Show Me How Much You Miss Me

Tidak ada kelegaan yang lebih menyenangkan dari pada mendapati kembali kehadiran dari seseorang yang diinginkan. Mata Kayana tidak lepas memandang ke arah sofa hitam dimana Raechan sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya yang lain. Sementara Kayana diajak Klarisa dan Jelena untuk duduk di karpet. Mereka sudah berada di studio Jevan sejak pukul enam sore. Atas ajakan Raechan yang secara tiba-tiba memiliki waktu luang untuk bertemu.

“Lo sebenernya kemarin-kemarin kemana dah, Rae? Perasaan dulu waktu SMA walaupun lo kerja, lo gak sesibuk ini.”

“Ya kan dulu gue cuma bantu bikin paket tour aja, Wan. Sekarang gue udah masuk divisi marketing, kerjaannya lebih banyak, udah bukan cuma bantu-bantu lagi.” Raechan menjawab santai, “Kenapa? Kangen lo sama gue?”

“Kagak dih.” jawab Juan mencibir, meskipun di dalam hatinya dia mengakui adanya kekosongan di hatinya ketika studio ini tidak diisi dengan kehadiran Raechan.

Raechan tidak merespon ucapan Juan, dia memilih berdiri dari duduknya dan berjalan untuk mendekat ke arah Kayana. Laki-laki itu ikut duduk di atas karpet, tepat di belakang Kayana. Sebelah tangannya dia lingkarkan ke perut Kayana dan kepalanya dia sandarkan pada punggung kekasihnya itu. Gerakan Raechan yang begitu tiba-tiba membuat Kayana sedikit terkejut. Tapi dia juga menyukai sensasi yang dberikan oleh sentuhan Raechan. Bagaimanapun, dia sangat merindukan Raechan setelah tidak bertemu selama tiga mingggu lamanya.

“Kamu capek? Mau tidur aja?” tanya Kayana pelan.

Dia merasakan gelengan kepala Raechan dari balik punggungnya, “Enggak, aku kangen kamu.”

Meskipun Raechan menjawab tidak pada pertanyaan itu, namun lambat-laun Kayana merasakan bahwa beban di punggungnya semakin berat. Napas teratur juga dia rasakan menembus bagian belakang kaus yang dia kenakan.

“Tidur dia, Kak?” Jaenandra menjadi orang pertama yang menyadari bahwa sejak tadi Raechan tidak terdengar bersuara lagi. Jaenandra mengintip ke balik punggung Kayana dan mendapati mata Raechan yang tertutup rapat, “Eh tidur dia, njir. Mau dibangunin aja, Kak? Udah jam sepuluh juga nih.”

“Gak usah, biarin aja dia tidur sebentar lagi. Kalian kalau mau pulang gak papa pulang aja, nanti sekitar jam sebelas, aku bangunin dia.”

“Emang Kak Kayana gak capek digelendotin Raechan gitu?” tanya Jelena mengkhawatirkan keadaan Kayana.

Kayana menggeleng dan tersenyum lembut, “Enggak, kok, gak papa. Gih kalian pulang aja, udah malem.”

Setelah mendapat izin itu, Jelena, Klarisa, Juan, Jaenandra dan Jevan pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Meninggalkan Kayana yang masih saja bertahan pada posisinya agar tidak membuat Raechan terbangun. Sepeninggalnya para sahabatnya yang lain, studio Jevan menjadi sangat lengang hingga Kayana bisa mendengar lenguhan kecil yang sesekali terdengar dari raechan. Hati Kayana terasa penuh oleh kebahagiaan yang akhir-akhir tidak didapatkannya. Rasa penasarannya akan keberadaan Raechan juga sudah tidak lagi menjadi penganggu sejak Jaenandra memberitahukan bahwa Raechan memang bekerja di perusahaan papanya hingga tidak sempat pergi ke kampus. Setidaknya, saat ini, Kayana tahu bahwa Raechan menghilang bukan karena sudah tidak menginginkannya lagi.

Tiga puluh menit berselang, Kayana mulai merasakan gerakan Raechan. Laki-laki itu membuka matanya dan mendapati bahwa tinggal dirinya dan Kayana yang berada di ruangan ini, ”Yang lain kemana, Kay?” tanyanya dengan suara berat dan serak.

“Udah pada pulang.”

“Kok kamu gak bangunin aku?”

“Aku mau disini lebih lama sama kamu.”

Jawaban Kayana membuat Raechan tersenyum tipis dalam rasa kantuknya, “Aku cuci muka sama sikat gigi sebentar, ya. Biar seger.”

Selama Raechan pergi ke kamar mandi, Kayana membereskan beberapa barangnya ke dalam tas. Juga sedikit membereskan studio Jevan agar besok saat mereka kembali menggunakan ruangan ini, keadaannya sedikit lebih baik.

“Mau pulang? Atau mau kemana dulu?” Raechan muncul dari balik pintu kamar mandi yang terbuak dengan keadaannya yang lebih segar, “Kamu laper gak? Mau makan?”

“Aku udah bilang, aku cuma mau disini lebih lama sama kamu.” jawab Kayana masih sibuk dengan aktivitasnya, “Aku takut kamu sibuk lagi kayak kemarin.”

Raechan tersenyum getir, dia bergerak mendekat dan memeluk Kayana dari belakang, “Pertama, aku mau minta maaf ya, Kay, sama kamu. Maaf karena ilang-ilangan, bahkan gak nemuin kamu hampir tiga minggu. Tapi aku gak kemana-kemana kok, aku kerja, buat kamu.”

Kayana mengelus pelan lengan Raechan yang memeluknya, “Iya, aku tau. Tapi jangan sampai gila-gilaan gitu, Rae, kerjanya. Aku gak mau kuliah kamu berantakan karena rencana nikah kita.”

“Enggak, kok, gak ada yang berantakan. Semuanya baik-baik aja.” Sebuah kecupan kecil Raechan berikan pada bahu Kayana, “Kamu beneran mau kan nikah sama aku? Aku gak akan ngerasa capek kerja selagi jawaban kamu masih iya.”

“Iya, Sayang, asal semuanya siap dan gak terburu-buru.” Kayana membalikkan tubuhnya untuk menatap Raechan, “Gak berangkat ke kampus sama kamu selama hampir tiga minggu bikin aku sadar kalau sepertinya ide kamu buat berangkat ke kampus dari rumah yang sama bukan ide yang buruk.”

“Loh kemana perginya Kayana si independent girl yang gak mau diantar-jemput?” tanya Raechan meledek.

“Hahahaha ngeselin kamu tuh, ya. Aku beneran kangen sama kamu, Rae.”

“Masa sih?”

“Iya.”

So, show me how much you miss me.”

Raechan menunggu sembari menebak-nebak, dengan cara apa kiranya Kayana akan membuktikan ucapannya. Raechan sama sekali tidak mengira bahwa Kayana akan menempelkan bibir ranumnya dengan milik Raechan. Kejadiannya begitu cepat hingga Raechan terkejut dan sedikit bergerak mundur. Namun dengan cepat Raechan kembali menguasai diri. Dieratkannya pelukannya pada pinggang Kayana dan dia mengambil alih ciuman itu. Bibir Kayana terasa begitu lembab, mungkin karena dia sering mengoleskan lipbalm tiap kali merasa bibirnya sedikit kering. Bibir itu juga terasa manis, memabukkan. Membuat Raechan lupa diri hingga tanpa disadarinya, dia membawa Kayana untuk berbaring di atas ranjang yang ada di pojok studio Jevan.

Ciuman itu akhirnya terlepas saat mereka berdua sama-sama merasakan butuh untuk mengambil napas. Raechan menatap Kayana yang berbaring di bawahnya. Gadis itu terlihat sedikit berantakan, ada beberapa bulir keringat di dahinya, bibirnya juga sedikit terbuka, tapi entah kenapa, Raechan sangat menyukai pemandangan itu.

So, this is how much you miss me, Kayana Aburima Gati?”

Kayana tidak menjawab dengan kata-kata. Tangan kanannya bergerak untuk menyentuh wajah Raechan, mulai dari dahi, mata, hidung, bibir dan dagunya. Awalnya, dia sama sekali tidak memiliki niatan untuk menikah muda, tapi dengan laki-laki yang saat ini berada di atasnya membuatnya ingin melakukan itu. Meskipun dia tahu, mungkin akan ada beberapa pihak yang menentang atau bahkan mengejek keinginnya. Kayana tidak perduli, yang Kayana tahu, dia sedang mempersiapkan diri untuk ini. Dan seseorang yang akan menikahinya pun juga sedang mempersiapkan diri. Dari segala segi, kesiapan diri, mental dan juga keuangan. Pernikahan bukanlah hal yang main-main, banyak sekali yang harus dipersiapkan untuk menunjang keputusan itu.

“Besok aku mau bilang ke Ayah sama Ibu soal rencana pernikahan kita.” bisik Kayana pelan.

“Kamu mau aku temenin buat ngomong ke Om sam Tante?”

“Gak usah, biar aku sendiri dulu aja. Tapi kamu siap kan kalau Ayah sama Ibu mau ketemu kamu buat ngobrol langsung ke kamu?”

“Siap lah, Kay. Siap banget, kapanpun itu.”

Kayana tersenyum lembut sebelum kembali menyatukan bibirnya dengan milik Raechhan. Ciumannya kali ini lebih panas dari sebelumnya. Bukan hanya pagutan bibir, namun lidah mereka juga turut serta di dalamnya. Tangan Kayana bergerak naik untuk melingkari leher Raechan sedangkan tangan Raechan sibuk dengan pinggang Kayana. Tidak ada suara lain selain suara kecupan dan lenguhan pelan yang mengisi studio Jevan.

Entah menyadarinya atau tidak, tangan Raechan bergerak untuk menyingkap kaus yang Kayana kenakan, hingga membuat perut gadis itu terlihat, “Rae, you want to do more?” tanya Kayana di sela pagutannya.

Raechan menatap manik mata Kayana dan menyadari kesalahannya, dia buru-buru menutup kembali area perut Kayana dan mengecup dahi kekasihnya itu, “Enggak, i’m sorry, Kay.”

Raechan lalu berguling ke samping, memeluk Raechan dari sisi tubuhnya, “Malem ini kita tidur disini, ya? Besok pagi aku anter kamu pulang. I promise you, aku gak bakal macem-macem. Aku cuma mau tidur, di sebelah kamu. Aku takut pulang ke rumah, sendirian di kamar dan malah nonton yang enggak-enggak.”

Kayana tidak tahu harus teratawa atau kecewa dengan pengakuan jujur Raechan itu. Tapi akhirnya dia hanya diam dan tertidur dalam dekapan Raechan hingga pagi menjelang.