Third Person's Pov
“Sejak kapan lo suka baca buku?”
“Hah?” Sagata mengalihkan tatapan dari lembaran buku kepada Jaenard yang baru saja meletakkan bokongnya di sofa kosong di sebelahnya, “Iseng doang kok ini.”
“The Courage To Be Disliked... Widih mau belajar hidup bebas lo?” Tanya Jaenard diringi tawa mengejek, “Emang bisa anak yang iya-iya aja kayak lo hidup bebas?”
“Gak support amat jadi temen.”
Kali ini tawa Jaenard lebih kencang lagi, “Bukan gak support, realistis aja, selama ini lo tau apa sih, Ga, selain hidup ngikutin garis yang udah Mama lo bikin?”
Sagata terdiam, tidak sanggup membalas ucapan sahabat karibnya itu.
“Lo kerja keras dari jaman kuliah dulu, nilai lo harus selalu bagus, harus lulus tepat waktu, harus mimpin hotel punya keluarga lo. Lo selalu jadi apa yang Mama lo mau, Ga. Apapun. Semua perintahnya lo ikutin. Itu semua lo lakuin karena menurut lo, dengan begitu, Mama lo bakal sayang sama lo kan?”
Sagata masih diam.
“Terus ngeliat lo baca buku dengan judul kayak gitu.... looks so weird, hahaha.”
Bagi sebagian orang, perkataan Jaenard bisa diartikan sebagai tindakan keji. Tapi bagi Sagata, tidak ada satupun kesalahan dalam ucapan Jaenard. Semuanya benar, terlampau benar sampai dia sendiripun tidak sanggup menyanggahnya. Dibolak-baliknya buku pemberian dari seorang gadis yang saat ini sedang berada di Bali itu. Sagata menimbang-nimbang, masih haruskah dia melanjutkan untuk membaca buku itu?
“Kadang gue kasian liat lo sama Dama. Kalian terlalu kerja keras untuk sesuatu yang seharusnya kalian bisa terima tanpa ngelakuin apa-apa.”
Sagata melirik kepada adiknya, Dama, yang tertidur di sofa panjang yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Adik yang lebih muda tiga tahun darinya itu juga merasakan apa yang dia rasakan. Persis seperti yang Jaenard katakan. Bedanya, Dama tidak menjadi boneka perjanjian bisnis mama mereka. Karena Sagata lebih dulu mengambil semua peran itu. Dia tidak ingin adiknya lebih menderita kalau harus melakukan pertemuan-pertemuan menjijikkan demi keperluan bisnis kotor. Adiknya itu sudah memiliki seorang gadis yang dikencaninya sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Maka dari itu, Sagata berpikir biarlah dia yang bertemu dengan gadis-gadis yang diincar mamanya.
Sagata, laki-laki itu selalu bilang “I have no time for that shit” atau “Gue gak mau lagi dateng ke pertemuan bisnis menjijikkan kaya gitu.”
Namun pada akhirnya, dia akan tetap datang. Karena dia terlalu takut kalau mamanya akan lebih membencinya. Dia takut mamanya akan menganggapnya tidak ada.
Karena di dalam hatinya, dia sedikit bersyukur ibu kandungnya itu masih mengganggap dia sebagai boneka bisnis. Itu sedikit lebih baik, daripada dianggap tidak ada.
Dari tempatnya berdiri, Sira bisa melihat seorang staff untuk pemotretannya hari ini berlarian sambil memanggil namanya. Saat orang itu telah berdiri di dekatnya dan mengatakan sesuatu, kedua tangan Sira mengepal menahan marah. Tidak, dia tidak marah pada orang itu, tapi dia marah pada seseorang yang mengirim orang itu untuk mendatanginya.
“Saya sudah bilang, jangan pernah cari dimana keberadaan saya.” Sira berucap lirih tanpa memandang pria berjas abu-abu gelap yang duduk di hadapannya.
Aroma air laut masih tercium dari tempatnya duduk. Sira juga masih bisa melihat beberapa staff yang menunggunya di pinggir pantai.
“Tidak sopan berkata seperti itu kepada Papi kamu, Sira.”
Sira berdecih, memutar bola matanya malas.
“Pulang, sudah tiga tahun kamu tidak pulang.”
“Pulang dan menjadi alat bisnis Anda lagi? Tidak, terimakasih banyak untuk tawaran menjijikkanya.”
Anuraga— Papi Saera menyesap winenya dengan santai. Dia menatap anak gadisnya yang tidak menatapnya sama sekali, “Di depan mayat Oma kamu, kamu sudah memaafkan saya.”
“Ya... Saya memang sudah memaafkan Anda, tapi saya tidak akan pernah melupakan apa yang telah Anda lakukan.”
Sira berdiri dari duduknya dan mengenakan kembali topi pantainya, “Oma selalu mengajarkan saya untuk menjadi orang baik, bukan bodoh.” Ada jeda sebelum Sira kembali berkata, “Dan kembali ke rumah Anda adalah tindakan bodoh. Oma gak akan suka kalau saya bertindak sebodoh itu.”
Bersamaan dengan angin laut yang berhembus sekali lagi, Sira berlalu dari hadapan ayah kandungnya. Dia kembali ke pantai dengan terburu-buru. Tentu saja diikuti oleh tatapan Anuraga. Sira bisa merasakan tatapan itu, tapi dia berusaha mati-matian untuk mengabaikannya.
Dia terlalu benci fakta bahwa orang yang baru ditemuinya itu adalah seseorang yang ikut serta dalam keajaiban yang membuatnya terlahir di dunia ini. Dia membenci fakta bahwa ada darah orang itu dalam dirinya. Dan dia benci menyadari bahwa bahkan nama belakangnya diambil dari nama lali-laki itu.
Anuraga, Sira sangat membencinya. Itulah kenapa dia lebih senang memperkenalkan diri dengan Sira Adreean saja, tanpa Anuraga.
“Mbak Sira, sudah bisa dimulai lagi? Sunsetnya lagi cantik-cantiknya nih.” Seorang wanita yang menjadi fotografernya hari ini bertanya sopan menyambut kedatangannya.
“Bisa-bisa, saya touch up sebentar ya.” Jawab Sira ramah, seolah tidak terjadi apa-apa, “Oh iya, Mbak Rara, selagi saya touch up boleh tolong fotoin sunsetnya dulu gak? Buat dimasukin ke blog nanti, hehehe.”
“Boleh banget, Mbak.”
Sira tersenyum dan mengangguk lalu berbalik untuk mencari pouch make upnya. Namun tanpa sadar, matanya menatap ke arah dimana Papinya tadi duduk. Dan laki-laki itu sudah tidak berada disana.