Adzkiya dan Nakayesa

Pernikahan adalah sebuah upacara sakral penyatuan dua insan manusia yang berjanji akan sehidup semati. Di depan seorang pendeta atau penghulu, mereka akan mengucapkan ikrar itu. Disaksikan oleh orang-orang terpenting dalam hidup mereka. Rasa-rasanya, mereka yang sudah berani melakukan hal seindah itu hanyalah mereka yang sudah yakin mau menerima baik dan buruknya pasangan mereka. Dan Adzkiya selalu merasa kagum pada mereka semua. Karena pernah dikecewakan dua kali oleh dua orang pria yang sempat dia kira akan mengisi kekosongan hatinya membuatnya ragu kalau dia akan bisa sampai pada keyakinan akan sebuah pernikahan.

Di depannya, Garend dan Vivian baru saja melaksakan janji pernikahan dan rangkaian upacara lainnya. Adzkiya bisa melihat Adetama— Ayah Garend— mengusap ujung matanya. Di sisi kanan pria setengah baya itu, duduk seorang wanita cantik bersanggul jawa yang mengusap-usap bahunya lembut, Klarisa. Dan di sisi kiri Adetama, terdapat sebuah kursi kosong yang Adzkiya yakini sengaja dikosongkan untuk mendiang Rosa— Ibunda Garend yang telah tiada beberapa tahun lalu.

“Buset cakep juga ya istrinya, pantes sih si Garend-Garend itu cinta mati.” Adzkiya hampir lupa akan keberadaan Nakayesa, “Lu gak mau pulang aja, Ki? Masih betah disini?” tanyanya pelan yang diacuhkan oleh Adzkiya.

Setelah semua rangkaian upacara pernikahan selesai, kini saatnya seluruh tamu undangan dipersilahkan untuk memberi ucapan selamat langsung kepada kedua mempelai. Adzkiya, Nakayesa, Lucia, Tendra dan Jonathan langsung berdiri dari duduk mereka untuk mendekat ke arah Garend dan Vivian. Diam-diam, Adzkiya meremas-remas kedua tangannya gugup. Detak jantungnya berpacu liar, memberi dorongan pada dadanya hingga ada sesuatu di sudut-sudut matanya yang mendesak keluar. Dia tidak baik-baik seperti yang coba dia tampilkan. Jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang sekali lagi terasa hancur lebur. Kalau boleh, saat ini dia ingin berlari dari ruangan ini. Mengendarai sepedanya dan pergi ke tempat yang paling dia sukai. Di sana tak akan seramai ini. Di sana, dia bisa menangis sepuasnya tanpa harus menahannya seperti ini. Di sana hanya ada ribuan tumbuhan dandelion, yang tak akan mengadu pada siapapun tentang seberapa keras tangisan Adzkiya.

“Senyum, Ki. Jangan keliatan gugup banget gitu, deh.” Lagi, Nakayesa berucap pelan, menyedot kewarasan Adzkiya untuk kembali ke kenyataan, “Ini lu lagi dateng ke nikahan mantan lu loh. Lu harus keliatan bahagia, biar dia nyesel.”

Benar juga, batin Adzkiya.

“Ki, gua kasih tau ya. Ya iya sih, bininya cakep banget. Tapi lu kaga kalah cakep kok, cuma galak aja kayak singa. Makanya lu senyum dah. Tuh tuh liat tuh, ramah banget kan tuh bininya Garend. Enak diliat.”

“Kok lo jadi ngebanding-bandingin gue sama dia gitu sih?” Sewot Adzkiya.

“Ya bukan gitu maksud gua. Pokoknya, intinya, lu senyum dah. Jangan keliatan sedih. Percuma nih gua ampe minjem jas ke Jakarta buat nemenin lu kalau lunya murung begini.”

“Iya, bawel.”

Masih berada dalam antrian, perasaan Adzkiya mulai membaik karena celotehan Nakayesa yang panjang dan menyebalkan itu. Dia tidak lagi memikirkan kehancuran dalam hatinya. Sekarang, dia hanya memikirkan apa yang harus dia katakan ketika tiba gilirannya nanti untuk berhadapan dengan Garend.

“Gue harus ngomong apa ya, Yes, nanti ke Garend?”

“Hmmm....” Nakayesa menyeret bola matanya ke atas, tampak serius berfikir, “Selamat menempuh hidup baru ya mantan teman tidurku.”

Reflek Adzkiya memukul kencang lengan Nakayesa dan membuatnya mengaduh.

“Ya lagi lu aneh dah nanya gituan. Ya ucapin selamat aja lah standarnya.”

Lalu setelah beberapa menit mengantri, kini giliran Adzkiya yang naik ke pelaminan untuk memberi ucapan selamat. Langkah kakinya meragu saat dia harus mendekat pada Garend setelah lebih dulu mengucapkan selamat pada Vivian. Keraguannya berbanding terbalik dengan respon Garend yang tampak senang melihat kedatangan Adzkiya.

“Gue gak nyangka lo dateng, Ki.” sambut Garend ramah yang dibalas senyuman ragu-ragu oleh Adzkiya.

“Selamat ya, Rend. Akhirnya kalian sampai ke tahap ini juga.” Bibir Adzkiya bergerak begitu saja atas perintah otaknya.

“Makasih, lo cepetan nyusul, ya?”

Kaku, kali ini bibir Adzkiya begitu kaku untuk menjawab ucapan Garend.

Iya, Mbak, saya baru buka cafe di sebelah Kiya Florist. Nanti kapan-kapan mampir, ya? Saya kasih gratis, deh.”

Tapi bibirnya yang kaku itu tetap melengkungkan senyum ketika tanpa sengaja dia mendengar ucapan Nakayesa di belakangnya.

Bisa-bisanya pria itu masih sempat mempromosikan cafenya. Belum lagi panggilan Mbak yang dialamatkannya pada dokter Vivian.

“Iya, Rend. Doain aja gue cepet nyusul.” Jawab Adzkiya pada akhirnya dengan senyuman tulus.