Narasi Keempatbelas
Author's Pov
Sejuknya udara khas perkebunan serta bau tanah basah menyambut segerombolan orang yang baru saja memasuki gerbang perkebunan. Paska mendarat di Bandara tadi, keluarga Davis beserta Saera dan Tian langsung dijemput oleh mobil khusus yang dikirimkan oleh keluarga Saera.
Sorot mata kagum langsung mereka berikan, bahkan Azriel langsung melongokkan kepalanya dari jendela mobil agar bisa menghirup segarnya udara perkebunan secara langsung.
Ketika tiba di depan sebuah rumah yang di berada tengah perkebunan, mereka langsung dipersilahkan untuk turun dari mobil. Sepasang suami istri yang mengenakan pakaian sederhana menyambut mereka, “Selamat datang Tuan dan Nyonya Davis, Bapak dan Ibu ada di dalam, monggo silahkan masuk saja.” Ditemani oleh si pekerja laki-laki, Pak Davis dan istrinya masuk ke dalam rumah.
“Bude!” Saera melompat keluar dari mobil kemudian berlari untuk memberikan pelukan pada perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Bude.
“Non, yaampun tambah ayu pol! Makan apa, Non, di kota? Kulite ini lho, tambah resik!” tanya si Bude— yang bernama Narti— dengan logat jawa yang kental.
“Makan nasi dong, aku gak—”
“Bohong, dia sering makan mie tuh, Bude. Omelin aja!” Sebuah suara menginterupsi jawaban Saera, membuat dua orang yang sedang bercakap-cakap itu menolehkan kepalanya.
Bude Narti tertawa sembari melepaskan pelukan Saera, langkahnya terayun menghampiri Kael yang berdiri tak begitu jauh darinya, “Yaampun, he! Aduhhh! Ini Mas Kael juga kok tambah bagus rupane! Ganteng, Mas, tenanan!”
Enam adik Kael merasa iri, dikerumuninya Bude Narti menuntut pujian yang sama. Mereka berbincang dan terkekeh bersama-sama, meninggalkan seseorang yang hanya menatap mereka dari belakang.
Saera menyadari hal tersebut, didekatinya Tian, kemudian dia memanggil Bude Narti, “Bude, aku bawa temen satu lagi dong. Namanya Kak Tian, orangnya baik tapi makannya banyak!”
Bude Narti baru akan berbicara namun sebuah suara lebih dulu terdengar, “Harus dong makan banyak! Bimbing Saera skripsian ndak akan gampang, iya to, Mas?”
Semua orang menatap ke arah pintu rumah, dimana ada seorang pria gagah berdiri di sana.
“Papa ih!” Saera merajuk, memberengut.
“Hahahaha lumayan, Om.” timpal Tian dengan nada meledek, “Agak ngeyel gitu anaknya.”
“HAHAHAHAHAHA LHO, COCOK INI GUYON SAMA AKU! MARI, MARI, AYO MASUK! HE, KAMU, PACARE ANAKKU, AYO MASUK JUGA, BAWA PASUKANMU!” Ayah Saera berkata dengan begitu semangat, membuat semua yang di sana terkekeh lagi.
Satu-persatu dari mereka masuk, membawa barang-barang pribadi milik mereka masing-masing.
Saera buru-buru menghampiri Mikaelo, menahan tangannya, “Maaf ya, Papa masih ngira lo pacar gue. Nanti gue jelasin kok ke Papa sama Mama.”
Mikaelo tersenyum, tangannya mengelus menepuk bahu Saera, “Gak papa, Ra. Papa kamu mau ngadain pesta, lagi seneng-senengnya, jangan dulu dikasih cerita yang sedih, ya?”
“Tapi, El...”
“Nanti biar aku aja yang ngobrol sama Papa kamu, supaya aku bisa minta maaf juga karena udah pernah nyakitin anak perempuan kesayangannya. Biar kalau Papa kamu mau nonjok aku, bisa sekalian.”
Tangan Mikaelo merambat naik, mengelus sebelah pipi Saera, “Nikmatin waktu kamu di sini sebelum sibuk skripsi, jangan mikirin yang sedih-sedih. I want to see your smile“
“Aduh pacaran aja anak gadis mama! He ayo masuk! Kael, Tante sudah siapin semangka kesukaanmu, ayo masuk!” Kali ini ibu Saera yang berada di ambang pintu, melambai-lambaikan tangannya mengajak Saera dan Mikaelo masuk.
“Iya, Tante.”
“Iya, Ma.”
Ucap mereka bersamaan seirama dengan langkah kaki mereka yang berjalan memasuki rumah.