Lembaga Pusat Perbantuan

“Ren, itu nanti opening acaranya fix gak akan lebih dari satu jam, kan?”

“Iya, Kay. Gue masih coba konfirmasi nih nanti skrip sambutan ketua jurusannya bakal sepanjang apa, biar bisa dikira-kira.” Iren-Ketua Divisi Acara- menjawab dari ujung meja rapat tanpa menatap Kayana. Fokusnya masih tertaut pada layar laptop yang menampilkan susunan daftar acara.

“Juri untuk tiap lomba gimana? Anak Jepang yang bakal cari sendiri, kan?”

Kali ini Ayunara yang bertugas sebagai salah satu anggota divisi acara “Bunkasai” memberikan lembaran kepada Kayana, “Ini daftar jurinya, Kak. Baru untuk beberapa lomba sih, nanti aku coba minta lagi untuk sisanya.”

“Yaudah nanti kalau udah ada updatetannya tolong kasih ke saya, ya?”

“Siap, Kak.”

“Kay, untuk ukuran partisi gak akan nambah kan? Ini udah harus konfirmasi h-seminggu soalnya.”

Pertanyaan lain terdengar dari sisi kiri Kayana, Akbar—Ketua Divisi Hardware—bertanya dari tempatnya duduk.

“Iya, Bar. Tadi anak exhibitor udah lapor ke gue kok kalau partisi mereka fix di luar aula. Jadi gak akan ganggu yang di dalem, lo confirm aja ukurannya.”

Akbar mengangguk mengerti kemudian kembali fokus dengan rekan satu divisinya. Saat Kayana ingin mengalihkan tatapannya, tanpa sengaja dia mendapati Raechan tengah duduk di salah satu kursi yang berada di ruang sekretariat dan tampak sibuk dengan laptopnya. Hari ini, juniornya itu mengenakan kaus berwarna hitam lengan pendek yang dia masukkan ke dalam celana jeans yang berwarna senada. Rambutnya tertutup topi yang dipakainya secara terbalik. Sejak beberapa hari terakhir, Kayana tidak banyak interkasi dengan Raechan, laki-laki itu tidak banyak menganggunya. Kayana mendengar dari Iren bahwa Raechan diberi tugas untuk mendesign segala jenis poster yang akan dipajang saat acara Bunkasai nanti dan sepertinya tugas yang diterimanya itu cukup membuat Raechan kelimpungan hingga dia tidak memiliki waktu untuk merecoki Kayana. Atau mungkin, Raechan memang sudah mulai bosan saja mengganggunya.

Rasanya menyenangkan, tapi juga aneh bagi Kayana.

“Kay, jam makan siang nih. Break dulu boleh ya?” Suara Akbar menginterupsi Kayana dan membuatnya sedikit terkejut, “Iya, iya, makan sama shalat aja dulu silahkan.”

Hampir semua anggota LPP langsung keluar ruangan, tak terkecuali Iren dan Klarisa yang sempat mengajak Kayana untuk makan siang bersama. Tapi Kayana menolak ajakan keduanya karena lagi-lagi, perhatiannya justru jatuh pada Raechan yang tidak keluar ruangan dan tetap fokus pada layar laptopnya.

Mata Kayana menatap lekat pada Raechan yang nampak mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Rokok. Kayana baru tahu bahwa Raechan merokok. Kemarin, saat mereka berkumpul di studio Jevan, hanya Jaenandra dan Jevan yang merokok di depannya.

“Lo ngerokok juga ternyata.”

“Uhuk...Uhuk...Uhuk....” Raechan tersedak asap rokoknya sendiri karena terkejut mendengar suara Kayana.

“Minum?” Dengan santai, Kayana mengulurkan sebotol air mineral ke hadapan Raechan yang masih berusaha mengatur nafasnya.

“Makasih, Kak, Uhuk...Uhuk... Hmmm... Saya kira udah gak ada siapa-siapa di ruangan ini makanya saya ngerokok.”

“Makanya jangan terlalu fokus sampe gak sadar masih ada manusia di ruangan ini.” Kayana mendudukkan dirinya di kursi sebelah kanan Raechan hingga membuat Raechan buru-buru memindahkan batang rokoknya ke tangan sebelah kiri.

“Ya wajar saya gak sadar... Soalnya Kak Kayana juga bukan manusia sih.”

“Maksudnya?”

“Kak Kayana lebih mirip bidadari dari pada manusia.”

Raechan and his smart mouth.

“Ini lo semua yang design?” Kayana mengalihkan setitik rasa tersipunya dengan menatap ke arah layar laptop Raechan, “Udah jadi berapa poster?”

“Baru tujuh, kurang tiga lagi.” jawab Raechan santai, “Mau buru-buru saya beresin, soalnya anak-anak udah rewel.”

“Anak-anak? Maksudnya divisi design?”

Raechan menghisap rokoknya sebelum menjawab, “Bukan, sahabat-sahabat saya, Kak. Saya udah seminggu kayaknya gak ke studio, terakhir waktu sama Kak Kayana itu lah, jadi mereka udah kangen saya kayaknya.”

Ah, entah kenapa penjelasan Raechan membawa kelegaan yang luar biasa terhadap hati Kayana. Entah lega karena benar ternyata Raechan berhenti merecokinya karena tugasnya ini, Raechan bahkan tidak sempat untuk datang ke studio Jevan. Atau lega karena ternyata di balik sikapnya yang terlihat santai dan “nakal” itu, Raechan memiliki sisi seperti ini, bertanggung jawab atas apa yang memang menjadi tugasnya.

“Kalau kapan-kapan lo kesana lagi, gue boleh ikut gak?”

“Ke studio Jevan?”

“Iya.”

“Ya boleh lah, Kak.”