Narasi Kedelapan
Mikaelo Rian Davis
Sinar matahari yang menembus kaca mobil dan langsung jatuh di area wajah gue membuat pandangan gue menyipit. Tetapi gue tetap berusaha memperhatikan pintu masuk gedung fakultas dimana Saera sedang berada di dalamnya.
Entah sudah berapa lama gue menunggu disini, di area parkir yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Berada di spot paling tepat untuk menunggu Saera.
Hingga akhirnya sosok yang gue tunggu muncul juga, dia tampak sibuk dengan jaket yang baru saja dia keluarkan dari tas. Dia tampak berbeda hari ini, Saera yang gue kenal selalu mengenakan setelan dress selutut dengan rambut yang terurai ketika pergi ke kampus. Tapi Saera yang baru saja keluar dari gedung fakultasnya adalah Saera yang mengenakan celana jeans dan kaos pendek berwarna putih. Rambut hitamnya juga dia ikat satu hingga hanya menyisakan sedikit anak rambut di sekitar dahi.
Baru saja gue akan membuka pintu mobil untuk menemuinya, Saera lebih dulu melambaikan tangannya ke arah seorang pria yang akhir-akhir ini sedang dekat dengan dia. Tiandanu.
Gue tidak patah semangat, tangan gue tetap membuka pintu mobil. Memaksa tubuh gue untuk bergerak dan mendekat ke arah Saera yang sekarang sudah berdiri di sebelah motor yang dikendarai oleh Bang Tian.
“Saera!” panggil gue, menghasilkan tatapan dari keduanya.
Dengan cepat Saera langsung berusaha meraih helm dari tangan Bang Tian, dia tampak buru-buru ingin pergi dari sini dan menghindari gue lagi.
Namun tangan kekar Bang Tian menahan tangannya, “Jangan kayak gini, Sae. Temuin dulu.”
Dan disinilah akhirnya gue dan Saera, duduk di dalam mobil gue dengan kedua jendela yang terbuka.
“Jangan terlalu deket sama Bang Tian.” Gue membuka pembicaraan.
Namun dia hanya terkekeh, sarkastik.
“Kalian baru kenal, kamu gak tau dia orangnya gimana.” gue melanjutkan.
“Gak usah khawatir, gue udah terbiasa deket sama orang yang gak terlalu gue kenal kok. Bahkan ngabisin waktu tiga tahun sama lo aja gak bikin gue kenal sama lo sepenuhnya.” jawab Saera, dengan suara tegas dan tanpa ekspresi di wajahnya.
Dia sama sekali tidak menatap gue, sangat berbeda dengan gue yang sejak tadi menatap lurus kearahnya.
“Sae, adik-adik aku sampek ngira kamu selingkuh sama Bang Tian. Aku gak mau mereka punya pikiran buruk tentang kamu, Sae.”
Sekarang Saera tertawa, lebih kencang dari sebelumnya. Tapi tawa itu adalah tawa yang mengejek. “Bagus dong, mungkin dengan begitu mereka bisa berhenti nyari gue.”
Saera mengalihkan tatapannya, membalas tatapan gue yang belum juga lepas darinya. Kemudian dia berkata lagi, “Gue sama sekali gak masalah sama apa yang dipikirin adik-adik lo soal gue. Kalau lo yang merasa terganggu, silahkan lo jelasin sendiri ke mereka. Jelasin apa alasan sebenarnya kita putus.”
“Sae, aku—–” Belun selesai gue berbicara, dia lebih dulu memotong ucapan gue. “Ah, gue lupa, lo kan gak pernah bisa jujur ya, El? Yaudah gak papa, biarin aja mereka mikir gue yang jadi bajingan disini.”
Sama seperti hari itu, gue membiarkan Saera pergi dengan perasaan dan prasangkanya sendiri. Tanpa berusaha menahannya.
Dan gue juga membiarkan semua penjelasan yang sudah gue rancang selama seminggu terakhir tidak sampai kepadanya.
Sekarang, gue hanya bisa melihatnya berjalan mendekat kepada Bang Tian. Mereka tampak mengobrol sebentar, lalu tangan Bang Rian bergerak untuk memakaikan helm ke kepala Saera dengan lembut. Membukakan footstep untuknya dan juga membantunya naik. Lalu motor itu melenggang meninggalkan kampus dengan dua orang yang berboncengan dan saling bercanda.