Keyakinan

Setiap keluarga mempunyai ciri khasnya masing-masing. Ada yang harus bepergian ke luar kota setiap akhir bulan, ada yang harus berkumpul bersama setiap sarapan pagi, ada juga yang diharuskan untuk mencium kening semua anaknya ketika hendak tidur. Di keluarga Kayana, kebiasaan kecil yang selalu mereka lakukan sejak dulu adalah duduk bersama di ruang keluarga setelah selesai makan malam. Entah untuk minum teh bersama dan menonton series atau hanya duduk-duduk saja sambil bercengkrama. Tidak heran, malam ini, ketika Kayana pulang sedikit terlambat dari biasanya, dia sudah mendapati Ayah dan Ibunya duduk bersebelahan di sofa dengan hidangan teh dan kue-kue kering di hadapan mereka.

“Yah, Bu, Aya pulang.” ucap Kayana untuk menarik perhatian kedua orangtuanya.

Ayahnya yang lebih dulu merespon, “Eh, Aya udah pulang. Raechan mana? Kok gak mampir dulu?”

“Langsung Aya suruh pulang, soalnya kalau dia mampir dulu pasti Ayah ajak ngobrol sampe tengah malem.” “Loh emang kenapa? Gak boleh Ayah ngobrol sama pacar kamu?”

“Bukan gak boleh, tapi besok dia UAS, Yah. Dia harus belajar.”

“Tuh, Yah, anak Ayah mah sekarang posesip tuh sama pacarnya. Bener-bener keturunan Ayah.” Ibu Kayana mencibir, “Ayah kamu tuh, Ay, beehh dulu posesipnya jelek. Kalau kamu kan bagus ya posesipnya.”

“Posesip posesip, posesif, Ibu.”

“Ih protes aja si Ayah! Eh Aya, sebenernya semalem Aya tuh kemana, sih? Beneran nginep di studio? Emang ada sofa atau kasur buat tidur?”

Sebetulnya, pagi tadi saat Raechan mengantarnya pulang, laki-laki itu sudah menjelaskan langsung pada kedua orang tua Kayana. Kemana mereka pergi, apa yang terjadi semalam, kenapa mereka tidur di studio dan tidak pulang ke rumah. Raechan sudah menjelaskan semuanya, tentu saja dengan meninggalkan fakta bahwa semalam mereka berciuman dan tidur bersebelahan hingga pagi.

Namun mungkin saja ibu Kayana ingin mendengar langsung dari anaknya.

“Iya, Bu. Ada sofa sama kasur kok. Aya tidur di kasur terus Raechan yang di sofa. Studionya tuh gak cuma banyak alat band aja, tapi ada satu ruangan lagi yang mirip-mirip sama kosan, jadi nyaman, kok.”

“Oh yaudah, Ibu lega dengernya.”

“Bu, Yah, sebenernya Aya mau ngomong sesuatu,” Kayana berpindah untuk duduk di antara Ibu dan Ayahnya, “Raechan ngajak Aya nikah.”

“Oh ya? Kapan? Sekarang? Jangan dong, Ayah masih pake sarung doang nih, bentar Ayah ganti baju dulu.”

“Ih, Ayah, serius....” Kayana memberengut, bersandar pada bahu ibunya dengan manja, “Umur Aya masih dua puluh sekarang, masih muda banget, kuliah aja belum selesai. Tapi anehnya, waktu Raechan bilang mau nikahin Aya, Aya ngerasa yakin buat nikah muda.”

“Karena orangnya Raechan, ya?” ibu Kayana menjawab sembari mengambil sebelah tangan anaknya untuk dia genggam, “Aya yakin buat nikah, karena yang ngajak nikahnya Raechan, ya? Aya gak ngerasa takut nikah, karena sama Raechan, ya?”

“Kok Ibu tau?”

“Dulu.. waktu Ayah ngajak Ibu nikah. Ayah belum punya pekerjaan tetap, masih pegawai bawahan yang kerjanya disuruh-suruh. Tante Ana, dia selalu tanya ke Ibu, apa sih yang buat Ibu mau menikah sama Ayahmu yang saat itu belum punya apa-apa. Jawaban Ibu cuma satu, Ibu yakin Ayah gak akan biarin Ibu hidup susah. Dan Ayahmu membuktikannya, kita bisa hidup nyaman sampai sekarang.” ibu Kayana tersenyum lembut, “Saat itu, Ibu gak ngerasa takut sama sekali, Ibu merasa tenang dan yakin buat mulai hidup baru sama Ayah. Mungkin itu yang lagi kamu rasain sekarang. Iya, Ay?”

Kayana mengangguk pelan, “Semalem, di ruangan studio cuma ada Raechan sama Aya. Kalau Raechan apa-apain Aya, gak akan ada yang liat. Tapi Raechan gak berani sentuh Aya lebih dari yang Aya izinin, Bu. Rasa nyaman dan aman itu, kayaknya gak bakal Aya terima selain dari Raechan.”

“Kalau Aya yakin, Ibu doakan yang terbaik untuk rencana kalian yang juga begitu baik.”

“Ibu bolehin Aya nikah? Tapi nanti Ibu sama Ayah gimana? Gak ada yang nemenin di rumah, anaknya kan cuma satu.”

“Aya...” Kali ini ayah Kayana yang mengambil sebelah tangan Kayana yang lainnya, “Waktu kamu kecil dulu, waktu kamu masuk TK, Ibu kamu selalu nangis tiap kamu Ayah anter ke sekolah. Katanya rumah jadi sepi, Ibu kesepian. Tapi lama-lama Ibu kamu paham, kalau kamu pergi tuh ya buat kebaikan kamu. Kamu sekolah, supaya kamu jadi anak pinter. Jadi sekarang, kalau akhirnya nanti Raechan bawa kamu pergi dari sini, Ayah sama Ibu gak akan sedih. Mungkin iya kami bakal merasa sepi, tapi kan kamu pergi buat jalanin hidup kamu yang baru. Kalau anaknya bahagia, orang tuanya jauh lebih bahagia, Ay.”

Kayana menatap manik mata kedua orang tuanya secara bergantian. Didapatinya kedua pasang mata itu berkilat-kilat penuh ketulusan.

“Aya anak Ayah satu-satunya, kenapa Ayah semudah ini buat lepasin Aya?”

“Karena Ayah tau Raechan punya mental yang tidak sama dengan laki-laki lainnya, Nak. Saat pertama kali dia datang ke sini, dia langsung cari Ayah. Padahal biasanya, laki-laki, apa lagi masih semuda itu gak akan seberani dia. Dia datang sendiri, tanpa kamu, untuk mencari Ayah. Dari situ Ayah sudah tau, dia datang bukan untuk main-main.”

Keyakinan Kayana terhadap Raechan melonjak hingga melewati batas tertinggi yang ditetapkannya untuk standar laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Keyakinan itu disokong oleh keyakinan yang juga datang dari sahabat-sahabat Raechan, restu dari Ayah Raechan hingga izin dari kedua orang tuanya. Tak ada satupun dari mereka yang meragukan Raechan.