Gaun Pernikahan

Sampai kapanpun, seorang anak akan tetap menjadi anak bagi orang tuanya. Sama halnya dengan darah yang tak pernah berhenti mengalir dalam tubuh manusia, kasih sayang orang tua juga akan terus mengalir untuk anak-anak yang mereka kasihi. Meskipun kelak nantinya, orang tua akan dipisahkan dengan anak-anak mereka. Karena pendidikan, pekerjaan dan bahkan pernikahan. Melepaskan bukan perkara mudah. Merelakan tak akan pernah jadi hal remeh. Namun hal itu harus dilakukan, jika memang sudah waktunya. Anak-anak itu, meskipun sudah dibesarkan sepenuh hati, mereka bukan milik orang tuanya. Mereka adalah milik diri mereka sendiri. Orang tua mungkin bisa menasehati tapi mereka bebas menentukan ke arah mana mereka akan pergi.

Pedoman itu yang selalu Gati pegang sejak dulu. Sejak pertama kali seorang putri kecil hadir dalam kehidupannya. Dia sudah berjanji, bahwa kelak, dia tidak akan menjadi sosok ayah yang mengekang anaknya. Ia ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang mandiri, yang percaya pada kekuatan kedua kakinya sendiri.

Mungkin karena itulah, Kayana tumbuh menjadi anak yang pemberani, percaya diri dan begitu mandiri. Sejak kecil, Kayana jarang sekali mengadu kepada kedua orang tuanya. Bukan karena mereka tidak dekat, tapi karena Kayana sudah bisa memimpin dirinya sendiri dan menyelesaikan masalah-maalahnya sendiri.

Dan hal itu terjadi lagi, saat akhirnya ada seorang pria yang ingin mempersuntingnya. Kayana baru membicarakan hal tersebut kepada ayah dan ibunya setelah dia membuat keputusannya sendiri. Karena dia paham betul, bahwa pada akhirnya dialah yang akan menjalani semuanya. Segala baik dan buruknya. Tapi Kayana juga tidak meninggalkan kewajibannya sebagai seorang anak yaitu untuk selalu meminta izin dan restu dari kedua orang tuanya.

Kemandirian Kayana itu membuat Gati, sebagai seorang ayah, merasa begitu tenang. Bahkan ketika sebentar lagi dia akan melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup dengan laki-laki lain. Terlebih, laki-laki itu adalah Raechan.

“Loh, Om Gati, kok di sini?” Gati tersenyum lembut mendapati Raechan yang baru keluar dari kantor ayahnya, “Kok gak masuk ke dalem?”

“Om gak punya uang untuk beli paket tour ayah kamu, nanti malah Om diusir.”

“Ih ya enggak lah, ayo, Om masuk aja ke dalem. Apa mau ngopi aja kita?” Raechan berjalan mendekat ke arah Gati dan memeluknya singkat, “Di deket sini ada warung kopi enak loh, Om, kalau malem gini di sebelahnya ada yang jual ketoprak juga. Mau kesana?”

“Enggak, gak usah. Om mau ajak kamu ke suatu tempat, kamu ada waktu, Rae?”

Raechan nampak termangu sesaat. Dia sebetulnya masih keheranan karena mendapati ayah dari kekasihnya itu berada di depan kantornya semalam ini, “Kemana, Om?”

“Udah ayo ikut aja.”

Mereka berdua berakhir mengendarai mobil mereka masing-masing, beriringan untuk menuju ke suatu tempat. Tidak terlalu jauh, hanya berjarak sepuluh menit dari kantor. Gati memakirkan mobilnya di area parkir sebuah toko yang sudah tutup. Diikuti oleh Raechan. Lalu setelahnya mereka berdua berdiri bersebelahan, menatap ke arah jendela kaca besar toko tersebut. Di balik kaca itu, berderet tiga manekin yang mengenakan gaun pernikahan dengan jenis yang berbeda-beda. Dan semuanya tampak begitu cantik diterangi cahaya temaram lampu toko yang sengaja tidak dimatikan bahkan ketika toko tersebut sudah tutup.

“Cantik ya, Rae?” Gati berucap pelan, matanya masih memandangi gaun-gaun pernikahan itu, “Kayana cocok pake yang mana ya, Rae?”

“Semuanya, Om.” jawab Raechan tanpa keragu-raguan, “Kayana cantik pake yang mana aja.”

“Bisa aja kamu tuh.” Gati terkekeh pelan, disenggolnya tubuh Raechan dengan sikunya, “Apa yang bikin kamu jatuh cinta sama Kayana, Rae?”

“Karena Kayana sexy Om. Orangnya, pemikirannya, tingkah-lakunya, semuanya sexy. Dan saya sebagai laki-laki, terlalu suka sama wanita yang se-sexy itu. Om gak berharap saya jawab karena Kayana cantik dan baik, kan?”

Mereka berdua tertawa bersama, membuat suasana menjadi lebih akrab dari sebelumnya, “Kamu harus makasih ke ibunya, Om sejak dulu sibuk kerja. Jadi yang mendidik Kayana ya ibunya itu. Ke-sexy-an Kayana yang kamu sebutin tadi, itu semua karena ibunya.”

“Tante pasti seneng kalau tau Om muji Tante gini.”

“Hahaha pasti, perempuan tu sebetulnya mudah sekali dibuat bahagia, Rae.”

“Setuju, Om.” Raechan menghembuskan napas pelan, “Dulu, waktu Om mau nikahin Tante, apa aja yang Om siapin?”

“Rasa tanggung jawab.”

“Rasa tanggung jawab, Om?”

“Iya, menikahi Tante artinya Om mengambil Tante dari keluarganya. Itu artinya, Om harus bertanggung jawab untuk hidup Tante, seluruhnya.”

“Sama seperti yang kamu lakukan sekarang, Rae. Kamu kerja sampe malem begini karena kamu ingin memberi kehidupan yang baik untuk Kayana, kan?”

Raechan tersenyum dan mengangguk.

“Om merasa tenang melepaskan Kayana karena calon suaminya punya rasa tanggung jawab sebesar kamu. Ayah kamu punya perusahaan besar, sebagai anak, kamu bisa aja minta dimodali sama ayahmu itu. Tapi kamu gak melakukannya, kamu memilih untuk kerja padahal Om tau kalau kuliah saja sudah cukup sulit.”

Tangan Gati merangkul bahu Raechan dan menepuknya pelan, “Om kesal karena bisa melepaskan Kayana semudah ini. Tapi Om juga bersyukur, artinya kamu anak yang baik sampai Om aja gak merasa perlu melihat kamu melakukan banyak hal besar untuk mengizinkan Kayana menikah sama kamu.”

“Widih artinya oke nih ya Om saya nikah sama Kayana?” Raechan bukan bermaksud untuk tidak sopan, hanya saja dia tidak ingin berada di situasi yang terlalu serius. Om Gati adalah orang yang begitu menyenangkan, jadi tidak akan masalah untuk sedikit membelokkan ucapannya seperti ini.

“Emang kalau gak Om izinin, kamu mau apa?”

“Mau minta dinikahin lah sama Om. Siapa suruh Om gak izinin Kayana nikah sama saya, yaudah Om aja yang nikahin saya.”

“Sembarangan kamu tu!” Dan Gati akan selalu menjadi Gati. Seorang ayah yang menyenangkan untuk diajak bercanda.

Malam itu mereka lewati dengan memandangi gaun pernikahan yang masih setia berada di tempatnya. Gati membayangkan betapa anggunnya anaknya nanti ketika mengenakan gaun itu dan berjalan di sampingnya untuk dia antarkan menjemput kebahagiannya.

Sementara Raechan membayangkan betapa cantiknya Kayana dalam balutan gaun pengantin yang akan dia lepaskan dengan kedua tangannya sendiri pada malam harinya.

Oh, sudah cukup sampai disana Raechan berani membayangkan.