Sira's Pov
“The delivery men is quiting his job, ya?”
Sagata tersentak ketika suara serta keberadaan gue muncul secara tiba-tiba di sampingnya yang tengah sibuk memandangi Kota Bandung dari balkon lantai 5 AIM Hotel. Semilir angin menerbangkan rambut bagian depan Sagata yang pagi ini tidak ditata rapi dan diberi pomade seperti hari-hari lain.
“Context?“
“Sarapan gue, bukan lo lagi yang anter.”
“Ahhh, iya, sorry gue ada meeting pagi tadi.”
Gue diam, membiarkan kicau burung mengisi ruang di antara kami. Sebelum beberapa detik kemudian, suara Sagata terdengar lagi, “Is everything okay? Staff hotel ada yang bikin kesalahan lagi gak?”
Gue tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. Otak gue bergerak untuk membuka lembaran-lembaran ingatan yang gue dapatkan selama tiga hari tinggal di tempat ini. Semuanya baik. Selain dari kelalaian mereka di hari pertama gue menginap disini, mereka tidak pernah melakukan kesalahan apapun lagi.
Sarapan yang selalu diantar tepat waktu, kamar yang dirapikan setiap hari, serta pelayan lain yang mereka siapakan khusus untuk menebus kesalahan mereka di awal.
“Malah bengong lagi, jawab.” Sagata menyenggol lengan gue dengan sikunya.
“Iya, baik-baik aja kok semuanya. Tenang aja, reviewnya nanti gue bagus-bagusin.”
Tawa Sagata terdengar, “Thanks, btw....“
Dering ponsel menginterupsi Sagata sehingga dia memberi isyarat pada gue untuk mengangkat panggilan itu lebih dulu.
Tanpa melihat nama yang tertera di layar, gue mendekatkan ponsel pada telinga,
“Kapan kamu pulang? Mau sampai kapan kamu main-main sama kehidupanmu? Berhenti jadi anak tidak berguna.”
Panggilan itu tidak berada dalam speaker mode, tetapi karena gue berdiri cukup dekat dengan Sagata, gue yakin dia bisa mendengarnya.
Bip
Panggilan itu dimatikan secara sepihak, oleh gue tentu saja.
“I'll go back to my room, enjoy your day, Mr. Sagata.”
Gue memutuskan untuk kembali ke kamar karena terlalu memalukan untuk tetap berdiri di sebalah Sagata yang tanpa sengaja mendengar keruhnya hubungan gue dengan orang tua gue.
Tidak, gue sama sekali tidak berusaha untuk membangun image di mana gue adalah seorang puteri cantik yang lahir dari keluarga baik-baik. Gue hanya kurang menyukai perasaan dimana gue merasa dilucuti tentang kehidupannya oleh orang asing, tidak terkecuali oleh Sagata yang sebenarnya juga memiliki masalah yang sama.
“Do you want to go somewhere?“
Namun langkah gue terhenti saat suara Sagata terdengar lagi, tanpa perlu membalikkan badan, gue tahu benar saat ini dia sedang menatap gue dari tempatnya berdiri.
“No, thanks.“
“Anggep aja ini balas budi gue, buat malam itu.”
**
“Lo yakin bisa naik motor?”
Pria setinggi 180cm itu memandangi motor yang telah kami sewa dengan ragu, “Terakhir kali gue bawa motor sih waktu SMA, kayaknya sih masih bisa.”
“Yaudah gue aja yang bawa.”
“Lo bisa?”
“Di bali gue selalu motoran.”
“Yaudah, gih lo yang depan.” jawabnya enteng.
Seharusnya, gue tidak perlu terkejut dengan respon Sagata yang seperti ini, karena impresi gue sejak awal terhadapnya juga tidak begitu baik.
Tapi tetap saja, bukankah seharusnya dia harus sedikit lebih berbasa-basi untuk tetap menawarkan dirinya untuk mengendarai motor sewaan ini?
Dasar cowok gak peka, maki gue dalam hati.
Kami berakhir mengendarai sepeda motor yang telah kami sewa untuk sampai ke puncak salah satu tempat wisata di Kota Bandung, Tebing Keraton. Menurut Sagata, tempat ini sangat cocok untuk keadaan hati gue yang sedang buruk hingga dia memaksa gue untuk datang ke tempat ini bersamanya.
Jaraknya dari AIM Hotel sekitar dua jam perjalanan yang tentu saja diiringi dengan kemacetan. Sedangkan jarak dari area parkir mobil hingga sampai ke puncaknya hanya sepuluh menit. Setelah sampai, Sagata membayar tiket masuk dan menggiring gue untuk berjalan ke area puncak Tebing Keraton. Dari atas sini, gue bisa melihat sisi lain dari Kota Bandung. Bukan gedung-gedung tinggi, namun hijaunya pepohonan yang sangat memanjakan mata. Udaranya terasa sejuk dan bersih. Suasanya juga tenang, tenang sekali.
Tanpa sadar, gue menghembuskan napas panjang. Melonggarkan dada yang sejak tadi sesak. Bukan hanya tadi lebih tepatnya, tapi rasa sesak ini sudah ada sejak lama. Lama sekali.
“Such a beautiful place.”
“I've told you, rugi tadi kalau lo gak mau gue ajak kesini.” ucap Sagata pelan didampingi dengan senyuman sombong tentu saja, “HAAAAHHHHH, life sucks, seharusnya lebih banyak tempat kayak gini untuk hilangin stress.”
“Beautiful place belongs to something beautiful, beautiful memories, not painful,” Mata gue berpendar sekali lagi, “Kasihan banget alam seindah ini kalau cuma jadi penampungan rasa sedih, kecewa apalagi marah.”
Dan gue merasa bersalah karena gue turut menjadikan alam Indonesia yang indah ini sebagai penampungan dan pelarian diri gue dari pahitnya kehidupan.
“Your parents.... Did they do the same to you?“
Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Sagata setelah mungkin dia berusaha menahannya.
“Lo benci gak sih sama orang tua lo atas apa yang udah mereka lakuin ke lo?”
“Gue gak bisa benci sama Mama.” jawab Sagata pelan.
“Lo bisa tapi lo gak mau.”
Dari ekor mata gue bisa melihat Sagata memiringkan tubuhnya untuk sepenuhnya menatap gue.
“Gue pernah baca satu buku, judulnya Loving the Wounded Soul, di buku itu penulisnya bilang, tidak sedikit anak yang berusaha mencintai orang tua mereka karena perasaan bersalah yang ditanamkan oleh masyarakat, norma budaya, dan agama. Lo gak benar-benar mencitai mereka, lo cuma takut dianggap jahat sama semesta kalau lo benci sama mereka.”
“It sad but it's true, hahahaha.”
Tawa Sagata menggema, menyelinap masuk di antara ranting-ranting pohon yang membuat mereka juga bisa merasakan kepedihan dalam tawa itu.
“Btw, pulang dari sini temenin gue ke Gramedia Merdeka ya? Yang di depan BIP.”
“Ngapain?”
“Beli buku yang lo baca itu.”
“Oh, eh tapi boleh gak kita ke Gramedia yang ada di PVJ aja?”
“Kenapa emangnya?”
“Gue pengen makan udon, hehehe”
“Hahahah dasar.”
Siang itu, tawa gue dan Sagata mengalun bersatu. Tanpa ada kepedihan di dalamnya.