Permintaan Maaf Ala Hanira
Waktu sudah menujukkan pukul sepuluh malam. Hampir seluruh lampu gedung dua tingkat di ujung jalan sudah mati total. Kecuali lampu sebuah ruangan di lantai dua dengan seorang pria di dalamnya. Pria itu menggulung lengan kemejanya sampai siku, melonggarkan dasinya yang sejak tadi menyesakki ruang pernapasannya.
Di depannya terdapat beberapa berkas yang menumpuk, belum lagi layar ponsel yang terus menyala-nyala menandakkan panggilan masuk. Seharian tadi, dia terus mengabaikan panggilan dan pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Rasa kesalnya terhadap si pengirim belum juga reda meskipun sudah terlewat lebih dari 24 jam sejak kejadian.
“You mad at me?“
Suara itu bukan berasal dari sambungan telepon, melainkan terdengar langsung dari sosok yang baru saja membuka pintu ruangan Wintor tanpa mengetuknya lebih dulu.
“Koh Win, you mad at me?” Gadis yang mengenakan kaos pendek berwarna hitam itu mengulang pertanyaannya, “Kamu masih mau diemin aku?”
Wintor tak menggubris pertanyaan ketiga Hanira, iya masih sibuk menandatangani beberapa berkas di depannya.
“Marion gak bakal begini sih ke ceweknya.” Hanira bersuara lagi, kali ini berhasil merebut perhation Wintor sepenuhnya. Laki-laki itu sudah menatap Hanira dengan mata kesalnya.
“Marion, aku yakin kalau cewek e salah, dia gak bakal diemin ceweknya kayak kamu gini.”
“Marion terus.....” cicit Wintor pelan. Kekesalannya bertambah karena gadisnya itu justru terus-terusan menyebut nama itu bahkan setelah Hanir tahu bahwa kemarahan Wintor berasal dari sana.
Wintor sebenarnya tahu, Hanira tidak punya maksud lain atas pujiannya kepada Marion. Wintor juga tahu, perilaku Hanira justru hanya untuk memancing rasa cemburunya. Tapi tetap saja, mendengar Hanira memuji-muji sahabatnya secara langsung seperti itu tetap membuat hati Wintor tidak senang.
“Masih belum mau ngomong sama aku? Yowes aku pulang aja yo....”
“Ojok, Yang.” Wintor menyerah, dia menyerah pada rasa kesalnya, “Disini aja, temenin aku lembur, ya?”
“Emange aku dapet opo kalau nemenin kamu lembur?” meskipun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, tapi Hanira tersenyum lebar dalam hatinya.
“Sini dulu.” Wintor menepuk pahanya.
Hanira menurut, dia melangkahkan kakinya mendekati Wintor dan duduk di atas pangkuannya.
“Kamu.... beneran to mau pacaran sama Marion?”
“Masih bahas itu neh?”
“Ya... itu agak ngeganggu pikiranku lo, Yang. Aku wedi kamu beneran....”
“Kita udah sejauh ini, aku gak bakal macem-macem, Koh.”
“Make me believe, then.”
Hanira tersenyum lembut kemudian dia mengecup bibir Wintor sekilas, “Wes percaya sama aku?”
“Belum.”
Senyum Hanira melebar, ditempelkannya lagi bibirnya, kali ini lebih lama, “Udah?”
“Urong, Han...”
“Halah itu mah pengenmu aja, Koh, Koh.”
“Ya emang.”
Mereka lalu tertawa bersama hingga suara tawa itu lenyap saat Wintor menempelkan bibirnya kepada mili Hanira. Dia tidak hanya menempelkannya, tapi juga melumat dan sesekali menggigit. Tentu saja Hanira membalas ciuman membara itu, tangannya juga sibuk membuka dasi Wintor lalu beralih ke kancing kemeja yang Wintor gunakan. Deru nafas mereka beradu dengan suara kecapan yang cukup menggairahkan bagi telinga mereka masing-masing.
Cukup lama mereka berada pada posisi itu hingga suara pintu terbuka diiringi suara lantang yang menyusulnya,
“KOH, KAMU GAK PULANG TO? KATA PAPA.....”
Si empunya suara terdiam mendapati pemandangan di hadapannya. Kakak kandungnya sedang duduk di atas kursi dengan kekasihnya di atas pangkuannya. Kemeja yang dikenakan sudah acak-acakan dengan tiga kancing atas terbuka menampakkan aera dadanya yang kekar. Sementara gadis yang di pangkuan Kakaknya hanya menatap kedatangannya dengan sebelah alis terangkat dan wajah tenang.
Juan mundur beberapa langkah dan tanpa berkata apa-apa dia menutup kembali pintu ruangan Wintor.
“Hanira, mbok apain Kokohku, Han!!!!!“
Teriakan itu baru terdengar ketika Juan sudah berada di mobilnya.