beberapa detik, gue langsung tersadar kalau tindakan gue ini sudah cukup lancang. Dengan buru-buru gue membuka buku itu untuk mengembalikan fotonya ke tempat semula.

Namun sayang, yang gue temukan justru foto lain dari gadis itu.

Rasa penasaran menguasai diri gue, hingga akhirnya tangan lancang gue membuka buku itu dari lembar pertama.

I met a girl who likes to eat choco pie at 1 am, like you.

She doesn't has your face, but her smile as pretty as yours.

I talked to her until 4 am, talking about life, and it felt like i'm talking to you.

Do you send her to me, Keith?.

Kalimat itu ditulis oleh tangan Mikaelo sendiri, gue meyakini itu.

Tangan gue gemetar, memberanikan diri untuk membuka lembar berikutnya. Terus-menerus, hingga sampai pada lembar terakhir yang sepertinya Mikaelo tulis semalam.

*Tahun baru nanti akan jadi tahun ke-3 untuk aku dan Saera. *

Tapi aku masih belum bisa menebus rasa bersalahku terhadap kamu. Butuh berapa lama, Keith? Butuh berapa lama lagi?

Aku ingin mencintainya tanpa bayang-bayang kamu lagi.

*Tolong aku, Keith. Aku takut. Ada seseorang dari Marinist yang sepertinya tahu masa lalu aku, aku takut dia menceritakannya pada Saera. Aku takut dia bilang pada Saera soal aku dan kamu.

Aku takut Saera tahu tentang kecelakaan yang merenggut nyawa kamu. Aku takut Saera tahu kalau aku pulang ke Indonesia karena lari dari trauma. Aku takut. Tolong aku.*

Buku sialan itu terjatuh dari tangan gue, menimbulkan suara yang cukup keras untuk sekedar membangunkan Mikaelo.

Namun yang tertangkap oleh pendengaran gue hanyalah dengungan yang panjang, dengungan yang menyiksa, dengungan yang menyakiti hingga rasanya gue ingin berteriak.

Pandangan gue membaur, tertutup air mata yang menumpuk di pelupuk mata.

Kenangan tentang Mikaelo terputar seperti sebuah film di kepala gue. Pertemuan pertama kami, pelukan pertama kami, ciuman pertama kami, semua hal-hal menyenangkan yang kami lakukan.

Lalu kumpulan cerita indah itu tergantikan dengan beberapa keping cerita kabur yang nampak jelas sekarang.

Tentang alasan Mikaelo melarang gue belajar mengemudi, tentang dia yang begitu panik saat mendengar gue kecelakaan, tentang dia yang selalu melarang Chandra mengemudi, tentang dia yang tiba-tiba kembali ke Indonesia, tentang senyuman Kak Tian saat mendengar gue menceritakan alasan kepulangan Mikaelo.

Semua adegan itu terputar hingga membuat kepala gue pusing.

“Saera! Saera!” Goncangan pada tubuh gue menyadarkan gue yang hampir jatuh terduduk karena rasa pusing yang menyerang. Samar-samar gue dapat melihat Mikaelo yang menahan tubuh gue dengan kedua tangannya.

“Aku gak punya tenaga untuk nampar kamu sekarang.” bisik gue begitu pelan, namun gue yakin dia masih bisa mendengarnya. “Biarin aku pulang, kita ngobrol nanti. Aku gak mau bikin gaduh di rumah kamu sepagi ini.”

Namun, meskipun mendengarnya, Mikaelo tidak kunjung melepaskan pegangannya. Dia justru memaksa gue untuk menatap matanya dan berkata, “Gak, Ra. Aku gak akan biarin kamu pulang dalam keadaan kayak gini. Liat aku.“ 

Dan gue memutuskan untuk menatap matanya, mata yang selama ini gue yakini selalu menatap gue dengan penuh cinta. Tapi sekarang, mata itu tampak begitu menjijikkan untuk gue tatap.

“Aku bisa jelasin, Ra. Buku itu—–” Ucapan Mikaelo tidak selesai, karena tamparan keras mendarat lebih dulu di pipi kanannya.

“Buku itu udah jelasin semuanya, El. Setiap detailnya udah kamu tulis disana.”

Dia diam, membiarkan gue terus bicara.

“Seharusnya dari awal aku tau, El. Cinta yang kamu kasih ke aku itu gak wajar. Cinta yang kamu kasih itu terlalu sempurna.” Kalimat yang gue ucapkan gue barusan membuat pegangan tangannya mengendur. “Tapi alasan dibaliknya ngebuat semuanya cacat, cinta yang kamu kasih ke aku ternyata cuma cinta yang cacat.”

Seperti orang bodoh, gue menampar pipi gue sendiri, “Seharusnya aku sadar lebih cepat, seharusnya aku sadar kalau rasa panik kamu liat aku kecelakaan itu bukan karena kamu takut kehilangan aku sebagai pacar kamu, tapi kamu takut kehilangan OBJEK PENEBUSAN DOSA KAMU!”

Mikaelo terus diam, sekarang pegangan tangannya pada tubuh gue sudah terlepas sepenuhnya.

“Tiga tahun, El! Nyaris tiga tahun! Selama itu kamu buat aku jadi boneka kamu! Aku harap kamu puas. Dan makasih buat semuanya.”

Mikaelo tetap diam, bahkan ketika gue keluar dari kamarnya.

Mikaelo Rian Davis

Perasaan khawatir dan pikiran yang berkecamuk membuat jantung gue berdetak lebih cepat dari biasanya. Rasanya saat ini gue ingin sekali memaki semua kendaraan yang berjejal di jalanan, gue ingin memaki mereka karena tidak memberikan gue celah untuk lebih cepat sampai di rumah sakit tempat Saera sedang dirawat.

Setelah sekian menit terlewat, samar-samar gue melihat sebuah gedung tinggi yang gue yakini sebagai John Medical. Tanpa banyak berpikir gue langsung membuka pintu mobil dan menatap Jema dan Rayhan sekilas, “Gue turun disini aja, gue mending lari ke rumah sakit itu dari pada duduk dan ngerasa hampir gila disini.” Dan tanpa menunggu jawaban dari keduanya, gue langsung keluar dari mobil dan berlari ke arah rumah sakit.

Keringat mulai menetes di pelipis gue seiring semakin kencangnya langkah kaki gue yang ambil. Gue bahkan tidak memperdulikan tatapan aneh dari orang-orang.

Setibanya di ruang IGD, gue langsung menanyakan keberadaan Saera kepada seorang suster dan dia mengarahkan gue ke sebuah ranjang yang tertutup tirai berwarna biru muda.

Tangan gue gemetar, jantung gue berdetak jauh lebih cepat, dan gue juga merasakan keringat mengalir semakin banyak di pelipis gue.

Dengan sekali gerakan, tirai itu akhirnya terbuka dan menampakkan Saera yang tengah berbaring di ranjang dengan keadaan terlelap. Di dahinya terdapat perban, ada beberapa luka di wajahnya, dan gue juga bisa melihat infus terpasang di tangan kirinya.

Pandangan gue teralih kepada dua adik gue yang sedang duduk di sebelah ranjang Saera dengan raut wajah yang ketakutan. Terlebih Chandra, gue bisa melihat wajahnya pucat dan tubuhnya sedikit gemetar.

“Lo!” hardik gue kasar, berjalan mendekat pada Chandra namun terhalang tubuh Reky yang langsung berdiri di depan adiknya itu, “Jangan sekarang, Bang. Fokus ke Kak Saera dulu aja.” bisiknya pelan.

“SHIT!”

Gue membuang nafas kasar, mengusap wajah gue sendiri dengan kedua tangan. Gue terlalu frustasi untuk berfikir jernih. Keadaan Saera membuat amarah gue memuncak ketika menatap Chandra, tapi gue juga sangat bersyukur ketika melihat keadaan adik gue itu baik-baik saja dan tidak terluka.

Dan akhirnya gue mengalah, menepis amarah gue dan membuangnya jauh-jauh. Gue hanya akan fokus pada keadaan Saera untuk saat ini. Keadaannya jauh lebih penting dari apapun. “Saera, Sayang, aku disini.”

“Saera, maaf, maafin aku.” Gue terus berbisik di telinganya, sembari mengenggam sebelah tangan Saera yang terasa dingin.

Reky mendekat pada gue, menyentuh bahu gue dengan takut-takut, “Kak Saera gak papa kok, Bang. Tadi udah dirontgen juga, dan gak ada luka yang serius. Kata Dokter, Kak Saera cuma shock aja. Luka di dahinya karena ada benturan kena dashboard, tadi kita lupa nyuruh Kak Saera untuk pakai seatbeltnya lagi, maaf, Bang.”

Ada nada ketakutan yang kental di suaranya, gue tahu benar, kedua adik gue itu sedang menahan rasa takut yang teramat sangat saat ini. Tapi gue juga sama dengan mereka, gue juga merasakan ketakutan yang luar biasa ketika mengetahui keadaan Saera.

“Kenapa bisa gini sih, Re?”, tanya gue pelan, terdengar begitu frustasi.

“Tadi karena parkirannya sepi, Chandra mau coba nyetir, Bang. Dan karena kayaknya gak bakal bahaya, jadi gue izinin, gue gak tau kalau kejadiannya bakal kayak gini.”

Gue menunduk semakin dalam saat mendengar penjelasan Reky. Amarah yang sudah gue buang jauh-jauh kembali menguasai diri gue, hingga akhirnya gue berdiri, berjalan cepat ke arah Chandra dan mendaratkan satu pukulan kencang di wajahnya.

“ABANG UDAH BILANG GAK USAH MAKSA NYETIR DULU, CHANDRA!” Teriakan gue begitu kencang memenuhi ruang IGD John Medical yang saat itu sedang begitu tenang.

Gue sudah hampir menarik kerah baju Chandra lagi saat Papa datang dan menahan tubuh gue, “Mikaelo!”

“Bawa Chandra keluar.” titah Papa pada Jema dan Rayhan yang datang bersamanya. Dan mereka bertiga langsung keluar dari ruangan ini.

“Biar Papa yang bicara sama adikmu, Nak. Kamu tenang dulu, Saera sedang butuh kamu, ya?”

Elusan tangan Papa di bahu gue berangsur-angsur membuat perasaan gue membaik. Berkali-kali gue menghembuskan nafas panjang untuk berusaha menghilangkan amarah yang tersisa.

Saera Rachel Minanta

Helaan nafas terdengar sekali lagi sebelum tangan gue terangkat untuk mengetuk pintu sebuah ruangan yang gue yakini sebagai ruangan milik Head Marketing dari sebuah perusahaan yang akan menjadi objek penelitian untuk skripsi gue.

Tok. Tok. Tok.

Hanya tiga ketukan yang gue butuhkam untuk mendapat sahutan ramah dari dalam ruangan. Dengan perlahan gue membuka pintu ruangan dan mendapati seorang pria yang menatap gue sambil tersenyum dari balik komputer kerjanya.

“Hei, masuk, masuk! Saera, ya?” tanyanya antusias sembari bangkit dari kursi kerja dan berpindah ke sebuah sofa yang terletak di pojok ruangan.

Dengan sopan gue menunduk dan tersenyum ke arahnya kemudian berjalan masuk dan ikut duduk di sofa yang bersebrangan dengan Head Marketing Redirgo Group, yang gue ketahui namanya sebagai Tiandanu Redirgo Amidjaya.

Aroma musk bercampur dengan manisnya aroma vanila yang tercium dari ruangan ini memanjakan indera penciuman gue.

“Sebelum kita ngobrol, gue boleh protes dulu gak? Gue geli banget waktu baca chat lo, aduh, jangan panggil gue bapak ya, Sae? Gue masih muda njir.” dan santainya aura yang terpancar dari seorang Tiandanu membuat diri gue tenang, karena akhirnya gue tahu, kalau gue akan berurusan dengan seseorang sesantai dia.

Obrolan kami mengalir begitu saja, membahas tentang apa-apa saja yang gue butuhkan dari Redirgo Group hingga apa-apa saja yang dapat dia berikan kepada gue untuk membantu terselesaikannya skripsi gue nanti.

Lalu obrolan kami teralih membahas hal-hal lain yang berkaitan dengan diri kami masing-masing. Tiandanu, atau sekarang gue bisa memanggilnya dengan sebutan Kak Tian, dengan semangat menceritakan bagaimana dulu dia merasa kesulitan saat menggarap tugas akhirnya.

“Jadi nanti, kalau lo ada kesulitan tanya-tanya gue aja, santai.” Dia menutup kalimatnya dengan senyuman yang masih sama sejak dia menyapa gue tadi. “Eh btw, gue baru tau Om Davis punya anak perempuan.”

“Gue bukan bagian dari keluarga Davis, Kak.”

Dahi Kak Tian mengerut, kebingungan. Lalu dia menatap gue dengan tatapan menuntut penjelasan yang lebih jelas.

“Gue temen deket anak pertamanya Om Davis.” perjelas gue pada akhirnya. Dia diam sebentar, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia dapatkan. “Oh pantesan Mikaelo yang hubungin gue langsung, gue kira lo adiknya, tapi ternyata pacarnya, ya? Hahahaha.”

Gue hanya memberinya senyuman sebagai jawaban. Perkataan Kak Tian membuat perasaan gue menghangat sekali lagi. Mengingat bagaimana baiknya Mikaelo yang mau repot-repot membantu skripsi gue di saat skripsinya sendiripun belum dimulai.

“Ngomong-ngomong, Kak Tian kenal dekat sama Kael?”

“Hmmm.” Kak Tian menyeret bola matanya ke sudut kanan atas, tampak berfikir untuk menjawab pertanyaan sederhana yang gue berikan padanya. “Kenalnya sih ya pas si Kael hubungin gue kemarin, tapi gue tau dia dari pas kita sama-sama di Marinist. Ayah gue bilang ada anak temennya yang mau masuk Marinist, tapi belum sampe gue kenalan sama dia, eh gue keburu lulus, jadi ya sekedar tau aja.”

“Jadi belum sampek kenal deket gitu ya, Kak?”

“Belum.” Kak Tian tersenyum simpul, “Pas gue kuliah dan dia masuk SMA, gue pernah coba cari dia lagi, tapi ternyata dia udah balik ke Indonesia.”

“Ah, iya, dia pernah cerita katanya gak kuat nahan homesick makanya balik ke Indonesia sebelum sekolahnya selesai. Dan akhirnya lanjut SMA disini, Kak.”

Ada yang berubah dari senyum Kak Tian saat mendengar ucapan gue, tapi senyumannya terlalu misterius hingga sulit bagi gue untuk mengartikan senyumannya.

Saera Rachel Minanta

Gue berulang kali mengecek jam tangan dan ponsel secara bergantian. Mencoba mencari tahu sudah berapa lama gue terduduk di water closet di salah satu bilik toilet kampus. Sekarang sudah pukul enam sore, artinya sudah sekitar empat puluh lima menit gue berada di sini.

Ponsel gue bergetar sekali lagi, menandakan ada panggilan masuk yang entah sudah ke berapa kali. Nama Jema tertera di layar, tapi gue terlalu malu untuk menjawab panggilan itu.

Noda merah di bagian belakang dress putih ini membuat gue terlalu malu untuk bertemu dengan adik kekasih gue itu. Mungkin dia tidak akan mengolok-olok, tapi naluri gue sebagai perempuan tetap mengambil alih sebagian besar pikiran gue.

Hingga akhirnya gue memutuskan untuk tetap diam disini dan menunggu Mikaelo selesai meeting dengan papanya. Mungkin satu atau dua jam lagi, batin gue dalam hati.

Jam terus berjalan, kini panggilan dari Jema telah berhenti datang. Mungkin saja dia sudah pulang karena gue tidak kunjung membalas pesan ataupun nenjawab panggilan darinya. Gue akan meminta maaf padanya nanti, meminta maaf karena telah membuatnya menunggu tanpa kabar.

Gue terus menunggu dalam keheningan dan sedikit rasa takut. Bohong kalau gue tidak takut berada di toilet sendirian pada jam-jam seperti ini. Tapi gue juga tidak cukup berani untuk keluar dari toilet karena gue tahu, masih ada beberapa mahasiswa yang lalu-lalang di kampus bahkan hingga malam.

Sebuah pesan muncul di layar ponsel gue, membuat gue sedikit tersenyum karena itu berasal dari Mikaelo. Seperti biasa, Mikaelo dengan segala kepekaan dan kelembutannya. Dia bisa diandalkan.

Sekian menit terlewat hingga akhirnya gue mendengar suara pintu bilik toilet diketuk, lalu disusul suara lembut yang menenangkan. “Sayang, Saera, ini aku.”

Dengan perasaan lega, gue buru-buru membuka pintu itu dan mendapatinya berdiri dengan beberapa tas belanja di tangannya. Dia tersenyum kepada gue seraya tangannya menyerahkan barang-barang itu. “Pake gih, aku tunggu di luar ya.” Dia mengecup kening gue sekilas kemudian keluar dari toilet.

“Lucunya pacar aku pake hoodie pink.” Sapaan dari Mikaelo menyambut gue saat baru saja keluar dari toilet setelah berganti pakaian. Dia mendekat kemudian merengkuh tubuh gue ke dalam pelukannya, “Kamu pasti takut ya tadi sendirian disana. Maaf ya aku lupa hari ini tanggal bulanan kamu.”

Ada perasaan hangat yang menjalar di dada gue ketika mendengar perkataan Mikaelo, bagaimana dia meminta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahannya.

“Enggak, El. Bukan salah kamu, aku sendiri aja lupa kalau hari ini tanggal bulanan aku. Justru aku yang makasih sama kamu, makasih buat ini semua.”

Dia mengelus punggung gue sebagai jawaban, lalu sekali lagi dia mengecup kening gue dengan lembut. “Yaudah, sekarang kita main yuk? Biar kamu gak bete. Mau kemana?”

Dan dengan senyum yang mengembang, Mikaelo menggandeng tangan gue untuk membawa gue ke tempat-tempat menyenangkan bersamanya.

test

Mikaelo Rian Davis

Awan mendung menaungi bumi di sebuah pagi yang tenang. Diiringi semilir angin yang berhembus membawa udara sejuk yang menenangkan. Seolah mereka sedang merengkuh jiwa-jiwa yang lelah usai bekerja keras selama sepekan.

Gue mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang belum terlalu ramai. Diiringi sebuah lagu romansa ciptaan penyanyi favorite yang terputar di radio. Kendaraan beroda empat itu akan mengantarkan gue ke sebuah apartemen.

Gue tersenyum simpul, meyakini bahwa Saera— gadis pemilik apartemen itu— masih tertidur tenang dalam dekapan selimut berwarna cokelat muda kesukaannya. Dia pasti tidak akan menyangka bahwa gue akan datang sepagi ini. Karena semalam gue sudah mengatakan padanya bahwa gue baru akan datang setelah latihan fisik.

Saat gue menginjakkan kaki di apartemennya, keadaan apartemen ini masih begitu sepi. Tidak ada suara lain selain suara yang berasal dari jam yang terpasang di dinding. Perlahan-perlahan gue mendekati sebuah pintu kamar, membukannya dengan begitu hati-hati agar tak membangungkan pemiliknya.

Benar saja, gadis cantik itu masih berada di ranjang. Meringkuk sambil memeluk sebuah boneka teddy bear yang gue belikan untuknya setahun lalu.

Gue bergerak naik ke atas kasur, memeluk tubuhnya untuk membawa dia semakin dekat dengan gue. Mencium aroma tubuhnya yang telah gue rindukan selama enam hari ke belakang.

Sayangnya, gerakan yang sudah gue coba lakukan dengan begitu pelan itu tetap membuatnya terbangun. Dia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Lalu dia tersenyum dan bergumam pelan, “Kael.”.

“Iya sayang, ini aku.”

Gue memeluk tubuhnya lebih erat, menempelkan bibir gue di keningnya untuk memberikan ciuman singkat. Dada gue terasa kosong, lega. Rindu yang gue tahan sejak enam hari lalu itu terobati dengan sempurna sekarang. Para pujangga itu benar, obat dari rasa rindu hanyalah sebuah pertemuan.

“Kamu udah laper? Mau aku masakin sekarang?” Dia bertanya dengan suara seraknya yang masih kentara.

“Gak usah, nanti aja. Aku lagi butuh yang lain sekarang.”

Jawaban gue membuatnya merenggangkan pelukan kami agar dia bisa menatap gue dan mencari tahu apa maksud perkataan gue barusan. Alisnya berkerut seolah dia menuntut penjelasan.

“Butuh apa?” tanyanya sekali lagi karena gue tidak kunjung memberi jawaban atas rasa penasarannya.

Dan alih-alih menjawab, gue justru memposisikan tubuh gue untuk berada di atas tubuhnya. Dia terbelalak kaget, tapi sedetik kemudian dia tersenyum karena mengerti apa yang gue butuhkan darinya. “This early morning, Mikaelo?

Gue tertawa karena pertanyaannya yang terdengar meledek. “Kamu harusnya bersyukur aku bisa nahan selama enam hari, Saera. Aku ulang sekali lagi ya, enam hari.” gue menjawab dengan penekanan di setiap kata yang keluar dari mulut gue.

Sekarang giliran dia yang terkekeh lalu melingkarkan kedua lengannya di leher gue. “Your younger brothers should pay attention to their eldest brother yang dikit-dikit minta......”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena gue lebih dulu membuatnya bungkam dengan cara yang menyenangkan.

Mikaelo Rian Davis

Awan mendung menaungi bumi di sebuah pagi yang tenang. Diiringi semilir angin yang berhembus membawa udara sejuk yang menenangkan. Seolah mereka sedang merengkuh jiwa-jiwa yang lelah usai bekerja keras selama sepekan.

Gue mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang belum terlalu ramai. Diiringi sebuah lagu romansa ciptaan penyanyi favorite yang terputar di radio. Kendaraan beroda empat itu akan mengantarkan gue ke sebuah apartemen.

Gue tersenyum simpul, meyakini bahwa Saera— gadis pemilik apartemen itu— masih tertidur tenang dalam dekapan selimut berwarna cokelat muda kesukaannya. Dia pasti tidak akan menyangka bahwa gue akan datang sepagi ini. Karena semalam gue sudah mengatakan padanya bahwa gue baru akan datang setelah latihan fisik.

Saat gue menginjakkan kaki di apartemennya, keadaan apartemen ini masih begitu sepi. Tidak ada suara lain selain suara yang berasal dari jam yang terpasang di dinding. Perlahan-perlahan gue mendekati sebuah pintu kamar, membukannya dengan begitu hati-hati agar tak membangungkan pemiliknya.

Benar saja, gadis cantik itu masih berada di ranjang. Meringkuk sambil memeluk sebuah boneka teddy bear yang gue belikan untuknya setahun lalu.

Gue bergerak naik ke atas kasur, memeluk tubuhnya untuk membawa dia semakin dekat dengan gue. Mencium aroma tubuhnya yang telah gue rindukan selama enam hari ke belakang.

Sayangnya, gerakan yang sudah gue coba lakukan dengan begitu pelan itu tetap membuatnya terbangun. Dia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Lalu dia tersenyum dan bergumam pelan, “Kael.”.

“Iya sayang, ini aku.”

Gue memeluk tubuhnya lebih erat, menempelkan bibir gue di keningnya untuk memberikan ciuman singkat. Dada gue terasa kosong, lega. Rindu yang gue tahan sejak enam hari lalu itu terobati dengan sempurna sekarang. Para pujangga itu benar, obat dari rasa rindu hanyalah sebuah pertemuan.

“Kamu udah laper? Mau aku masakin sekarang?” Dia bertanya dengan suara seraknya yang masih kentara.

“Gak usah, nanti aja. Aku lagi butuh yang lain sekarang.”

Jawaban gue membuatnya merenggangkan pelukan kami agar dia bisa menatap gue dan mencari tahu apa maksud perkataan gue barusan. Alisnya berkerut seolah dia menuntut penjelasan.

“Butuh apa?” tanya sekali lagi karena gue tidak kunjung memberi jawaban atas rasa penasarannya.

Dan alih-alih menjawab, gue justru memposisikan tubuh gue untuk berada di atas tubuhnya. Dia terbelalak kaget, tapi sedetik kemudian dia tersenyum karena mengerti apa yang gue butuhkan darinya. “This early morning, Mikaelo?

Aku tertawa karena pertanyaannya yang terdengar meledek. “Kamu harusnya bersyukur aku bisa nahan selama enam hari, Saera. Aku ulang sekali lagi ya, enam hari.” gue menjawab dengan penekanan di setiap kata yang keluar dari mulut gue.

Sekarang giliran dia yang terkekeh lalu melingkarkan kedua lengannya di leher gue. “Your younger brothers should pay attention to their eldest brother yang dikit-dikit minta......”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena gue lebih dulu membuatnya bungkam dengan cara yang menyenangkan.