Sagata's Pov

Dari pada makan malam bersama keluarga terpandang seperti ini, gue jauh lebih menyukai menyantap satu cup mie instan yang bisa gue seduh di ruangan kerja gue. Di sana, gue bisa bebas menaikkan sebelah kaki sambil menonton series di salah satu aplikasi berbayar. Sungguh berbanding terbalik dengan suasana canggung yang tercipta di ruangan pengap dengan hidangan makanan yang tersaji rapi di sebuah meja besar di hadapan gue.

Keluarga Om Satrio— kawan baik Mama— mencoba untuk membawa gue masuk ke dalam obrolan keluarga mereka sebelum akhirnya mempersilahkan gue dan seorang gadis— yang menawarkan dirinya untuk datang ke acara tidak penting ini— menyantap makanan kami.

“Sagata suka udang, kan? Mau nambah?”

Gue hanya menggeleng pelan dan mengucapkan kata terimakasih untuk membalas tawaran anak tertua dari keluarga Satrio yang sudah merias wajahnya sedemikian rupa itu.

“Akhir-akhir ini, Sagata lebih suka makan cumi-cumi dari pada udang, sepertinya seleranya berubah.” Sira menyahut dari kursinya, membuat anak Om Satrio menatapnya malas.

“Oh ya? Ah.. oke.. lain kali kita pesan lebih banyak cumi-cumi dari pada udang.”

“Apa masih perlu lain kali?” tanya Sira pelan. Dia meletakkan sendok dan garpunya di sisi piring sebelum menopang wajahnya dengan sebelah tangan, “Sepertinya, kalau untuk membicarakan bisnis bisa di jam kerja aja ya? Gak perlu makan malam seperti ini.”

Om Satrio yang duduk di ujung meja berdeham, menandakan ketidaknyamanan. Dari ujung mata, gue bisa melihatnya menarik-narik dasi yang melingkar gagah di lehernya.

“Apa salahnya dengan pembicaraan bisnis di sela-sela makan malam?” tanya anak Om Satrio.

“Tentu tidak ada yang salah. Tapi setau saya, bisnis tidak akan pernah berhasil jika dicampuri dengan urusan pribadi.” Nada suara Sira sangat tenang, dia tidak menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya, tapi entah kenapa itu justru membuat lawan bicaranya menjadi tidak berkutik.

Terbukti, anak Om Satrio langsung menoleh pada ayahnya seolah meminta bantuan.

Om Satrio nampak menangkap signal dari anaknya dan kemudian dia bersuara, “Tidak ada urusan pribadi kok disini, hahaha, pure hanya bisnis.” Tawanya canggung, terkesan dipaksakan.

“Ah, baguslah kalau begitu, saya senang mendengarnya. Kalau begitu, lain kali saya tidak lagi perlu mendampingi Sagata untuk acara makan malam dengan niat terselubung seperti ini.” Kalimat itu seperti gong penutup dari makan malam menyesakkan yang diakhiri dengan ditandanga tanganinya berkas kerja sama antara perusahaan Mama dan perusahaan Om Satrio.

Dan tentunya, tanpa ada “perjodohan” di dalamnya.

**

“Lo sering ya ikut dinner kayak tadi?”

Sebelum mengantarnya kembali ke AIM hotel, gue membawa Sira untuk membeli makanan kecil di supermarket yang berada tidak jauh dari hotel.

Sira menyesap ice cremnya sebelum menjawab, “Enggak, cuma pernah nonton di drama-drama aja kejadian kayak tadi. Terus gue praktekin aja deh apa yang gue tonton.”

“Hmm.”

“Lo sering disuruh ikut acara kayak gitu?”

“Enggak, cuma beberapa kali aja.”

“Oh.”

Hening. Hanya ada deru kendaraan yang lalu lalang.

Thanks ya?”

“Santai aja, that was just my way to have some fun.”

Gue menatap Sira yang menatap kosong ice cream di tangannya. Dia tidak lagi menyesap ice cream dengan rasa vanilla yang awalnya dia ambil dengan begitu antusias. Ada yang berbeda dari gadis itu sesaat setelah dia mengatakan kalimat that was just my way to have some fun.

Gadis ini....

Gadis yang terlihat begitu ramai kehidupannya sebagai seorang travel blogger bisa tiba-tiba terdiam hanya karena sebuah kalimat yang berhubungan dengan kata “fun”.

Bukankah kata itu adalah kata yang paling pas untuk menggambarkan kehidupannya?

Bukankah hidupnya menyenangkan?

Tapi kenapa tatapan matanya justru begitu kosong?